This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 05 Maret 2012

Sejarah Penulisan Kitab Suci

Pembuktian bahwa Pentateukh, kitab Yosua, Hakim-Hakim, Rut, Samuel dan Raja-Raja tidak benar, setelah itu juga akan dibahas apakah kitab-kitab itu ditulis oleh banyak orang atau satu orang.
Dalam fasal lalu, kita telah membahas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang melandasi pengetahuan tentang kitab suci. Di sana juga telah kita jelaskan bahwa dasar dan prinsip itu tidak lain kecuali pengetahuan historis kritis tentang kitab suci itu. Tapi sayang, orang ­orang terdahulu meremehkan pengetahuan ini meskipun sangat penting. Dan meskipun mereka pernah menulis kemudian mentranmisikannya, tetapi telah hilang ditelan waktu. Akibatnya hilang juga dari kita sebagian besar dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip itu. Sebetulnya hal ini masih bisa ditolerir kalau saja para penerus tetap moderat dan secara jujur mentransmisikan kepada generasi akhir yang sedikit itu tanpa mencampurinya dengan pernyataan yang dia buat-buat. Pengkhianatan mereka inilah yang sebetulnya membuat data-data historis tentang kitab suci itu kurang bahkan bohong. Atau dalam kata lain, prinsip­prinsip yang melandasi pengetahuan tentang kitab suci itu bukan saja tidak cukup secara kuantitas sehingga tidak bisa dipakai landasan bagi sesuatu yang sempurna, tetapi juga cacat secara kualitas. Maka dari itu, kami bertekad untuk meluruskannya sekaligus membersihkan teologi dari penilaian masa lalu yang populer. Tetapi kami takut jika usaha kami ini datang terlambat. Kondisi saat ini sudah sampai kepada batas di mana orang-orang tidak tahan lagi melihat ada orang yang meluruskan pandangan-pandangan mereka tentang agama. Dengan keras kepala mereka membela penilaian-penilaian terdahulu tertentu yang mereka pegang atas nama agama. Tidak ada tempat bagi akal kecuali pada segelintir orang saja. Sebaliknya penilaian-penilaian terdahulu tersebar luas di masyarakat. Meski begitu kami akan terus berusaha sampai akhir. Tidak ada alasan untuk betul-betul putus asa.

Agar kajian ini berjalan secara teratur akan dimulai dari penilaian penilaian terdahulu mengenai siapa saja yang menulis kitab suci. Untuk itu akan dimulai dengan orang­orang yang menulis kitab yang lima (Taurat). Orang-orang hampir semuanya meyakini bahwa yang menulis kitab-kitab itu adalah Musa. Bahkan kaum Farisi membela pendapat ini dengan penuh semangat. Untuk itu mereka menganggap orang yang berkeyakinan selain itu telah kafir. Karena alasan ini Ibnu Ezra, seorang yang berpikir cukup bebas, ilmunya tidak bisa diremehkan dan sepengetahuan kami dialah yang pertama-tama mengetahui kesalahan ini, tidak mengungkapkan pendapatnya secara terus terang, sebaliknya hanya cukup dengan menyinggungnya dengan kata-kata yang samar. Kalau tidak takut untuk menjelaskannya dan menampakkan kebenaran dengan terang. Inilah kata-kata Ibnu Ezra saat menjelaskan kitab U langan, "Di seberang sungai Yordan... kalau saja kamu mengetahui rahasia dua belas... hukum Taurat dituliskan oleh Musa... waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu... Di atas gunung TUHAN, akan disediakan... ranjangnya adalah ranjang dari besi, saat itu kamu akan mengetahui kebenaran." Dengan kata-kata yang sedikit ini dia menjelaskan sekaligus membuktikan bahwa Musa bukanlah penulis kitab yang lima, sebaliknya penulisnya adalah orang lain yang hidup jauh setelahnya, sedangkan Nabi Musa sendiri telah menulis kitab lain yang betul-betul berbeda. Untuk membuktikan pernyataannya itu dia menyebutkan:

Musa tidak pernah menulis mukadimah kitab Ulangan karena tidak pernah menyeberangi sungai Yordan. 1)

Seluruh kitab Nabi Musa as. yang asli dipahatkan dengan sangat jelas di tepi satu mezbah (altar) (Ulangan 27, Yosua 8:32)2) yang terdiri dari dua belas batu sesuai dengan jumlah imam. Hal ini berarti bahwa kitab Nabi Musa yang asli jauh lebih kecil daripada lima kitab yang beredar saat ini. Inilah barangkali yang dimaksudkan oleh Ibnu Ezra dalam kata-katanya, "kalau saja kamu mengetahui rahasia dua belas" kecuali jika dia memaksudkan dua belas kutukan yang tersebut dalam fasal sebelumnya dalam kitab Ulangan. Ibnu Ezra barangkali menyangka bahwa pada awalnya semua kutukan itu tidak dimasukkan ke dalam kita hukum. Baru setelah M usa membukukan kitab hukum, dia memerintahkan orang-orang Lewi untuk membacanya demi memaksa rakyat agar bersumpah untuk menerapkan hukum. Dua belas yang dimaksud oleh Ibnu Ezra itu bisa jadi juga fasal terakhir dari kitab Ulangan yang membahas kematian Musa. Fasal ini terdiri dari dua belas ayat. Namun tidak ada manfaatnya kita terlalu mencurahkan perhatian kepada dugaan-dugaan ini begitu juga dugaan-dugaan yang diciptakan oleh orang lain.

Seperti kita tahu, Ibnu Ezra juga menyebutkan bahwa dalam kitab Ulangan ada ayat yang mengatakan, "hukum taurat dituliskan oleh Musa" (12:9-10). Mustahil kiranya, kalimat ini ditulis oleh Musa as. sendiri. Kata-kata ini pasti ditulis oleh orang lain yang menceritakan sabda-sabda dan pekerjaan­ pekerjaan Musa.

Ibnu Ezra menyebutkan ayat dari Kitab Kejadian (12 : 1) yang menceritakan perjalanan Nabi Ibrahim as. di negeri Kanaan lalu menyebutkan komentar penutur yang berbunyi, "waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu..." (Kejadian 12 : 6). Komentar ini menunjukkan dengan jelas bahwa kondisi ketika kitab itu ditulis sudah berubah, yakni orang Kanaan sudah tidak berada di negeri itu lagi. Kata-kata ini pasti ditulis setelah kematian Musa dan setelah orang­ orang Kanaan diusir dan tidak menduduki daerah ­daerah itu lagi. Maksud ini diisyaratkan oleh Ibnu Ezra dengan mengatakan, "waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu..." Tapi bisa jadi sang penutur memaksudkan bahwa Kanaan cucu Nuh menguasai negeri ini, setelah sebelumnya dikuasai oleh orang lain. Jika tidak, maka di sana ada rahasia yang tidak boleh diungkapkan oleh orang yang mengetahuinya. Maksudnya, jika Kanaan cucu Nuh menguasai belahan bumi itu, dan sang penutur ingin menjelaskan keadaannya tidak seperti itu ketika dikuasai oleh bangsa lain. Adapun, jika ternyata Kanaan adalah orang yang pertama-tama bertani di daerah-daerah itu (seperti disebutkan dalam fasal 10 dari kitab Kejadian)3) maka maksud penutur adalah bahwa keadaannya sudah tidak begitu lagi saat menulis. Dengan demikian penulis kitab itu bukanlah Musa. Pada masanya orang-orang Kanaan masih menduduki tanah itu. Inilah rahasia yang disembunyikan oleh Ibnu Ezra.

Dalam kitab Kejadian (22:14)4) disebutkan bahwa gunung Moria dinamai dengan gunung TUHAN.5) Padahal nama itu baru dipakai setelah pembangunan kuil dimulai, yaitu jauh setelah zaman Musa. Bahkan Musa tidak pernah menunjukkan tempat yang dipilih oleh TUHAN, dia hanya meramalkan bahwa TUHAN akan memilih suatu tempat yang memakai nama TUHAN.

Terakhir, dia menyebutkan bahwa dalam kitab Ulangan ada kata-kata yang ditambahkan oleh penulisnya ke dalam kisah Og raja Basan. "Hanya Og, raja Basan, yanq tinggal hidup dari sisa-sisa orang Refaim.6) Sesungguhnya, ranjangnya adalah ranjang dari besi, bukankah itu masih ada di kota Raba bani Amon? Sembilan hasta panjangnya dan empat hasta lebarnya, menurut hasta biasa. " (Ulangan 3 : 11). Tambahan ini menunjukkan bahwa penulisnya hidup jauh setelah Nabi Musa as. wafat. Gayanya dalam bercerita adalah gaya seorang penulis yang menceritakan kisah-kisah kuno sekali. Untuk meyakinkan kebenaran kisahnya itu dia menyebutkan peninggalan-peninggalan yang masih ada hingga saat kisah itu diceritakan. Di samping itu, tidak diragukan lagi bahwa ranjang dari besi itu baru ditemukan pada masa Nabi Daud as. yang menguasai kota Raba itu (II Samuel 12 : 30). Selanjutnya, tambahan ini juga bukan satu-satunya. Tidak lama kemudian, sang penutur menambahkan ke dalam kata-kata Musa penjelasan berikut ini: “ Yair anak Manasye, mengambil seluruh wilayah Argob sampai daerah orang Gesur dan orang Maakha, dan menamai daerah itu, menurut namanya sendiri, sebabagaimana juga menamainya dengan Basan, sampai sekarang di sana masih ada beberapa desa yang bernama Yair. " Penulis katakan, si penutur kitab suci menambahkan kata-kata ini untuk menjelaskan kata-kata Musa yang tersebut sebelumnya. Yaitu, "Dan yang masih tinggal dari Gilead beserta seluruh Basan, kerajaan Og, yakni seluruh wilayah Argob, aku berikan kepada suku Manasye yang setengah itu. Seluruh Basan ini disebut negeri orang Refaim." Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang Ibrani yang sezaman dengan penulis kitab ini mengetahui negeri Yair yang berafiliasi ke kabilah Yehuda. Tetapi mereka tidak tahu bahwa negeri itu pernah dikuasai oleh Argob dan bahwasanya dia adalah tanah Refaim. Oleh karena itu penulis terpaksa menjelaskan negeri yang dulu dinamai dengan nama itu. Di waktu yang sama dia juga harus menjelaskan mengapa pada waktu itu oleh penduduknya dinamai Yair padahal mereka berafiliasi ke kabilah Yehuda bukan Manasye (lihat I Tawarikh 2:21-22).7)

Demikianlah, kita telah menjelaskan pendapat Ibnu Ezra, juga ayat-ayat dari lima kitab yang dia sebutkan untuk menguatkan pendapatnya ini. Tetapi rupanya dia lupa menyebutkan hal yang lebih penting. Masih ada beberapa catatan lain yang lebih penting yang bisa diberikan kepada lima kitab itu. Misalnya:

Kitab suci tidak hanya menceritakan Musa dengan kata ganti orang ketiga, tetapi lebih dari itu dia memberikan banyak kesaksian mengenai dirinya, seperti: "TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka" (Keluaran 33:11), "Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi" (Bilangan 12:3), "Maka gusarlah Musa kepada para pemimpin tentara itu" (Bilangan 31:14), "Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN" (Ulangan 34:5). Lain halnya dengan gaya penuturan di kitab Ulangan yang memuat hukum yang diterangkan oleh Musa kepada rakyat dan sebelumnya dia tulis sendiri. Musa menggunakan gata ganti orang pertama ketika menceritakan hal-hal yang dia lakukan. Misalnya dia mengatakan, "...seperti yang difirmankan TUHAN kepadaku." (Ulangan 2:1). "...aku mohon kasih karunia dari pada TUHAN..." (Ulangan 3:23). Kecuali di bagian akhir dari kitab ini. Setelah menyampaikan kata-kata Musa, menceritakan bagaimana dia menyampaikan hukum syariat yang telah dia jelaskan secara tertulis kepada rakyat kemudian memberi peringatan terakhir dan tidak lama kemudian mati, sang penulis kitab ini masih belurr berhenti. Semua itu, yakni cara berbicara, kesaksian­kesaksian dan seluruh kumpulan kisah itu mengundang keyakinan bahwa Musa tidak pernah menulis kitab-kitab ini. Yang menulisnya adalah orang lain.

Harus kita sebutkan juga bahwa penuturan ini tidak hanya menceritakan kematian Musa, penguburannya dan berkabung selama tiga puluh hari saja tetapi juga menuturkan keunggulan Nabi Musa as. jika dibandingkan dengan nabi-nabi Yahudi lain yang datang setelahnya. "Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang banqkit di antara orang Israel..."(Ulangan 34 : 10) Tentu saja kesaksian ini tidak mungkin diberikan oleh Nabi Musa as. sendiri atau bahkan oleh orang yang datang langsung setelahnya. Kesaksian seperti ini selayaknya datang dari orang yang hidup berabad-abad setelah beliau dan telah membaca kisah nabi­ nabi Bani Israel yang diungguli oleh Nabi Musa itu. Bahkan penutur kisah itu menggunakan ungkapan yang sangat jelas, yaitu: "...tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel" (Ulangan 34:10). Sedang mengenai kuburannya, "...dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini"(Ulangan 34:6).

