This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 29 Januari 2014

TA'LIM, TARBIYAH, & TA'DIB


Indahnya Hidup Dengan ILMU
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan Tuhanmu-lah yang maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.”
 Dunia pendidikan dalam Islam mendapatkan perhatian yang utama selain masalah ketahuidan. Surat Al-Alaq, sebagai wahyu pertama, secara tersirat menyuruh umat manusia untuk tidak serta merta “beriman” sebelum adanya “ilmu” sehingga orang bertauhid bukanlah tanpa dasar. Ruang “dialogis keimanan” ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir secara”hanif”, tanpa ada paksaan, untuk menerima ketauhidan universal Islam. Pendidikan dalam Islam bukanlah sebuah “transfer of knowledge” semata, pemindahan ilmu dari guru-murid, tanpa adanya dialog-dialog kritis dari kedua belah pihak (guru-murid), sebagaimana digambarkan dalam dialog antara Nabi Muhammad dengan Jibril saat menerima wahyu pertama di gua Hira’. Dengan adanya “umpan balik” antara guru-murid melahirkan berbagai macam konsep-konsep pendidikan dalam Islam, diantaranya: ta’lim, ta’dib dan tarbiyah. Kosep ini semua bermuara pada pendidikan transformatif, pendidikan yang menghantarkan peserta didik menjadi “ahsanu taqwim”. Pengertian ta’lim, ta’dib, dan tarbiyah. Ta’lim, secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal, ta’lim merupakan proses pemberian pengatahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’ seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78, “dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. Ta’dib, merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib diartikan sebagai proses mendidik yang di fokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar. Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas, kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya. Definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), pengasuhan (tarbiyah). Oleh sebab itu menurut Sayed An-Nuquib Al Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam. Tarbiyah, merupkan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan, yang berarti pendidikan. Sedangkan menurut istilah merupakan tindakan mangasuh, mendididk dan memelihara. Muhammad Jamaludi al- Qosimi memberikan pengertian bahwa tarbiyah merupakan proses penyampian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan secara setahap demi setahap. Sedangkan Al-Asfahani mengartikan tarbiyah sebagai proses menumbuhkan sesuatu secara setahap dan dilakukan sesuai pada batas kemampuan. Menurut pengertian di atas, tarbiyah diperuntukkan khusus bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya. Analisis perbandingan antara konsep ta’lim’, ta’dib dan tarbiyah Istilah ta’lim’, ta’dib dan tarbiyah dapatlah diambil suatu analisa. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan antara satu dengan lainnya, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak. Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampain ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik. Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi. Adapun ta’dib, titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Denga pemaparan ketiga konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiganya mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, perfect man, sehingga mampu mengarungi kehidupan ini dengan baik. waAllahu ‘alam.

ILMU ASAS MEMBANGUN PERADABAN (Ilmu, Ulama, dan Peradaban)

Ilmu Sebagai Asas Membangun Peradaban Islam (Ilmu, Ulama, dan Peradaban) Filsafat sebagai kerangka dasar untuk berfikir memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu, dengan filsafat manusia dibawa menuju kearah berfikir sistematis, kritis, radikal dan mendalam ketika memahami sesuatu, filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat bisa dijumpai pandangan pandangan tentang apa saja, kemudian mendiskusikannya, menguji kebenarannya, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Berbicara mengenai ilmu maka tidak akan lepas dari filsafat, semua ilmu baik ilmu alam, ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistemologi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses memperoleh pengetahuan. Di dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan, di dalam al Qur’an kata al-ilm dan kata kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali. Hadist juga menyatakan wajib dalam mencari ilmu. Namun kenyataan di kehidupan kita, masih banyak umat Islam yang lalai dalam mencari ilmu sehingga apa yang terjadi sekarang sangat memprihatinkan, keterbelakangan umat Islam dan kemundurannya tidak lepas dari kurangnya semangat dalam mencari ilmu, jika melihat sejarah, umat Islam maju karena ilmu, peradaban Islam tumbuh berkembang dengan pesat dengan ilmu, jadi bisa dikatakan bahwa ilmu adalah asas pencerahan dalam membangun peradaban Islam. Upaya membangun atau mencerahkan peradaban umat Islam sudah seringkali di dengar dan dikumandangkan, namun yang harus dipahami bahwa peradaban dibangun oleh pandangan hidup suatu masyarakat, yang tercermin dalam cara pandang mereka terhadap segala sesuatu, cara pandang ini berakar dari pada ilmu pengetahuan, khususnya tentang manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu pandangan hidup juga menentukan sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap alam semesta. Pandangan hidup ini juga memberikan kekuatan moral yang menjadi motor bagi akal dan aksi. Jadi, ilmu adalah akar peradaban dan peradaban adalah buah dari ilmu pengetahuan. Maka dari itu, membangun peradaban sejatinya adalah membentuk manusia yang berilmu pengetahuan alias manusia beradab. Kalaulah disepakati bahwa peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan. Karena ilmu dalam Islam adalah prasyarat untuk menguasai dunia, akhirat, dan dunia akhirat sekaligus, maka adalah wajar jika sebab kemunduran umat Islam adalah karena krisis