This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 27 Desember 2012

Menunggu Bangkitnya Negara Arab

"Bercokolnya Israel sampai saat ini menjadi bukti paling besar tentang “mandulnya” negara Arab, bukan karena Israel kuat. Sungguh, ini bukti ‘lenyapnya Arab’, bukan ‘hadirnya Israel’” —Prof. Dr. ‘Abd al-Wahhāb al-Massīrī— ISRAEL kembali lagi merusak kenyamanan dan mengganggu ketentraman. Tidak ada yang dapat mencegahnya, karena polling menyatakan bahwa mayoritas negara Barat mendukung agresi terkutuk Zionisme-Israel. “Israel punya hak untuk membela diri”, kata Obama. Satu pernyataan yang menegaskan bahwa Obama memang pro-Israel. Tentang korban agresi kekejaman dan kebrutalan Israel, sudah lebih dari 105 orang menjadi syahid (martyr) dan lebih dari 1700 orang luka-luka. Mayoritasnya adalah anak-anak dan perempuan. Tujuan Israel sangat jelas: agar Palestina tak lagi mampu memproduksi para mujahid. Israel tengah menyayat hati kemanusiaan dunia, bagi siapa yang masih punya hati dan empati. Tidak cukup hanya simpati. Karena semua orang bisa menyatakannya. Kemana Negara Arab-Islam? Para politisi Arab sepertinya memang harus terus berwacana. Jika Mursy dari Mesir menarik mundur duta besarnya untuk Israel. Juga mengutus Perdana Menteri dan Intelijennya ke Gaza, presiden negara Arab lainnya mengirim apa? Atau, presiden Indonesia – yang Muslimnya terbesar di dunia – mau kirim apa ke Gaza? Penulis berharap presiden kita tidak hanya ‘kirim doa’. Banyak anomali memang di dalam tubuh Liga Arab. Mungkin juga bisa ditambahkan OKI. Sama ketika Iraq akan digempur habis-habisan oleh George W. Bush. Arab sepakat untuk tidak membela Saddam Husain. Apakah Palestina kali ini juga akan menerima nasib yang sama? Wallāhu a‘lamu! Sebagai Muslim, mungkin masih banyak yang harus menyandarkan dirinya kepada Firman Allah, “walillāhi junūdus-samāwāt wa al-arḍ” (Allah memiliki prajurit dan tentara di langit dan di bumi, Qs. 48: 4). Buktinya Allah sudah mengirimkan berupa legiun cyber (baca: Sinta Yudisia, “Gaza Relawan, Legiun Cyber”, Republika, Senin, (19/11/12). Liga Arab masih bungkam. PM Turki menyatakan Israel negara teroris. Yang lain menyatakan Israel ‘biadab’ dan ‘brutal’. Di rubrik Resonansi Republika ada tulisan Derita Palestina, Pesta Israel (Ikhwanul Kiram Mashuri, “Derita Palestina, Pesta Israel”, Republika, Senin, (19/11/12). Tetap saja Israel akan mengatakan, “Emang gue pikirin!” jawaban yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Jose Rizal, jurnalis sekaligus pendiri Mer-C, “Tidak ada kemauan pemerintah!” Padahal, kalau umat ini bersatu, tidak ada yang tidak mungkin untuk dikerjakan. Sejarah membuktikan bahwa persatuan melahirkan kekuatan dan cerai-berai medatangkan kelemahan bahkan malapetaka (al-ittiād quwwah wa al-furqah ḍa‘f wa muṣībah). Namun, sekali lagi, pembelaan untuk Palestina sepertinya hanya ‘isapan jempol’ belaka. Indonesia seharusnya malu, karena perannya ternyata hanya sebatas ‘retorika’. Tidak lebih, tidak kurang. Itu lah Indonesia, negara mayoritas Muslim di dunia. Padahal semua orang tua, Israel bukan hanya ingin mengusir rakyat Palestina, tapi juga ingin membumi-hanguskan Islam dari sana. Itu sebabnya negara-negara Barat setuju bahkan mendukung Israel. Karena, “Tidak ada agama atau kelompok budaya lain yang disebut begitu meyakinkan sebagai ancaman bagi peradaban Barat sebagaimana Islam sekarang ini”, kata Edward Said. (Lihat, Edward W. Said, Covering Islam: Bias Liputan Barat atas Dunia Islam, Ter. A. Asnawi & Supriyanto Abdullah (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002, hlm. ix). Tidakkah kita sedih mendengar dan membaca berita bahwa RS Gaza kehabisan obat-obatan dan alat medis? Tidakkah kita punya untuk menempatkan satu menit saja kondisi Gaza-Palestina di dalam hati kita? Apakah karena bukan negara kita yang dibombardir oleh Israel, sehingga kita cuek-bebek. Sungguh, kita harus berpikir dengan jernih dan hati yang bersih. Membela Palestina kewajiban seluruh umat, kata Prof. Dr. Rāghib al-Sirjānī. Mudah-mudahan, langkah Liga Arab, OKI, Turki, Qatar dan pihak Gaza sendiri yang kini tengah membahas penyelesaian krisis Gaza dan penjajahan Zionis di tanah suci Palestina berbuah kabar gembira sehingga umat Islam di seluruh dunia bisa melakukan shalat di tempat mulia itu. Apalagi dalam pernyataan terbarunya, presiden Mesir, Muhammad Mursy hari Selasa (20/11/2012) berjanji akan melakukan penghentian agresi Zionis-Israel ke Gaza dan akan segera mengakhiri penderitaan warga Gaza selamanya. Wallāhu a‘lamu bi al-ṣawāb!

Menanti Bangsa Serumpun Malaysia-Indonesia Berjaya

penulis: Nur Aminah (koresponden Hidayatullah, tinggal di malaysia) ALAM Melayu adalah wilayah di mana negara Indonesia dan Malaysia berada. Istilah Alam Melayu lebih popular di Malaysia, sementara istilah Nusantara sering digunakan di Indonesia. Meski demikian, kedua istilah itu pada asalnya adalah sama. Dalam konteks Alam Melayu-Nusantara tercetus hubungan persamaan sebagai “bangsa serumpun” antara Indonesia dengan Malaysia sejak zaman berzaman. Secara sosial-politik-ekonomi-kultural, sejak awal Semenanjung Melayu dan Sumatera sudah merupakan bagian yang integral. Raja Melaka berasal dari Sumatera (Palembang), Kerajan Riau-Johor kadang-kadang berpusat di Sumatera kadang-kadang di Semenanjung. Sedang Negeri Sembilan adalah cabang kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagar Ruyung, Sumatera. Mayoritas dari orang Melayu di Semenanjung adalah berasal dari suku-suku bangsa di Sumatera, khususnya Minangkabau, Kerinci, Palembang, Jambi, Mandailing, Melayu Sumatera dan Aceh. Bahkan juga dari Jawa dan Sulawesi (Bugis). Sejarah mencatat, Malaya dijajah oleh Inggris (orang Malaysia menyebutnya British, red) sementara Indonesia oleh Belanda. Dalam mengeruk alam Melayu, Inggris mendatangkan banyak tenaga buruh dari India dan China, sehingga pada suatu masa tertentu jumlah kedua “jentera ekonomi” penjajahan Inggris ini pernah melampaui jumlah kaum Bumiputera (pribumi). Di Indonesia, perjuangan kemerdekaan ditujukan terhadap penjajah Belanda dan talibarutnya. Perang meletus. Dalam perang kemerdekaan itu (1945 -1949), banyak terjadi saling tolong menolong antara rakyat Melayu Semenanjung dan rakyat Sumatera, saling menyeberangi Selat Melaka, dan menyelundukpan senjata dan keperluan peperangan lain. Republik Indonesia mengistiharkan kemerdekaan tahun 1945. Dan 12 tahun kemudian, (1957) Malaya pula memperolehi kemerdekaan dari Inggris. Sejarah Hubungan Indonesia-Malaysia Hubungan Indonesia dengan Malaya, setelah kemerdekaan Persekutuan Tanah Melayu, lebih banyak diwarnai oleh “perbedaan- pertentangan”. Setidaknya ada dua faktor utama yang berada di belakang keadan ini. Pertama faktor “Tunku Vs Soekarno” dan faktor “perang dingin antara kapitalis dan komunis dunia”. Latar belakang sosial, kultural dan politik kedua tokoh ini, antara Tunku dan Bung Karno sangat berbeda. Tunku adalah anak Sultan Kedah dari perempuan Thai. Beliau diasuh dan hidup senang dalam lingkungan istana, terdidik dalam sistem pendidikan dan budaya Inggris. Mendapat ijazah hukum dan perundang-undangan dari sebuah universitas di Inggris. Tidak bergaul dengan rakyat dan berpandangan liberal. Sementara Soekarno adalah anak seorang priyayi Jawa dengan seorang perempuan kasta tinggi Bali. Dari kecil hidup di tengah rakyat biasa. Dalam bidang politik dan agama diasuh oleh tokoh Sarikat Islam, Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto di kota Surabaya. Sejak masa mahasiswa sudah berjuang bagi kemerdekaan Indonesia. Soekarno memandang Tunku sebagai seorang pangeran Melayu yang hidup di dalam kamp penguasa kolonial. Tunku pula tidak senang dengan Soekarno yang hidup secara flamboyant tapi revolusioner, mencurigai kedekatan hubungannya dengan blok komunis (Russia-China). Keduanya berbeda secara sosial, kultural dan ideologi politik. Perbedaan pendapat dan saling curiga-mencurigai itu, terutama setelah Tunku berhasrat menubuhkan negara federal Malaysia yang terdiri daripada Malaya, Singapura, Brunei, Sarawak dan Sabah. Bung Karno memandang ini sebagai proyek Nekolim Inggris, bukan pemikiran asli dari Tunku. Indonesia meminta agar diselengarakan plebisit di Borneo Utara. Tapi ditolak oleh Tunku. Indonesia marah lalu melancarkan konfrontasi (1963-1966). Hubungan baru dibangun oleh Perdana Menteri kedua Malaysia, Tun Abdul Razak Hussein dan Presiden kedua Indonesia, Soeharto dalam bentuk yang lebih baik dan damai. Konsep bangsa serumpun kembali bergema dengan lebih nyata. Apakah faktor yang berada di belakang persahabatan baru ini? Seperti diketahui, Tun Razak di Indonesia terkenal sebagai keturunan Bugis, sementara Adam Malik wakil presiden kedua RI dan Tun Muhammad Ghazali Shafei adalah masih berkerabat sebagai orang Mandailing (Sumatra). Dalam hal ini, faktor semangat bangsa serumpun kembali berperan. Sementara itu Ali Moertopo yang sama-sama dengan Soeharto adalah pemimpin-pemimpin tentara yang anti komunis. Dalam zaman Tun Razak juga, Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan kerjasama latihan militer: Malindo Samatha, Malindo Jaya, Malindo Mini dan Kris Kartika. Kerjasama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan pun dipertingkatkan. Indonesia dan Malaysia muncul sebagai penaja organisasi ASEAN. Selat Melaka pula diistiharkan sebagai perairan bukan-internasional tapi berada di bawah kawalan Indonesia dan Malaysia. Tidak seperti Tunku, Tun Razak tidak banyak menyimpan kecurigaan kepada Indonesia. Zaman pemerintahan Razak, adalah zaman kecemerlangan hubungan serumpun Indonesia-Malaysia. Kiprah Tun Razak kemudian dilanjutkan oleh Perdana Menteri ketiga Malaysia, Tun Hussein Onn. Pada zaman Tun Razak, Malaysia mengundang guru dan dosen dari Indonesia mengajar di Malaysia, terutama di Jabatan Pegajian Melayu bertujuan untuk mempertingkatkan kesusteraan Melayu. Di antaranya yang terkenal adalah Sultan Takdir Alisjahbana. Hubungan akrab kedua negara pada zaman Dr Mahathir Mohamad (Perdana Menteri Malaysia keempat) mulai agak terkikis. Ada faktor Mahathir berperan dalam penurunan taraf hubungan ini. Mahathir adalah seorang pemimpin yang mempunyai karakter tersendiri. Di bawah kepimpinannya ekonomi Malaysia maju pesat dan secara politik pula Malaysia mulai berperan di arena internasional. Mahathir bahkan muncul sebagai jurubicara dunia ketiga. Kondisi ini menghujat kepimpinan Indonesia di bawah Soeharto. Konflik status Sipadan dan Ligitan muncul ke permukaan secara serius untuk pertama kalinya. Mulanya disepakati kedudukan status quo untuk pulau-pulau ini, tapi kemudian Malaysia membangun fasilitas pelancongan (pariwisata, red) di pulau tersebut. Akhirnya perselisihan disepakati untuk diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (Internasional Court of Justice tahun 2002), kemudian ternyata perselisihan ini dimenangkan oleh Malaysia. Berbagai masalah perbatasan muncul pada masa Mahathir ini, yang terus diwarisi oleh Abdullah Badawi (Perdana Menteri kelima) dan Najib (Perdana Menteri keenam). Efek Kebijakan Migrasi dari Indonesia ke Semenanjung sudah biasa sejak dahulu. Pada zaman Tun Razak, Malaysia mengundang guru dan dosen dari Indonesia. Tapi corak migrasi pada zaman Mahathir, Abdullah Badawi dan Najib berbeda. Yang datang adalah pekerja-pekerja kasar, kurang terdidik, dan orang-orang miskin dari perdesaan, yang bekerja di sektor perladangan, pembangunan di perkotaan, dan sebagian lain bekerja sebagai pembantu rumah. Mereka adalah dari kelas bawah, yang dipanggil dengan sebutan “Indon” oleh orang Malaysia. Tapi yang lebih serius daripada itu adalah masalah migran gelap, yang berperan sebagai puncak masalah sosial di Malaysia. Tahun 1981 diduga ada 100.000 migran gelap dari Indonesia, tahun 1987 mencecah 1 juta orang. Tahun 2011 diduga 2 juta orang. Efek negatif dari migran ini tidaklah main-main, kriminal, pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Menurut catatan, tiga puluh enam persen dari narapidana di penjara Malaysia adalah migran dari Indonesia. Padahal pemulangan migran gelap telah dilakukan berkali-kali. Bagi Indonesia pula, masalah migran Indonesia adalah tentang perlakuan kasar majikan terhadap pembantu rumah, pemberian gaji yang kecoh oleh majikan, dan perlakuan kasar dan menghina oleh polisi dan relawan Malaysia terhadap migran Indonesia. Masalah ini menjadi salah satu puncak hubungan tidak harmoni antara kedua negara. Ada kecenderungan semangat bangsa serumpun makin mulai hilang di Indonesia, karena kekecewaan atas sikap “arogansi” saudara serumpunnya, Malaysia. Satu hal pula yang perlu dicatat, penggunaan istilah "Indon" di Malaysia punya dampak negative di Indonesia. Istilah “Indon” di Malaysia berbeda dengan istilah “Indon” di Indonesia. Di Indonesia, istilah ini berkonotasi negative yang dianggap sebagai ejekan atau penghinaan. Tetapi di Malaysia istilah ini merupakan sebuah singkatan yang mengacu kepada Negara atau rakyat Indonesia ,bukan yang lainnya. Sekadar catatan, budaya Malaysia memang lebih suka dengan istilah perkataan singkat/singkatan dalam percakapan umum sehari-hari (pribadi). Sebagaimana singkatan lainnya contohnya Banglades, di Malaysia lebih popular dengan istilah “Bangla“ juga mempunyai makna sama seperti di atas, yaitu sebuah singkatan yang mengacu kepada bangsa/rakyat Banglades. Begitu juga istilah KL= Kuala Lumpur. Di Malaysia lebih populer dengan istilah KL daripada Kuala Lumpur-nya. Karenanya, jika hal-hal kecil tidak menjadi perhatian, boleh jadi kerasian hubungan dua negeri serumpun ini akan terus makin jauh. Adalah suatu yang kurang masuk akal, jika dua Negara yang punya ‘hubungan darah’ terlibat konflik hanya karena urusan bola, atau urusan-urusan lebih kecil lainnya. Padahal, jika dua kekuatan serumpun ini bersatu, bukan tidak mungkin akan menjadi kekuatan baru, sebuah kawasan Negara Melayu berpenduduk Muslim yang kuat yang disegani di Asia dan dunia. Masalahnya, kapankah kekuatan itu bisa kembali bertemu dan bersatu? Walllahu a’lam.* Penulis adalah koresponden hidayatullah.com, tinggal di Malaysia