Nama sebagian tempat yang tersebut dalam kitab Taurat belum dipakai pada masa Nabi Musa as. tetapi baru digunakan jauh setelah itu. Misalnya kisah Nabi Ibrahim as. yang mengejar musuh-musuhnya hingga kota Dan (Kejadian 14 : 14). 8) Nama ini baru dipakai jauh setelah kematian Yosua bin Nun, pembantu dan khalifah Nabi Musa as. Sedang nama aslinya adalah Lais (Hakim-hakim 18 : 29). 9)

Kisah yang dituturkan dalam Taurat terkadang terus berlanjut hingga setelah kematian Nabi Musa as. Misalnya dalam kitab Keluaran disebutkan bahwa orang Israel makan manna empat puluh tahun lamanya, sampai mereka tiba di tanah yang didiami orang; mereka makan manna sampai tiba di perbatasan tanah Kanaan (Keluaran 16:35). 10) Padahal masa ini adalah masa yang dituturkan oleh kitab Yosua (Yosua 5 : 12).11)

Kitab Kejadian juga menuturkan, "Inilah raja-raja yang memerintah di tanah Edom, sebelum ada seorang raja memerintah atas oranq Israel" (Kejadian 36 : 31). Tidak diragukan lagi bahwa penutur kisah ini berbicara tentang raja-raja yang memerintah orang-orang Edom 12) sebelum ditaklukkan oleh Nabi Daud as. (II Samuel 8 : 14). 13)

Dari semua catatan ini terlihat jelas, sejelas siang, bahwa Musa tidak pernah menulis lima kitab itu. Sebaliknya, kitab-kitab itu ditulis oleh orang yang hidup berabad-abad setelahnya. Namun demikian, jika mau, silakan cari dengan lebih teliti kitab-kitab yang ditulis oleh Musa sendiri dalam lima kitab itu. Pertama-pertama, dalam Keluaran (17:14)14) diceritakan dengan pasti bahwa Musa menulis sesuatu tentang perang melawan Amalek atas perintah Allah, tetapi tidak disebutkan kitab apa yang ia tulis itu. Namun, dalam kitab Bilangan (21:14)15) disebutkan adanya suatu kitab yang bernama Peperanqan Tuhan yang sudah barang tentu memuat perang melawan Amalek dan seluruh proses pembuatan kemah yang menurut kesaksian penulis lima kitab di dalam kitab Bilangan (33:2)16) bahwa Musa telah menyampaikannya secara tertulis.

Metode Tafsir Bibel

Semua orang mengakui bahwa kitab suci adalah firman Tuhan. Sebagaimana juga mengakui bahwa kitab suci itu mengajarkan kebahagiaan rohani yang hakiki dan menunjukkan jalan keselamatan. Namun, ternyata perilaku manusia menunjukkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan hal itu. Jika dicari sebabnya akan ditemukan bahwa hal itu karena masyarakat umum sama sekali tidak berusaha untuk hidup sesuai dengan aturan­aturan kitab suci. Kita semua tahu bahwa hampir semua orang telah mengganti firman Allah dengan bidah-bidah mereka sendiri. Sebagaimana juga tahu bahwa mereka telah memeras semua tenaganya atas nama agama untuk memaksa orang lain agar berpikir seperti dirinya.

Dapat dikatakan, kita semua melihat mayoritas imam (robi; hakham) sibuk mencari jalan untuk mengekstrak bidah-bidah pribadi dan kesimpulan-kesimpulan serampangan mereka dari kitab suci dengan cara menakwilkannya secara paksa kemudian meligitimasinya dengan kedaulatan Tuhan. Mereka tidak akan begitu perhatian dan begitu berani dalam masalah lain sebagaimana perhatian dan keberaniannya dalam menafsirkan kitab suci yang berarti juga menafsirkan pikiran Roh Kudus itu. Satu-satunya hal yang mereka takutkan dari perbuatan mereka ini adalah adanya orang lain yang menunjukkan bahwa perbuatan itu salah, dan setelah itu akan melihat musuh-musuh mereka meruntuhkan kekuasaan mereka, sedang mereka sendiri menjadi bahan hinaan orang lain. Inilah satu-satunya hal yang mereka takutkan. Mereka sama sekali tidak takut jika ternyata menyandangkan ajaran akidah batil kepada Roh Kudus secara salah atau menyimpang dari jalan keselamatan.

Sebenarnya, jika semua orang jujur dalam kesaksian mereka terhadap kebenaran kitab suci, niscaya mereka akan mempunyai cara hidup yang berbeda sama sekali. Jiwa mereka tidak akan bergoncang, tidak akan bertikai dengan penuh kebencian seperti ini, tidak pula dikuasai oleh keinginan yang membabi-buta dalam menafsirkan kitab suci dan menyingkapkan bidah-bidah dalam agama, bahkan tidak akan berani mempercayai suatu pendapat yang tidak diakui oleh kitab suci dengan betul-betul jelas sebagai salah satu akidah. Lalu, akhirnya para penoda masalah-masalah sakral yang terbiasa mengubah kitab suci di bagian sana­sini pun akan berhenti melakukan kejahatan seperti ini dan tidak meletakkan tangan-tangan kotor mereka di atas kitab suci itu. Hanya ambisi kejahatanlah yang menjadikan agama untuk membela bidah-bidah manusia. Bukan ketaatan kepada Roh Kudus. Bahkan ambisi itu pula yang menjadikan agama sebagai alat untuk menebarkan segala jenis perpecahan dan kebencian antar manusia. Padahal seharusnya menyebarkan kebaikan. Yang lebih naif lagi, semua kejahatan ini dilakukan di balik kedok semangat beragama dan iman yang menyala-nyala.

Selain kejahatan-kejahatan itu masih ada lagi khurafat atau takhayul yang menganjurkan untuk menghina hukum alam dan akal serta menganjurkan untuk menghormati hal-hal yang bertentangan dengan keduanya. Dari sini, tidak mengherankan -jika untuk menambah rasa hormat kepada kitab suci itu- orang-orang berusaha memberikan kepadanya suatu penafsiran yang sejauh mungkin bisa nampak bertentangan dengan akal itu sendiri. Oleh karena itu, ada banyak orang yang memimpikan adanya rahasia sangat dalam yang disembunyikan oleh kitab suci. Akibatnya, mereka memeras daya upaya untuk mereka-reka maksud dari rahasia-rahasia itu. Mereka mengabaikan yang jelas-jelas bisa tercapai demi mencari hal-hal yang tidak bisa dicapai. Lalu, semua bidah yang mereka ciptakan saat mengigau itu pun mereka sandangkan kepada Roh Kudus kemudian mereka pertahankan dengan segala kekuatan dan semangat yang mereka punyai.

Seperti itulah biasanya kondisi manusia. Sesuatu yang mereka peroleh dari nalar murni akan dia bela dengar nalar dan akal pula. Sedangkan keyakinan-keyakinan yang diberikan oleh emosi dia bela dengan emosi pula.

Untuk keluar dari petak umpet ini sekaligus membebaskan pikiran kita dari penilaian masa lalu (stock of mind) para teolog, juga agar kita dengan tanpa sadar tidak mempercayai bidah-bidah manusia seolah ajaran Tuhan, kita harus membicarakan metode yang benar untuk menafsirkan kitab suci. Selain itu, demi mencapai maksud ini, pengetahuan kita tentang kitab suci itu juga harus jelas. Mengapa? Karena, selama tidak mengetahuinya secara jelas, kita tidak akan bisa mengetahui sesuatu yang meyakinkan tentang ajaran-ajaran kitab suci atau Roh Kudus.

Untuk menyingkat pembicaraan, metode ini akan paparkan secara ringkas seperti berikut ini. Pertama, metode ini tidak berbeda sama sekali dengan metode yang kita anut dalam menafsirkan alam/materi. Sebaliknya kedua metode itu sama persis dari segala seginya. Untuk itu, sebagaimana metode penafsiran alam/materi yang secara prinsipil berdiri di atas dasar pengamatan benda, pengumpulan data yang meyakinkan dan terakhir pada definisi benda-benda itu, maka dalam menafsirkan kitab suci kita juga harus mencari pengetahuan historis yang tepat. Setelah mendapatkannya, yakni mendapatkan data­data yang meyakinkan, kita bisa mengetahui kerangka pikiran penulis kitab suci itu. Atas dasar ini, jika ternyata kita tidak menemukan data yang bisa dipakai untuk menafsirkan kitab suci dan menjelaskan kandungannya selain yang diambil dari kitab suci itu sendiri dan sejarah kritisnya, setiap orang dari kita bisa meneruskan kajiannya tanpa harus takut salah. Dia juga bisa menciptakan gambaran tentang sesuatu yang berada di luar daya pemahaman kita dengan derajat keyakinan yang sama dengan keyakinan yang ada pada segala sesuatu yang kita ketahui dengan nalar murni.

Untuk membuktikan bahwa cara ini bukan sekadar meyakinkan. Tetapi lebih dari itu, merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan sekaligus sejalan dengan metode penafsiran alam/materi, kita harus menyebutkan bahwa kitab suci dalam banyak kesempatan, membahas masalah­masalah yang tidak bisa disimpulkan dari data-data yang kita dapatkan melalui nalar murni. Masalah-masalah itu adalah kisah-kisah dan masalah-masalah wahyu yang menempati bagian terbesar dari kitab suci. Kisah-kisah itu secara umum berisi mukjizat-mukjizat atau riwayat-riwayat yang menceritakan kejadian-kejadian yang tidak lazim terjadi di alam, tetapi tetap sesuai dengan pemahaman dan pola pikir para penutur yang membukukan kitab suci itu. Sedang masalah-masalah wahyu telah beradaptasi dengan pendapat-pendapat para nabi dan melampaui batas-batas pemahaman manusia biasa. Untuk itu, kita harus mengambil semua informasi tentang semua hal ini -hampir seluruh isi kitab suci- dari kitab suci itu sendiri. Sama halnya dengan informasi tentang alam/materi yang kita ambil dari alam/materi itu sendiri. Adapun segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran-ajaran etika yang ada dalam kitab suci, meskipun kebenarannya bisa dibuktikan dengar pikiran-pikiran yang populer, kita tetap tidak bisa membuktikan dengan pikiran-pikiran itu bahwa kitab suci memang benar-benar memuatnya. Seperti tadi, masalah ini juga tidak bisa dibuktikan kecuali dengan kitab suci itu sendiri. Sekali pun kita ingin membuktikan kesucian kitab suci tanpa bergantung kepada penilaian masa lalu, kita harus membuktikan dengan kitab suci itu sendiri bahwa dia benar-benar mengajarkan kebenaran etik. Cara ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kesuciannya. Hal ini karena kepercayaan kita kepada nabi pertama-tama bergantung pada tabiatnya yang menyukai keadilan dan kebaikan. Dengan demikian kita harus membuktikan tabiat itu dulu sebelum mempercayai mereka. Selain itu, mukjizat juga tidak mampu membuktikan kesucian Tuhan1). Setelah ini, tidak perlu menyebutkan lagi bahwa nabi pembohong juga bisa membuat mukjizat. Maka dari itu kita harus menyimpulkan kesucian kitab suci dari seruannya kepada keutamaan saja. Dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan kitab suci itu sendiri. Jika belum terlaksana maka kepercayaan kita terhadap kesuciannya bersandar pada penilaian masa lalu (stock of mind) dalam arti yang sebenarnya. Demikianlah, semua pengetahuan kita tentang kitab suci harus bersumber dari kitab suci itu sendiri.

Terakhir, kitab suci sama dengan benda, tidak memberikan kepada kita definisi segala sesuatu yang dibahasnya. Atas dasar itu, sebagaimana kita harus menyimpulkan definisi-definisi benda-benda dari berbagai macam perilaku benda-benda itu, kita harus menyimpulkan definisi-definisi yang tidak diberikan oleh kitab suci itu dari berbagai riwayat yang kita dapatkan mengenai masalah yang sama. Jadi, kaedah umum yang kita pegang dalam menafsirkan kitab suci adalah bahwa kita tidak boleh menyandangkan kepadanya suatu ajaran sebelum melakukan penelitian sejarah, dan hasilnya menunjukkan bahwa ajaran itu memang benar-benar dikatakannya. Sekarang kita akan membahas masalah penelitian sejarah ini. Bagaimana seharusnya dan apa yang bisa kita ketahui darinya.

Harus diketahui karakter dan ciri-ciri bahasa yang dipakai untuk membukukan kitab suci dan yang biasa digunakan oleh para penulisnya. Dengan begitu kita bisa meneliti semua arti yang dimaksud oleh teks menurut pemakaian umum. Karena semua orang yang menulis kitab suci, baik perjanjian lama maupun baru itu berbangsa Ibrani tidak diragukan lagi bahwa mengetahui bahasa Ibrani adalah suatu keharusan. Bukan hanya untuk memahami Perjanjian Lama yang tertulis dalam bahasa ini tetapi juga untuk memahami kitab-kitab Perjanjian Baru. Kitab-kitab yang terakhir ini meskipun beredar dalam bahasa­bahasa lain tetapi masih penuh dengan ungkapan­ungkapan Ibrani yang jumlahnya banyak sekali.