ilmu. Sehubungan dengan itu kurang diperhitungkannya ummat Islam dalam percaturan dunia, dan pudar wibawa para ulama dan intelektual muslim di hadapan umatnya menimbulkan tanda tanya besar, jika kita menengok masa kejayaan dan era kemajuan yang telah dicapai pada masa lalu. Dewasa ini kenangan itu hanya tinggal kenangan manis yang mungkin sulit untuk terulang kembali jika tidak menjauhkan lamunan dan khayalan yang menina bobokan kita dari kesadaran dan realitas yang sebenarnya. Kengan manis itu hanya akan terulang kembali jika kita mau mengintropeksi diri dan menyadari kesalahan yang telah kita perbuat untuk mencari dan menemukan akar penyebabnya. Seringkali kita menyalahkan dan mengkambingkan umat lain atas kemunduran dan kemujudan ini, tanpa kita mau menyalahkan diri kita sendiri. Sebagaiman hal ini disinyalir oleh seorang cendikiawan muslim DR. Mahmus Syaltut, dimana beliau berkata “Islam itu dirintangi dan oleh orang-orang Islam itu sendiri.” Kita terlalu asyik hanyut dalam kenangan manis masa lalu tanpa menjadikannya sebagai cermin dan cambuk untuk meraih kesuksesan di masa sekarang dan masa yang akan datang, bahkan bukan hanya kesuksesan yang bersifat duniawi semata melainkan juga kesuksesan yang bersifat ukhrawi. Seandainya kita mau mengkaji dan meneliti secara seksama, maka sumber kemunduran dan kemujudan ini berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu agama secara khusus. Sebagaimana hal ini disinyalir oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dalam salah satu haditsnya,”Barang siapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya dengan ilmu, barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka hendaknya dengan ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dengan ilmu.” Sungguh dalam makna hadits tersebut, sehingga karena penghayatannya yang mendalam dan pengalamannya yang penuh keikhlasan, tidaklah aneh kalau kaum muslimin pada masa dahulu mampu meraih berbagai kesuksesan dan kejayaan di muka bumi ini. Kenyataan yang kita saksikan dewasa ini menjadi bukti yang nyata dan saksi bisu dari kekurangan kita dalam penguasaan ilmu pengetahuan, sehingga dalam kehidupan ini kita tak ubahnya bagaikan orang buta yang berjalan di kegelapan atau orang yang lumpuh yang menyaksikan keramaian, dimana kita berjalan dengan meraba dan tertatih, sementara orang lain berjalan sambil berlari bahkan memakai kendaraan. Kemuduran ini diperparah dengan lunturnya dan hilangnya kewibawaan para ulama dan para ilmuan muslim dewasa ini di hadapan ummatnya, sehingga ummat kehilangan panutan yang mendapat menjadi suri tauladan dalam mengejawantahkan ajaran ilahi dan risalah kenabian. Sumber penyebabnya adalah tercabutnya Nur (cahaya) Ilahi dari lubuk hati mereka, sehingga ilmu yang mereka miliki semata-mata hanya sebagai hiasan bibir yang tidak membias pada perilaku. Ilmu mereka tidak membuahkan perasaan takut kepada Allah dan amal sholeh. Padahal contoh dalam bentuk amal perbuatan jauh lebih baik daripada sebatas ucapan, sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya. Demikian juga hal itu telah ditegaskan oleh Allah SWT. Dalam firman-Nya,”Sesungguhnya yang takut kepada Allah Diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(Qs. Al-Fathir: 28). Ulama sebagai pelanjut risalah, sangat penting perannya dalam membawa umat kearah kehidupan yang diridhoi Allah, maka untuk mengenali siapa yang pantas dikatakan sebagai orang yang memiliki ilmu kita bisa melihat ungkapan dari Al khalil bin Ahmad, bahwa orang itu terbagi menjadi empat karakter. Pertama, orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu, dialah orang alim, maka bertanyalah (belajarlah) kepadanya. Kedua, orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Inilah orang yang lupa. Maka ingatkanlah ia. Ketiga, orang yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang minta bimbingan, maka bimbinglah ia. Keempat, orang yang tidak tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, inilah orang bodoh. Maka jangan bergaul dengannya). Dari sini jelaslah bahwa seorang dikatakan ulama adalah orang yang memiliki ilmu dan mengamalkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib bahwa,”innamal alim man amila bima alima”. Ini dimaksudkan adalah tujuan daripada ilmu adalah untuk diamalkan, dan amal itu sendiri harus dilandasi oleh ilmu. Melihat hal ini tidak mengherankan jika dalam perjalanannya kontribusi ulama dalam membangun peradaban Islam sangat ditentukan oleh aktifitasnya dalam mencari ilmu, dan bisa dikatakan hal ini sangat menentukan sekali, sebagaimana telah dilakukan oleh para ulama zaman dahulu, jadi, ilmu adalah akar peradaban dan diperlukan orang untuk menjalankannya yaitu ulama, sehingga ilmu yang mereka miliki akan menghasilkan sebuah peradaban Islam yang agung. Wallahu a’lam bissawab

KONSEP PENDIDIKAN KH HASYIM ASY'ARI

Penelusuran terhadap perkembangan peradaban dan kemajuan Islam dalam sejarahnya yang cukup panjang akan menghadapi problematika sendiri ketika tidak mengapresiasi teori-teori dan eksperimen-eksperimen pendidikan Islam. Sebab, pendidikan merupakan elan vital dalam transformasi peradaban umat manusia. Sebagaimana dinyatakan oleh Asma Hasan Fahmi, tokoh pendidikan kontemporer, pendidikan Islam menciptakan kekuatan-kekuatan yang mendorong untuk mencapai tujuan dan sekaligus menentukan perencanaan dan arah tujuan tersebut.[1] Dengan demikian, dinamika sebuah peradaban, mau tidak mau, melibatkan peranan pendidikan, sungguhpun dalam format dan kapasitas yang sederhana. “Apabila orang menganggap peradaban Islam itu sebagai titik perkembangan yang penting dalam sejarah manusia, karena ia mengandung unsur-unsur yang membawa perubahan-perubahan intellectual [intelektual], sosial dan politik, maka demikian pula orang harus melihat kepada pendidikan Islam yang merupakan fundamen bagi perubahan tersebut, dan sebagai pendidikan yang mempunyai pengaruh-pengaruh dan keistimewaan-keistimewaan yang memberi corak-corak yang berbeda dengan pendidikan-pendidikan yang lain”.