Ingin Irit ? Nggak Boros ? Menikah aja...!!!

Banyak orang manunda dan takut menikah lantaran khawatir menambah biaya, fakta menunjukkan, menikah cara terbaik untuk menghemat uang, demikian penelitian terbaru yang dimuat Time of India, Ahad (22/07/2012). Karena kehidupan pernikahan umumnya mendorong pengorbanan dan penghematan daripada melakukan pengeluaran semena-mena. Berdasarkan sebuah penelitian baru-baru ini di Inggris, para peneliti menemukan bukti bahwa pasangan yang telah menikah umumnya memang dapat melakukan penghematan. Mereka umumnya dapat menghemat sekitar 68 Pound per bulan dan mencapai 800 Pound per tahun. Dalam pernikahan akan muncul ide memiliki target bersama seperti menabung untuk membeli rumah, untuk biaya keluarga, atau membangun rumah. Keinginan-keinginan tersebutlah yang akan memicu pasangan agar menjadi lebih irit dalam pengeluaran. Sekitar 57 persen peserta uji coba pun mengatakan, suami atau istri berperan dalam melakukan prosese penghematan itu. "Hal yang baik melihat orang-orang yang berhubungan saling memotivasi satu sama lain untuk menyimpan sejumlah besar uang," ungkap John Prout dikutip Daily Mail. Bagi sebagian orang, pengaruh pasangan mereka memiliki efek dramatis. Satu dari lima pasangan mengaku bisa menghemat sedikitnya 200 Pound lebih per bulan dan mencapai 2.400 Pound selama setahun. Dalam hal ini, kaum pria yang senang menghabiskan uang untuk otomotif atau keluar malam akan sedikit tertekan saat hidup bersama pasangan. Namun mereka akan terbiasa dengan sendirinya, setelah melakukan adaptasi. Terbukti, pria mampu menyimpan rata-rata 85 Pound setiap bulan, karena pengaruh pasangan mereka dibandingkan kaum wanita yang hanya mampu menyimpan 50 Pound. Sementara pria berusia 25-34 tahun akan sangat terpengaruh oleh pasangannya dan terbukti mampu menghemat sekitar 100 Pound setiap bulan. Penelitian ini menemukan bukti bahwa sedikit pengeluaran yang dilakukan pria akan memaksa kaum wanita, untuk juga melakukannya meski berat untuk melakukannya. Sementara sebanyak 15 persen wanita yang telah menikah mengaku termotivasi untuk menyimpan lebih, karena kebiasaan buruk pasangannya dalam mengelola keuangan. Lebih Bahagia Sebelumnya, para peneliti dari Michigan State University telah menemukan bahwa orang yang sudah menikah cenderung lebih bahagia selama hidup daripada orang yang belum menikah. Studi ini diterbitkan dalam Journal of Research in Personality baru-baru ini. Menurut para peneliti, pernikahan tampaknya untuk melindungi terhadap penurunan normal dalam kebahagiaan saat dewasa. "Studi kami menunjukkan bahwa orang rata-rata lebih bahagia daripada mereka tidak menikah," ujar Stevie C.Y. Yap, seorang peneliti dari departemen psikologi MSU seperti dilansir ScienceDaily baru-baru ini. Pandangan ini dibuktikan secara ilmiah oleh para peneliti di Michigan State University (MSU) yang dirilis di Journal of Research in Personality.*

Rabu, 26 Desember 2012

5 JENIS DIAM YANG HARUS KITA WASPADAI

Ada yang bilang "DIAM adalah EMAS". Apakah Sahabat semua setuju? Sesungguhnya diam itu sangat bermacam-macam penyebab dan dampaknya. Ada yang dengan diam jadi emas, tapi ada pula dengan diam malah menjadi masalah. Semuanya bergantung kepada niat, cara, situasi, juga kondisi pada diri dan lingkungannya. Berikut ini bisa kita lihat jenis-jenis diam: 1. DIAM BODOH Yaitu diam karena memang tidak tahu apa yang harus dikatakan. Hal ini bisa karena kekurangan ilmu pengetahuan dan ketidakmengertiannya, atau kelemahan pemahaman dan alasan ketidakmampuan lainnya. Namun diam ini jauh lebih baik dan aman daripada memaksakan diri bicara sok tahu. 2. DIAM MALAS Diam jenis merupakan keburukan, karena diam pada saat orang memerlukan perkataannya, dia enggan berbicara karena merasa sedang tidak mood, tidak berselera atau malas. 3. DIAM SOMBONG Ini pun termasuk diam negatif karena dia bersikap diam berdasarkan anggapan bahwa orang yang diajak bicara tidak selevel dengannya. 4. DIAM KHIANAT Ini diamnya orang jahat karena dia diam untuk mencelakakan orang lain. Diam pada saat dibutuhkan kesaksian yang menyelamatkan adalah diam yang keji. 5. DIAM MARAH Diam seperti ini ada baiknya dan adapula buruknya, baiknya adalah lebih terpelihara dari perkataan keji yang akan lebih memperkeruh suasana. Namun, buruknya adalah dia berniat bukan untuk mencari solusi tapi untuk memperlihatkan kemurkaannya, sehingga boleh jadi diamnya ini juga menambah masalah. Semoga yang baca ini TIDAK TERMASUK ke dalam orang yang melakukan lima jenis diam di atas. aamiin.

KISAH SEORANG ANAK YANG DIABORSI DI DALAM RAHIM IBU

Bulan 1: Ma, panjangku itu cuma 2 cm, tapi aku udah ada di badan mama... aku sayang mama, bunyi detak jantung mama itu jadi musik terindah yang menemaniku di sini. Bulan 2: Ma, aku udah bisa ngisep jari imutku lho, di sini hangat ma, nanti kalau aku sudah keluar mama janji ya mau main sama aku. Bulan 3: Ma, meskipun aku belum tau jenis kelaminku, tapi apapun aku, aku harap mama dan papa bahagia kelak ketika aku keluar. Jangan nangis ya ma, kalau mama nangis di sini aku juga ikut nangis. Bulan 4: Ma, rambutku sudah mulai tumbuh lho, ini jadi mainan baruku, aku bisa menggerakan kepalaku putar kiri putar kanan. Bulan 5: Ma, mama tadi ke dokter ya, dokter bilang apa? Αpa itu aborsi ma? Αku nggak diapa-apain kan ma? Bulan 6: Mama datang ke dokter itu lagi ya? Ma, tolong kasih tau dokter itu, aku di sini baik-baik aja! Tapi kok dokter itu mulai memasukan benda tajam? Benda tajam itu mulai memotong rambutku ma tolong, aku takut. Benda tajam itu mulai memotong kakiku, sakiit ma. Tapi meskipun aku tidak punya kaki, aku masih punya tangan yang bisa memeluk mama. Ma, benda itu sekarang mulai memotong tanganku, mama tolong aku. Aku janji nggak akan nakal ma. Tapi, meskipun aku tidak punya tangan dan kaki, aku msh punya mata dan telinga untuk melihat senyum mama, mendengar suara mama, tapi.. Benda itu sekarang sudah mulai memotong leherku, mama.. Ampun ma.. Beri aku kesempatan hidup, aku sayang mama, aku pengen meluk mama. Bulan 7: Ma, aku di sini baik-baik aja, aku udah sama Tuhan di surga, Tuhan mengembalikan semua organ tubuhku yang dipotong benda tajam itu, Tuhan memeluku, memegang tanganku, menggendongku dengan lembut dan Tuhan membisikan tentang apa itu aborsi. Kenapa mama tega melakukan itu? Kenapa mama nggak mau main sama aku? Αpa salah aku ma? Mama taubat yah, biar Tuhan mau antar mama ke sini, nanti kita main bareng-bareng di sini, dan jangan lupa, ajak papa juga ya ma. PANTASKAH SEORANG BAYI YANG BELUM SEMPAT TERLAHIR KE DUNIA INI MENDAPATKAN PERLAKUAN SEKEJI ITU DARI ORANG TUA KANDUNG NYA? [SILAKAN DIRENUNGKAN!]

AKHIR PENYESALAN SEORANG ISTRI

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy! Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa tabungan dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.” Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

TIPS AGAR KITA TETAP DAN SELALU OPTIMIS

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Dalam hidup pasti ada masalah yang akan kita hadapi. Dan Setiap orang mempunyai masa-masa sulit yang harus disikapi dengan tetap optimis karena hal tersebut sangat penting untuk meraih mimpi besar dalam hidupmu. Ada beberapa tips agar kamu tetap optimis dalam hidup yang pertamax adalah : 1. Selalu bersyukur, Apapun yang terjadi .... Bersyukur adalah suatu hal yang sangat penting yang wajib dilakukan setiap hari, disaat kamu bangun tidur ucapkanlah syukur karena kamu masih dapat merasai hembusan bayu pagi. Kadang seseorang lebih mudah untuk menemukan 1000 alasan untuk mengeluh, daripada alasan untuk merasa bersyukur di masa yang sulit. Jika kamu masih merasa sulit untuk bersyukur, lihatlah sekitarmu, masih banyak orang yang sayang dan mencintaimu, dan berilah sedikit hiburan kepada diri seperti nonton TV, atau berfikirlah masih banyak orang yang kondisinya lebih memprihatinkan dari dirimu. Inti dari point pertamax adalah TERSENYUMLAH KARENA KAMU TIDAK SENDIRI ^_^ 2. Jangan Mengeluh, focus terhadap masa depan dan Ingat Memori Terindah masa lalu ... Sahabat, Masa sekarang akan menjadi masa lampau satu detik dari sekarang, dan masa depan akan menjadi masa lampau satu detik sesudahnya. Apakah kamu ingin membuat memori positif yang lain dengan melakukan hal yang positif atau hari-hari yang suram dengan terus mengeluh? Terserah kamu, :D 3. Percayalah manusia itu cenderung lebih kreatif saat dalam tekanan ... Ada 2 cara seseorang mengatasi rasa putus asa, ketika seseorang itu berada dalam tekanan mereka akan berusaha mencari cara untuk lebih kreatif. Terkadang mereka melakukan cara yang positif atau negatif. Pertama, cara positif adalah cara untuk mencapai kebahagiaan jangka panjang. sedangkan cara negatif adalah cara untuk mencapai kebahagiaan jangka pendek. Hindari cara-cara yang negatif, karena itu sama dengan menggali kuburmu sendiri. Inget ga lagu "Jangan menyerah" dari D'Massiv, yang bagian lirik ini: " tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik (yakin bahwa) Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasa-Nya, bagi hamba-Nya yang sabar dan tak kenal putus asa". Intinya, semakin optimis dirimu, semakin kreatif juga dirimu nantinya. Dengan kata lain, kamu dapat menemukan ide-ide bagus saat kamu berada dalam masalah. Optimislah! 4. Baca cerita-cerita tentang orang-orang yang melalui masa sulit dan menjadi orang sukses ... Baca cerita mereka dan pelajarilah apa yang mereka lakukan untuk mengatasi masalah. Kamu akan mendapatkan banyak wawasan dari situ. Tetapi, jangan cuma bersemangat sebentar setelah kamu membaca. Latihlah itu di hidupmu dan kamu akan memiliki hidup yang jauh lebih baik. 5. Tetap Cool, Jangan Panik ... Seorang yang panik cenderung membuat segalanya semakin buruk. Rebahkan badanmu, tutup matamu dan ambil napas dalam-dalam. Dengan melakukan ini, tubuhmu akan menurunkan kadar hormon stress, kortisol dan adrenalin. Kamu akan merasa tenang. Jika kamu seorang muslim, lungkan sedikit masa untuk solat sunah, cukup 2 rakaat dan berdzikirlah lalu bacalah ayat-ayat cinta dan hikmah dalam kitabnya :-) 6. Lakukan hal-hal yang kamu sukai ... Tentu saja kamu memiliki hobi atau sesuatu yang kamu senang lakukan. Aku menyarankan kamu melakukannya! Itu akan sangat menolongmu untuk membuat pikiranmu rileks. Jangan biarkan masalahmu menindasmu. 7. Tetap berdoa .... Manusia memiliki batas. Jika kamu merasa kamu tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Hal terbaik yang perlu dilakukan adalah berdoa. Berharaplah Tuhan akan membukakan jalan karena kamu sudah berusaha sekuat tenaga. Sahabat ... Tetaplah selalu OPTIMIS, tapi jangan kamu lupa untuk terus BERUSAHA .. jangan patah semangat, sembari di ikuti dengan doa kepada ALLAH .. Karena sesusah2nya kita, dibelahan bumi lainnya pasti ada yg lebih susah di bandingkan kita .. jika mereka tidak gampang menyerah dalam hidupnya. .. kitapun harus belajar untuk tidak mudah menyerah... Berdoa sudah seharusnya dilakukan setiap hari, apapun kondisinya, tidak perlu menunggu saat susah. Berbuat baik dan selalu mohon ampun kepada Tuhan, maka engkau akan ditolong oleh-Nya dari jalan yang tidak pernah kamu duga ... Jika kita sedang merasa sulit, lihatlah ke sekitar kita. Maka akan akan menyadari bahwa anda 'dikepung' oleh begitu banyak kebaikan dan peluang yang bisa dimanfaatkan ... Ada pesan dari seseorang, manusia itu adalah medan magnet yang sangat besar, yang mampu menarik hal-hal positif maupun negatif dengan sangat cepat. Maka dari itu sebisa mungkin didalam kondisi sulit ataupun tidak usahakan untuk tidak berpikiran negatif, maupun berkeluh kesah, lebih baik Berfikir positif .... keep smile .. keep spirit .. keep istiqomah all day ..