Harus dikumpulkan ayat-ayat kitab tertentu kemudian diklasifikasikan menurut tema-tema pokok tertentu pula yang jumlahnya terbatas. Pengumpulan dan klasifikasi ini dimaksudkan agar kita dengan mudah menemukan semua ayat yang berkaitan dengan tema yang sama. Setelah selesai kita menginjak kepada langkah selanjutnya, yaitu mengumpulkan ayat-ayat mutasyabihat dan mujmal atau yang saling bertentangan satu sama lain. Yang dimaksud ayat mujmal di sini adalah ayat yang sulit dipahami menurut konteks kalimat, bukan ayat yang sulit dipahami menurut akal. Yang kita pertimbangkan di sini adalah arti teks kitab suci dan bukan hakikatnya. Bahkan, dalam rangka mencari arti kitab suci ini, pertama-tama kita harus berusaha agar pikiran kita tidak sibuk melakukan pembuktian-pembuktian berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan naluri (apalagi berdasarkan penilaian-penilaian masa lalu). Selanjutnya, agar tidak mencampuradukkan antara arti suatu ungkapan dengan hakikat sesuatu, kita harus menemukan arti kata itu berdasarkan pemakaian bahasa saja atau pembuktian-pembuktian yang bersandar pada kitab suci semata.
Agar lebih jelas, perbedaan ini akan dijelaskan dengan contoh. Ungkapan-ungkapan Musa seperti, "Allah api" atau "Allah cemburu" adalah sangat jelas jika dilihat dari sisi artinya dalam kalimat itu saja. Ungkapan-ungkapan seperti ini dimasukkan ke dalam kelompok ayat-ayat jelas (muhkam) padahal menurut akal sangat tak jelas. Jika makna harfiah suatu ayat bertentangan dengan cahaya naluri namun tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan asasi yang kita ambil dari kitab suci maka makna harfiah itu harus kita pertahankan. Sebaliknya, jika tafsiran harfiah dari kata-kata itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang kita ambil dari kitab suci maka harus dicari tafsiran lain yang bersifat metaforis, meskipun benar-benar sesuai dengan akal. Untuk mengetahui apakah Musa benar-benar meyakini bahwa Allah adalah api atau tidak, kita harus menyimpulkannya dari perkataan-perkataan lain yang pernah disampaikan oleh Musa, bukan dari kesesuaian dan pertentangannya dengan akal. Dari sini, karena Musa pernah menyebutkan dalam ayat­ayat lain dengan betul-betul jelas bahwa Allah tidak menyerupai benda-benda yang bisa dilihat, baik yang ada di bumi, di langit dan di air, kita harus memahami kata Musa tadi (Allah api, AIlah cemburu) secara metaforis. Meski begitu kita tidak boleh menyimpang dari makna harfiah terlalu jauh. Untuk itu pertama-tama kita harus meneliti apakah kata "Allah api" bisa mempunyai makna lain selain makna harfiah itu? Dengan kata lain apakah kata "Api" bisa dipakai untuk menyatakan hal lain selain api yang biasa kita lihat sehari-hari? Jika pemakaian kebahasaan tidak membolehkan pemberian makna lain, maka apa pun yang terjadi kita tidak boleh memberikan tafsiran lain kepada ungkapan itu, meskipun sangat bertentangan dengan akal. Sebaliknya, makna ini harus kita pakai sebagai dasar penafsiran ungkapan-ungkapan lain, meskipun ungkapan-ungkapan yang terrakir ini sesuai dengan akal. Jika pemakaian kebahasaan ternyata tetap tidak memberikan apa-apa, maka mustahil untuk memadukan ungkapan-ungkapan itu. Selanjutnya kita harus menangguhkan pernyataan kita terhadap semua ungkapan itu. Tetapi, karena kata "api" sendiri bisa berarti "murka" atau "cemburu" (lihat Ayub 31:12)2) maka dengan mudah kita bisa memadukan ungkapan­ungkapan Musa itu. Akhirnya, kita sampai kepada kesimpulan yang sah, yaitu bahwa ungkapan "Allah api" dan ungkapan "Allah cemburu" pada hakikatnya adalah satu ungkapan.
Masih ada satu hal lagi, yaitu Musa dengan terus terang mengatakan bahwa Allah cemburu, sedang dalam kesempatan lain dia tidak pernah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai emosi atau hawa nafsu. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Musa memang meyakini adanya sifat cemburu pada Zat Allah, atau paling tidak ingin menyerukan hal itu, meskipun menurut pendapat kita hal itu bertentangan dengan akal. Sebelum ini telah kita jelaskan, bahwa kita tidak boleh memadukan konsep kitab suci dengan ketentuan-ketentuan akal dan pikiran-pikiran kita yang sudah ada. Mengapa? Karena kita harus mengambil semua pengetahuan tentang kitab suci dari kitab suci itu saja.

Penelitian historis ini harus mempertalikan kitab­kitab para nabi dengan semua situasi penyerta khusus yang masih tersimpan hingga kini. Yakni: riwayat hidup penulis kitab, karakternya, tujuan yang ingin dicapai, siapa dia, dalam kesempatan apa dan kapan dia menulis, untuk siapa dan menggunakan bahasa apa? Selain itu, penelitian tersebut juga harus membahas kondisi-kondisi khusus dari kitab tertentu. Bagaimana mula-mula dikodifikasikan, tangan­tangan siapa saja yang pernah memegangnya, ada berapa naskah yang berbeda dari bagian yang sama, siapa yang memutuskan untuk memasukkannya ke dalam kitab suci, dan terakhir bagaimana seluruh kitab kanonik itu dihimpun dalam satu kumpulan? Penelitian historis harus mencakup semua ini. Karena, untuk mengetahui bagian mana saja yang dianggap undang-undang dan mana saja yang dianggap ajaran-ajaran etika, kita harus mengetahui riwayat hidup para penulis, budi pekertinya dan tujuan yang ingin mereka capai. Di samping itu, kita juga akan lebih mudah memahami perkataan seseorang, jika kita mengetahui keahlian khusus dan pola pikirnya. Lalu, agar tidak mencampuradukkan antara ajaran-ajaran abadi dengan ajaran-ajaran temporal dan untuk kelompok masyarakat tertentu, kita juga harus mengetahui dalam momen apa, kapan, untuk siapa dan pada masa apa, semua ajarar itu ditulis. Terakhir kita harus mengetahui semua kondisi lain yang tersebut tadi agar tahu sejauh mana kita bisa berpegang pada otoritas setiap kitab. J uga agar tahu apakah di sana ada tangan-tangan jahil yang mengubah teks atau -jika tidak diubah- apakah ada sejumlah kesalahan yang menyusup ke dalamnya dan jika ada, apakah ada orang-orang yang cakap dan dapat dipercaya telah membenarkan kesalahan kesalahan itu. Kita harus mengetahui semuanya agar tidak berjalan seperti orang buta hingga gampang terjerumus dalam kesalahan. Juga agar tidak menerima sesuatu kecuali yang meyakinkan dan tidak mungkin dirasuki oleh keraguan.

Setelah dilakukan penelitian seperti inl dan telah diambil keputusan dengan tegas bahwa tidak akan diterima sesuatu yang tidak diteliti atau yang tidak bisa disimpulkan secara jelas bahwa hal itu betul-betul keyakinan para nabi, tibalah saatnya untuk mengkaji pikiran para nabi dan roh kudus. Namun, untuk menjalankan tugas ini dengan mengikuti metode dan aturan yang lazim, kita harus berjalan selayaknya beranjak dari pengamatan benda ke penafsirannya. Untuk itu, karena dalam mengkaji benda, yang pertama-tama kita perhatikan adalah menemukan hal-hal yang paling mencakup, yaitu hal-hal yang dipunyai oleh semua benda, seperti gerak dan diam, juga menemukan hukum-hukum yang selalu dipatuhi oleh semua benda itu, baru beralih ke hal-hal yang sedikit lebih khusus, demikian pula dalam membahas sejarah kitab suci. Pertama-tama kita harus mencari hal-hal yang paling umum, mencari asas atau dasar tempat kitab suci berpijak dan hal-hal yang dipesankan oleh semua nabi sebagai keyakinan abadi dan mempunyai manfaat yang besar bagi seluruh manusia. Hal-hal yang mereka pesankan itu adalah seperti bahwasanya Allah wajib Esa, Mahakuasa dengan kekuasaan mutlak, Dia semata yang harus disembah, melihat segala sesuatu, mencintai orang-orang yang menyembah-Nya dan mencintai tetangganya sebagaimana mencintai diri mereka sendiri. Ajaran-ajaran seperti ini ada di setiap tempat dalam kitab suci dalam kadar kejelasan dan keterusterangan yang maknanya tidak bisa diragukan oleh siapa pun. Adapun mengenai tabiat Allah dan bagaimana cara-Nya dalam melihat dan memelihara segala sesuatu, kitab suci tidak pernah mengatakan tentang hal itu secara terus terang, juga tidak pernah memberikan keyakinan abadi yang berkaitan dengan perkara ini dan perkara-perkara lain yang semisal. Sebaliknya, para nabi sendiri tidak satu kata dalam masalah-masalah ini. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk meyakini perkara-perkara itu sebagai keyakinan yang bersumber dari roh kudus, meskipun bisa dibahas secara lebih baik melalui cahaya naluri.

Demikianlah, jika kita telah mengetahui keyakikan mencakup yang diserukan oleh kitab suci ini dengan pengetahuan yang sebenarnya, kita berpindah ke ajaran-ajaran yang sedikit lebih khusus yang berkaitan dengan urusan kehidupan sehari-hari dan bersumber dari keyakin umum itu seperti parit-parit yang mengalir dari mata airnya. Yang dimaksud dari perkara-perkara itu adalah perbuatan-perbuatan baik yang tidak mungkin diwujudkan jika tidak ada kesempatan untuk itu. Semua ketakjelasan dan keraguan yang kita temukan dalam kitab suci mengenai perbuatan-perbuatan itu harus dijelaskan dan diberi batasan melalui konsep umum yang diseru oleh Alkitab. Jika timbul pertentangan, kita harus mengetahui dalam momen apa, kapan dan untuk siapa teks-teks yang saling bertentangan itu diltulis. Misalnya, ketika Almasih mengatakan, "Berbahagialah oranq yang berduka-cita (orang-orang yang menangis), karena mereka akan dihibur" kita tidak tahu dukacita atau tangis apa yang dia maksud. Tetapi setelah itu dia memberitahukan bahwa kita tidak boleh memperhatikan selain kerajaan Allah dan keadilan-Nya sebagai kebaikan tertinggi (lihat Matius 6:33).3) Dari sini kita tahu bahwa yang dimaksudkan oleh Almasih dengan orang-orang yang berdukacita dalam ayat di atas adalah orang-orang yang menangisi kerajaan dan keadilan Allah karena tidak dikenal oleh manusia. Hanya inilah yang membuat mereka menangis. Selanjutnya, menangisi kerajaan Allah juga berarti mencintai keadilan dan merendahkan berbagai macam kenikmatan dunia.

Sama halnya ketika dia mengatakan, "Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juqa kepadanya pipi kirimu!" Seandainya dia memerintahkan hal itu seperti seorang pembuat hukum yang ingin memberitahukan kehendaknya kepada para hakim berarti telah melenyapkan syariat Musa. Padahal dia sendiri dengan terus terang sudah .melarangnya (Matius 5:17).4) Oleh karena itu kita harus mencari untuk siapa, kepada siapa dan kapan dia mengatakan hal itu. Dalam hal ini yang mengatakannya tentu saja adalah Almasih yang tidak pernah membuat undang-undang selayaknya seorang legislator atau badan legislatif. Sebaliknya dia hanya menyampaikan ajaran­ajaran selayaknya seorang guru. Tujuannya bukan untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan lahir tetapi untuk memperbaiki jiwa atau batin seseorang. Ungkapan itu dia sampaikan kepada orang-orang yang tertindas, hidup di negara yang tidak mengenal keadilan sama sekali dan tampaknya sudah berada di ambang kehancuran. Di sisi lain ungkapan yang mirip dengan ungkapan Almasih yang dia sampaikan pada saat kota Yerusalem terancam hancur ini juga pernah disampaikan oleh Yeremia pada saat penghancuran kota itu untuk yang pertama kali. Dengan kata lain, Yeremia mengatakannya pada kesempatan yang hampir sama.5) Maka, selama para nabi memberikan ajaran-ajaran itu hanya pada waktu penindasan dan tidak pernah merumuskannya dalam bentuk undang-undang. Bahkan Musa yang tidak menulis pada zaman penindasan, sebaliknya tengah berusaha untuk mendirikan negara yang benar, dia memerintahkan untuk membalas mata dengan mata meskipun waktu itu adalah waktu balas dendam dan membenci tetangga. Dari sini tampak jelas dengan sejelas­jelasnya bahwa menurut prinsip-prinsip kitab suci itu sendiri ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Almasih dan Yeremia itu -maksudnya menerima kelaliman dan tidak melawan kejahatan- hanya berlaku pada saat orang-orang tidak menikmati keadilan dan sedang ditindas, bukan pada masyarakat yang sehat. Dengan demikian dalam masyarakat yang sehat dan menjaga keadilan, setiap orang -jika menginginkan keadilan- harus meminta kepada hakim agar menghukum orang yang berbuat aniaya kepadanya (lihat Imamat 5:1).6).Bukan untuk balas dendam (Imamat 19: 17,18).7) tetapi untuk membela keadilan dan undang­undang negara, juga agar para penjahat tidak sempat memetik buah kejahatan mereka.