[2] Para ahli pendidikan Islam telah menyediakan konsep-konsep pendidikannya dalam buku secara utuh atau tulisan yang menjadi bagian dalam tulisan lain, seperti Ibn Khaldun (808 H./1405 M) yang menuangkan pemikiran kependidikannya ke dalam Muqaddimah; al-Nawawi (676 H./1278 H.) dalam Adab al-Dâris wa al-Mudâris; Ibn Sahnûn (wafat 973 H./1274 M.) dalam Kitab Adab al-Mu’allimìn; Ibn Miskawaih dalam Tahdzìb al-Akhlâq; al-Zarnuji (wafat 600 H./1203 M.) dalam Ta’lìm al-Muta’alim Thuruq al-Ta’allum; Ibn Jamâ’ah (733 H./1333 M.) dalam Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fì Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, dan sebagainya.[3] Begitupun pada masa modern, tidak sedikit para intelektual muslim yang telah mampu menghadirkan karya-karya besarnya di bidang pendidikan. Sebut saja, di antaranya, KH. Hasyim Asy’ari dengan karyanya, Adab al-’âlim wa al-muta’allim fìmâ yahtâj ihah al-muta’allim fì Ahuwâl ta’allum wa mâ yataqaff ‘alaih al-mu’allim fì maqâmat ta’lìmih. Sungguhpun demikian, pemanfaatan terhadap kajian teoritisasi pendidikan Islam yang dilakukan oleh generasi muslim-akhir sangat minim. Kalangan intelektual muslim agaknya kurang memberi perhatian secara serius terhadap kekayaan Islam itu. Kajian yang lebih intens dilakukan adalah justeru berkutat pada sebuah pengulangan kajian praktis yang menghasilkan teoritisasi yang terbatas, baik dilihat dari sisi ruang maupun waktu. Kurangnya animo intelektual-muslim dalam mengapresiasi khazanah pendidikan tampaknya disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, pengalaman tradisi kependidikan yang berlangsung, terutama, semenjak jatuhnya Baghdad oleh kaum Mongol hingga masa-masa belakangan, kurang memberikan warisan yang menjanjikan bagi pembangunan peradaban. Pada sisi tradisi akademik misalnya, jadal yang pada awalnya didedikasikan sebagai metodologi dalam mencari argumentasi-ilmiah kemudian dijadikan sebagai ajang untuk saling menjatuhkan, sehingga yang terjadi kemudian adalah kalah-menang. Kedua, kecenderungan yang menggejala dalam dunia intelektual-muslim dewasa ini agaknya lebih banyak memfokuskan pada persoalan-persoalan yang memiliki ikatan erat dengan wacana keagamaan. Sementara persoalan pendidikan dipahami sebagai sesuatu yang lain (the other) dari kerangka keagamaan. Ketiga, mungkin sebagai faktor yang paling penting, disiplin kependidikan merupakan bagian ilmu pengetahuan yang kurang memiliki mata rantai yang bertautan dalam proses sejarahnya jika dibanding dengan disiplin ilmu yang lain, seperti ‘ulûm al-Qur’ân, ‘uluûm al-hadîts, dan fiqh. Beberapa alasan di atas agaknya memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap lemahnya perhatian terhadap dunia pendidikan. Melihat kenyataan di atas, tampaknya menjadi urgen jika kemudian segera dilakukan kajian mengenai pendidikan Islam, terutama yang berkaitan dengan khazanah pendidikan Islam. Melalui pengkajian yang dihasilkan tokoh pendidikan dimungkinkan akan menghasilkan tawaran-tawaran konsep pendidikan alternatif untuk perkembangan dewasa ini. Atau paling tidak, khazanah pendidikan itu dapat diapresiasi dengan baik. Tulisan ini sesungguhnya berusaha mengangkat tokoh kependidikan yang hidup pada abad modern dengan obyek kajian KH. Hasyim Asy’ari. Tokoh ini patut diangkat oleh karena memiliki beberapa pertimbangan. Pertama, KH. Hasyim Asy’ari telah menyediakan sebuah risalah kependidikan yang disusun secara khusus, yang berjudul Adab al-’âlim wa al-muta’allim fìmâ yahtâj ilaih al-muta’allim fì Ahwâl ta’allum wa mâ yatawaqaf ‘alaih al-mu’allim fì maqâmat ta’lìmih. Di dalam kitab tersebut, terkandung muatan-muatan kependidikan [Islam] yang patut dipertimbangkan. Kedua, ketokohan KH. Hasyim Asy’ari masih belum banyak dikaji oleh kaum intelektual. Padahal, ia merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat pada zamannya. Ketiga, karya kependidikan KH. Hasyim Asy’ari, Adab al-’âlim wa al-muta’allim’, dalam banyak hal, terutama sistematika dan redaksinya, memiliki sejumlah kesamaan dengan karya Ibn Jamâ’ah, Tadzkirat al-Sâmi’.[4] Misalnya, dalam etika bagi peserta didik terhadap dirinya, Ibn Jamâ’ah dan Hâsyim Asy’âri sama-sama menyebutkan sepuluh hal, yakni menyucikan jiwa dari hal-hal yang kotor, niat mencari ilmu karena Allah, bukan karena materi, menggunakan kesempatan untuk meraih ilmu pengetahuan, qanâ’ah dan sabar, membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, hati-hati dalam berperilaku, mengurangi makanan yang menyebabkan kebodohan dan kelemahan, mengurangi tidur, dan menjauhi pergaulan dengan lawan jenis.[5] Beberapa kesamaan ini, pada sisi tertentu, menunjukkan kemungkinan adanya afinitas ilmiah atau unsur lain yang membuat kemiripan itu terjadi. Akan tetapi, pada sisi lain, karya KH. Hasyim Asy’âri ini mendeskripsikan cukup menarik jika kemudian dikaji. K.H. Hasyim Asy’ari: Sketsa Biografis Nama lengkap KH. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-Wahid ibn ‘Abd al-Halim–yang mempunyai gelar Pangeran Bona–ibn Abd al-Rahman–yang dikenal dengan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo–ibn Abdullah ibn Abdu al-’Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden ‘Ain al-Yaqin–yang disebut dengan Sunan Giri.[6] Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari Selasa Kliwon 24 Dzulqa’dah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871.[7] KH. Hasyim Asy’ari wafat pada jam 03.45 dini hari tanggal 25 Juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.[8] Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu al-Quran dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo. Setelah lama menimba ilmu di pondok pesantren Sidoarjo, ternyata KH. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada KH. Ya’kub yang merupakan kyai di pesantren tersebut. Kyai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan puterinya, Khadijah.