7 KEAJAIBAN DUNIA VERSI AL QUR"AN

Kadang kita begitu takjub dengan hasil kerja manusia, kerja kita sendiri .. Sehingga kita begitu takjub dengan diri sendiri, ini tidak bijaksana. Selayaknya kita juga perhatikan hasil ciptaan Allah SWT, yang ada dalam diri kita sendiri ataupun yang terhampar di penjuru langit dan bumi. Sehingga kita akan benar-benar takjub MELIHAT KEKUASAAN dan KEBESARAN-Nya..dan menjadikan diri ini TUNDUK dan PATUH pada-Nya. Silahkan disimak kisah berikut ini: Sekelompok siswa kelas geografi sedang mempelajari ‘Tujuh Keajaiban Dunia’. Pada awal dari pelajaran, mereka diminta untuk membuat daftar apa yang mereka pikir merupakan ‘Tujuh Keajaiban Dunia’ saat ini. Walaupun ada beberapa ketidak sesuaian, sebagian besar daftar berisi sbb : 1] Piramida 2] Taj Mahal 3] Tembok Besar Cina 4] Menara Pisa 5] Kuil Angkor 6] Menara Eiffel 7] Kuil Parthenon Ketika mengumpulkan daftar pilihan, sang guru memperhatikan seorang pelajar, seorang gadis yang pendiam, yang belum mengumpulkan kertas kerjanya. Jadi, sang guru bertanya kepadanya “Apakah dia mempunyai kesulitan dengan daftarnya?” Gadis pendiam itu menjawab, ‘Ya, sedikit. Saya tidak bisa memilih karena sangat banyaknya.. ‘keajaiban itu’.. “. Sang guru berkata,”Baik, katakan pada kami apa yang kamu miliki, dan mungkin kami bisa membantu memilihnya”. Gadis itu ragu sejenak, kemudian membaca, “Saya pikir, ‘Tujuh Keajaiban Dunia’ itu adalah : 1] Bisa melihat, 2] Bisa mendengar, 3] Bisa menyentuh, 4] Bisa menyayangi, 5] Bisa merasakan, 6] Bisa tertawa, dan 7] Bisa mencintai Ruang kelas tersebut sunyi seketika….. Alangkah mudahnya bagi kita untuk melihat pada HASIL KARYA MANUSIA dan menyebutnya ‘KEAJAIBAN’. Sementara kita lihat lagi semua yang telah TUHAN KARUNIAKAN untuk kita, kita menyebutnya sebagai ‘BIASA’. >>Semakin kita mempelajari AYAT-AYAT (tanda-tanda) Allah dalam FIRMAN-Nya (Ayat Qauliyah) dan juga AYAT-AYAT Allah yang terhampardi UFUK LANGIT dan BUMI serta apa yang ada di dalam DIRI kita (Ayat Kauniyah), semakin menyadari begitu kecilnya kita dan begitu besarnya Allah Sang Pencipta. Firman Allah: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka TANDA-TANDA (kekuasaan dan kebesaran) Kami di segenap ufuk (LANGIT dan BUMI) dan pada DIRI mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah BENAR. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” ( QS 41:53)

Senin, 05 Maret 2012

Sejarah Penulisan Kitab Suci

Pembuktian bahwa Pentateukh, kitab Yosua, Hakim-Hakim, Rut, Samuel dan Raja-Raja tidak benar, setelah itu juga akan dibahas apakah kitab-kitab itu ditulis oleh banyak orang atau satu orang.
Dalam fasal lalu, kita telah membahas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang melandasi pengetahuan tentang kitab suci. Di sana juga telah kita jelaskan bahwa dasar dan prinsip itu tidak lain kecuali pengetahuan historis kritis tentang kitab suci itu. Tapi sayang, orang ­orang terdahulu meremehkan pengetahuan ini meskipun sangat penting. Dan meskipun mereka pernah menulis kemudian mentranmisikannya, tetapi telah hilang ditelan waktu. Akibatnya hilang juga dari kita sebagian besar dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip itu. Sebetulnya hal ini masih bisa ditolerir kalau saja para penerus tetap moderat dan secara jujur mentransmisikan kepada generasi akhir yang sedikit itu tanpa mencampurinya dengan pernyataan yang dia buat-buat. Pengkhianatan mereka inilah yang sebetulnya membuat data-data historis tentang kitab suci itu kurang bahkan bohong. Atau dalam kata lain, prinsip­prinsip yang melandasi pengetahuan tentang kitab suci itu bukan saja tidak cukup secara kuantitas sehingga tidak bisa dipakai landasan bagi sesuatu yang sempurna, tetapi juga cacat secara kualitas. Maka dari itu, kami bertekad untuk meluruskannya sekaligus membersihkan teologi dari penilaian masa lalu yang populer. Tetapi kami takut jika usaha kami ini datang terlambat. Kondisi saat ini sudah sampai kepada batas di mana orang-orang tidak tahan lagi melihat ada orang yang meluruskan pandangan-pandangan mereka tentang agama. Dengan keras kepala mereka membela penilaian-penilaian terdahulu tertentu yang mereka pegang atas nama agama. Tidak ada tempat bagi akal kecuali pada segelintir orang saja. Sebaliknya penilaian-penilaian terdahulu tersebar luas di masyarakat. Meski begitu kami akan terus berusaha sampai akhir. Tidak ada alasan untuk betul-betul putus asa.

Agar kajian ini berjalan secara teratur akan dimulai dari penilaian penilaian terdahulu mengenai siapa saja yang menulis kitab suci. Untuk itu akan dimulai dengan orang­orang yang menulis kitab yang lima (Taurat). Orang-orang hampir semuanya meyakini bahwa yang menulis kitab-kitab itu adalah Musa. Bahkan kaum Farisi membela pendapat ini dengan penuh semangat. Untuk itu mereka menganggap orang yang berkeyakinan selain itu telah kafir. Karena alasan ini Ibnu Ezra, seorang yang berpikir cukup bebas, ilmunya tidak bisa diremehkan dan sepengetahuan kami dialah yang pertama-tama mengetahui kesalahan ini, tidak mengungkapkan pendapatnya secara terus terang, sebaliknya hanya cukup dengan menyinggungnya dengan kata-kata yang samar. Kalau tidak takut untuk menjelaskannya dan menampakkan kebenaran dengan terang. Inilah kata-kata Ibnu Ezra saat menjelaskan kitab U langan, "Di seberang sungai Yordan... kalau saja kamu mengetahui rahasia dua belas... hukum Taurat dituliskan oleh Musa... waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu... Di atas gunung TUHAN, akan disediakan... ranjangnya adalah ranjang dari besi, saat itu kamu akan mengetahui kebenaran." Dengan kata-kata yang sedikit ini dia menjelaskan sekaligus membuktikan bahwa Musa bukanlah penulis kitab yang lima, sebaliknya penulisnya adalah orang lain yang hidup jauh setelahnya, sedangkan Nabi Musa sendiri telah menulis kitab lain yang betul-betul berbeda. Untuk membuktikan pernyataannya itu dia menyebutkan:

Musa tidak pernah menulis mukadimah kitab Ulangan karena tidak pernah menyeberangi sungai Yordan. 1)

Seluruh kitab Nabi Musa as. yang asli dipahatkan dengan sangat jelas di tepi satu mezbah (altar) (Ulangan 27, Yosua 8:32)2) yang terdiri dari dua belas batu sesuai dengan jumlah imam. Hal ini berarti bahwa kitab Nabi Musa yang asli jauh lebih kecil daripada lima kitab yang beredar saat ini. Inilah barangkali yang dimaksudkan oleh Ibnu Ezra dalam kata-katanya, "kalau saja kamu mengetahui rahasia dua belas" kecuali jika dia memaksudkan dua belas kutukan yang tersebut dalam fasal sebelumnya dalam kitab Ulangan. Ibnu Ezra barangkali menyangka bahwa pada awalnya semua kutukan itu tidak dimasukkan ke dalam kita hukum. Baru setelah M usa membukukan kitab hukum, dia memerintahkan orang-orang Lewi untuk membacanya demi memaksa rakyat agar bersumpah untuk menerapkan hukum. Dua belas yang dimaksud oleh Ibnu Ezra itu bisa jadi juga fasal terakhir dari kitab Ulangan yang membahas kematian Musa. Fasal ini terdiri dari dua belas ayat. Namun tidak ada manfaatnya kita terlalu mencurahkan perhatian kepada dugaan-dugaan ini begitu juga dugaan-dugaan yang diciptakan oleh orang lain.

Seperti kita tahu, Ibnu Ezra juga menyebutkan bahwa dalam kitab Ulangan ada ayat yang mengatakan, "hukum taurat dituliskan oleh Musa" (12:9-10). Mustahil kiranya, kalimat ini ditulis oleh Musa as. sendiri. Kata-kata ini pasti ditulis oleh orang lain yang menceritakan sabda-sabda dan pekerjaan­ pekerjaan Musa.

Ibnu Ezra menyebutkan ayat dari Kitab Kejadian (12 : 1) yang menceritakan perjalanan Nabi Ibrahim as. di negeri Kanaan lalu menyebutkan komentar penutur yang berbunyi, "waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu..." (Kejadian 12 : 6). Komentar ini menunjukkan dengan jelas bahwa kondisi ketika kitab itu ditulis sudah berubah, yakni orang Kanaan sudah tidak berada di negeri itu lagi. Kata-kata ini pasti ditulis setelah kematian Musa dan setelah orang­ orang Kanaan diusir dan tidak menduduki daerah ­daerah itu lagi. Maksud ini diisyaratkan oleh Ibnu Ezra dengan mengatakan, "waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu..." Tapi bisa jadi sang penutur memaksudkan bahwa Kanaan cucu Nuh menguasai negeri ini, setelah sebelumnya dikuasai oleh orang lain. Jika tidak, maka di sana ada rahasia yang tidak boleh diungkapkan oleh orang yang mengetahuinya. Maksudnya, jika Kanaan cucu Nuh menguasai belahan bumi itu, dan sang penutur ingin menjelaskan keadaannya tidak seperti itu ketika dikuasai oleh bangsa lain. Adapun, jika ternyata Kanaan adalah orang yang pertama-tama bertani di daerah-daerah itu (seperti disebutkan dalam fasal 10 dari kitab Kejadian)3) maka maksud penutur adalah bahwa keadaannya sudah tidak begitu lagi saat menulis. Dengan demikian penulis kitab itu bukanlah Musa. Pada masanya orang-orang Kanaan masih menduduki tanah itu. Inilah rahasia yang disembunyikan oleh Ibnu Ezra.

Dalam kitab Kejadian (22:14)4) disebutkan bahwa gunung Moria dinamai dengan gunung TUHAN.5) Padahal nama itu baru dipakai setelah pembangunan kuil dimulai, yaitu jauh setelah zaman Musa. Bahkan Musa tidak pernah menunjukkan tempat yang dipilih oleh TUHAN, dia hanya meramalkan bahwa TUHAN akan memilih suatu tempat yang memakai nama TUHAN.