Semua ini betul-betul sejalan dengan cahaya natural. Sebetulnya masih bisa diberikan berbagai contoh lain mengenai hal ini, tetapi kami melihat bahwa yang disampaikan saat ini sudah cukup untuk memaparkan pikiran kami dan menjelaskan manfaatnya. Dan memang inilah tujuannya saat ini. Hanya saja sampai kini kita baru mejelaskan kemungkinan mempelajari teks-teks kitab suci yang berkenaan dengan urusan-urusan kehidupan. Mempelajari kitab suci dari topik ini adalah mudah. Para penulis kitab suci tidak banyak berbeda. Lain halnya dengan topik-topik lain yang sudah masuk dalam ruang pemikiran teoritis saja. Untuk sampai kepadanya sulit. Jalannya pun sempit. Para nabi tidak sepakat dalam masalah-masalah semacam itu. Penuturan-penuturan mereka tampak disiapkan sejauh mungkin bisa sesuai dengan penilaian masa lalu. Untuk itu kita tidak boleh memahami perkataan seorang nabi dari perkataan nabi lain yang lebih jelas, kecuali jika telah terbukti secara betul­betul jelas bahwa pandangan kedua nabi itu sama.
Sekarang akan dipaparkan secara ringkas bagaimana dalam keadaan yang seperti ini pikiran para nabi juga bisa dipahami melalui sejarah kritis kitab suci. Dalam hal ini kita harus mulai dari elemen-elemen yang pal ing umum, yaitu pertama-tama kita harus bertanya apa itu nabi, apa itu wahyu dan kandunqan utamanya dan apa itu mukjizat. Demikianlah kita telah memulai dengan hal-hal yang paling umum. Dari situ kita turun ke pembahasan yang sedikit lebih khusus yaitu pikiran-pikiran setiap nabi dan selanjutnya berturut-turut kita akan sampai kepada makna setiap wahyu yanq turun kepada seorang nabi, setiap penuturan dan setiap mukjizat. Sebelum ini sudah kita jelaskan dengan banyak contoh sikap hati-hati yang harus kita ambil untuk menghindari kemungkinan tercampurnya pikiran para nabi dengan pikiran para penutur dari satu sisi, serta pikiran roh kudus dan kenyataan yang sebenarnya dari sisi lain. Untuk itu kita tidak perlu menjelaskan lagi di sini. Tetapi ada satu hal yang harus kita perhatikan tentang makna wahyu, yaitu metode kita hanya mengajarkan bagaimana membahas hal-hal yang betul-betul dilihat dan didengar oleh para nabi, bukan hal-hal yang ingin mereka ungkapkan atau permisalkan dengan gambaran-gambaran inderawi. Hal-hal ini hanya bisa diduga-duga dan tidak bisa disimpulkan dari data data utama kitab suci.

Demikianlah kita telah memaparkan metode penafsiran kitab suci. Dalam waktu yang sama juga telah membuktikan bahwa metode itu adalah satu-satunya cara yang bisa digunakan. Dan ternyata juga merupakan cara yang meyakinkan untuk mengetahui maknanya yang hakiki. Kendati begitu kami tetap mengakui bahwa orang-orang yang mendengarkan perkataan atau penjelasan yang sebenarnya dari para nabi secara langsung, seperti yang diakui oleh Kaum Farisi, atau yang mempunyai paus yang maksum (tidak pernah salah) dalam menafsirkan kitab suci, seperti umat Katolik Roma ini mempunyai keyakinan yang lebih besar. Hanya saja, karena kita tidak bisa membuktikan kebenaran perkataan itu, juga tidak bisa membuktikan keabsahan otoritas paus, kita tidak bisa menjadikan keduanya sebagai landasan sama sekali. Bahkan umat Kristen generasi pertama mengingkari otoritas itu, sebagaimana sekte Yahudi terlama juga menolak tradisi ini.8) Jika kita memperhatikan jumlah tahun di mana orang-orang Farisi mentransmisikan dari imam-­imam mereka (belum yang lain), yaitu jumlah yang menyatakan bahwa tradisi ini bermula dari Nabi Musa kita mendapatkan kesalahan dalam hitungan, sebagaimana akan jelaskan dalam tempat lain. Atas dasar ini, kita harus meragukan tradisi ini sejauh mungkin. Sementara itu ada tradisi Yahudi lain menurut metodologi kita harus diduga terbebas dari pemalsuan. Tradisi itu adalah makna kata-­kata Ibrani karena kita dapatkan dari mereka. Jika tradisi pertama mengandung keraguan, makna kata-kata itu tidak bisa dirasuki oleh keraguan apa pun. Hal itu karena seseorang tidak bisa meraih keuntungan dari penggantiar makna kata, sementara itu sering kali mempunyai kepentingan dalam mengganti makna teks. Di samping itu, penggantian pertama juga sangat sulit. Orang yang ingin mengganti makna suatu kata dalam suatu bahasa dia harus menjelaskan semua orang yang menulis dalam bahasa ini dan semua orang yang menggunakan kata ini dalam maknanya yang turun-temurun sesuai dengan pola pikir dan wawasan masing-masing mereka. Atau jika tidak, maka dia harus membuktikan kepalsuan mereka dengan sangat hati hati. Selain itu, bahasa juga terus tersimpan di kalangan orang awam dan kalangan ulama, sementara para ulama saja yang menyimpan makna teks-teks kitab suci itu. Dengan demikian kita bisa membayangkan dengan mudah kemungkinan para ulama untuk mengganti atau menyelewengkan makna teks dalam buku langka yang hanya ada pada mereka. Sementara itu mereka tidak mungkin mengubah makna kata. Masih ada satu hal lagi, yaitu jika seseorang ingin mengubah makna suatu kata yang sudah biasa dia pakai, tidak akan mudah baginya untuk mematuhi makna baru itu dalam semua perkataan dan tulisan selanjutnya. Karena alasan itu semua, kita yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak akan mungkin terdetik dalam benak seseorang untuk mengubah bahasa, sementara itu sangat sering terjadi distorsi pemikiran penulis dengan cara mengubah atau menyalahtafsirkan teks.

Jadi, selama metode kita -yang bertumpu pada kaedah yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang kitab suci itu harus diambil dari kitab suci itu sendiri- adalah metode satu-satunya dan memang benar, kita tidak boleh menggantungkan harapan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak diberikan oleh metode itu kepada metode lain demi mendapatkan pengetahuan menyeluruh tentang kitab suci.

Selanjutnya, kesulitan apa saja yang menghadang metode ini atau apa saja kekurangannya hingga bisa memberikan pengetahuan yang menyeluruh dan meyakinkan? Pertanyaan inilah yang akan kita jawab sekarang.

Pertama, ada kesulitan besar yang timbul karena metode ini menuntut pengetahuan yang sempurna tentang bahasa Ibrani. Mana pengetahuan kita tentang bahasa itu? Para ahli bahasa Ibrani terdahulu sama sekali tidak meninggalkan sesuatu yang berkaitan dengan dasar-dasar dan kaedah-kaedah yang melandasi bahasa ini. Atau paling tidak semua dasar dan kaedah yang mereka tinggalkan itu sudah tiada pada kita lagi. Tidak ada kamus, tidak pula buku tata bahasa atau retorika. Umat Yahudi benar-benar telah kehilangan sesuatu yang bisa membuat mereka terhormat dan bangga kecuali beberapa cuil bahasa dan sastra mereka saja. Hal ini tidaklah mengherankan jika kita memperhatikan banyaknya bencana dan penindasan yang menimpa umat itu. Misalnya, nama buah-buahan, burung, ikan dan banyak nama lain banyak hilang ditelan waktu. Arti kata benda dan verba yang kita temukan dalam Taurat pun juga banyak yang hilang, atau paling tidak dipersilihkan. Arti-arti itu perlu kita ketahui. Demikian juga dengan struktur-struktur khusus yang ada dalam bahasa ini. Tapi ng hampir seluruh ungkapan dan struktur khusus yang digunakan oleh orang-orang Ibrani itu telah dicabut dari ingatan manusia. Oleh karena itu kita tidak bisa, dengan seenak hati, mencari arti setiap kata menurut pemakaian yang berlaku dalam bahasa ini. Sebaliknya, kita banyak mendapatkan ungkapan yang dirangkai dari kata­kata yang betul-betul terkenal, tetapi artinya sangat kabur, tidak bisa diketahui sama sekali. Selanjutnya, selain pengetahuan yang sempurna mengenai bahasa Ibrani itu tidak bisa dicapai, struktur dan karakter bahasa itu juga menimbulkan masalah tersendiri. Di dalamnya banyak sekali kata yang ambigu hingga membuat kita mustahil untuk menemukan suatu jalan yang bisa menentukan arti teks-teks kitab suci secara pasti. Di samping sebab-sebab umum yang dipunyai oleh semua bahasa, bahasa Ibrani mempunyai sebab-sebab khusus yang menimbulkan banyak kata yang artinya tidak jelas itu. kira sebab-sebab itu perlu kita sebutkan di sini.

Pertama, kerancuan dan ketakjelasan arti teks dalam Taurat itu seringkali timbul dari digantinya huruf dalam kata dengan huruf lain yang mempunyai makhraj (artikulasi) yang sama. Orang-orang Ibrani membagi huruf­huruf abjad mereka ke dalam lima kelompok makhraj, sesuai dengan lima organ mulut yang digunakan untuk mengucapkannya, yaitu: dua bibir, lidah, gigi, tenggorokan dan pangkal tenggorokan. Misalnya, huruf (ahlef, Arab: alif), (jimel Arab: jim), (ayen, Arab: 'ain), (heh, Arab: ha') dinamai huruf-huruf tenggorokan. Seringkali salah satu dari huruf-huruf itu dipakai untuk mengganti yang lain seolah tidak ada bedanya. Paling tidak menurut yang kita tahu. Atas dasar ini kata (a-I) yang berarti "ke" dipakai untuk mengganti kata (`a-I) yang berarti di atas. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu seringkali ada sebuah kalimat yang tersusun dari kata-kata yang tak jelas artinya atau malah sekadar suara tanpa arti.

Sebab kedua dari ketakjelasan arti itu adalah banyaknya arti dari satu kata penghubung atau kata keterangan. Misalnya huruf (vav, Arab: waw) bisa dipakai untuk menghubungkan sekaligus memisahkan dua kata. Dengan demikian bisa berarti: dan, karena, meski begitu atau ketika itu...demikian seterusnya.

Ada sebab ketiga yang menimbulkan banyak ketakjelasan arti itu, yaitu bahwasanya verba dalam bahasa Ibrani tidak mempunyai bentuk yang menerangkan masa sekarang, masa lalu masih berlangsung, masa lalu sudah lewat dan masa-masa lain yang biasa terdapat dalam bahasa-bahasa lain. Sebetulnya ada kaedah-kaedah yang disimpulkan dari dasar-dasar bahasa ini yang bisa mengganti keterangan waktu dan bentuk-bentuk yang kurang dengan mudah. Bahkan mempunyai muatan retorika yang tinggi. Tapi ng para penulis terdahulu mengabaikannya sama sekali. Mereka pun memakai verba untuk masa depan untuk menunjukkan masa lalu dan masa kini tanpa pembedaan. Sebaliknya mereka juga menggunakan verba masa lalu untuk masa depan. Akhirnya kata dan ungkapan yang tak jelas artinya itu pun timbul dalam jumlah yang banyak sekali.