[9] Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri KH. Ya’kub tersebut. Setelah nikah, KH. Hasyim Asy’ari bersama isterinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua KH. Hasyim Asy’ari menganjurkannya untuk menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, KH. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, di antaranya adalah ilmu fiqh Syâfi’iyah dan ilmu hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim. Di saat KH. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Makkah, isterinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Sungguhpun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. KH. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syeikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Atthar, Syeikh Sayid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid Abdullah al-Zawawy, Syeikh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.[10] Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. KH. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu, ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. Keberhasilan KH. Hasyim Asy’âri dalam membuka kajian keagamaan ini didukung oleh faktor kepribadiannya yang luhur dan pantang putus asa, disamping ia memiliki kekuatan spiritual, karamah (keajaiban yang dimiliki oleh seorang wali). James Fox, seorang antropolog dari Australian National Universtity (ANU), menganggap KH. Hasyim Asy’âri seorang wali, sebagaimana dalam tulisannya: “… Jika kiai pandai masih dianggap sebagai wali, ada satu figur dalam sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kandidat utama untuk peran wali. Ini adalah ulama besar, Hadratus Syaikh—kiai Hashim Ash’ari [Hasyim Asy’âri]… Memiliki ilmu dan dipandang sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinya, Hasyim Asy’ari semasa hidupnya menjadi pusat pertalian yang menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap memiliki keistimewaan luar biasa. Menurut garis keturunannya, tidak saja ia berasal dari garis keturunan ulama pandai, dia juga keturunan Prabu Brawijaya.”[11] Bagi Hasyim Asy’ari, semangat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak ada putus-putusnya. Ia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang dicapai pada saat itu. Semangat ini kemudian mendorong Hasyim Asy’ari untuk berpindah ke tempat lain. Akhirnya, ia memilih daerah yang penuh dengan tantangan dan dikenal sebagai daerah “hitam”. Tepat pada tanggal 26 Rabi’ al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Pebruari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari banyak melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan sehingga ia tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal, tetapi juga pemimpin masyarakat secara informal. Sebagai pemimpin pesantren, KH. Hasyim Asy’âri melakukan pengembangan institusi pesantrennya, termasuk mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum belajar. Jika pada saat itu pesantren hanya mengembangkan sistem halaqah, maka KH. Hasyim Asy’âri memperkenalkan sistem belajar madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, di samping pendidikan keagamaan. Patut diketahui bahwa sistem madrasah dan memasukan kurikulum pendidikan umum di dalam pesantren ini merupakan sesuatu yang relatif baru dalam dunia pendidikan pesantren pada saat itu. Sedangkan perannya sebagai pemimpin informal, KH. Hasyim Asy’âri memberikan bantuan pengobatan kepada masyarakat yang membutuhkan, termasuk juga kepada keturunan Belanda.[12] Aktivitas KH. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh Abdul Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H.[13] Organisasi ini didukung oleh para ulama, terutama ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya, organisasi ini dikembangkan untuk meresponi wacana khilafah dan gerakan purifikasi yang ketika itu dikembangkan Rasyid Ridla di Mesir, tetapi pada perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekonstruksi sosial keagamaan yang lebih umum. Bahkan, dewasa ini, Nahdlatul Ulama berkembang menjadi organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Sebagai seorang intelektual, KH. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, di antaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis KH. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut. 1. Adab al-’âlim wa al-muta’allim fìmâ yahtâj ilaih al-muta’allim fì Ahwâl ta’allum wa mâ yatawaqaf ‘alaih al-mu’allim fì maqâmat ta’lìmih. 2. Ziyâdat ta’lìqât, radda fìhâ manzhûmat al-syaikh ‘Abd Allâh bin Yâsìn al-Fâsûrâni allatì bihujûbihâ ‘alâ Ahl Jam’iyyah Nahdlat al-’Ulamâ. 3. al-Tanbihât al-wâjibât liman yashna’ al-maulid al-munkarât. 4. al-Risâlat al-jâmi’at, sharh fìhâ ahwâal al-mautâ wa asyrâth al-sâ’at ma’ bayân mafhûm al-sunnah wa al-bid’ah. 5. al-Nûr al-mubìn fì mahabbah sayyid al-mursalìn, bain fìhi ma’nâ al-mahabbah lirasûl Allâh ma wâ yata’allaq bihâ man itttbâ’ihâ wa ihyâ al-sunnatih. 6. Hâsyiyah ‘al¬â fath al-rahmân bi syarh risâlat al-walì Ruslân li syaikh al-Isâm Zakariyâ al-Anshâri. 7. al-Durr al-muntatsirah fì al-masâil al-tis’i ‘asyrat, sharh fìhâ masalat al-thâriqah wa al-wil¬âyah wa mâ yata’allaq bihimâ min al-umûr al-muhimmah li ahl al-tharìqah. 