Terakhir, dia menyebutkan bahwa dalam kitab Ulangan ada kata-kata yang ditambahkan oleh penulisnya ke dalam kisah Og raja Basan. "Hanya Og, raja Basan, yanq tinggal hidup dari sisa-sisa orang Refaim.6) Sesungguhnya, ranjangnya adalah ranjang dari besi, bukankah itu masih ada di kota Raba bani Amon? Sembilan hasta panjangnya dan empat hasta lebarnya, menurut hasta biasa. " (Ulangan 3 : 11). Tambahan ini menunjukkan bahwa penulisnya hidup jauh setelah Nabi Musa as. wafat. Gayanya dalam bercerita adalah gaya seorang penulis yang menceritakan kisah-kisah kuno sekali. Untuk meyakinkan kebenaran kisahnya itu dia menyebutkan peninggalan-peninggalan yang masih ada hingga saat kisah itu diceritakan. Di samping itu, tidak diragukan lagi bahwa ranjang dari besi itu baru ditemukan pada masa Nabi Daud as. yang menguasai kota Raba itu (II Samuel 12 : 30). Selanjutnya, tambahan ini juga bukan satu-satunya. Tidak lama kemudian, sang penutur menambahkan ke dalam kata-kata Musa penjelasan berikut ini: “ Yair anak Manasye, mengambil seluruh wilayah Argob sampai daerah orang Gesur dan orang Maakha, dan menamai daerah itu, menurut namanya sendiri, sebabagaimana juga menamainya dengan Basan, sampai sekarang di sana masih ada beberapa desa yang bernama Yair. " Penulis katakan, si penutur kitab suci menambahkan kata-kata ini untuk menjelaskan kata-kata Musa yang tersebut sebelumnya. Yaitu, "Dan yang masih tinggal dari Gilead beserta seluruh Basan, kerajaan Og, yakni seluruh wilayah Argob, aku berikan kepada suku Manasye yang setengah itu. Seluruh Basan ini disebut negeri orang Refaim." Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang Ibrani yang sezaman dengan penulis kitab ini mengetahui negeri Yair yang berafiliasi ke kabilah Yehuda. Tetapi mereka tidak tahu bahwa negeri itu pernah dikuasai oleh Argob dan bahwasanya dia adalah tanah Refaim. Oleh karena itu penulis terpaksa menjelaskan negeri yang dulu dinamai dengan nama itu. Di waktu yang sama dia juga harus menjelaskan mengapa pada waktu itu oleh penduduknya dinamai Yair padahal mereka berafiliasi ke kabilah Yehuda bukan Manasye (lihat I Tawarikh 2:21-22).7)

Demikianlah, kita telah menjelaskan pendapat Ibnu Ezra, juga ayat-ayat dari lima kitab yang dia sebutkan untuk menguatkan pendapatnya ini. Tetapi rupanya dia lupa menyebutkan hal yang lebih penting. Masih ada beberapa catatan lain yang lebih penting yang bisa diberikan kepada lima kitab itu. Misalnya:

Kitab suci tidak hanya menceritakan Musa dengan kata ganti orang ketiga, tetapi lebih dari itu dia memberikan banyak kesaksian mengenai dirinya, seperti: "TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka" (Keluaran 33:11), "Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi" (Bilangan 12:3), "Maka gusarlah Musa kepada para pemimpin tentara itu" (Bilangan 31:14), "Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN" (Ulangan 34:5). Lain halnya dengan gaya penuturan di kitab Ulangan yang memuat hukum yang diterangkan oleh Musa kepada rakyat dan sebelumnya dia tulis sendiri. Musa menggunakan gata ganti orang pertama ketika menceritakan hal-hal yang dia lakukan. Misalnya dia mengatakan, "...seperti yang difirmankan TUHAN kepadaku." (Ulangan 2:1). "...aku mohon kasih karunia dari pada TUHAN..." (Ulangan 3:23). Kecuali di bagian akhir dari kitab ini. Setelah menyampaikan kata-kata Musa, menceritakan bagaimana dia menyampaikan hukum syariat yang telah dia jelaskan secara tertulis kepada rakyat kemudian memberi peringatan terakhir dan tidak lama kemudian mati, sang penulis kitab ini masih belurr berhenti. Semua itu, yakni cara berbicara, kesaksian­kesaksian dan seluruh kumpulan kisah itu mengundang keyakinan bahwa Musa tidak pernah menulis kitab-kitab ini. Yang menulisnya adalah orang lain.

Harus kita sebutkan juga bahwa penuturan ini tidak hanya menceritakan kematian Musa, penguburannya dan berkabung selama tiga puluh hari saja tetapi juga menuturkan keunggulan Nabi Musa as. jika dibandingkan dengan nabi-nabi Yahudi lain yang datang setelahnya. "Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang banqkit di antara orang Israel..."(Ulangan 34 : 10) Tentu saja kesaksian ini tidak mungkin diberikan oleh Nabi Musa as. sendiri atau bahkan oleh orang yang datang langsung setelahnya. Kesaksian seperti ini selayaknya datang dari orang yang hidup berabad-abad setelah beliau dan telah membaca kisah nabi­ nabi Bani Israel yang diungguli oleh Nabi Musa itu. Bahkan penutur kisah itu menggunakan ungkapan yang sangat jelas, yaitu: "...tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel" (Ulangan 34:10). Sedang mengenai kuburannya, "...dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini"(Ulangan 34:6).

Nama sebagian tempat yang tersebut dalam kitab Taurat belum dipakai pada masa Nabi Musa as. tetapi baru digunakan jauh setelah itu. Misalnya kisah Nabi Ibrahim as. yang mengejar musuh-musuhnya hingga kota Dan (Kejadian 14 : 14). 8) Nama ini baru dipakai jauh setelah kematian Yosua bin Nun, pembantu dan khalifah Nabi Musa as. Sedang nama aslinya adalah Lais (Hakim-hakim 18 : 29). 9)

Kisah yang dituturkan dalam Taurat terkadang terus berlanjut hingga setelah kematian Nabi Musa as. Misalnya dalam kitab Keluaran disebutkan bahwa orang Israel makan manna empat puluh tahun lamanya, sampai mereka tiba di tanah yang didiami orang; mereka makan manna sampai tiba di perbatasan tanah Kanaan (Keluaran 16:35). 10) Padahal masa ini adalah masa yang dituturkan oleh kitab Yosua (Yosua 5 : 12).11)

Kitab Kejadian juga menuturkan, "Inilah raja-raja yang memerintah di tanah Edom, sebelum ada seorang raja memerintah atas oranq Israel" (Kejadian 36 : 31). Tidak diragukan lagi bahwa penutur kisah ini berbicara tentang raja-raja yang memerintah orang-orang Edom 12) sebelum ditaklukkan oleh Nabi Daud as. (II Samuel 8 : 14). 13)

Dari semua catatan ini terlihat jelas, sejelas siang, bahwa Musa tidak pernah menulis lima kitab itu. Sebaliknya, kitab-kitab itu ditulis oleh orang yang hidup berabad-abad setelahnya. Namun demikian, jika mau, silakan cari dengan lebih teliti kitab-kitab yang ditulis oleh Musa sendiri dalam lima kitab itu. Pertama-pertama, dalam Keluaran (17:14)14) diceritakan dengan pasti bahwa Musa menulis sesuatu tentang perang melawan Amalek atas perintah Allah, tetapi tidak disebutkan kitab apa yang ia tulis itu. Namun, dalam kitab Bilangan (21:14)15) disebutkan adanya suatu kitab yang bernama Peperanqan Tuhan yang sudah barang tentu memuat perang melawan Amalek dan seluruh proses pembuatan kemah yang menurut kesaksian penulis lima kitab di dalam kitab Bilangan (33:2)16) bahwa Musa telah menyampaikannya secara tertulis.

Metode Tafsir Bibel

Semua orang mengakui bahwa kitab suci adalah firman Tuhan. Sebagaimana juga mengakui bahwa kitab suci itu mengajarkan kebahagiaan rohani yang hakiki dan menunjukkan jalan keselamatan. Namun, ternyata perilaku manusia menunjukkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan hal itu. Jika dicari sebabnya akan ditemukan bahwa hal itu karena masyarakat umum sama sekali tidak berusaha untuk hidup sesuai dengan aturan­aturan kitab suci. Kita semua tahu bahwa hampir semua orang telah mengganti firman Allah dengan bidah-bidah mereka sendiri. Sebagaimana juga tahu bahwa mereka telah memeras semua tenaganya atas nama agama untuk memaksa orang lain agar berpikir seperti dirinya.

Dapat dikatakan, kita semua melihat mayoritas imam (robi; hakham) sibuk mencari jalan untuk mengekstrak bidah-bidah pribadi dan kesimpulan-kesimpulan serampangan mereka dari kitab suci dengan cara menakwilkannya secara paksa kemudian meligitimasinya dengan kedaulatan Tuhan. Mereka tidak akan begitu perhatian dan begitu berani dalam masalah lain sebagaimana perhatian dan keberaniannya dalam menafsirkan kitab suci yang berarti juga menafsirkan pikiran Roh Kudus itu. Satu-satunya hal yang mereka takutkan dari perbuatan mereka ini adalah adanya orang lain yang menunjukkan bahwa perbuatan itu salah, dan setelah itu akan melihat musuh-musuh mereka meruntuhkan kekuasaan mereka, sedang mereka sendiri menjadi bahan hinaan orang lain. Inilah satu-satunya hal yang mereka takutkan. Mereka sama sekali tidak takut jika ternyata menyandangkan ajaran akidah batil kepada Roh Kudus secara salah atau menyimpang dari jalan keselamatan.

Sebenarnya, jika semua orang jujur dalam kesaksian mereka terhadap kebenaran kitab suci, niscaya mereka akan mempunyai cara hidup yang berbeda sama sekali. Jiwa mereka tidak akan bergoncang, tidak akan bertikai dengan penuh kebencian seperti ini, tidak pula dikuasai oleh keinginan yang membabi-buta dalam menafsirkan kitab suci dan menyingkapkan bidah-bidah dalam agama, bahkan tidak akan berani mempercayai suatu pendapat yang tidak diakui oleh kitab suci dengan betul-betul jelas sebagai salah satu akidah. Lalu, akhirnya para penoda masalah-masalah sakral yang terbiasa mengubah kitab suci di bagian sana­sini pun akan berhenti melakukan kejahatan seperti ini dan tidak meletakkan tangan-tangan kotor mereka di atas kitab suci itu. Hanya ambisi kejahatanlah yang menjadikan agama untuk membela bidah-bidah manusia. Bukan ketaatan kepada Roh Kudus. Bahkan ambisi itu pula yang menjadikan agama sebagai alat untuk menebarkan segala jenis perpecahan dan kebencian antar manusia. Padahal seharusnya menyebarkan kebaikan. Yang lebih naif lagi, semua kejahatan ini dilakukan di balik kedok semangat beragama dan iman yang menyala-nyala.

Selain kejahatan-kejahatan itu masih ada lagi khurafat atau takhayul yang menganjurkan untuk menghina hukum alam dan akal serta menganjurkan untuk menghormati hal-hal yang bertentangan dengan keduanya. Dari sini, tidak mengherankan -jika untuk menambah rasa hormat kepada kitab suci itu- orang-orang berusaha memberikan kepadanya suatu penafsiran yang sejauh mungkin bisa nampak bertentangan dengan akal itu sendiri. Oleh karena itu, ada banyak orang yang memimpikan adanya rahasia sangat dalam yang disembunyikan oleh kitab suci. Akibatnya, mereka memeras daya upaya untuk mereka-reka maksud dari rahasia-rahasia itu. Mereka mengabaikan yang jelas-jelas bisa tercapai demi mencari hal-hal yang tidak bisa dicapai. Lalu, semua bidah yang mereka ciptakan saat mengigau itu pun mereka sandangkan kepada Roh Kudus kemudian mereka pertahankan dengan segala kekuatan dan semangat yang mereka punyai.

Seperti itulah biasanya kondisi manusia. Sesuatu yang mereka peroleh dari nalar murni akan dia bela dengar nalar dan akal pula. Sedangkan keyakinan-keyakinan yang diberikan oleh emosi dia bela dengan emosi pula.

Untuk keluar dari petak umpet ini sekaligus membebaskan pikiran kita dari penilaian masa lalu (stock of mind) para teolog, juga agar kita dengan tanpa sadar tidak mempercayai bidah-bidah manusia seolah ajaran Tuhan, kita harus membicarakan metode yang benar untuk menafsirkan kitab suci. Selain itu, demi mencapai maksud ini, pengetahuan kita tentang kitab suci itu juga harus jelas. Mengapa? Karena, selama tidak mengetahuinya secara jelas, kita tidak akan bisa mengetahui sesuatu yang meyakinkan tentang ajaran-ajaran kitab suci atau Roh Kudus.

Untuk menyingkat pembicaraan, metode ini akan paparkan secara ringkas seperti berikut ini. Pertama, metode ini tidak berbeda sama sekali dengan metode yang kita anut dalam menafsirkan alam/materi. Sebaliknya kedua metode itu sama persis dari segala seginya. Untuk itu, sebagaimana metode penafsiran alam/materi yang secara prinsipil berdiri di atas dasar pengamatan benda, pengumpulan data yang meyakinkan dan terakhir pada definisi benda-benda itu, maka dalam menafsirkan kitab suci kita juga harus mencari pengetahuan historis yang tepat. Setelah mendapatkannya, yakni mendapatkan data­data yang meyakinkan, kita bisa mengetahui kerangka pikiran penulis kitab suci itu. Atas dasar ini, jika ternyata kita tidak menemukan data yang bisa dipakai untuk menafsirkan kitab suci dan menjelaskan kandungannya selain yang diambil dari kitab suci itu sendiri dan sejarah kritisnya, setiap orang dari kita bisa meneruskan kajiannya tanpa harus takut salah. Dia juga bisa menciptakan gambaran tentang sesuatu yang berada di luar daya pemahaman kita dengan derajat keyakinan yang sama dengan keyakinan yang ada pada segala sesuatu yang kita ketahui dengan nalar murni.