Selain tiga sebab ini, masih ada dua sebab lagi yang lebih penting. Pertama, orang-orang Ibrani tidak mempunyai huruf yang berfungsi sebagai hidup. Kedua, mereka tidak terbiasa memenggal perkataan tertulis mereka atau menekankan suatu arti dengan tanda baca. Tidak diragukan lagi bahwa dua kelemahan ini bisa ditutupi dengan pembubuhan titik dan harakat.9) Hanya saja kita tidak boleh mempercayai dua sarana ini, karena yang membuat dan menggunakannya adalah ahli bahasa yang datang jauh kemudian.10) Dengan demikian otoritas mereka tidak ada nilainya sama sekali. Adapun para pendahulu menulis tanpa titik (maksudnya tanpa huruf hidup atau harakat). Banyak bukti yang menyatakan bahwa titik-titik itu dibuat pada masa yang jauh kemudian. Yaitu ketika orang-orang sudah membutuhkan penafsiran Taurat. Dengan demikian, titik-titik yang ada sekarang, demikian juga dengan harakat tidak lain kecuali tafsir-tafsir baru yang tidak boleh kita percayai begitu saja dan tidak memiliki otoritas yang melebihi tafsiran-tafsiran lain. Yang tidak mengetahui hal ini tidak akan tahu kenapa kita harus memaafkan penulis Surat I
Ada kesulitan fain dalam metode ini, timbul dari keharusan tersedianya pengetahuan historis tentang situasi khusus yang menyertai kitab tertentu. Pengetahuan semacam ini biasanya tidak tersedia bagi kita. Bahkan sebenarnya kita sama sekali tidak tahu siapa yang menulis kitab-kitab itu. Atau kalau ingin lebih halus, kita tidak tahu siapa saja orang-orang yang menulisnya atau paling tidak, kita meragukan mereka, sebagaimana akan jelaskan nanti. Dari sisi lain, kita tidak tahu dalam kesempatan apa dan kapan kitab-kitab yang tidak diketahui penulis yang sebenarnya itu ditulis. Kita juga tidak tahu tangan siapa saja yang pernah dihinggapi dan dari siapa datangnya manuskrip-manuskrip asli yang terdiri dari beberapa versi bacaan yang berbeda, kemudian akhirnya kita juga tidak tahu jika di sana ada banyak versi bacaan lain yang berasal dari manuskrip-manuskrip yang berasal dari sumber lain. Di bagian lain dari buku ini telah jelaskan pentingnya semua situasi ini dan sengaja tidak ingin membahasnya lagi disini. Jika kita membaca sebuah buku yang berisi hal - hal yang tidak bisa dipercaya atau tidak bisa diketahui, atau membaca sebuah buku yang mengandung kata-kata yang sangat tidak jelas, akan sia-sia jika kita mencari maksudnya tanpa mengetahui penulisnya, waktu dan momen penulisannya. Kita tidak akan pernah tahu hal- hal- yang dimaksud atau yang mungkin dia maksud oleh penulis tanpa mengetahui semua situasi itu. Sebaliknya, jika kita mengetahui semua itu secara mendetail, kita akan menyusun pikiran kita sedemikian rupa, hingga terberbas dari semua penilaian masa lalu, yakni kita tidak akan memberikan kepada penulis kitab atau orang yang dituju oleh penulisan itu, lebih atau kurang dari yang semestinya. Di samping itu, kita tidak membayangkan adanya suatu tujuan selain yang mungkin diletakkan oleh penulis di depan kedua matanya. kira, ini sudah jelas bagi semua orang. Seringkali kita membaca beberapa cerita yang sangat mirip dalam beberapa buku yang berbeda. Meski begitu penilaian kita terhadap cerita-cerita itu sangat berbeda akibat pandangan kita yang berbeda tentang penulisnya. Di sini teringat pernah membaca dalam sebuah buku yang menceritakan seorang laki-laki bernama Orlando Furioso.13) Dia mempunyai kebiasaan mengendarai seekor naga berp dua yang terbang di angkasa dan melayang ke semua daerah yang dia kehendaki. Seorang diri, dia juga terbiasa memangsa manusia dan raksasa dalam jumlah besar. Cerita ini adalah jenis cerita fiksi yang tidak bisa dipahami oleh akal dari sisi mana pun. Meski begitu, jumlahnya sangat banyak. Dalam salah satu buku Ovid juga pernah membaca cerita yang mirip sekali dengan Persee.14) Cerita ketiga adalah cerita yang tersebut dalam kitab Hakim­Hakim tentang Simson (Samson). Dengan sendirian dan tanpa senjata, dia mampu membunuh seribu orang,15) juga cerita dalam kitab Raja-Raja tentang Elia yang terbang ke angkasa dan sampai di langit dengan mengendarai kuda dan kereta dari api.16) Cerita-cerita ini sangat mirip. Meski begitu penilaian kita terhadap masing-masing cerita itu sangat berbeda. Penulis pertama hanya bermaksud menuturkan kejadian-kejadian fiktif, yang kedua mempunyai tujuan politis, sedang yang ketiga bertujuan memaparkan hal-hal yang sakral. Satu-satunya alasan yana membuat kita meyakini hal ini adalah pandangan yang kita ciptakan terhadap para penulis itu. Sampai di sini kita telah membuktikan bahwa mengenal para penulis masalah masalah yang tidak jelas atau tidak masuk akal itu mutlak diperlukan, terutama untuk menafsirkan tulisan-tulisa mereka. Karena alasan-alasan ini juga, kita tidak bisa memilih versi bacaan yang betul dari berbagai macam versi dari sebuah teks yang mengandung cerita-cerita tak jelas kecuali dari pengetahuan kita tentang sumber manuskrip- manuskrip asli yang memuat versi-versi bacaan itu. Itu pun jika tidak ada versi bacaan lain dalam manuskrip- manuskrip lain yang ditulis oleh para penulis yang memiliki otoritas lebih tinggi.

Kesulitan terakhir dalam menafsirkan kitab dengan metode ini adalah bahwasanya kita tidak memiliki kitab-kitab itu dalam bahasa aslinya, yakni dalam bahasa penulisnya. Menurut pendapat yang berlaku, Injil Matius demikian juga dengan Surat Kepada Orang Ibrani telah ditulis dalam bahasa Ibrani. Namun naskah aslinya telah hilang. Selain itu juga ada tanda tanya mengenai bahasa yang dipakai dalam menuliskan Kitab Ayub. Dalam penjelasan-penjelasannya, Ibnu Ezra (Aben Ezra) memastikan bahwa kitab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dari bahasa lain. Dan inilah sebab ketakjelasan maksudnya. Selanjutnya tidak perlu lagi membicarakan kitab-kitab apokripa karena otoritasnya yang lebih rendah.

Sampai di sini telah dipaparkan semua kesulitan yang timbul dalam metode penafsiran kitab suci dengan penelitian historis terhadap data-data sejarah yang berkaitan dengannya. Kesulitan-kesulitan itu dianggap sangat serius. Oleh sebab itu, tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa banyak sekali teks kitab suci yang tidak kita pahami maksudnya atau kita pahami, tetapi secara global dan tidak mengandung unsur keyakinan. Namun demikian, ingin mengulangi kata-kata bahwa yang bisa dilakukan oleh kesulitan-kesulitan itu adalah menghalangi kita dalam memahami pikiran para nabi tentang hal-hal yang hanya bisa kita bayangkan dan tidak bisa kita ketahui. Berbeda dengan hal-hal yang bisa kita ketahui dengan akal dan bisa kita buat gambarannya dengan mudah. Yang demikian ini, karena hal-hal yang menurut wujudnya bisa diketahui dengan mudah, pengungkapannya tidak akan sulit hingga tidak bisa dipahami. Ada peribahasa yang mengatakan: Satu kata sudah cukup untuk orang yang paham. Atas dasar ini, sangat mudah menjelaskan kata­kata Euclides kepada semua orang. Dalam bahasa apa pun. Yang ditulis hanya sedikit, selain itu juga sangat masuk akal. Untuk mengetahui idenya dan memahami arti yang sesungguhnya, seseorang tidak perlu mengetahui secara sempurna bahasa yang dia pakai untuk menulis. Cukup tahu sekadarnya saja, tidak lebih dari pengetahuan anak-anak. Di samping itu, juga tidak ada gunanya mengetahui riwayat hidup penulis, tujuan yang ingin dia capai, kebiasaan-­kebiasaannya, bahasa yang dia pakai untuk menulis, untuk siapa dia menulis, kapan menulis, kondisi-kondisi yang meliputi buku itu, nasibnya, versi-versi yang ada dan siapa saja yang memutuskan untuk menghimpunnya. Semua yang dikatakan mengenai Euclides ini juga berlaku bagi semua orang yang menulis dalam masalah-masalah yang bisa dipahami berdasarkan wujudnya. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa dengan hal-hal yang bisa kita capai dari pengetahuan historis terhadap kitab suci itu, kita bisa mengetahui konsep kitab suci mengenai ajaran-ajarar etika. Ajaran-ajaran itu bisa kita ketahui dengan pasti. Hal ini karena ajaran-ajaran yang berkenaan dengan takwa yang sebenarnya diungkapkan dengan kata-kata yang paling banyak beredar karena sangat populer dimasyarakat, sangat sedikit dan mudah dipahami. Disamping itu, berhubung keselamatan yang hakiki dan kebahagiaan rohani berada di dalam ketenangan jiwa sedang ketenangan yang hakiki tidak bisa didapatkan kecuali dari hal-hal yang kita ketahui dengan sanga terang, sepertinya kita akan bisa mengetahui secara pasti konsep kitab suci yang berkenaan dengan masalah-masalah pokok dan inti dari keselamatan dan kebahagiaan rohani. Dengan demikian kita tidak perlu mengkhawatirkan masalah-masalah lain. Hal ini, karena seringkali kita tidak bisa memahaminya dengan akal dan nalar, maka sebaiknya kita anggap saja hal-hal itu lebih pantas dimasukkan ke dalam bab hal-hal aneh daripada hal-hal yang bermanfaat.

Sampai di sini sepertinya sudah menjelaskan metode yang benar dalam menafsirkan kitab suci, juga sudah menjelaskan dengan cukup cara untuk memroses masalah ini. Selanjutnya, tidak ada keraguan lagi pada diri bahwa saat ini setiap orang sudah tahu bahwa metode ini tidak memerlukan cahaya selain cahaya naluri. Hal itu karena karakter dan sifat inti dari cahaya ini terbatas pada pembahasan hal-hal yang tak jelas kemudian memecahkannya berdasarkan kesimpulan yang sah dari hal-hal yang sudah diketahui atau hal-hal yang didata sebagai hal-hal yang diketahui. Metode kita memang tidak menuntut sesuatu yang lebih dari ini. Selanjutnya, kita mengakui bahwa metode ini tidak cukup untuk menjelaskan semua yang dikandung oleh Taurat. Tetapi hal itu tidak disebabkan oleh kekurangan yang ada dalam metode, tetapi karena jalan benar dan lurus yang diserunya belum pernah diikuti dan dilalui oleh orang, sehingga dengan perjalanan waktu menjadi terjal, kasar dan hampir tidak bisa dilewati. kira sudah menjelaskan hal itu dengan cukup pada saat menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ada.

Sekarang, kita tinggal meneliti pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat kita. Ada orang yang menyangka bahwa cahaya natural tidak mampu menafsirkan kitab suci. Untuk itu harus ada cahaya yang melampaui batas alam. Adapun seperti apa cahaya yang harus ditambahkan kepada cahaya natural itu, mereka sendirilah yang harus menjelaskannya. pribadi hanya bisa menduga bahwa dengan pendapat itu, sebetulnya mereka - dengan menggunakan ungkapan yang lebih samar- ingin mengakui ketidak yakinan mereka terhadap makna hakiki dari banyak teks dalam kitab suci. Hal ini tampak dari tafsiran-tafsiran mereka yang sama sekali tidak mengandung sesuatu yang melampaui batas alam. Sebaliknya, tafsiran-tafsiran itu hanya dugaan-dugaan. Jika kita bandingkan dengan tafsiran-tafsiran orang-orang yang jelas-jelas mengaku hanya memiliki cahaya natural, kita akan mendapatkan kemiripan. Kedua-duanya adalah karya manusia. Kedua-duanya adalah hasil olah pikir. Adapun yang mereka katakan mengenai ketidak cukupan cahaya natural itu sudah pasti salah. Dari satu sisi, kesulitan-kesulitan dalam menafsirkan kitab suci itu - sebagaimana telah kita jelaskan sebelum ini- tidak timbul dari cahaya naluri, tetapi dari kelambanan -jika bukan kebrengsekan- orang-orang yang meremehkan pencarian pengetahuan historis kritis tentang kitab suci di waktu mereka mampu melakukan hal itu. Dari sisi lain, cahaya yang melampaui batas alam (yang memang diakui oleh semua orang kecuali orang-orang yang keliru) ini adalah anugerah yang hanya diberikan oleh Allah kepada kaum mukminin. Padahal yang biasa dinasihati oleh para nabi dan sahabat itu bukan hanya kaum mukminin, tetapi orang­orang kafir dan fasiq juga. Dengan demikian, dua kelompok terakhir ini juga harus mampu memahami pikiran para nabi dan sahabat. Jika tidak, maka para nabi dan sahabat seolah menasihati anak-anak kecil dan bukan orang dewasa yang sudah akil balig. Undang-undang Musa pun akan sia­sia karena hanya bisa dipahami oleh kaum mukminin yang sebenarnya tidak memerlukan undang-undang sama sekali. Jadi, menurut , mereka yang mencari cahaya yang melampaui batas alam untuk memahami pikiran para nabi dan sahabat itu tidak mempunyai cahaya natural dan dalam waktu yang sama, juga sangat jauh dari kemungkinan mendapatkan anugerah ilahi yang melampaui batas alam.

Ibnu Maimun mempunyai pendapat lain yang sangat berbeda. Dia berkeyakinan bahwa setiap teks dari kitab suci mempunyai banyak arti, bahkan banyak arti yang saling bertentangan. Kita semua tidak bisa mengetahui makna hakiki dari sebuah teks kecuali sebatas yang kita tahu - menurut tafsiran kita- bahwa teks itu tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan akal. Jika dia menafsirkan sebuah teks secara harfiah dan hasilnya bertentangan dengan akal, teks itu harus diberi tafsiran lain meskipun sebetulnya sudah sangat jelas. lnilah yang dia ungkapkan dengan sangat terang dalam fasal 25 jilid 2 dari bukunya Moreh Nebuchim 17) dengan kata-katanya:

"Ketauhilah bahwasanya kita tidak mau menerima konsep kelamaan (qidam) alam karena teks-teks dalam kitab suci tentang penciptaannya. Teks-teks ini tidak jauh berbeda dengan teks-teks yang menyatakan bahwasanya Allah adalah tubuh. Sementara itu tidak ada yang menghalangi kita untuk menakwilkan teks-teks yang menyatakan penciptaan. I
Bisa dibuktikan dengan jelas bahwa Allah itu bukan tubuh. Oleh karenanya semua teks yang arti harfiahnya bertentangan dengan maksud ini harus ditafsirkan. Lain halnya dengan akidah kelamaan alam. Akidah ini tidak mempunyai bukti yang kuat. Dengan demikian tidak perlu dilakukan penakwilan kitab suci secara serampangan agar sesuai dengan sebuah pendapat yang dangkal. Maksudnya pendapat yang membuat kita mempunyai alasan untuk memilih pendapat lain yang berlawanan dengannya.