8. al-Tibyân fì al-nahy ‘an muqâthi’ah al-ikhwân, bain fìh ahammiyat shillat al-rahim wa dharur qath’ihâ. 9. al-Risâlat al-tauhìdiyah, wahiya risâlah shaghìrat fì bayân ‘aqìdah ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah. 10. al-Qalâid fì bayân mâ yajib min al-’aqâid. Akan tetapi, cukup disayangkan bahwa sejumlah karya KH. Hasyim Asy’âri itu tidak seluruhnya dapat diperoleh oleh masyarakat umum secara bebas. Ada sebagian karya-karyanya yang belum dipublikasikan. Dimungkinkan karya-karya yang belum dipublikasikan itu disebabkan oleh sistem dokumentasi yang kurang maksimal. Terbukti, perhatian organisasi ke-NU-an kurang terlihat dalam mendokumentasikan dan mempublikasikan karya-karya KH. Hasyim Asy’ari, yang merupakan founding father NU. Sungguhpun demikian, dari sebagian karya KH. Hasyim Asy’âri dan data-data yang tersedia itu cukup memberikan ketertarikan bagi sebagian intelektual untuk melakukan penelitian dari berbagai perspektif. Terbukti terdapatnya penelitian yang memfokuskan baik pada ketokohan KH. Hasyim Asy’âri maupun pada pemikirannya yang relatif banyak. Bahkan, penelitian itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri an sich, tetapi juga di luar negeri. Karya Kependidikan: Adab al-’âlim wa al-Muta’allim Kitab Adab al-’âlim wa al-Muta’allim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumaday al-Tsâni tahun 1343 H.[14] KH. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[15] Dalam konteks ini, KH. Hasyim Asy’âri tampaknya berkeinginan bahwa dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan itu disertai oleh perilaku sosial yang santun (al-akhlâq al-karîmah). Memang, konsep kependidikan yang bertitik tolak pada etika, termasuk karya KH. Hasyim Asy’âri, ini kurang menjanjikan bagi pengembangan nalar yang kritis. Hal ini lebih disebabkan oleh titik sentral antara akhlak yang luhur dan nalar yang kritis berseberangan secara diametral. Akhlak lebih dibanyak ditentukan oleh faktor keyakinan (hati), sebagai sumber berperilaku, sedangkan nalar beranjak dari akal pikiran (ratio). Keduanya, hati dan akal pada akhirnya akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim ini, secara keseluruhan, terdiri atas delapan bab yang masing-masing membahas tentang keutamaan ilmu dan ilmuwan serta pembelajaran, etika yang mesti dicamkan dalam belajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru, etika yang harus diperhatikan bagi guru, etika guru ketika dan akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya, etika menggunakan literatur, dan alat-alat yang digunakan dalam belajar. Kedelapan bab tersebut sesungguhnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian penting, yakni signifkansi pendidikan, tanggung jawab dan tugas murid, serta tanggung jawab dan tugas guru. Bagi kalangan pesantren, kitab ini bukanlah literatur baru yang mereka jumpai. Terutama di pesantern-pesantren Jawa Timur, kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim ini menjadi buku dars yang selalu dikaji. Buku ini telah dicetak dalam jumlah yang relatif banyak yang untuk terbitan pertama dicetak tahun 1415 H. oleh maktabah al-turâts al-islâmiy pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Secara akademis, sudah ada yang meneliti karya KH. Hasyim Asy’ari ini namun masih dalam jumlah yang relatif minim. Sejauh penelusuran penulis, paling tidak ada dua penelitian yang telah dilakukan untuk kepentingan penyelesaian tesis di program pascasarjana (S2) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang memfokuskan pada kitab ini. Kedua penelitian tersebut adalah Maslani, M.Ag. dengan judul penelitian “Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Karyanya Adab al-’âlim wa al-muta’allim: Suatu Upaya Pengungkapan Belajar-Mengajar” tahun 1997 dan Nurdin, M.Ag. dengan judul penelitian “Etika Belajar Mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim” tahun 1999. Pada penelitian pertama, pembahasan tampaknya lebih banyak difokuskan pada teoritisasi mengenai signifikansi pendidikan dan tugas serta tanggung jawab bagi murid dan guru.[16] Sedangkan penelitian terakhir menelusuri konsep etika belajar mengajar dalam perspektif KH. Hasyim Asy’ari dan implikasinya bagi dunia pendidikan Islam.[17] Karakteristik Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari Hasan Langgulung membuat polarisasi terhadap karakteristik pemikiran pendidikan. Polarisasi itu didasarkan atas literatur-literatur kependidikan yang ditulis oleh sejumlah penulis-muslim. Menurutnya, ada empat corak pemikiran kependidikan Islam yang dapat dipahami. Pertama, corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqh, tafsir dan hadits yang kemudian mendapat perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm (384-456 H.) dengan karyanya Kitâb al-Mufashshal fì al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Kedua, corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Contohnya adalah Abdullah ibn Muqaffa (106-142 H./724-759 M.) dengan karyanya Risalat al-Shahâbah dan al-Jâhiz (160-255 H./755-868 M.) dengan karyanya al-Tâj fì Akhlâk al-Muluk. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis. Contohnya adalah corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, Ikhwân al-Shafa dan para filosof. Keempat, pemikiran pendidikan Islam yang berdiri sendiri dan berlainan dengan beberapa corak di atas, tetapi ia tetap berpegang pada semangat al-Quran dan hadits. Corak yang terakhir ini terlihat pada karya Muhammad ibn Sahnûn (wafat 256 H./871 M.) dengan karyanya Adab al-Mu’allim, dan Burhan al-Dìn al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H.) dengan karyanya Ta’lìm al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum.[18] Jika mengacu pada tawaran Hasan Langgulung di atas maka tampaknya Adab al-âlim wa al-muta’allim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini didasarkan atas kenyataan yang ada dalam kitab tersebut yang tidak memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqh, sastera, dan filsafat. Kitab ini semata-mata memberi petunjuk praktis bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu, Adab al-âlim wa al-muta’allim mempunyai banyak kesamaan dengan Ta’lîm al-Muta’allim karya al-Zarnuji dan lebih-lebih dengan Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakalim fì Adab al-’âlim wa al-muta’allim karya Ibn Jamâ’ah. Kesamaan ini paling tidak adalah pada tingkat sama-sama membahas secara khusus ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan sejumlah ulama. Di sisi lain, karakter pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari dapat dimasukkan ke dalam garis madzhab Syafi’iyah. Bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan hal itu adalah banyaknya ulama syafi’iyah, termasuk Imam al-Syafi’i sendiri, yang sering kali dikutip oleh penulis kitab ini ketimbang ulama madzhab lain. Dengan pengungkapan ide-ide madzhab yang dianutnya, menurut ‘Abd al-Mu’idz Khan, pasti mempengaruhi pemikirannya tentang pendidikan.