Untuk membuktikan bahwa cara ini bukan sekadar meyakinkan. Tetapi lebih dari itu, merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan sekaligus sejalan dengan metode penafsiran alam/materi, kita harus menyebutkan bahwa kitab suci dalam banyak kesempatan, membahas masalah­masalah yang tidak bisa disimpulkan dari data-data yang kita dapatkan melalui nalar murni. Masalah-masalah itu adalah kisah-kisah dan masalah-masalah wahyu yang menempati bagian terbesar dari kitab suci. Kisah-kisah itu secara umum berisi mukjizat-mukjizat atau riwayat-riwayat yang menceritakan kejadian-kejadian yang tidak lazim terjadi di alam, tetapi tetap sesuai dengan pemahaman dan pola pikir para penutur yang membukukan kitab suci itu. Sedang masalah-masalah wahyu telah beradaptasi dengan pendapat-pendapat para nabi dan melampaui batas-batas pemahaman manusia biasa. Untuk itu, kita harus mengambil semua informasi tentang semua hal ini -hampir seluruh isi kitab suci- dari kitab suci itu sendiri. Sama halnya dengan informasi tentang alam/materi yang kita ambil dari alam/materi itu sendiri. Adapun segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran-ajaran etika yang ada dalam kitab suci, meskipun kebenarannya bisa dibuktikan dengar pikiran-pikiran yang populer, kita tetap tidak bisa membuktikan dengan pikiran-pikiran itu bahwa kitab suci memang benar-benar memuatnya. Seperti tadi, masalah ini juga tidak bisa dibuktikan kecuali dengan kitab suci itu sendiri. Sekali pun kita ingin membuktikan kesucian kitab suci tanpa bergantung kepada penilaian masa lalu, kita harus membuktikan dengan kitab suci itu sendiri bahwa dia benar-benar mengajarkan kebenaran etik. Cara ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kesuciannya. Hal ini karena kepercayaan kita kepada nabi pertama-tama bergantung pada tabiatnya yang menyukai keadilan dan kebaikan. Dengan demikian kita harus membuktikan tabiat itu dulu sebelum mempercayai mereka. Selain itu, mukjizat juga tidak mampu membuktikan kesucian Tuhan1). Setelah ini, tidak perlu menyebutkan lagi bahwa nabi pembohong juga bisa membuat mukjizat. Maka dari itu kita harus menyimpulkan kesucian kitab suci dari seruannya kepada keutamaan saja. Dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan kitab suci itu sendiri. Jika belum terlaksana maka kepercayaan kita terhadap kesuciannya bersandar pada penilaian masa lalu (stock of mind) dalam arti yang sebenarnya. Demikianlah, semua pengetahuan kita tentang kitab suci harus bersumber dari kitab suci itu sendiri.

Terakhir, kitab suci sama dengan benda, tidak memberikan kepada kita definisi segala sesuatu yang dibahasnya. Atas dasar itu, sebagaimana kita harus menyimpulkan definisi-definisi benda-benda dari berbagai macam perilaku benda-benda itu, kita harus menyimpulkan definisi-definisi yang tidak diberikan oleh kitab suci itu dari berbagai riwayat yang kita dapatkan mengenai masalah yang sama. Jadi, kaedah umum yang kita pegang dalam menafsirkan kitab suci adalah bahwa kita tidak boleh menyandangkan kepadanya suatu ajaran sebelum melakukan penelitian sejarah, dan hasilnya menunjukkan bahwa ajaran itu memang benar-benar dikatakannya. Sekarang kita akan membahas masalah penelitian sejarah ini. Bagaimana seharusnya dan apa yang bisa kita ketahui darinya.

Harus diketahui karakter dan ciri-ciri bahasa yang dipakai untuk membukukan kitab suci dan yang biasa digunakan oleh para penulisnya. Dengan begitu kita bisa meneliti semua arti yang dimaksud oleh teks menurut pemakaian umum. Karena semua orang yang menulis kitab suci, baik perjanjian lama maupun baru itu berbangsa Ibrani tidak diragukan lagi bahwa mengetahui bahasa Ibrani adalah suatu keharusan. Bukan hanya untuk memahami Perjanjian Lama yang tertulis dalam bahasa ini tetapi juga untuk memahami kitab-kitab Perjanjian Baru. Kitab-kitab yang terakhir ini meskipun beredar dalam bahasa­bahasa lain tetapi masih penuh dengan ungkapan­ungkapan Ibrani yang jumlahnya banyak sekali.

Harus dikumpulkan ayat-ayat kitab tertentu kemudian diklasifikasikan menurut tema-tema pokok tertentu pula yang jumlahnya terbatas. Pengumpulan dan klasifikasi ini dimaksudkan agar kita dengan mudah menemukan semua ayat yang berkaitan dengan tema yang sama. Setelah selesai kita menginjak kepada langkah selanjutnya, yaitu mengumpulkan ayat-ayat mutasyabihat dan mujmal atau yang saling bertentangan satu sama lain. Yang dimaksud ayat mujmal di sini adalah ayat yang sulit dipahami menurut konteks kalimat, bukan ayat yang sulit dipahami menurut akal. Yang kita pertimbangkan di sini adalah arti teks kitab suci dan bukan hakikatnya. Bahkan, dalam rangka mencari arti kitab suci ini, pertama-tama kita harus berusaha agar pikiran kita tidak sibuk melakukan pembuktian-pembuktian berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan naluri (apalagi berdasarkan penilaian-penilaian masa lalu). Selanjutnya, agar tidak mencampuradukkan antara arti suatu ungkapan dengan hakikat sesuatu, kita harus menemukan arti kata itu berdasarkan pemakaian bahasa saja atau pembuktian-pembuktian yang bersandar pada kitab suci semata.
Agar lebih jelas, perbedaan ini akan dijelaskan dengan contoh. Ungkapan-ungkapan Musa seperti, "Allah api" atau "Allah cemburu" adalah sangat jelas jika dilihat dari sisi artinya dalam kalimat itu saja. Ungkapan-ungkapan seperti ini dimasukkan ke dalam kelompok ayat-ayat jelas (muhkam) padahal menurut akal sangat tak jelas. Jika makna harfiah suatu ayat bertentangan dengan cahaya naluri namun tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan asasi yang kita ambil dari kitab suci maka makna harfiah itu harus kita pertahankan. Sebaliknya, jika tafsiran harfiah dari kata-kata itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang kita ambil dari kitab suci maka harus dicari tafsiran lain yang bersifat metaforis, meskipun benar-benar sesuai dengan akal. Untuk mengetahui apakah Musa benar-benar meyakini bahwa Allah adalah api atau tidak, kita harus menyimpulkannya dari perkataan-perkataan lain yang pernah disampaikan oleh Musa, bukan dari kesesuaian dan pertentangannya dengan akal. Dari sini, karena Musa pernah menyebutkan dalam ayat­ayat lain dengan betul-betul jelas bahwa Allah tidak menyerupai benda-benda yang bisa dilihat, baik yang ada di bumi, di langit dan di air, kita harus memahami kata Musa tadi (Allah api, AIlah cemburu) secara metaforis. Meski begitu kita tidak boleh menyimpang dari makna harfiah terlalu jauh. Untuk itu pertama-tama kita harus meneliti apakah kata "Allah api" bisa mempunyai makna lain selain makna harfiah itu? Dengan kata lain apakah kata "Api" bisa dipakai untuk menyatakan hal lain selain api yang biasa kita lihat sehari-hari? Jika pemakaian kebahasaan tidak membolehkan pemberian makna lain, maka apa pun yang terjadi kita tidak boleh memberikan tafsiran lain kepada ungkapan itu, meskipun sangat bertentangan dengan akal. Sebaliknya, makna ini harus kita pakai sebagai dasar penafsiran ungkapan-ungkapan lain, meskipun ungkapan-ungkapan yang terrakir ini sesuai dengan akal. Jika pemakaian kebahasaan ternyata tetap tidak memberikan apa-apa, maka mustahil untuk memadukan ungkapan-ungkapan itu. Selanjutnya kita harus menangguhkan pernyataan kita terhadap semua ungkapan itu. Tetapi, karena kata "api" sendiri bisa berarti "murka" atau "cemburu" (lihat Ayub 31:12)2) maka dengan mudah kita bisa memadukan ungkapan­ungkapan Musa itu. Akhirnya, kita sampai kepada kesimpulan yang sah, yaitu bahwa ungkapan "Allah api" dan ungkapan "Allah cemburu" pada hakikatnya adalah satu ungkapan.
Masih ada satu hal lagi, yaitu Musa dengan terus terang mengatakan bahwa Allah cemburu, sedang dalam kesempatan lain dia tidak pernah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai emosi atau hawa nafsu. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Musa memang meyakini adanya sifat cemburu pada Zat Allah, atau paling tidak ingin menyerukan hal itu, meskipun menurut pendapat kita hal itu bertentangan dengan akal. Sebelum ini telah kita jelaskan, bahwa kita tidak boleh memadukan konsep kitab suci dengan ketentuan-ketentuan akal dan pikiran-pikiran kita yang sudah ada. Mengapa? Karena kita harus mengambil semua pengetahuan tentang kitab suci dari kitab suci itu saja.

Penelitian historis ini harus mempertalikan kitab­kitab para nabi dengan semua situasi penyerta khusus yang masih tersimpan hingga kini. Yakni: riwayat hidup penulis kitab, karakternya, tujuan yang ingin dicapai, siapa dia, dalam kesempatan apa dan kapan dia menulis, untuk siapa dan menggunakan bahasa apa? Selain itu, penelitian tersebut juga harus membahas kondisi-kondisi khusus dari kitab tertentu. Bagaimana mula-mula dikodifikasikan, tangan­tangan siapa saja yang pernah memegangnya, ada berapa naskah yang berbeda dari bagian yang sama, siapa yang memutuskan untuk memasukkannya ke dalam kitab suci, dan terakhir bagaimana seluruh kitab kanonik itu dihimpun dalam satu kumpulan? Penelitian historis harus mencakup semua ini. Karena, untuk mengetahui bagian mana saja yang dianggap undang-undang dan mana saja yang dianggap ajaran-ajaran etika, kita harus mengetahui riwayat hidup para penulis, budi pekertinya dan tujuan yang ingin mereka capai. Di samping itu, kita juga akan lebih mudah memahami perkataan seseorang, jika kita mengetahui keahlian khusus dan pola pikirnya. Lalu, agar tidak mencampuradukkan antara ajaran-ajaran abadi dengan ajaran-ajaran temporal dan untuk kelompok masyarakat tertentu, kita juga harus mengetahui dalam momen apa, kapan, untuk siapa dan pada masa apa, semua ajarar itu ditulis. Terakhir kita harus mengetahui semua kondisi lain yang tersebut tadi agar tahu sejauh mana kita bisa berpegang pada otoritas setiap kitab. J uga agar tahu apakah di sana ada tangan-tangan jahil yang mengubah teks atau -jika tidak diubah- apakah ada sejumlah kesalahan yang menyusup ke dalamnya dan jika ada, apakah ada orang-orang yang cakap dan dapat dipercaya telah membenarkan kesalahan kesalahan itu. Kita harus mengetahui semuanya agar tidak berjalan seperti orang buta hingga gampang terjerumus dalam kesalahan. Juga agar tidak menerima sesuatu kecuali yang meyakinkan dan tidak mungkin dirasuki oleh keraguan.

Setelah dilakukan penelitian seperti inl dan telah diambil keputusan dengan tegas bahwa tidak akan diterima sesuatu yang tidak diteliti atau yang tidak bisa disimpulkan secara jelas bahwa hal itu betul-betul keyakinan para nabi, tibalah saatnya untuk mengkaji pikiran para nabi dan roh kudus. Namun, untuk menjalankan tugas ini dengan mengikuti metode dan aturan yang lazim, kita harus berjalan selayaknya beranjak dari pengamatan benda ke penafsirannya. Untuk itu, karena dalam mengkaji benda, yang pertama-tama kita perhatikan adalah menemukan hal-hal yang paling mencakup, yaitu hal-hal yang dipunyai oleh semua benda, seperti gerak dan diam, juga menemukan hukum-hukum yang selalu dipatuhi oleh semua benda itu, baru beralih ke hal-hal yang sedikit lebih khusus, demikian pula dalam membahas sejarah kitab suci. Pertama-tama kita harus mencari hal-hal yang paling umum, mencari asas atau dasar tempat kitab suci berpijak dan hal-hal yang dipesankan oleh semua nabi sebagai keyakinan abadi dan mempunyai manfaat yang besar bagi seluruh manusia. Hal-hal yang mereka pesankan itu adalah seperti bahwasanya Allah wajib Esa, Mahakuasa dengan kekuasaan mutlak, Dia semata yang harus disembah, melihat segala sesuatu, mencintai orang-orang yang menyembah-Nya dan mencintai tetangganya sebagaimana mencintai diri mereka sendiri. Ajaran-ajaran seperti ini ada di setiap tempat dalam kitab suci dalam kadar kejelasan dan keterusterangan yang maknanya tidak bisa diragukan oleh siapa pun. Adapun mengenai tabiat Allah dan bagaimana cara-Nya dalam melihat dan memelihara segala sesuatu, kitab suci tidak pernah mengatakan tentang hal itu secara terus terang, juga tidak pernah memberikan keyakinan abadi yang berkaitan dengan perkara ini dan perkara-perkara lain yang semisal. Sebaliknya, para nabi sendiri tidak satu kata dalam masalah-masalah ini. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk meyakini perkara-perkara itu sebagai keyakinan yang bersumber dari roh kudus, meskipun bisa dibahas secara lebih baik melalui cahaya naluri.

Demikianlah, jika kita telah mengetahui keyakikan mencakup yang diserukan oleh kitab suci ini dengan pengetahuan yang sebenarnya, kita berpindah ke ajaran-ajaran yang sedikit lebih khusus yang berkaitan dengan urusan kehidupan sehari-hari dan bersumber dari keyakin umum itu seperti parit-parit yang mengalir dari mata airnya. Yang dimaksud dari perkara-perkara itu adalah perbuatan-perbuatan baik yang tidak mungkin diwujudkan jika tidak ada kesempatan untuk itu. Semua ketakjelasan dan keraguan yang kita temukan dalam kitab suci mengenai perbuatan-perbuatan itu harus dijelaskan dan diberi batasan melalui konsep umum yang diseru oleh Alkitab. Jika timbul pertentangan, kita harus mengetahui dalam momen apa, kapan dan untuk siapa teks-teks yang saling bertentangan itu diltulis. Misalnya, ketika Almasih mengatakan, "Berbahagialah oranq yang berduka-cita (orang-orang yang menangis), karena mereka akan dihibur" kita tidak tahu dukacita atau tangis apa yang dia maksud. Tetapi setelah itu dia memberitahukan bahwa kita tidak boleh memperhatikan selain kerajaan Allah dan keadilan-Nya sebagai kebaikan tertinggi (lihat Matius 6:33).3) Dari sini kita tahu bahwa yang dimaksudkan oleh Almasih dengan orang-orang yang berdukacita dalam ayat di atas adalah orang-orang yang menangisi kerajaan dan keadilan Allah karena tidak dikenal oleh manusia. Hanya inilah yang membuat mereka menangis. Selanjutnya, menangisi kerajaan Allah juga berarti mencintai keadilan dan merendahkan berbagai macam kenikmatan dunia.