Keyakinan bahwa Allah itu bukan tubuh tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat... sebaliknya keyakinan bahwa alam itu lama, seperti yang diyakini oleh Aritoteles telah merobohkan pondasi syariat."

Itulah kata-kata Ibnu Maimun yang menampakkan dengan jelas hal-hal yang telah kita katakan. Seandainya saja dia mempunyai dalil aqli atas kelamaan alam niscaya tidak akan segan-segan menakwilkan dan menafsirkan kitab suci secara serampangan hingga membuat akidah itu seolah berasal dari kitab suci itu. Ketika itu dia akan yakin seyakin-yakinnya bahwa kitab suci itu mengisyaratkan kelamaan alam, meskipun dalam hal itu dia berbeda dengan kitab suci. Jadi, dia tidak bisa mempercayai maksud yang sebenarnya dari kitab suci meskipun amat jelas selama terus meragukan hakikat yang dikatakan oleh kitab suci dan selama hakikat itu menurut pandangannya tidak bisa dibuktikan dengan dalil yang kuat. Di sini lain selama tidak ada dalil yang membuktikan hakikat ini kita tidak akan pernah tahu apakah kitab suci itu sejalan dengan akal atau bertentangan dengannya. Selanjutnya, kita juga tidak akan tahu apakah makna harfiah itu benar atau salah. Jika cara penafsiran ini benar, mengakui sepenuhnya bahwa kita semua memerlukan cahaya lain selain cahaya natural. Hal ini karena tidak semua kandungan kitab suci bisa dibuktikan dengan data-data yang kita dapatkan melalui cahaya naluri (seperti telah kita jelaskan sebelumnya). Dengan demikian, cahaya natural itu tidak mampu membuktikan segala sesuatu yang berhubungan dengan bagian terbesar dari kandungan kitab suci, selanjutnya juga tidak mampu membuktikan makna yang benar dari kitab suci dan ide-ide yang ada di dalamnya. Saat itu kita akan membutuhkan cahaya lain. Di samping itu, jika metode Ibnu Maimun ini benar, niscaya masyarakat awam yang biasanya tidak mengenal dalil-dalil dan tidak mampu menelaahnya tidak akan menerima apa pun yang berkaitan dengan kitab suci jika tidak berpegang kepada otoritas para filosof atau kesaksian-kesaksian mereka, tetapi sebelum itu dia harus menganggap para filosof terlindung dari kesalahan dalam menafsirkan kitab suci. Hal ini berarti telah muncul kekuasaan gereja baru, kependetaan baru dan sejenis kepausan. Suatu hal yang lebih banyak mengundang cemoohan orang awam daripada membangkitakan rasa hormat di dalam jiwa mereka. Memang benar, metode penafsiran kita juga memerlukan pengetahuan tentang bahasa Ibrani yang tidak bisa dipelajari oleh masyarakat awam. Namun demikian kritikan itu tidak bisa diajukan kepada kita. Kenapa? Karena umumnya orang Yahudi dan bukan Yahudi yang didakwahi oleh para nabi dan sahabat baik secara lisan maupun tulisan, memahami bahasa mereka dan dengan demikian juga memahami ide-ide mereka. Sementara itu mereka tidak mengetahui dalil-dalil hakikat ajaran-ajaran yang diserukan oleh para nabi dan sahabat itu. Padahal, menurut Ibnu Maimun, dalil-dalil itu harus mereka ketahui dulu jika ingin memahami ide para nabi. Jadi netode kita tidak mengharuskan masyarakat awam untuk bersandar pada kesaksian para ahli tafsir. Masyarakat awam yang maksud ini adalah mereka yang mengetahui bahasa para nabi dan sahabat. Sementara Ibnu Maimun tidak mengakui adanya orang awam yang mengetahui sebab-sebab segala sesuatu dan selanjutnya bisa memahami ide para nabi dengan itu. Adapun mengenai orang-orang awam yang ada pada zaman kita sekarang ini sudah kita jelaskan dalam bagian terdahulu bahwa mereka bisa mengetahui unsur ­unsur dasar dari keselamatan dengan mudah melalui bahasa apapun, meski tidak mengetahui dalil-dalil yang melandasinya. Dengan syarat unsur-unsur itu populer dan mudah diungkapkan dengan bahasa sehari-hari. Kepada pengetahuan inilah -bukan kepada kesaksian para ahli tafsir- orang awam bersandar. Sedangkan dalam masalah­masalah lainnya, nasib orang awam tidak lebih buruk daripada nasib para ulama. Bagaimana pun juga kita harus kembali membahas pandangan Ibnu Maimun. Pertama­tama dia menyangka bahwa para nabi sepakat satu sama lain dalam semua masalah, di samping itu, mereka adalah para filosof dan teolog besar yang mempunyai kemampuan untuk menyimpulkan karena mengetahui hakikat yang sebenarnya. Kedua dia menyangka bahwa maksud kitab suci tidak bisa dijelaskan dengan kitab suci itu sendiri. Hakikat segala sesuatu yang diserukannya tidak bisa dibuktikan dengan kitab suci itu sendiri. Kitab suci tidak membuktikan apa pun, tidak pula mengenalkan masalah­masalah yang dia bahas melalui definisi-definisi dan sebab­sebab pertama. Dengan demikian menurut pendapat Ibnu Maimun, maksud yang sebenarnya dari kitab suci itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa disimpulkan darinya. Dalam fasal ini tampaklah kesalahan penyimpulannya itu. Tadi kita telah kita jelaskan dengan pembuktian dan contoh bahwa makna kitab suci itu tidak bisa dijelaskan kecuali dengannya, tidak pula bisa disimpulkan kecuali darinya saja, meskipun kitab itu berbicara tentang hal-hal yang diketahui oleh cahaya natural. Terakhir, Ibnu Maimun menduga bahwa kita boleh menafsirkan dan menakwilkan kitab suci dengan cara yang dipaksakan, sesuai dengan penilaian penilaian masa lalu kita. Secara sengaja dia menolak arti harfiah dan menggantinya dengan arti lain meskipun arti harfiah itu adalah arti yang paling jelas dan paling mendekati akal. Pembolehan seperti ini tampak ekstrim dan sembrono didepan semua orang, di samping sangat bertentangan dengan hal-hal yang telah kita buktikan dalam fasal ini. Tetapi, biarlah kita menerima kebebasan luas ini, apakah yang dia lakukan? Dia tidak melakukan apa-apa. Kita tidak bisa mengetahui dengan akal masalah-masalah yang tidak bisa dibuktikan, padahal masalah-masalah itu adalah bagian terbesar dari kandungan kitab suci, sebagaimana juga tidak bisa dijelaskan dan ditafsirkan dengan metode Ibnu Maimun. Sebaliknya, dalam banyak kesempatan kita bisa menjelaskannya dengan metode kita dengan penuh rasa yakin sebagaimana telah kita jelaskan dengan dalil dan contoh. Mengenai hal-hal yang bisa diketahui menurut karakternya tanpa memeras tenaga, maksudnya bisa dicapai dengan mudah melalui konteksnya saja, sebagaimana telah kita jelaskan sebelum ini. Dengan demikian metode Ibnu Maimun tidak bermanfaat sama sekali. Di samping juga melenyapkan keyakinan terhadap makna yang sesungguhnya dari kitab suci. Padahal makna itu bisa dicapai oleh orang awam dengan menggunakan metode penafsiran lain. Jadi kita menolak metode Ibnu Maimun karena rusak, tidak bisa diterapkan dan tidak bermanfaat.

Mengenai tradisi yang berlaku di kalangan orang­orang Farisi sebagaimana telah kita sebutkan dalam bagian terdahulu tidak disepakati dalam disepakati di dalam kalangannya ini. Sedang otoritas Paus Roma masih memerlukan dasar hukum yang lebih kuat. Karena ini alasan ini juga menolaknya. Sebenarnya, jika ada orang yang bisa membuktikan kepada kita dengan kitab suci itu sendiri bahwa otoritas paus Roma berlandaskan dalil yang mempunyai kadar kekuatan yang sama dengan dalil otoritas imam-imam Yahudi masa lalu, keyakinan mengenai hal itu tidak akan tergoyahkan oleh kebrengsekan sebagian paus yang fasiq dan kafir. Di antara imam-imam Ibrani itu pun ada juga yang kafir dan fasiq. Kedudukan imam itu mereka capai dengan cara-cara jahat. Meski begitu berdasarkan pesan-pesan kitab suci mereka tetap memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan Alkitab (lihat Ulangan 17:11-12, 32:10 dan Maleakhi 2:8).18) Tetapi karena tidak ada dalil yang semacam ini, keraguan terhadap otoritas paus Roma pun tetap berlaku. Agar orang-orang tidak tertipu oleh sejenis robi kaum Ibrani ini, juga agar tidak berkeyakinan bahwa agama Katolik juga memerlukan seorang robi, kita harus menyebutkan bahwa syariat Musa adalah undang-undang umum sebuah negara. Dengan demikian memerlukan penguasa umum yang menjaganya. Jika setiap orang mempunyai kebebasan menafsirkan syariat sekehendak hati, negara itu tidak akan bertahan, sebaliknya akan pecah dan undang-undang umum itu akan menjadi undang-undang pribadi. Dalam kasus agama, urusannya sangat berbeda. Basis agama bukan amalan-amalan lahir, tetapi kesehatan jiwa. Dari situ dia tidak tunduk kepada undang-undang atau lembaga umum. Seorang manusia tidak bisa dipaksa dengan kekerasan atau undang-undang untuk mendapatkan kebahagiaan rohani. Yang diperlukan dalam masalah itu adalah nasihat-nasihat yang baik, pendidikan yang benar dan sebelum itu semua adalah hak penilaian yang bebas dan sehat. Dengan demikian, karena setiap orang memiliki hak mutlak dalam kebebasan berpikir, termasuk dalam masalah-masalah agama dan mustahil rasanya untuk mencabut hak ini dari seorang manusia, maka setiap orang mempunyai hak dan kekuasaan penuh untuk menilai agama. Setelah itu juga berhak menjelaskan dan menafsirkannya untuk dirinya sendiri. Sebetulnya, satu-satunya alasan yang mejadikan para hakim memiliki kekuasaan tertinggi dalam menafsirkan undang-undang yang berkenaan dengan aturan umum adalah karena ada keterkaitan dengan aturan umum itu sendiri. Karena alasan ini pula setiap orang mempunyai wewenang penuh dalam menafsirkan dan menilai agama karena termasuk dalam lingkup undang-undang pribadi. Atas dasar ini, jika imam umat Ibrani mendapatkan wewenang untuk menafsirkan undang-undang negara, kita sama sekali tidak boleh menyimpulkan bahwa paus Roma juga memiliki wewenang untuk menafsirkan agama. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Dari institusi robi bangsa Ibrani ini dengan mudah bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan penuh dalam urusan agama. Selain itu, kita juga bisa menarik kesimpulan dari keterangan terdahulu bahwa metode kita dalam menafsirkan kitab suci adalah lebih baik. Hal itu karena kekuasaan tertinggi dalam menafsirkan kitab suci berada pada setiap individu, maka tidak diperlukan landasan penafsiran lain kecuali cahaya natural yang dimiliki oleh semua orang. Tidak ada cahaya super natural (di atas alam) dan tidak pula ada kekuasaan luar. Jadi metode ini tidak boleh terlalu sulit hingga menjadi monopoli para filosof yang cerdas saja, tetapi juga harus bisa dipahami oleh tingkat kecerdasan dan kemampuan biasa yang dipunyai oleh semua orang. Pada bagian terdahulu sudah kita jelaskan bahwa metode kita seperti itu. Dan betul-betul terbukti bahwa kesulitan-kesulitan yang kita dapatkan itu timbul karena kesembronoan orang bukan karena metode itu sendiri.

Ancaman Pronografi

Pornografi dapat diidentifikasi sebagai penyakit sosial yang amat berbahaya. Dalam bahasa agama, pornografi dapat disebut sebagai biang kejahatan (umm al-khaba'its). Dikatakan demikian, karena pornografi dapat menimbulkan keburukan-keburukan lain dalam masyarakat. Pornografi dapat melemahkan ikatan-ikatan moral, serta mendorong timbulnya pola kehidupan baru yang cenderung permisif dan hedonistik.

Ancaman pornografi kini kian meningkat, tidak saja pornografi, tetapi juga pornoaksi. Pada yang pertama, kategori porno berbentuk foto atau gambar (grafis), sedangkan pada yang kedua (pornoaksi) berbentuk perbuatan atau perilaku. Tentu, yang kedua ini lebih mengancam, karena sifatnya yang langsung (live), konkret (externalized), dan menantang (interested).

Dalam bahasa Alquran, pornografi atau pornoaksi itu disebut tabarruj. Menurut para pakar tafsir, tabarruj berarti mempertontonkan segi-segi keindahan wanita (idzhar-u mahasin-i al-mar'at-i), atau memamerkan sesuatu yang menurut kelayakan harus ditutup (idzhar-u ma yajib-u ikhfa'uh-u). Firman Allah, "Dan hendaklah kamu jangan berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu." (QS al-Ahzab: 32).

Tabarruj seperti tersebut dalam ayat di atas menunjuk pada kebiasaan wanita zaman jahiliyah. Mereka biasa berdandan secara berlebihan dengan memperlihatkan perhiasan dan segi-segi keindahan tubuh mereka. Ini dilakukan justru ketika mereka hendak keluar rumah.