[19] Kecenderungan lain dalam pemikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah mengetengahkan nilai-nilai estetis yang bernafaskan sufistik. Kecenderungan ini dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya, misalnya dalam keutamaan menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan bahwa bagi KH Hasyim Asy’ari keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah bagi orang yang benar-benar li Allâh ta’âla. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan aspek-aspek keduniawian.[20] Kecenderungan demikian agaknya lebih didominasi oleh pemikiran KH. Hasyim Asy’âri yang juga menekankan pada dimensi sufistik sehingga cukup kentara nuansa-nuansa demikian pada karyanya itu. Bahkan, kecenderungan ini merupakan wacana umum bagi literatur-literatur kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan-persoalan sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali. Signifikansi Pendidikan Sisi pendidikan yang cukup menarik perhatian dalam konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari adalah sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan pengajaran. Kekuatan dalam hal ini terlihat pada penekanannya bahwa eksistensi ulama, sebagai orang yang memiliki ilmu, menduduki tempat yang tinggi. Karena itu, dalam bab pertama kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim, KH. Hasyim Asy’ari mengawali pembahasannya mengenai hal itu dengan urutan-urutan argumentasi nash (al-Quran) kemudian hadits dan pendapat para ulama. KH. Hasyim Asy’ari memaparkan tingginya status penuntut ilmu dan ulama dengan mengetengahkan dalil bahwa Allah mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman.[21] Di tempat lain, KH. Hasyim Asy’ari menggabungkan surat al-Fathir (Q.S. 35) ayat 8 dan surat al-Bayinah (Q.S. 89) ayat 7-8. Premis dalam surat pertama menyatakan bahwa ulama merupakan makhluk yang paling takut kepada Allah, sedangkan pada surat kedua dinyatakan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah makhluk yang terbaik. Kedua premis ini kemudian memberi sebuah konklusi bahwa ulama merupakan makhluk yang terbaik di sisi Allah (khair al-bariyyah). Dalam memahami tesis di atas, KH. Hasyim Asy’âri sesungguhnya berusaha mengedepankan pemikiran bahwa dalam menghadapi segala persoalan hendaknya dimulai dari paradigma normatif yang bersumbu pada titik sentral ketuhanan. Paradigma ini diasumsikan akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan secara tuntas dan tidak menimbulkan spekulasi yang berkepanjangan. Dimensi ketuhanan hendaknya mampu menjelma pada partikulasi-partikkulasi, terutama dalam perilaku sosial, sehingga secara kesuluruhan menunjukkan satu bingkaian yang utuh. Tampaknya, KH. Hasyim Asy’âri berkeyakinan bahwa orang yang mampu menunjukkan integritas dalam berperilaku adalah makhluk Tuhan yang terbaik. Ketegasan tingginya derajat orang yang berilmu ini seringkali diulang, misalnya dengan argumentasi hadits “al-’ulamâ waratsat al-anbiyâ”, [ulama adalah pewaris Nabi]. Hadits ini sesungguhnya menyatakan secara jelas bahwa derajat para ulama adalah setingkat lebih rendah di bawah derajat para Nabi. Sementara menurut KH. Hasyim Asy’ari, tidak ada derajat yang lebih mulia daripada derajat Nabi. Oleh karena itu, derajat ahli ibadah lebih rendah daripada ulama. Bahkan, KH. Hasyim Asy’ari sering mengutip hadits dan pendapat ulama serta menyatakan pendapatnya tentang perbandingan ibadah dengan ilmu. Menurut Nabi, tingginya derajat ulama jika dibanding dengan ahli ibadah, pertama, bagaikan utamanya Nabi dibanding dengan manusia selainnya, kedua, bagaikan terangnya bulan purnama dibanding dengan cahaya bintang, dan ketiga, bagi setan lebih sulit menggoda seorang cendekiawan daripada menggoda seorang cendekiawan daripada seribu ahl ibadah.[22] Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari di atas tampaknya mengikuti pemikiran tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti al-Ghazali. Sebab, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari ini sama dengan hirarki yang dibuat oleh al-Ghazali, yakni ahl al-ilm lebih utama daripada ahl al-ibadah, dengan menyajikan alasan-alasan ayat al-Quran, hadits, dan pendapat para ulama.[23] Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari ini tampaknya menyiratkan sebuah pengertian bahwa yang menjadi sentral pendidikan adalah hati. Penekanan pada hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan progresivisme dan essensialisme. Aliran progresivisme–yang dipelopori oleh John Dewey–menyatakan bahwa sentral pendidikan adalah pikiran dan kecerdasan. Pikiran dan kecerdasan ini merupakan motor penggerak dan penentu ke arah kemajuan sekaligus penuntun bagi subyek untuk mampu menghayati dan menjalankan sebuah program.[24] Dengan demikin, aliran progresivisme menitikberakan pada aspek kecerdasan. Sedangkan aliran essensialisme menyatakan bahwa materi utamalah yang menentukan dan memantapkan pikiran serta kecerdasan manusia. Materi (bahan pengajaran) itulah yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang hakiki dalam sebuah perkembangan peradaban dan kebudayaan.[25] Atas dasar klasifikasi tersebut, menjadi semakin jelas bahwa KH. Hâsyim Asy’ari menempatkan corak kependidikannya sebagai corak yang berbeda dari corak-corak kependidikan yang lain, yakni tidaklah bercorak progressif ataupun esensialis. Perbedaan-perbedaan ini dimungkinkan oleh karena adanya titik pandang yang tidak sama dalam memahami manusia. Baik aliran progresivisme maupun essensialisme, sama-sama mendasarkan pandangannya pada penelitian-penelitian yang bersifat fisik-empiris. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari–yang identik dengan pemikiran al-Ghazali–menyimpulkan bahwa substansi manusia bukan terletak pada usur fisiknya, tetapi pada hatinya. Sebagai pandangan kependidikan yang didasarkan atas hati, memang dengan sendirinya akan menghadapi kesulitan tersendiri, terutama dikontekskan dalam usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah. Sebab, usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah membutuhkan kerangka empris sehingga agak sulit untuk mencari titik temunya. Kecenderungan para filosof Barat dalam memandang manusia lebih banyak dari sisi antroposentris, sedangkan filosof Islam–dalam hal ini, misalnya, al-Ghazali—memandangnya dari sisi theosentris. Dengan demikian, dalam pendidikan Islam, tugas pendidik tidak hanya mencerdaskan pikiran–sebagaimana aliran progresivisme–atau menyiapkan bahan pengajaran yang baik–sebagaimana aliran essensialisme–melainkan juga pada bagaimana membimbing, mengarahkan, dan menuntun hati agar dekat kepada Allah.[26] Sungguhpun demikian, dalam kenyataan banyak dijumpai bahwa tugas kependidikan lebih banyak difokuskan pada aspek yang terakhir itu, yakni bagaimana membentuk orang-orang yang shaleh dalam perspektif Tuhan, tentunya Tuhan dalam sesuatu yang dipahaminya. Sementara aspek yang lain, yang tidak kalah pentingnya, yakni penguatan kecerdasan dan penguasaan materi pelajaran, menjadi terabaikan. Hal ini dimungkinkan oleh berbagai hal, di antaranya adalah cukup intennya intervensi pemahaman keagamaan yang kurang memberi penghargaan terhadap aspek kecerdasan dalam aplikasi kependidikan. Kenyataan ini semakin mempermudah dalam menafikan dimensi-dimensi kependidikan yang kritis. Relasi Peserta Didik-Pendidik Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, KH. Hasyim Asy’ari menyarankan kepada peserta didik untuk memperhatikan sepuluh etika yang mesti dicamkan ketika belajar. Kesepuluh etika itu di antaranya adalah membersihkan hati dari berbagai penyakit hati dan keimanan, memiliki niat yang tulus–bukan mengharapkan sesuatu yang material–, memanfaatkan waktu dengan baik, bersabar dan memiliki sikap qanaah, pandai membagi waktu, tidak terlalu banyak makan dan minum, bersikap hati-hati, menghindari dari makanan yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan, tidak memperbanyak tidur, dan menghindari dari hal-hal yang kurang bermanfaat. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik, peserta didik mesti memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam hal ini, perlu adanya batasan atau karakteristik pendidik yang baik. KH. Hasyim Asyari menyebutkan ciri-ciri tersebut, yaitu cakap dan profesional (kalimaat ahliyatuh), kasih sayang (tahaqqaqat syafaqatuh), berwibawa (zhaharat muru’atuh), menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan martabat (‘urifat iffatuh), berkarya (isytaharat shiyânatuh), pandai mengajar (ahsan ta’lìm), dan berwawasan luas (ajwa tafhîm). Kehati-hatian dalam memilih pendidik ini didasarkan atas pandangannya bahwa ilmu itu sama dengan agama. Oleh karena itu, peserta didik harus tahu dari mana agama itu diperoleh.[27] Tentu saja, persyaratan-persyaratan itu tidak selamanya secara keseluruhan ditemukan dalam seorang guru. Adanya persyaratan-persyaratan itu tampaknya lebih difokuskan pada kerangka yang dapat menuntun peserta agar kritis-selektif dalam memilih guru sehingga proses pengalaman kependidikannya nanti dapat memberi hasil. Peserta didik harus memiliki anggapan (image) dalam dirinya bahwa pendidik itu mempunyai kelebihan tersendiri dan sangat berwibawa, sehingga peserta didik harus mengetahui dan mengamalkan etika berbicara dengan pendidik. Bahkan, ketika peserta didik berangkat ke pendidik hendaknya bersedekah dan berdoa terlebih dahulu untuk pendidik.[28] Peserta didik harus senantiasa sabar terhadap segala kekasaran dan kesalahan pendidik, selama tidak menjadi kebiasaan dan tidak menggoyahkan keimanan. Meski sikap yang ditampilkan pendidik tidak mencerminkan etika dan akhlak yang luhur, tetapi bagi peserta didik hendaknya menyikapiya dengan arif. Sebab, respon demikian memberi kebahagiaan dan menjaga perasaan pendidik, di samping ilmu yang didapat lebih bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.[29] Perspektif demikian agaknya lebih banyak didukung oleh asumsi-asumsi bahwa guru merupakan sosok yang patut digugu dan ditiru sementara peserta didik didudukkan sebagai orang yang belum memiliki kecakapan-kecakapan tertentu sehingga masih menergantungkan pada guru itu. Pola hubungan antara peserta didik dengan pendidik seperti yang dikembangkan KH. Hasyim Asy’ari di atas agaknya menyiratkan pada sebuah pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh aspek guru. Guru tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (knowledge) kepada peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh secara signifikan terhadap pembentukan perilaku (etika) peserta didik. Akhir Tulisan di atas memperlihatkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh pendidikan yang dibuktikan dengan karyanya berjudul Adab al-’âlim wa al-muta’allim. Dalam karyanya itu, KH. Hasyim Asy’ari cenderung lebih menekankan pada unsur hati sebagai titik tolak pendidikannya. Sebab, hatilah yang mendorong sebuah etika itu muncul. Kecenderungan pada aspek hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan yang lain, seperti aliran progresivisme dan essensialisme. Di samping itu, KH. Hasyim Asy’ari memandang pendidik sebagai pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuan di samping pembentuk sikap dan etika peserta didik. Wa Allâh a’lam.[] Daftar Pustaka Aceh, Abubakar. 1975. Sejarah Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH A Wahid Hasyim. Adnan, Abdul Basit. 