Sama halnya ketika dia mengatakan, "Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juqa kepadanya pipi kirimu!" Seandainya dia memerintahkan hal itu seperti seorang pembuat hukum yang ingin memberitahukan kehendaknya kepada para hakim berarti telah melenyapkan syariat Musa. Padahal dia sendiri dengan terus terang sudah .melarangnya (Matius 5:17).4) Oleh karena itu kita harus mencari untuk siapa, kepada siapa dan kapan dia mengatakan hal itu. Dalam hal ini yang mengatakannya tentu saja adalah Almasih yang tidak pernah membuat undang-undang selayaknya seorang legislator atau badan legislatif. Sebaliknya dia hanya menyampaikan ajaran­ajaran selayaknya seorang guru. Tujuannya bukan untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan lahir tetapi untuk memperbaiki jiwa atau batin seseorang. Ungkapan itu dia sampaikan kepada orang-orang yang tertindas, hidup di negara yang tidak mengenal keadilan sama sekali dan tampaknya sudah berada di ambang kehancuran. Di sisi lain ungkapan yang mirip dengan ungkapan Almasih yang dia sampaikan pada saat kota Yerusalem terancam hancur ini juga pernah disampaikan oleh Yeremia pada saat penghancuran kota itu untuk yang pertama kali. Dengan kata lain, Yeremia mengatakannya pada kesempatan yang hampir sama.5) Maka, selama para nabi memberikan ajaran-ajaran itu hanya pada waktu penindasan dan tidak pernah merumuskannya dalam bentuk undang-undang. Bahkan Musa yang tidak menulis pada zaman penindasan, sebaliknya tengah berusaha untuk mendirikan negara yang benar, dia memerintahkan untuk membalas mata dengan mata meskipun waktu itu adalah waktu balas dendam dan membenci tetangga. Dari sini tampak jelas dengan sejelas­jelasnya bahwa menurut prinsip-prinsip kitab suci itu sendiri ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Almasih dan Yeremia itu -maksudnya menerima kelaliman dan tidak melawan kejahatan- hanya berlaku pada saat orang-orang tidak menikmati keadilan dan sedang ditindas, bukan pada masyarakat yang sehat. Dengan demikian dalam masyarakat yang sehat dan menjaga keadilan, setiap orang -jika menginginkan keadilan- harus meminta kepada hakim agar menghukum orang yang berbuat aniaya kepadanya (lihat Imamat 5:1).6).Bukan untuk balas dendam (Imamat 19: 17,18).7) tetapi untuk membela keadilan dan undang­undang negara, juga agar para penjahat tidak sempat memetik buah kejahatan mereka.

Semua ini betul-betul sejalan dengan cahaya natural. Sebetulnya masih bisa diberikan berbagai contoh lain mengenai hal ini, tetapi kami melihat bahwa yang disampaikan saat ini sudah cukup untuk memaparkan pikiran kami dan menjelaskan manfaatnya. Dan memang inilah tujuannya saat ini. Hanya saja sampai kini kita baru mejelaskan kemungkinan mempelajari teks-teks kitab suci yang berkenaan dengan urusan-urusan kehidupan. Mempelajari kitab suci dari topik ini adalah mudah. Para penulis kitab suci tidak banyak berbeda. Lain halnya dengan topik-topik lain yang sudah masuk dalam ruang pemikiran teoritis saja. Untuk sampai kepadanya sulit. Jalannya pun sempit. Para nabi tidak sepakat dalam masalah-masalah semacam itu. Penuturan-penuturan mereka tampak disiapkan sejauh mungkin bisa sesuai dengan penilaian masa lalu. Untuk itu kita tidak boleh memahami perkataan seorang nabi dari perkataan nabi lain yang lebih jelas, kecuali jika telah terbukti secara betul­betul jelas bahwa pandangan kedua nabi itu sama.
Sekarang akan dipaparkan secara ringkas bagaimana dalam keadaan yang seperti ini pikiran para nabi juga bisa dipahami melalui sejarah kritis kitab suci. Dalam hal ini kita harus mulai dari elemen-elemen yang pal ing umum, yaitu pertama-tama kita harus bertanya apa itu nabi, apa itu wahyu dan kandunqan utamanya dan apa itu mukjizat. Demikianlah kita telah memulai dengan hal-hal yang paling umum. Dari situ kita turun ke pembahasan yang sedikit lebih khusus yaitu pikiran-pikiran setiap nabi dan selanjutnya berturut-turut kita akan sampai kepada makna setiap wahyu yanq turun kepada seorang nabi, setiap penuturan dan setiap mukjizat. Sebelum ini sudah kita jelaskan dengan banyak contoh sikap hati-hati yang harus kita ambil untuk menghindari kemungkinan tercampurnya pikiran para nabi dengan pikiran para penutur dari satu sisi, serta pikiran roh kudus dan kenyataan yang sebenarnya dari sisi lain. Untuk itu kita tidak perlu menjelaskan lagi di sini. Tetapi ada satu hal yang harus kita perhatikan tentang makna wahyu, yaitu metode kita hanya mengajarkan bagaimana membahas hal-hal yang betul-betul dilihat dan didengar oleh para nabi, bukan hal-hal yang ingin mereka ungkapkan atau permisalkan dengan gambaran-gambaran inderawi. Hal-hal ini hanya bisa diduga-duga dan tidak bisa disimpulkan dari data data utama kitab suci.

Demikianlah kita telah memaparkan metode penafsiran kitab suci. Dalam waktu yang sama juga telah membuktikan bahwa metode itu adalah satu-satunya cara yang bisa digunakan. Dan ternyata juga merupakan cara yang meyakinkan untuk mengetahui maknanya yang hakiki. Kendati begitu kami tetap mengakui bahwa orang-orang yang mendengarkan perkataan atau penjelasan yang sebenarnya dari para nabi secara langsung, seperti yang diakui oleh Kaum Farisi, atau yang mempunyai paus yang maksum (tidak pernah salah) dalam menafsirkan kitab suci, seperti umat Katolik Roma ini mempunyai keyakinan yang lebih besar. Hanya saja, karena kita tidak bisa membuktikan kebenaran perkataan itu, juga tidak bisa membuktikan keabsahan otoritas paus, kita tidak bisa menjadikan keduanya sebagai landasan sama sekali. Bahkan umat Kristen generasi pertama mengingkari otoritas itu, sebagaimana sekte Yahudi terlama juga menolak tradisi ini.8) Jika kita memperhatikan jumlah tahun di mana orang-orang Farisi mentransmisikan dari imam-­imam mereka (belum yang lain), yaitu jumlah yang menyatakan bahwa tradisi ini bermula dari Nabi Musa kita mendapatkan kesalahan dalam hitungan, sebagaimana akan jelaskan dalam tempat lain. Atas dasar ini, kita harus meragukan tradisi ini sejauh mungkin. Sementara itu ada tradisi Yahudi lain menurut metodologi kita harus diduga terbebas dari pemalsuan. Tradisi itu adalah makna kata-­kata Ibrani karena kita dapatkan dari mereka. Jika tradisi pertama mengandung keraguan, makna kata-kata itu tidak bisa dirasuki oleh keraguan apa pun. Hal itu karena seseorang tidak bisa meraih keuntungan dari penggantiar makna kata, sementara itu sering kali mempunyai kepentingan dalam mengganti makna teks. Di samping itu, penggantian pertama juga sangat sulit. Orang yang ingin mengganti makna suatu kata dalam suatu bahasa dia harus menjelaskan semua orang yang menulis dalam bahasa ini dan semua orang yang menggunakan kata ini dalam maknanya yang turun-temurun sesuai dengan pola pikir dan wawasan masing-masing mereka. Atau jika tidak, maka dia harus membuktikan kepalsuan mereka dengan sangat hati hati. Selain itu, bahasa juga terus tersimpan di kalangan orang awam dan kalangan ulama, sementara para ulama saja yang menyimpan makna teks-teks kitab suci itu. Dengan demikian kita bisa membayangkan dengan mudah kemungkinan para ulama untuk mengganti atau menyelewengkan makna teks dalam buku langka yang hanya ada pada mereka. Sementara itu mereka tidak mungkin mengubah makna kata. Masih ada satu hal lagi, yaitu jika seseorang ingin mengubah makna suatu kata yang sudah biasa dia pakai, tidak akan mudah baginya untuk mematuhi makna baru itu dalam semua perkataan dan tulisan selanjutnya. Karena alasan itu semua, kita yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak akan mungkin terdetik dalam benak seseorang untuk mengubah bahasa, sementara itu sangat sering terjadi distorsi pemikiran penulis dengan cara mengubah atau menyalahtafsirkan teks.

Jadi, selama metode kita -yang bertumpu pada kaedah yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang kitab suci itu harus diambil dari kitab suci itu sendiri- adalah metode satu-satunya dan memang benar, kita tidak boleh menggantungkan harapan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak diberikan oleh metode itu kepada metode lain demi mendapatkan pengetahuan menyeluruh tentang kitab suci.

Selanjutnya, kesulitan apa saja yang menghadang metode ini atau apa saja kekurangannya hingga bisa memberikan pengetahuan yang menyeluruh dan meyakinkan? Pertanyaan inilah yang akan kita jawab sekarang.

Pertama, ada kesulitan besar yang timbul karena metode ini menuntut pengetahuan yang sempurna tentang bahasa Ibrani. Mana pengetahuan kita tentang bahasa itu? Para ahli bahasa Ibrani terdahulu sama sekali tidak meninggalkan sesuatu yang berkaitan dengan dasar-dasar dan kaedah-kaedah yang melandasi bahasa ini. Atau paling tidak semua dasar dan kaedah yang mereka tinggalkan itu sudah tiada pada kita lagi. Tidak ada kamus, tidak pula buku tata bahasa atau retorika. Umat Yahudi benar-benar telah kehilangan sesuatu yang bisa membuat mereka terhormat dan bangga kecuali beberapa cuil bahasa dan sastra mereka saja. Hal ini tidaklah mengherankan jika kita memperhatikan banyaknya bencana dan penindasan yang menimpa umat itu. Misalnya, nama buah-buahan, burung, ikan dan banyak nama lain banyak hilang ditelan waktu. Arti kata benda dan verba yang kita temukan dalam Taurat pun juga banyak yang hilang, atau paling tidak dipersilihkan. Arti-arti itu perlu kita ketahui. Demikian juga dengan struktur-struktur khusus yang ada dalam bahasa ini. Tapi ng hampir seluruh ungkapan dan struktur khusus yang digunakan oleh orang-orang Ibrani itu telah dicabut dari ingatan manusia. Oleh karena itu kita tidak bisa, dengan seenak hati, mencari arti setiap kata menurut pemakaian yang berlaku dalam bahasa ini. Sebaliknya, kita banyak mendapatkan ungkapan yang dirangkai dari kata­kata yang betul-betul terkenal, tetapi artinya sangat kabur, tidak bisa diketahui sama sekali. Selanjutnya, selain pengetahuan yang sempurna mengenai bahasa Ibrani itu tidak bisa dicapai, struktur dan karakter bahasa itu juga menimbulkan masalah tersendiri. Di dalamnya banyak sekali kata yang ambigu hingga membuat kita mustahil untuk menemukan suatu jalan yang bisa menentukan arti teks-teks kitab suci secara pasti. Di samping sebab-sebab umum yang dipunyai oleh semua bahasa, bahasa Ibrani mempunyai sebab-sebab khusus yang menimbulkan banyak kata yang artinya tidak jelas itu. kira sebab-sebab itu perlu kita sebutkan di sini.

Pertama, kerancuan dan ketakjelasan arti teks dalam Taurat itu seringkali timbul dari digantinya huruf dalam kata dengan huruf lain yang mempunyai makhraj (artikulasi) yang sama. Orang-orang Ibrani membagi huruf­huruf abjad mereka ke dalam lima kelompok makhraj, sesuai dengan lima organ mulut yang digunakan untuk mengucapkannya, yaitu: dua bibir, lidah, gigi, tenggorokan dan pangkal tenggorokan. Misalnya, huruf (ahlef, Arab: alif), (jimel Arab: jim), (ayen, Arab: 'ain), (heh, Arab: ha') dinamai huruf-huruf tenggorokan. Seringkali salah satu dari huruf-huruf itu dipakai untuk mengganti yang lain seolah tidak ada bedanya. Paling tidak menurut yang kita tahu. Atas dasar ini kata (a-I) yang berarti "ke" dipakai untuk mengganti kata (`a-I) yang berarti di atas. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu seringkali ada sebuah kalimat yang tersusun dari kata-kata yang tak jelas artinya atau malah sekadar suara tanpa arti.

Sebab kedua dari ketakjelasan arti itu adalah banyaknya arti dari satu kata penghubung atau kata keterangan. Misalnya huruf (vav, Arab: waw) bisa dipakai untuk menghubungkan sekaligus memisahkan dua kata. Dengan demikian bisa berarti: dan, karena, meski begitu atau ketika itu...demikian seterusnya.