Kebiasaan mereka dalam hal ini kelihatannya tidak berbeda dengan wanita masa kini. Ini berarti, kebiasaan wanita pada zaman jahiliyah dulu (jahiliyyat al-ula) telah muncul kembali pada zaman jahiliyah modern sekarang (jahiliyyat al warn al'isyrin).

Wanita-wanita beriman diperintahkan agar meninggalkan kebiasaan jahiliyah. Mereka diminta agar lebih menjaga diri, dengan mengendalikan pandangan, menutup aurat, mengenakan kerudung atau jilbab, dan sama sekali tidak dibenarkan melakukan tabarruj (QS al-Nur: 31). Dalam suatu hadis, Rasulullah SAW melarang wanita dewasa membuka aurat. Dikatakan, aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali dua hal sebagai pengecualian, yaitu wajah dan telapak tangan (HR Abu Daud).

Dalam riwayat lain disebutkan, ketika diturunkan ayat 31 surat al-Nur di atas, wanita-wanita Muslimah serentak menutup kepala dan leher mereka. Bahkan, ada di antara mereka yang merobek kain sarung mereka sebagai kerudung atau jilbab.

Jadi, perintah agar wanita Muslimah menutup aurat, menjaga kesopanan, dan kepantasan dengan berkerudung atau berjilbab, bukanlah masalah khilafiyah, tetapi ajaran Islam yang sebenar-benarnya berdasarkan Alquran dan As-Sunah.

Setiap Muslim, setingkat dengan kemampuan yang dimiliki, harus berusaha melawan pornografi dan pornoaksi. Usaha ini dirasakan makin penting dilakukan di tengah-tengah ancaman pornografi dan pornoaksi yang semakin menggila dewasa ini.

sumber : Republika

Demokrasi Dalam Kacamata Syari'at

Saat ini umat Islam dihadapkan pada kenyataannya bahwa khilafah Islamiyah yang tadinya besar itu telah dipecah-pecah oleh penjajah menjadi negeri kecil-kecil dengan sistem pemerintahan yang sekuler. Namun mayoritas rakyatnya Islam dan banyak yang masih berpegang teguh pada Islam. Sedangkan para penguasa dan pemegang keputusan ada di tangan kelompok sekuler dan kafir, sehingga syariat Islam tidak bisa berjalan. Karena mereka menerapkan sistem hukum yang bukan Islam dengan format sekuler dengan mengatasnamakan demokrasi.

Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa diantaranya yang dapat kami sebutkan antara lain adalah :

Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi meski bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya sama sekali tidak ada dalam syariat Islam. Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro. Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon.

Termasuk adanya pembatasan masa jabatan penguasa. Sistem pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil rakyat. Adanya banyak partai sama kedudukannya dengan banyak mazhab dalam fiqih.

Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah hukum Allah SWT.

Namun sebagaimana yang terjadi selama ini di dalam dunia perpolitikan, masing penguasa akan mengatasnamakan demokrasi atas pemerintahannya meski pelaksanaannya berbeda-beda atau malah bertentangan dengan doktrin dasar demokrasi itu sendiri.

Sebagai contoh, dahulu Soekarno menjalankan pemerintahannya dengan gayanya yang menurut lawan politiknya adalah tiran, namun dengan tenangnya dia mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya dengan demokrasi terpimpin.

Setelah itu ada Soeharto yang oleh lawan politiknya dikatakan sebagai rezim yang otoriter, namun dia tetap saja mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya demokrasi pancasila. Di belahan dunia lain kita mudah menemukan para tiran rejim lainnya yang nyata-nyata berlaku zalim dan memubunuh banyak manusia tapi berteriak-teriak sebagai pahlawan demokrasi. Lalu sebenarnya istilah demokrasi itu apa ?

Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah komoditas yang sedang ngetrend digunakan oleh para penguasa dunia untuk mendapatkan kesan bahwa pemerintahannya itu baik dan legitimate. Padahal kalau mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir tidak ada negara yang benar-benar demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu sendiri.

Lalu apa salahnya ditengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri.

Kasusnya sama saja dengan istilah reformasi di Indoensia. Hampir semua orang termasuk mereka yang dulunya bergelimang darah rakyat yang dibunuhnya, sama-sama berteriak reformasi. Bahkan dari sekian lusin partai di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang tidak berteriak reformasi. Jadi reformasi itu tidak lain hanyalah istilah yang laku dipasaran meski -bisa jadi- tak ada satu pun yang menjalankan prinsipnya.

Maka tidak ada salahnya pula bila pada kasus-kasus tertentu, para ulama dan tokoh-tokoh Islam melakukan analisa tentang pemanfaatan dan pengunaan istilah demokrasi yang ada di negara masing-masing. Lalu mereka pun melakukan evaluasi dan pembahasan mendalam tentang kemungkinan memanfaatkan sistem yang ada ini sebagai peluang menyisipkan dan menjalankan syariat Islam.

Hal itu mengingat bahwa untuk langsung mengharapkan terwujudnya khilafah Islamiyah dengan menggunakan istilah-istilah baku dari syariat Islam mungkin masih banyak yang merasa risih. Begitu juga untuk mengatakan bahwa ini adalah negara Islam yang tujuannya untuk membentuk khilafah, bukanlah sesuatu yang dengan mudah terlaksana.

Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-isitlah yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syariat Islam.

Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah demokrasi, seperti Ustaz Abbas Al-`Aqqad yang menulisbuku ‘Ad-Dimokratiyah fil Islam’. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri.

Semua ini tidak lain merupakan bagian dari langkah-langkah kongkrit menuju terbentuknya khilafah Islamiyah. Karena untuk tiba-tiba melahirkan khilafah, tentu bukan perkara mudah. Paling tidak, dibutuhkan sekian banyak proses mulai dari penyiapan konsep, penyadaran umat, pola pergerakan dan yang paling penting adalah munculnya orang-orang yang punya wawasan dan ekspert di bidang ketata-negaraan, sistem pemerintahan dan mengerti dunia perpolitikan.

Dengan menguasai sebuah parlemen di suatu negara yang mayoritas muslim, paling tidak masih ada peluang untuk ‘mengislamisasi’ wilayah kepemimpinan dan mengambil alihnya dari kelompok anti Islam. Dan kalau untuk itu diperlukan sebuah kendaraan dalam bentuk partai politk, juga tidak masalah, asal partai itu memang tujuannya untuk memperjuangkan hukum Islam dan berbasis masyarakat Islam. Partai ini menawarkan konsep hukum dan undang-undang Islam yang selama ini sangat didambakan oleh mayoritas pemeluk Islam. Dan di atas kertas, hampir dapat dipastikan bisa dimenangkan oleh umat Islam karena mereka mayoritas. Dan bila kursi itu bisa diraih, paling tidak, secara peraturan dan asas dasar sistem demokrasi, yang mayoritas adalah yang berhak menentukan hukum dan pemerintahan.

Umat Islam sebenarnya mayoritas dan seharusnya adalah kelompok yang paling berhak untuk berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku dan memilih eksekutif (pemerintahan). Namun sayangnya, kenyataan seperti itu tidak pernah disadari oleh umat Islam sendiri. Tanpa adanya unsur umat Islam dalam parlemen, yang terjadi justru di negeri mayoritas Islam, umat Islammnya tidak bisa hidup dengan baik. Karena selalu dipimpin oleh penguasa zalim anti Islam. Mereka selalu menjadi penguasa dan umat Islam selalu jadi mangsa.

Kesalahannya antara lain karena persepsi sebagian muslimin bahwa partai politik dan pemilu itu bid`ah. Sehingga yang terjadi, umat Islam justru ikut memilih dan memberikan suara kepada partai-partai sekuler dan anti Islam. Karena itu sebelum mengatakan mendirikan partai Islam dan masuk parlemen untuk memperjuangkan hukum Islam itu bid`ah, seharusnya dikeluarkan dulu fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila memberikan suara kepada partai non Islam. Atau sekalian fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila hidup di negeri non-Islam.

Partai Islam dan Parlemen adalah peluang Dakwah:
Karena itu peluang untuk merebut kursi di parlemen adalah peluang yang penting sebagai salah satu jalan untuk menjadikan hukum Islam diakui dan terlaksana secara resmi dan sah. Dengan itu, umat Islam punya peluang untuk menegakkan syariat Islam di negeri sendiri dan membentuk pemerintahan Islam yang iltizam dengan Al-Quran dan Sunnah.

Tentu saja jalan ke parlemen bukan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam, karena politik yang berkembang saat ini memang penuh tipu daya. Lihatlah yang terjadi di AlJazair, ketika partai Islam FIS memenangkan pemilu, tiba-tiba tentara mengambil alih kekuasaan. Tentu hal ini menyakitkan, tetapi bukan berarti tidak perlu adanya partai politik Islam dan pentingnya menguasai parlemen. Yang perlu adalah melakukan kajian mendalam tentang taktik dan siasat di masa modern ini bagaimana agar kekuasaan itu bisa diisi dengan orang-orang yang shalih dan multazim dengan Islam. Agar hukum yang berlaku adalah hukum Islam.

Selain itu dakwah lewat parlemen harus diimbangi dengan dakwah lewat jalur lainnya, seperti pembinaan masyarakat, pengkaderan para teknokrat dan ahli di bidang masing-masing, membangun SDM serta menyiapkan kekuatan ekonomi. Semua itu adalah jalan dan peluang untuk tegaknya Islam, bukan sekedar berbid`ah ria.

Allah Takkan Ridho Kepada Orang Yang Pesimis

KEBIASAAN orang-orang besar yang dekat dengan Allah swt. adalah berjalan-jalan di sekelilingnya. Bukan sekadar berjalan-jalan belaka, tapi lebih untuk melihat dari dekat apa yang sedang terjadi. Biasanya mereka menjadikan semua itu sebagai perenungan lain. Begitu pula dengan Imam Abu Hanifah.

Suatu hari, ketika Imam Abu Hanifah tengah melakukan kebiasaannya itu, ia melewati sebuah rumah. Rumah itu terletak di pedesaan. Jendelanya terbuka. Tanpa diduga, dari dalam rumah tersebut terdengar suara orang mengeluh dan menangis. Cukup keras. Abu Hanifah mencoba mendekat, agar bisa mendengar lebih jelas. Ia melakukannya dengan perlahan-lahan, seolah tidak ingin diketahui oleh empunya rumah.

"Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini,” suara itu sekarang makin kedengaran dengan jelas, “agaknya tiada seorang pun yang lebih malang daripadaku. Nasibku ini sungguh celaka. Aku memang tidak beruntung. Sejak dari pagi, belum datang sesuap nasi atau makanan pun lewat di kerongkongku. Badanku lemah lunglai. Oh, adakah hati yang berbelas-kasihan sudi memberi curahan air walaupun setitik?"

Abu Hanifah terperanjat. Ia merasa kasihan. Di samping itu, ia juga merasa bertanggung jawab, ada seorang yang begitu memerlukan pertolongan tetapi ia tidak mengetahuinya. Bagaimana kalau ia tidak peduli, tentu Allah akan semakin tidak ridha kepadanya. Bergegas Abu Hanifah pun kembali ke rumahnya dan mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan itu berisi uang. Hendak diberikan bungkusan itu kepada orang tersebut. Abu Hanifah bergegas kembali ke rumah orang tersebut.

Setelah tiba, Abu Hanifah melemparkan begitu saja bungkusan itu ke rumah orang yang sedang meratap-ratap itu lewat jendelanya. Lalu ia pun meneruskan perjalanannya. Untuk sementara waktu, kelegaan terasakan oleh Abu Hanifah.

Mendapati sebuah bungkusan yang tiba-tiba saja datang dari arah jendelanya yang terbuka, bukan buatan terkejutnya orang tersebut. Sambil masih terus bertanya-tanya dalam hati, dengan tergesa-gesa ia membukanya. Setelah dibuka, tahulah ia bungkusan itu berisi uang. Cukup banyak ternyata. Namun tidak hanya uang. Juga ada secarik kertas di dalamnya. Kertas itu bertuliskan kata-kata Abu Hanifah yang isinya, “Hai kawan, sungguh tidak wajar kamu mengeluh seperti itu. Sesungguhnya, kamu tidak perlu mengeluh atau meratapi tentang nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cobalah memohon kepadaNya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus."

Karena diliputi kegembiraan mendapati bungkusan berisi uang, orang itu cenderung tidak mengacuhkan isi surat itu. Ia pun bersuka cita membelanjakan uang itu untuk kebutuhan sehari-harinya.

Keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu. Tapi ternyata, dari luar suara keluhan itu kedengaran lagi. Masih orang itu juga. "Ya Allah, Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Engkau tidak beri, akan lebih sengsaralah hidupku," ratapnya.

Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan secarik kertas dari luar. Tampaknya ia sudah menyiapkan bungkusan itu sebelumnya. Dan seperti biasanya, lalu dia pun meneruskan perjalanannya.