1982. Kemelut di NU: Antara Kyai dan Politisi. Solo: Mayasari. Asy’ari, K.H. Hasyim. 1415. Adab al-’âlim wa al-muta’allim fìmâ yahtâj ilaih al-muta’allim fì Ahwâl ta’allum wa mâ yatawaqaf ‘alaih al-mu’allim fì maqâmat ta’lìmih. Jombang: Turâts al-Islâmiy. Barnadib, Imam. 1986. Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan. Yogyakarta: Andi Offset. Bruinessen, Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (terj. Farid Wajidi). Yogyakarta: LKiS. Fahmi, Asmâ Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (terj. Ibrahim Husein). Jakarta: Bulan Bintang. al-Ghazali, Abu Hamid. 1939. Ihyâ ‘Ulûm al-Dìn (juz I). Kairo: Mushthafa al-Bâbi al-Halabi. al-Kinâni, Badr al-Dìn ibn Jamâ’ah. 1354. Tadzkirat al-sâmi’ fì adab al-’âlim wa al-muta’allim. Beirut: Dâr al-Ma’ârif. Langgulung, Hasan. 1992. Asas-asas Pendidikan Islam (cet. ke-2). Jakarta: Pustaka al-Husna. Maslani. 1997. “Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Karyanya Adab al-’âlim wa al-muta’allim: Suatu Upaya Pengungkapan Belajar-Mengajar,” Tesis. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga. Mochtar, Affandi. 1993. “The Method of Muslim Learning as Illustrated in al-Zarnuji’s Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum,” Tesis. Montreal: McGill University. Nakosteen, Mehdi. 1964. History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education. Colorado: University of Colorado Press. Nugraha, Ridjaluddin Fadjar. 1983. “Peranan KH Hasyim Asy’ari dalam Kebangkitan Islam di Indonesia,” Skripsi. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. Nurdin. 1999. “Etika Belajar Mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim,” Tesis. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga. Syihab, Muhammad Asad. 1994. Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. ________________________________________ [1] Asmâ Hasan Fahmi, “Mabâdi al-Tarbiyah al-Islâmiyah” diterjemahkan oleh Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. ke-1, h. 7. [2] Ibid. [3] Informasi mengenai para penulis pendidikan abad pertengahan dan karyanya dapat dilihat pada Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education AD. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education, (Colorado: University of Colorado Press, 1964), h. 75-106. [4] Badr al-Dìn Ibn Jamâ’ah al-Kinâni, Tadzkirat al-sâmi’ fì adab al-’âlim wa al-muta’allim, (Beirut: Dâr al-Ma’ârif, 1354 H.) [5] Baca Ibid., hal. 67-85 dan Muhammad Hâsyim Asy’âri, Adab al-‘Âlîm wa al-Muta’allim fî mâ Yahtâj ilaih al-Muta’allim fî Ahwâl Ta’lîmih wa mâ Yatawaqaf ‘alaih al-Mu’allim fî Maqâmât Ta’lîmih, (Jombang: Maktabah al-Turâts al-Islâmy, pondok pesantren Tebu Ireng, 1415 H.), hal. 24-28. [6] KH. Hasyim Asy’ari, ibid., h. 3. [7] Ibid. Baca juga, Ridjaluddin Fadjar Nugraha, “Peranan KH Hasyim Asy’ari dalam Kebangkitan Islam di Indonesia”, Skripsi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1983), h.7 [8] Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1994), h. 73. Lihat Abdul Basit Adnan, Kemelut di NU: antara Kyai dan Politisi, (Solo: Mayasari, 1982), cet. ke-1, h. 35. [9] Sebagaimana lazimnya tradisi pesantren, jika sang kyai mengetahui ada santrinya yang cerdas, pintar, tulus, dan potensial, maka sang kyai menjodohkannya dengan anaknya. Begitu juga terhadap Hasyim Asy’ari, Kyai Ya’kub pada suatu hari memanggil santrinya itu, “Hasyim, saya mengerti dan tahu bahwa engkau seorang santri yang benar-benar rajin dan sungguh-sungguh dalam belajarnya. Dan lebih tahu dan mengerti pula saya bahwa setengah dari pada sifat-sifatmu, ialah tiada suka membantah akan perintah guru. Hal itu telah saya ketahui benar-benar. Maka oleh karena itu saya menghendaki … menjodohkan kamu dengan anak saya sendiri yang bernama “Khadijah”, bagaimana pendapatmu?” Baca Ridjaluddin Fadjar Nugraha, op.cit., h. 16-17. [10] Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KHA Wahid Hasyim, 1975), h. 35. [11] Lihat James J. Fox, “Ziarah visits to the tombs of the Wali, the Founders of Islam on Java”, dalam M.C. Ricklefs (ed.), “Islam in the Indonesian Social Context”, (Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1991), h. 30, dalam Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 20. [12] Diceritakan bahwa pada suatu hari, anak seorang bos pabrik gula keturunan Belanda sakit parah yang tidak dapat disembuhkan oleh banyak dokter. Ia baru sembuh setelah minum air yang telah diberkahi KH. Hasyim Asy’ari. Baca ibid. [13] H. Abu Bakar Aceh, op.cit., h. 473. [14] Lihat KH. Hasyim Asy’ari, op.cit., h. 101. [15] Baca ibid., h. 11-12. [16] Baca Maslani, “Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Karyanya Adab al-’âlim wa al-muta’allim: Suatu Upaya Pengungkapan Belajar-Mengajar”, Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997). [17] Baca Nurdin, Mag., “Etika Belajar Mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim” Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999). [18] Baca Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), cet. ke-2, h. 123-129. [19] ‘Abd al-Mu’idz Khan dalam Affandi Mochtar, The Method of Muslim Learning as Illustrated in al-Zarnuji’s Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, Tesis, (Montreal: McGill University, 1993), h.9-10. [20] Baca KH. Hasyim Asy’ari, op.cit., h. 22-23. [21] Lihat Q.S. al-Mujâdilah (58): 11. [22] Lihat sabda Nabi yang artinya, “segala sesuatu sesembahan kepada Allah tidak ada yang lebih berharga daripada kepandaian dalam beragama. Bagi setan lebih sulit menggoda satu orang yang ahl ‘ilm daripada seribu ahl ibadah. [23] Baca al-Ghazali, Ihyâ ‘ulûm al-Dìn, juz I, (Kairo: Mushthafa al-Bâbi al-Halabi, 1939), h. 6-7. [24] Lihat Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1986), h. 11. [25] Lihat Maslani, op.cit., h. 47. [26] Ibid. [27] KH. Hasyim Asy’ari, op.cit., h. 29. [28] Ibid., h. 30-31. [29] Ibid., h. 32-33.