Ada sebab ketiga yang menimbulkan banyak ketakjelasan arti itu, yaitu bahwasanya verba dalam bahasa Ibrani tidak mempunyai bentuk yang menerangkan masa sekarang, masa lalu masih berlangsung, masa lalu sudah lewat dan masa-masa lain yang biasa terdapat dalam bahasa-bahasa lain. Sebetulnya ada kaedah-kaedah yang disimpulkan dari dasar-dasar bahasa ini yang bisa mengganti keterangan waktu dan bentuk-bentuk yang kurang dengan mudah. Bahkan mempunyai muatan retorika yang tinggi. Tapi ng para penulis terdahulu mengabaikannya sama sekali. Mereka pun memakai verba untuk masa depan untuk menunjukkan masa lalu dan masa kini tanpa pembedaan. Sebaliknya mereka juga menggunakan verba masa lalu untuk masa depan. Akhirnya kata dan ungkapan yang tak jelas artinya itu pun timbul dalam jumlah yang banyak sekali.

Selain tiga sebab ini, masih ada dua sebab lagi yang lebih penting. Pertama, orang-orang Ibrani tidak mempunyai huruf yang berfungsi sebagai hidup. Kedua, mereka tidak terbiasa memenggal perkataan tertulis mereka atau menekankan suatu arti dengan tanda baca. Tidak diragukan lagi bahwa dua kelemahan ini bisa ditutupi dengan pembubuhan titik dan harakat.9) Hanya saja kita tidak boleh mempercayai dua sarana ini, karena yang membuat dan menggunakannya adalah ahli bahasa yang datang jauh kemudian.10) Dengan demikian otoritas mereka tidak ada nilainya sama sekali. Adapun para pendahulu menulis tanpa titik (maksudnya tanpa huruf hidup atau harakat). Banyak bukti yang menyatakan bahwa titik-titik itu dibuat pada masa yang jauh kemudian. Yaitu ketika orang-orang sudah membutuhkan penafsiran Taurat. Dengan demikian, titik-titik yang ada sekarang, demikian juga dengan harakat tidak lain kecuali tafsir-tafsir baru yang tidak boleh kita percayai begitu saja dan tidak memiliki otoritas yang melebihi tafsiran-tafsiran lain. Yang tidak mengetahui hal ini tidak akan tahu kenapa kita harus memaafkan penulis Surat I
Ada kesulitan fain dalam metode ini, timbul dari keharusan tersedianya pengetahuan historis tentang situasi khusus yang menyertai kitab tertentu. Pengetahuan semacam ini biasanya tidak tersedia bagi kita. Bahkan sebenarnya kita sama sekali tidak tahu siapa yang menulis kitab-kitab itu. Atau kalau ingin lebih halus, kita tidak tahu siapa saja orang-orang yang menulisnya atau paling tidak, kita meragukan mereka, sebagaimana akan jelaskan nanti. Dari sisi lain, kita tidak tahu dalam kesempatan apa dan kapan kitab-kitab yang tidak diketahui penulis yang sebenarnya itu ditulis. Kita juga tidak tahu tangan siapa saja yang pernah dihinggapi dan dari siapa datangnya manuskrip-manuskrip asli yang terdiri dari beberapa versi bacaan yang berbeda, kemudian akhirnya kita juga tidak tahu jika di sana ada banyak versi bacaan lain yang berasal dari manuskrip-manuskrip yang berasal dari sumber lain. Di bagian lain dari buku ini telah jelaskan pentingnya semua situasi ini dan sengaja tidak ingin membahasnya lagi disini. Jika kita membaca sebuah buku yang berisi hal - hal yang tidak bisa dipercaya atau tidak bisa diketahui, atau membaca sebuah buku yang mengandung kata-kata yang sangat tidak jelas, akan sia-sia jika kita mencari maksudnya tanpa mengetahui penulisnya, waktu dan momen penulisannya. Kita tidak akan pernah tahu hal- hal- yang dimaksud atau yang mungkin dia maksud oleh penulis tanpa mengetahui semua situasi itu. Sebaliknya, jika kita mengetahui semua itu secara mendetail, kita akan menyusun pikiran kita sedemikian rupa, hingga terberbas dari semua penilaian masa lalu, yakni kita tidak akan memberikan kepada penulis kitab atau orang yang dituju oleh penulisan itu, lebih atau kurang dari yang semestinya. Di samping itu, kita tidak membayangkan adanya suatu tujuan selain yang mungkin diletakkan oleh penulis di depan kedua matanya. kira, ini sudah jelas bagi semua orang. Seringkali kita membaca beberapa cerita yang sangat mirip dalam beberapa buku yang berbeda. Meski begitu penilaian kita terhadap cerita-cerita itu sangat berbeda akibat pandangan kita yang berbeda tentang penulisnya. Di sini teringat pernah membaca dalam sebuah buku yang menceritakan seorang laki-laki bernama Orlando Furioso.13) Dia mempunyai kebiasaan mengendarai seekor naga berp dua yang terbang di angkasa dan melayang ke semua daerah yang dia kehendaki. Seorang diri, dia juga terbiasa memangsa manusia dan raksasa dalam jumlah besar. Cerita ini adalah jenis cerita fiksi yang tidak bisa dipahami oleh akal dari sisi mana pun. Meski begitu, jumlahnya sangat banyak. Dalam salah satu buku Ovid juga pernah membaca cerita yang mirip sekali dengan Persee.14) Cerita ketiga adalah cerita yang tersebut dalam kitab Hakim­Hakim tentang Simson (Samson). Dengan sendirian dan tanpa senjata, dia mampu membunuh seribu orang,15) juga cerita dalam kitab Raja-Raja tentang Elia yang terbang ke angkasa dan sampai di langit dengan mengendarai kuda dan kereta dari api.16) Cerita-cerita ini sangat mirip. Meski begitu penilaian kita terhadap masing-masing cerita itu sangat berbeda. Penulis pertama hanya bermaksud menuturkan kejadian-kejadian fiktif, yang kedua mempunyai tujuan politis, sedang yang ketiga bertujuan memaparkan hal-hal yang sakral. Satu-satunya alasan yana membuat kita meyakini hal ini adalah pandangan yang kita ciptakan terhadap para penulis itu. Sampai di sini kita telah membuktikan bahwa mengenal para penulis masalah masalah yang tidak jelas atau tidak masuk akal itu mutlak diperlukan, terutama untuk menafsirkan tulisan-tulisa mereka. Karena alasan-alasan ini juga, kita tidak bisa memilih versi bacaan yang betul dari berbagai macam versi dari sebuah teks yang mengandung cerita-cerita tak jelas kecuali dari pengetahuan kita tentang sumber manuskrip- manuskrip asli yang memuat versi-versi bacaan itu. Itu pun jika tidak ada versi bacaan lain dalam manuskrip- manuskrip lain yang ditulis oleh para penulis yang memiliki otoritas lebih tinggi.

Kesulitan terakhir dalam menafsirkan kitab dengan metode ini adalah bahwasanya kita tidak memiliki kitab-kitab itu dalam bahasa aslinya, yakni dalam bahasa penulisnya. Menurut pendapat yang berlaku, Injil Matius demikian juga dengan Surat Kepada Orang Ibrani telah ditulis dalam bahasa Ibrani. Namun naskah aslinya telah hilang. Selain itu juga ada tanda tanya mengenai bahasa yang dipakai dalam menuliskan Kitab Ayub. Dalam penjelasan-penjelasannya, Ibnu Ezra (Aben Ezra) memastikan bahwa kitab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dari bahasa lain. Dan inilah sebab ketakjelasan maksudnya. Selanjutnya tidak perlu lagi membicarakan kitab-kitab apokripa karena otoritasnya yang lebih rendah.

Sampai di sini telah dipaparkan semua kesulitan yang timbul dalam metode penafsiran kitab suci dengan penelitian historis terhadap data-data sejarah yang berkaitan dengannya. Kesulitan-kesulitan itu dianggap sangat serius. Oleh sebab itu, tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa banyak sekali teks kitab suci yang tidak kita pahami maksudnya atau kita pahami, tetapi secara global dan tidak mengandung unsur keyakinan. Namun demikian, ingin mengulangi kata-kata bahwa yang bisa dilakukan oleh kesulitan-kesulitan itu adalah menghalangi kita dalam memahami pikiran para nabi tentang hal-hal yang hanya bisa kita bayangkan dan tidak bisa kita ketahui. Berbeda dengan hal-hal yang bisa kita ketahui dengan akal dan bisa kita buat gambarannya dengan mudah. Yang demikian ini, karena hal-hal yang menurut wujudnya bisa diketahui dengan mudah, pengungkapannya tidak akan sulit hingga tidak bisa dipahami. Ada peribahasa yang mengatakan: Satu kata sudah cukup untuk orang yang paham. Atas dasar ini, sangat mudah menjelaskan kata­kata Euclides kepada semua orang. Dalam bahasa apa pun. Yang ditulis hanya sedikit, selain itu juga sangat masuk akal. Untuk mengetahui idenya dan memahami arti yang sesungguhnya, seseorang tidak perlu mengetahui secara sempurna bahasa yang dia pakai untuk menulis. Cukup tahu sekadarnya saja, tidak lebih dari pengetahuan anak-anak. Di samping itu, juga tidak ada gunanya mengetahui riwayat hidup penulis, tujuan yang ingin dia capai, kebiasaan-­kebiasaannya, bahasa yang dia pakai untuk menulis, untuk siapa dia menulis, kapan menulis, kondisi-kondisi yang meliputi buku itu, nasibnya, versi-versi yang ada dan siapa saja yang memutuskan untuk menghimpunnya. Semua yang dikatakan mengenai Euclides ini juga berlaku bagi semua orang yang menulis dalam masalah-masalah yang bisa dipahami berdasarkan wujudnya. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa dengan hal-hal yang bisa kita capai dari pengetahuan historis terhadap kitab suci itu, kita bisa mengetahui konsep kitab suci mengenai ajaran-ajarar etika. Ajaran-ajaran itu bisa kita ketahui dengan pasti. Hal ini karena ajaran-ajaran yang berkenaan dengan takwa yang sebenarnya diungkapkan dengan kata-kata yang paling banyak beredar karena sangat populer dimasyarakat, sangat sedikit dan mudah dipahami. Disamping itu, berhubung keselamatan yang hakiki dan kebahagiaan rohani berada di dalam ketenangan jiwa sedang ketenangan yang hakiki tidak bisa didapatkan kecuali dari hal-hal yang kita ketahui dengan sanga terang, sepertinya kita akan bisa mengetahui secara pasti konsep kitab suci yang berkenaan dengan masalah-masalah pokok dan inti dari keselamatan dan kebahagiaan rohani. Dengan demikian kita tidak perlu mengkhawatirkan masalah-masalah lain. Hal ini, karena seringkali kita tidak bisa memahaminya dengan akal dan nalar, maka sebaiknya kita anggap saja hal-hal itu lebih pantas dimasukkan ke dalam bab hal-hal aneh daripada hal-hal yang bermanfaat.

Sampai di sini sepertinya sudah menjelaskan metode yang benar dalam menafsirkan kitab suci, juga sudah menjelaskan dengan cukup cara untuk memroses masalah ini. Selanjutnya, tidak ada keraguan lagi pada diri bahwa saat ini setiap orang sudah tahu bahwa metode ini tidak memerlukan cahaya selain cahaya naluri. Hal itu karena karakter dan sifat inti dari cahaya ini terbatas pada pembahasan hal-hal yang tak jelas kemudian memecahkannya berdasarkan kesimpulan yang sah dari hal-hal yang sudah diketahui atau hal-hal yang didata sebagai hal-hal yang diketahui. Metode kita memang tidak menuntut sesuatu yang lebih dari ini. Selanjutnya, kita mengakui bahwa metode ini tidak cukup untuk menjelaskan semua yang dikandung oleh Taurat. Tetapi hal itu tidak disebabkan oleh kekurangan yang ada dalam metode, tetapi karena jalan benar dan lurus yang diserunya belum pernah diikuti dan dilalui oleh orang, sehingga dengan perjalanan waktu menjadi terjal, kasar dan hampir tidak bisa dilewati. kira sudah menjelaskan hal itu dengan cukup pada saat menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ada.

Sekarang, kita tinggal meneliti pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat kita. Ada orang yang menyangka bahwa cahaya natural tidak mampu menafsirkan kitab suci. Untuk itu harus ada cahaya yang melampaui batas alam. Adapun seperti apa cahaya yang harus ditambahkan kepada cahaya natural itu, mereka sendirilah yang harus menjelaskannya. pribadi hanya bisa menduga bahwa dengan pendapat itu, sebetulnya mereka - dengan menggunakan ungkapan yang lebih samar- ingin mengakui ketidak yakinan mereka terhadap makna hakiki dari banyak teks dalam kitab suci. Hal ini tampak dari tafsiran-tafsiran mereka yang sama sekali tidak mengandung sesuatu yang melampaui batas alam. Sebaliknya, tafsiran-tafsiran itu hanya dugaan-dugaan. Jika kita bandingkan dengan tafsiran-tafsiran orang-orang yang jelas-jelas mengaku hanya memiliki cahaya natural, kita akan mendapatkan kemiripan. Kedua-duanya adalah karya manusia. Kedua-duanya adalah hasil olah pikir. Adapun yang mereka katakan mengenai ketidak cukupan cahaya natural itu sudah pasti salah. Dari satu sisi, kesulitan-kesulitan dalam menafsirkan kitab suci itu - sebagaimana telah kita jelaskan sebelum ini- tidak timbul dari cahaya naluri, tetapi dari kelambanan -jika bukan kebrengsekan- orang-orang yang meremehkan pencarian pengetahuan historis kritis tentang kitab suci di waktu mereka mampu melakukan hal itu. Dari sisi lain, cahaya yang melampaui batas alam (yang memang diakui oleh semua orang kecuali orang-orang yang keliru) ini adalah anugerah yang hanya diberikan oleh Allah kepada kaum mukminin. Padahal yang biasa dinasihati oleh para nabi dan sahabat itu bukan hanya kaum mukminin, tetapi orang­orang kafir dan fasiq juga. Dengan demikian, dua kelompok terakhir ini juga harus mampu memahami pikiran para nabi dan sahabat. Jika tidak, maka para nabi dan sahabat seolah menasihati anak-anak kecil dan bukan orang dewasa yang sudah akil balig. Undang-undang Musa pun akan sia­sia karena hanya bisa dipahami oleh kaum mukminin yang sebenarnya tidak memerlukan undang-undang sama sekali. Jadi, menurut , mereka yang mencari cahaya yang melampaui batas alam untuk memahami pikiran para nabi dan sahabat itu tidak mempunyai cahaya natural dan dalam waktu yang sama, juga sangat jauh dari kemungkinan mendapatkan anugerah ilahi yang melampaui batas alam.