Orang itu kembali merasa beruntung melonjak-lonjak riang. Ia sudah yakin bungkusan itu pastilah berisi uang seperti yang ia terima sebelumnya. Tapi setelah itu, ia membaca tulisan dalam kertas yang tersampir bersama bungkusan uang itu. "Hai kawan, bukan begitu cara bermohon. Bukan begitu cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian 'malas' namanya, dan putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Tuhan melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan, jangan berbuat demikian. Raihlah kesenangan dengan bekerja dan berusaha. Kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan memperkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. InsyaAllah, akan dapat juga pekerjaan itu selama engkau tidak berputus asa. Nah, carilah segera pekerjaan. Aku doakan semoga bisa berhasil."

Usai membaca surat itu, dia termenung. Kali ini, dia insaf dan sadar akan kemalasannya. Selama ini dia sama sekali tidak berikhtiar dan berusaha.

Keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti ketentuan-ketentuan hidup. Ia juga tidak pernah melupakan orang yang telah memberikan nasihat itu.

Agar Tetap Bercahaya di Tengah Gelap

Berbaur dengan orang lain bukan tanpa resiko. Itu sebabnya Rasulullah saw lebih memuji orang yang mau berbaur dengan masyarakat dan mampu bersabar atas resiko dan kesulitan-kesulitannya, ketimbang orang yang tak mau berbaur dan tak mampu bersabar. Jadi syaratnya jelas, sabar.

Tanpa sabar bukan mustahil perbauran justru mendatangkan akibat negatif.Orang yang tidak sabar, bukannya mampu memberi warna dan pengaruh pada orang lain, tapi dikhawatirkan justru ia terbawa dan terwarnai oleh lingkungannya.

Dan kesabaran tak mungkin berdiri sendiri. Ada perangkat lain yang dibutuhkan agar seseorang mampu bertahan dan bersabar menghadapi berbagai gejolak dan resiko dari berbaur.

Pertama, memelihara niat ikhlas. Fondasi ikhlas yang kokoh takkan mampu menggoyahkan pemiliknya ketika ia harus menghadapi situasi sulit akibat dari kebenaran yang ia lakukan. Hidup berbaur dengan tetap mempertahankan identitas dan prinsip pasti menghadapi banyak tantangan. Bukan saja tantangan yang sifatnya menekan atau menghalangi, tapi juga tantangan yang datang dari pintu rayuan dan godaan. Disinilah keikhlasannya diuji. Karenanya, keikhlasan menjadi faktor terpenting untuk bisa menjadi pribadi yang kuat bertahan dengan prinsip dalam berbaur.

Kedua, meningkatkan ilmu pengetahuan. Seorang muslim dimanapun mempunyai misi. Sebuah misi harus diiringi dengan wawasan muatan pesan yang dibawanya. Wawasan ilmu dalam hal ini mencakup ilmu syariat yang berkait langsung dalam kehidupan masyarakat. Kekurangan bekal ilmu dapat menyebabkan seseorang terlalu mempermudah atau mempersulit masalah. Seorang muslim harus mengetahui batas keluasan dan keluwesan Islam. Sampai dimana batas-batas yang bisa ditolerir oleh syariat dan dimana batas-batas yang tidak dapat ditolerir. Rasulullah saw bersabda, “Berilah kabar gembira dan jangan menceraiberaikan. Permudahlah, jangan mempersulit.”

Ketiga, menjaga keteladanan dalam perilaku. Hal ini penting, karena umumnya masyarakat tidak terlalu tertarik pada uraian kata berupa nasihat atau wejangan. Mereka akan simpatik justru pada sikap dan perilaku baik yang langsung mereka lihat. Para ulama dakwah kerap mengumandangkan prinsip, “Ashlih nafsaka wad’u ghairaka,” atau perbaiki dirimu baru seru orang lain. Ini adalan tuntutan dalam syariat Islam.

Keempat, jangan lupa untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas hubungan dengan komunitas orang-orang shalih. Hal ini penting agar jiwa kita tetap memperoleh suplai semangat dan penyegaran saat bertemu dengan mereka. Rutinitas ini bahkan harus semakin ditingkatkan saat kita menghadapi banyak permasalahan dalam hidup.

Kelima, memahami pedoman dan tahapan dakwah. Kewajiban Islam itu bertingkat-tingkat. Sebagaimana kemungkaran juga bertingkat-tingkat. Diperlukan start tertentu yang berbeda-beda dalam mengadakan pembenahan. Suatu pola yang berhasil diterapkan pada seseorang, belum tentu bisa diterapkan pada orang lain. Selain pola pendekatan yang khas, seorang muslim seharusnya meyakini bahwa sebuah perubahan selalu memerlukan waktu. Sehingga, seorang muslim tidak akan mudah kecewa atau merasa gagal terhadap upaya perbaikan yang dilakukannya.

Keenam, memahami seni bergaul dengan orang lain. Berbaur dan berinteraksi dengan manusia tidak mudah karena masing-masing mereka memerlukan pendekatan tersendiri, sesuai dengan karakternya.

Ketujuh, perluas dan perbanyaklah pengalaman (tajribah). Aspek ini mempunyai pengaruh besar dalam membentuk pribadi yang bijaksana dalam berbaur dengan orang lain. Orang yang memiliki pergaulan luas, dari sisi syariat ilmunya lebih bermanfaat dan dakwahnya akan lebih cepat diterima karena ia telah menempatkan diri sesuai kondisi. Pengalamanlah yang akan memunculkan potensi, menambah kearifan dan kesabaran.

sumber: Tarbawi

ADAB MEMBACA Al QUR'AN

"Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an maka baginya sepuluh kebaikan. Sedangkan satu kebaikan itu dilipat gandakan hingga sepuluh kali. saya tidak mengatakan alif laam mim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, lam itu satu huruf dan mim juga satu huruf," (HR. Tirmidzi). Itu baru satu kata, lalu bagaimana kalau kita membaca satu juz atau lebih setiap malamnya?

Tentu sudah tak terhitung berapa banyak pahala yang mengalir ke catatan amal kita tanpa kita sadari. Belum lagi kalau saat itu bertepatan dengan malam lailatul qadar. Berarti apa yang kita lakukan pada saat itu sama dengan pahala yang kita peroleh ketika membaca Al-Qur'an selama 83 tahun lebih tanpa henti. Subhanallah. Dan, untuk menyambut datangnya bulan ini, seyogyanya kita memahami adab tilawah, adab membaca Al-Qur'an. Sehingga apa yang kita rencanakan sejak jauh-jauh hari itu bisa tercapai dengan baik.

1 . Membaca dalam keadaan suci dari hadats, menghadap qiblat dan duduk dengan baik

Al-Qur'an bukanlah seperti buku biasa, atau seperti surat kabar harian yang boleh dibaca di mana saja serta dalam keadaan apa pun. Tidak. Al-Qur'an jelas sangat berbeda dengan semua itu. Al-Qur'an merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala sumber hukum. Kitab suci yang terbebas dari perubahan hingga akhir zaman. Sehingga sudah sangat wajar bila kita harus memperlakukannya dengan khusus pula. Didahului dengan berwudlu, sebagai wujud pensucian diri. Lalu dilanjutkan dengan mengambil dan membawanya dengan tangan kanan, sebagai lam bang kebaikan, selanjutnya duduk dengan tenang dan siap untuk membacanya. Demikianlah yang harus dilakukan sebelum membacanya, sehingga Allah berfirman: "Tidak' menyentuhnya kecuali hambahamba yang disucikan". (Al-Waqiah: 79).

2. Membaca dengan tartil (perlahan-lahan)

Seringkali kita mendengar seseorang membaca Al-Qur'an dengan sangat cepat dan terburu-buru. Ia seperti orang yang sedang dikejar hantu. Atau bisa jadi kita juga terpancing untuk membacanya dengan cepat, agar lebih cepat selesai. Padahal membaca dengan cara seperti ini tentu sangat sulit menempatkan huruf pada makhraj yang benar. Terlebih lagi, pandangan mata kita kurang bisa terfokus dengan baik. Akibatnya, kesalahan demi kesalahan akan terus terulang tanpa kita sadari. Kata "Rahiim" yang berarti "Maha Penyayang" misalnya.

Bila mata kita melihat dengan cepat, bisa jadi lidah kita akan keseleo dan akhirnya membaca "Rajiim" yang bermakna "Yang dimurkai", ini kelihatannya sepele, tetapi sebenarnya suatu kesalahan yang sangat fatal karena arti kedua kalimat itu sangat bertolak belakang. Bayangkan, bila kesalahan itu terjadi pada lafadz basmalah, tentu hal ini sangat fatal. Karena itu, Allah berfirman: "Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan." (QS. Al-Muzammil: 4).

3. Membacanya dengan khusyu.

Tampakkan kesedihan bila membaca ayat yang menunjukkan ancaman dan siksa. Dan, berseriserilah bila mendengar berita gembira. Itulah nasehat Rasulullah kepada sahabat dan seluruh umat Islam. Sehingga tidak jarang kita menemukan ulama yang menangis tersedu-sedu. "Bacalah AIQur'an dan menangislah karenanya. Bila kalian tidak bisa menangis maka berpura-puralah untuk menangis." (HR. Bukhari dan Muslim). Berpura-pura menangis ini dilakukan ketika membaca Al-Quran send irian. Sedang tidak bersama orang lain. Agar keikhlasan tetap terjaga. Lihatlah! betapa tubuh seorang sahabat yang bernama Uwais al-Qarni menggigil hebat, lalu terjatuh dan pingsan cukup lama setelah membaca membaca firman Allah: "Ha mim. Oemi kitab yang menjelaskan, sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu motam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan.

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." Dia membacanya hingga "Kecuali orang-orang yang diberi rahmat Allah. Sesungguhnya Oialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. " (QS. Ad-Dukhan: 1-100).

4. Membacanya dengan suara yang enak didengar.

Bersyukur kepada Allah, bila dikaruniai suara yang merdu dan enak didengar adalah suatu keharusan. Caranya, dengan memanfaatkan kemerduan suara itu untuk membaca Al-Qur'an. Sehingga orang yang mendengar keindahan suara kita semakin tertarik dan ingin belajar membaca Al-Qur'an. Rasulullah SAW bersabda, "Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian." (HR. Bukhari). Tapi bila merasa khawatir akan ria atau sumah, maka bacalah Al-Qur'an dengan suara yang cukup didengar sendiri. "Orang yang membaca Al-Qur 'an dengan keras bagaikan orang yang bershadaqah dengan terang-terangan." (HR. Turmudzi).

5. Membaca dengan tadabur disertai dengan kehadiran hati untuk memahami arti dan rahasianya.

Hal ini sudah sangat jelas dan tidak perlu dibahas lebih jauh bahwaAl-Qur'an bukanlah kitab biasa yang hanya dibaca sambil lalu, tapi ia adalah pedoman hidup yang harus dihayati, bukan sekadar dibaca tanpa tahu makna dan maksudnya. Allah berfirman: 'Apakah mereka tidak merenungkan AI Qur'an." (QS. An-Nisa: 82) Sangat banyak yang bisa direnungkan. Bahkan diri kita juga menjadi obyek perenungan. Misalnya, bersyukurlah karena hidung kita tidak menghadap ke atas, karena kalau itu yang terjadi tentu air akan akan masuk ke dalam hidung setiap kali kita kehujanan atau mandi. Ini adalah contoh yang simpel dari sekian banyak obyek perenungan lainnya "Don (juga) pada dirimu sendiri Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Adz-Dzariyat: 21)

6. Bukan menjadi orang yang tidak menghiraukan apa yang dibaca.

Bersikap apatis dan acuh terhadap apa yang dibaca, tentu bukan sikap yang terpuji. Karena bisa jadi, saat itu kita melaknat diri sendiri. Memang, demikianlah akibatnya bila tingkah laku kita bertentangan dengan apa yang dibaca. "lngatlah! Kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dzalim." (QS. Huud: 18) Dengan demikian tidak ada pilihan lain, belajar bahasa arab merupakan solusi terbaik sehingga kita bisa memahami arti sekaligus penafsiran ulama. Atau setidak-tidaknya merujuk kembali kepada tejemah Al-Qur'an. Di dalam Taurat disebutkan, "Mengapa kamu tidak malu kepada-Ku? Ketika kamu mendapat kiriman surat dari seorang teman, kamu berhenti sejenak dan menyempatkan diri membacanya, huruf demi huruf. Agar kamu bisa memahaminya dengan baik dan tidak ada yang terlewatkan. Dan, inilah kitab yang Aku turunkan kepadamu. Perhatikan! Bagaimana Aku menjelaskan setiap permasalahan dengan terperinci. Dan perhatikan! betapa sering Aku mengulanginya sehingga kamu bisa merenungkannya. Tapi lihatlah! Apa yang kamu lakukan, kamu pun berpaling darinya. Sehingga Aku menjadi kurang bermakna bagimu dibandingkan dengan temanmu.

Wahai hamba-Ku! Bila datang seorang teman mengunjungimu, kamu pun menyambutnya dengan hangat. Kamu memperhatikan dan mendengarkannya dengan seksama. Bila ada orang yang mengganggu pembicaraanmu, kamu pun segera menyuruhnya untuk diam. Dan, inilah sekarangAku datang kepadamu, ingin berbicara denganmu. Tapi apa yang terjadi? Kamu pun berpaling dariku. Mengapa kamu menjadikan Aku lebih tidak bermakna dari seorang temanmu?" Demikianlah beberapa hal yang harus diperhatikan ketika membaca Al-Qur'an, sehingga kita "" tidak membacanya semau kita tanpa memperhatikan situasi dan kondisi. Ini semua agar tilawah kita lebih bermakna dan benar benar beda.