Ibnu Maimun mempunyai pendapat lain yang sangat berbeda. Dia berkeyakinan bahwa setiap teks dari kitab suci mempunyai banyak arti, bahkan banyak arti yang saling bertentangan. Kita semua tidak bisa mengetahui makna hakiki dari sebuah teks kecuali sebatas yang kita tahu - menurut tafsiran kita- bahwa teks itu tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan akal. Jika dia menafsirkan sebuah teks secara harfiah dan hasilnya bertentangan dengan akal, teks itu harus diberi tafsiran lain meskipun sebetulnya sudah sangat jelas. lnilah yang dia ungkapkan dengan sangat terang dalam fasal 25 jilid 2 dari bukunya Moreh Nebuchim 17) dengan kata-katanya:

"Ketauhilah bahwasanya kita tidak mau menerima konsep kelamaan (qidam) alam karena teks-teks dalam kitab suci tentang penciptaannya. Teks-teks ini tidak jauh berbeda dengan teks-teks yang menyatakan bahwasanya Allah adalah tubuh. Sementara itu tidak ada yang menghalangi kita untuk menakwilkan teks-teks yang menyatakan penciptaan. I
Bisa dibuktikan dengan jelas bahwa Allah itu bukan tubuh. Oleh karenanya semua teks yang arti harfiahnya bertentangan dengan maksud ini harus ditafsirkan. Lain halnya dengan akidah kelamaan alam. Akidah ini tidak mempunyai bukti yang kuat. Dengan demikian tidak perlu dilakukan penakwilan kitab suci secara serampangan agar sesuai dengan sebuah pendapat yang dangkal. Maksudnya pendapat yang membuat kita mempunyai alasan untuk memilih pendapat lain yang berlawanan dengannya.

Keyakinan bahwa Allah itu bukan tubuh tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat... sebaliknya keyakinan bahwa alam itu lama, seperti yang diyakini oleh Aritoteles telah merobohkan pondasi syariat."

Itulah kata-kata Ibnu Maimun yang menampakkan dengan jelas hal-hal yang telah kita katakan. Seandainya saja dia mempunyai dalil aqli atas kelamaan alam niscaya tidak akan segan-segan menakwilkan dan menafsirkan kitab suci secara serampangan hingga membuat akidah itu seolah berasal dari kitab suci itu. Ketika itu dia akan yakin seyakin-yakinnya bahwa kitab suci itu mengisyaratkan kelamaan alam, meskipun dalam hal itu dia berbeda dengan kitab suci. Jadi, dia tidak bisa mempercayai maksud yang sebenarnya dari kitab suci meskipun amat jelas selama terus meragukan hakikat yang dikatakan oleh kitab suci dan selama hakikat itu menurut pandangannya tidak bisa dibuktikan dengan dalil yang kuat. Di sini lain selama tidak ada dalil yang membuktikan hakikat ini kita tidak akan pernah tahu apakah kitab suci itu sejalan dengan akal atau bertentangan dengannya. Selanjutnya, kita juga tidak akan tahu apakah makna harfiah itu benar atau salah. Jika cara penafsiran ini benar, mengakui sepenuhnya bahwa kita semua memerlukan cahaya lain selain cahaya natural. Hal ini karena tidak semua kandungan kitab suci bisa dibuktikan dengan data-data yang kita dapatkan melalui cahaya naluri (seperti telah kita jelaskan sebelumnya). Dengan demikian, cahaya natural itu tidak mampu membuktikan segala sesuatu yang berhubungan dengan bagian terbesar dari kandungan kitab suci, selanjutnya juga tidak mampu membuktikan makna yang benar dari kitab suci dan ide-ide yang ada di dalamnya. Saat itu kita akan membutuhkan cahaya lain. Di samping itu, jika metode Ibnu Maimun ini benar, niscaya masyarakat awam yang biasanya tidak mengenal dalil-dalil dan tidak mampu menelaahnya tidak akan menerima apa pun yang berkaitan dengan kitab suci jika tidak berpegang kepada otoritas para filosof atau kesaksian-kesaksian mereka, tetapi sebelum itu dia harus menganggap para filosof terlindung dari kesalahan dalam menafsirkan kitab suci. Hal ini berarti telah muncul kekuasaan gereja baru, kependetaan baru dan sejenis kepausan. Suatu hal yang lebih banyak mengundang cemoohan orang awam daripada membangkitakan rasa hormat di dalam jiwa mereka. Memang benar, metode penafsiran kita juga memerlukan pengetahuan tentang bahasa Ibrani yang tidak bisa dipelajari oleh masyarakat awam. Namun demikian kritikan itu tidak bisa diajukan kepada kita. Kenapa? Karena umumnya orang Yahudi dan bukan Yahudi yang didakwahi oleh para nabi dan sahabat baik secara lisan maupun tulisan, memahami bahasa mereka dan dengan demikian juga memahami ide-ide mereka. Sementara itu mereka tidak mengetahui dalil-dalil hakikat ajaran-ajaran yang diserukan oleh para nabi dan sahabat itu. Padahal, menurut Ibnu Maimun, dalil-dalil itu harus mereka ketahui dulu jika ingin memahami ide para nabi. Jadi netode kita tidak mengharuskan masyarakat awam untuk bersandar pada kesaksian para ahli tafsir. Masyarakat awam yang maksud ini adalah mereka yang mengetahui bahasa para nabi dan sahabat. Sementara Ibnu Maimun tidak mengakui adanya orang awam yang mengetahui sebab-sebab segala sesuatu dan selanjutnya bisa memahami ide para nabi dengan itu. Adapun mengenai orang-orang awam yang ada pada zaman kita sekarang ini sudah kita jelaskan dalam bagian terdahulu bahwa mereka bisa mengetahui unsur ­unsur dasar dari keselamatan dengan mudah melalui bahasa apapun, meski tidak mengetahui dalil-dalil yang melandasinya. Dengan syarat unsur-unsur itu populer dan mudah diungkapkan dengan bahasa sehari-hari. Kepada pengetahuan inilah -bukan kepada kesaksian para ahli tafsir- orang awam bersandar. Sedangkan dalam masalah­masalah lainnya, nasib orang awam tidak lebih buruk daripada nasib para ulama. Bagaimana pun juga kita harus kembali membahas pandangan Ibnu Maimun. Pertama­tama dia menyangka bahwa para nabi sepakat satu sama lain dalam semua masalah, di samping itu, mereka adalah para filosof dan teolog besar yang mempunyai kemampuan untuk menyimpulkan karena mengetahui hakikat yang sebenarnya. Kedua dia menyangka bahwa maksud kitab suci tidak bisa dijelaskan dengan kitab suci itu sendiri. Hakikat segala sesuatu yang diserukannya tidak bisa dibuktikan dengan kitab suci itu sendiri. Kitab suci tidak membuktikan apa pun, tidak pula mengenalkan masalah­masalah yang dia bahas melalui definisi-definisi dan sebab­sebab pertama. Dengan demikian menurut pendapat Ibnu Maimun, maksud yang sebenarnya dari kitab suci itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa disimpulkan darinya. Dalam fasal ini tampaklah kesalahan penyimpulannya itu. Tadi kita telah kita jelaskan dengan pembuktian dan contoh bahwa makna kitab suci itu tidak bisa dijelaskan kecuali dengannya, tidak pula bisa disimpulkan kecuali darinya saja, meskipun kitab itu berbicara tentang hal-hal yang diketahui oleh cahaya natural. Terakhir, Ibnu Maimun menduga bahwa kita boleh menafsirkan dan menakwilkan kitab suci dengan cara yang dipaksakan, sesuai dengan penilaian penilaian masa lalu kita. Secara sengaja dia menolak arti harfiah dan menggantinya dengan arti lain meskipun arti harfiah itu adalah arti yang paling jelas dan paling mendekati akal. Pembolehan seperti ini tampak ekstrim dan sembrono didepan semua orang, di samping sangat bertentangan dengan hal-hal yang telah kita buktikan dalam fasal ini. Tetapi, biarlah kita menerima kebebasan luas ini, apakah yang dia lakukan? Dia tidak melakukan apa-apa. Kita tidak bisa mengetahui dengan akal masalah-masalah yang tidak bisa dibuktikan, padahal masalah-masalah itu adalah bagian terbesar dari kandungan kitab suci, sebagaimana juga tidak bisa dijelaskan dan ditafsirkan dengan metode Ibnu Maimun. Sebaliknya, dalam banyak kesempatan kita bisa menjelaskannya dengan metode kita dengan penuh rasa yakin sebagaimana telah kita jelaskan dengan dalil dan contoh. Mengenai hal-hal yang bisa diketahui menurut karakternya tanpa memeras tenaga, maksudnya bisa dicapai dengan mudah melalui konteksnya saja, sebagaimana telah kita jelaskan sebelum ini. Dengan demikian metode Ibnu Maimun tidak bermanfaat sama sekali. Di samping juga melenyapkan keyakinan terhadap makna yang sesungguhnya dari kitab suci. Padahal makna itu bisa dicapai oleh orang awam dengan menggunakan metode penafsiran lain. Jadi kita menolak metode Ibnu Maimun karena rusak, tidak bisa diterapkan dan tidak bermanfaat.

Mengenai tradisi yang berlaku di kalangan orang­orang Farisi sebagaimana telah kita sebutkan dalam bagian terdahulu tidak disepakati dalam disepakati di dalam kalangannya ini. Sedang otoritas Paus Roma masih memerlukan dasar hukum yang lebih kuat. Karena ini alasan ini juga menolaknya. Sebenarnya, jika ada orang yang bisa membuktikan kepada kita dengan kitab suci itu sendiri bahwa otoritas paus Roma berlandaskan dalil yang mempunyai kadar kekuatan yang sama dengan dalil otoritas imam-imam Yahudi masa lalu, keyakinan mengenai hal itu tidak akan tergoyahkan oleh kebrengsekan sebagian paus yang fasiq dan kafir. Di antara imam-imam Ibrani itu pun ada juga yang kafir dan fasiq. Kedudukan imam itu mereka capai dengan cara-cara jahat. Meski begitu berdasarkan pesan-pesan kitab suci mereka tetap memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan Alkitab (lihat Ulangan 17:11-12, 32:10 dan Maleakhi 2:8).18) Tetapi karena tidak ada dalil yang semacam ini, keraguan terhadap otoritas paus Roma pun tetap berlaku. Agar orang-orang tidak tertipu oleh sejenis robi kaum Ibrani ini, juga agar tidak berkeyakinan bahwa agama Katolik juga memerlukan seorang robi, kita harus menyebutkan bahwa syariat Musa adalah undang-undang umum sebuah negara. Dengan demikian memerlukan penguasa umum yang menjaganya. Jika setiap orang mempunyai kebebasan menafsirkan syariat sekehendak hati, negara itu tidak akan bertahan, sebaliknya akan pecah dan undang-undang umum itu akan menjadi undang-undang pribadi. Dalam kasus agama, urusannya sangat berbeda. Basis agama bukan amalan-amalan lahir, tetapi kesehatan jiwa. Dari situ dia tidak tunduk kepada undang-undang atau lembaga umum. Seorang manusia tidak bisa dipaksa dengan kekerasan atau undang-undang untuk mendapatkan kebahagiaan rohani. Yang diperlukan dalam masalah itu adalah nasihat-nasihat yang baik, pendidikan yang benar dan sebelum itu semua adalah hak penilaian yang bebas dan sehat. Dengan demikian, karena setiap orang memiliki hak mutlak dalam kebebasan berpikir, termasuk dalam masalah-masalah agama dan mustahil rasanya untuk mencabut hak ini dari seorang manusia, maka setiap orang mempunyai hak dan kekuasaan penuh untuk menilai agama. Setelah itu juga berhak menjelaskan dan menafsirkannya untuk dirinya sendiri. Sebetulnya, satu-satunya alasan yang mejadikan para hakim memiliki kekuasaan tertinggi dalam menafsirkan undang-undang yang berkenaan dengan aturan umum adalah karena ada keterkaitan dengan aturan umum itu sendiri. Karena alasan ini pula setiap orang mempunyai wewenang penuh dalam menafsirkan dan menilai agama karena termasuk dalam lingkup undang-undang pribadi. Atas dasar ini, jika imam umat Ibrani mendapatkan wewenang untuk menafsirkan undang-undang negara, kita sama sekali tidak boleh menyimpulkan bahwa paus Roma juga memiliki wewenang untuk menafsirkan agama. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Dari institusi robi bangsa Ibrani ini dengan mudah bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan penuh dalam urusan agama. Selain itu, kita juga bisa menarik kesimpulan dari keterangan terdahulu bahwa metode kita dalam menafsirkan kitab suci adalah lebih baik. Hal itu karena kekuasaan tertinggi dalam menafsirkan kitab suci berada pada setiap individu, maka tidak diperlukan landasan penafsiran lain kecuali cahaya natural yang dimiliki oleh semua orang. Tidak ada cahaya super natural (di atas alam) dan tidak pula ada kekuasaan luar. Jadi metode ini tidak boleh terlalu sulit hingga menjadi monopoli para filosof yang cerdas saja, tetapi juga harus bisa dipahami oleh tingkat kecerdasan dan kemampuan biasa yang dipunyai oleh semua orang. Pada bagian terdahulu sudah kita jelaskan bahwa metode kita seperti itu. Dan betul-betul terbukti bahwa kesulitan-kesulitan yang kita dapatkan itu timbul karena kesembronoan orang bukan karena metode itu sendiri.