This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 10 Maret 2014

Mandi Besar

Mandi disyariatkan Alquran dan sunah. Allah berfirman, "Jika kalian junub, maka mandilah." (Al-Maidah: 6).

Allah juga berfirman, "(Jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi." (An-Nisa: 43).

Rasulullah saw. bersabda, "Jika kemaluan laki dan kemaluan wanita saling bersentuhan, maka wajiblah mandi." (HR Muslim).

Hal-Hal yang Mewajibkan Mandi

  1. Jinabat atau yang berkaitan dengan hubungan suami istri, yaitu apabila dua alat kelamin saling bertemu, meskipun tanpa inzal (orgasme). Inzal adalah keluarnya mani (sperma) disertai dengan kenikmatan dari laki-laki maupun perempuan, baik dalam keadaan terjaga maupun sedang tidur. Allah berfirman, "Jika kalian junub, maka mandilah." (Al-Maidah: 6). Rasulullah saw. bersabda, "Jika dua alat kelamin telah bertemu, maka wajib mandi." (HR Muslim).

  2. Berhentinya darah haid dan nifas. Berdasarkan dalil firman Allah, "Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (mandi)." (Al-Baqarah: 222). Rasulullah saw. bersabda, "Tahanlah selama engkau menahan haidmu, kemudian mandilah." (HR Muslim).

  3. Masuk Islam. Barang siapa dari orang-orang kafir masuk Islam, ia wajib mandi. Rasulullah saw. menyuruh Tsumamah al-Hanafi untuk mandi ketika masuk Islam.

  4. Kematian. Ketika orang muslim mati, ia wajib dimandikan. Karena, Rasulullah saw. memerintahkan hal tersebut, yaitu saat kematian Zainab, seperti disebutkan dalam hadis sahih.

Hal-Hal yang Disunahkan untuk Mandi

  1. Hari Jumat, berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi orang yang telah mimpi (basah)." (Mutaffaq Alaih).

  2. Ihram. Orang yang ihram, baik untuk haji maupun umrah, disunahkan mandi. Selain hal itu, adalah kebiasaan Rasulullah saw., beliau juga memerintahkannya.

  3. Memasuki Mekah dan wukuf di Arafah, karena Rasulullah saw. mengerjakan hal tersebut.

  4. Usai memandikan mayit. Barang siapa telah memandikan mayit, ia disunahkan mandi berdasarkan hadis yang telah disebutkan.

Hal-Hal yang Diwajibkan ketika Mandi

  1. Niat, yaitu keinginan hati untuk menghilangkan hadas besar dengan mandi. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niat. Dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan." (Al-Bukhari).

  2. Menyiramkan air ke seluruh tubuh dengan menggosok bagian-bagian yang bisa digosok, dan menyiramkan air ke bagian-bagian yang tidak bisa digosok, hingga seseorang merasa yakin bahwa air telah membasahi (mengenai) seluruh tubuhnya.

  3. Menyela-nyela jari-jari dan rambut kepala dengan air, dan mencermati daerah-daerah yang tidak terkena air, seperti pusar dan yang lainnya.

Hal-Hal yang Disunahkan ketika Mandi

  1. Membaca basmalah, karena hal ini disyariatkan dalam semua amal perbuatan.

  2. Membersihkan kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke tempat air seperti yang telah dijelaskan.

  3. Memulai dengan membersihkan kotoran terlebih dahulu.

  4. Mendahulukan organ-organ wudu sebelum yang lainnya.

  5. Berkumur, menghirup air dengan hidung, membersihkan telinga luar dan dalam.

Hal-Hal yang Dimakruhkan ketika Mandi

  1. Berlebih-lebihan dalam menggunakan air. Rasulullah saw. mandi dengan air satu sha' (sekitar 3,5 liter).

  2. Mandi di tempat yang najis, karena dikhawatirkan akan terkena najisnya.

  3. Mandi dengan air sisa bersucinya wanita. Rasulullah saw. melarang mandi dengan air sisa bersucinya wanita, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

  4. Mandi tanpa penutup, misalnya dengan tembok atau yang lainnya. Berdasarkan dalil-dalil berikut. Maimunah r.a. berkata, "Aku persiapkan air untuk Rasulullah saw. dan menutupi beliau, kemudian beliau mandi." (HR Bukhari). Jika sekiranya mandi tanpa menggunakan penutup tidak dimakruhkan, pasti Maimunah tidak menutupi Rasulullah saw. ketika sedang mandi. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla bersifat malu, dan menutup (kesalahan hamba-Nya), menyukai sifat malu. Maka, jika salah seorang dari kalian mandi, hendaklah menggunakan penutup." (HR Abu Dawud).

  5. Mandi dengan air yang tidak mengalir. Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah seseorang di antara kalian mandi di air yang tidak mengalir, sedang dia junub." (HR Muslim).

Cara Mandi

Cara mandi adalah seseorang hendaknya membaca basmalah dengan niat menghilangkan hadas besar dengan mandi, lalu membersihkan kedua telapak tangan tiga kali, membersihkan apa yang ada di kemaluan (dan dubur) dan kotoran yang ada di sekitarnya, berwudu kecuali kedua kaki, karena dalam hal ini diperbolehkan menundanya hingga selesai mandi, memasukkan tangan ke air kemudian menyela-nyela rambut hingga ke akar-akarnya, kemudian membasuh kepalanya dengan tiga kali siraman air, menyiramkan air ke seluruh tubuh, diawali dengan bagian yang kanan dari atas ke bawah, lalu tubuh bagian kiri, memperhatikan tempat-tempat yang sulit terjangkau air, seperti pusar, ketiak, dua lutut, dan yang lainnya. Aisyah r.a. berkata, "Jika Rasulullah saw. mandi janabat, beliau membersihkan kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam air, kemudian membersihkan kemaluannya, berwudu seperti wudu untuk salat, membasahi rambutnya dengan air, menyiram kepalanya dengan tiga siraman, dan menyiramkan air ke seluruh tubuhnya."

Cara tersebut adalah untuk laki-laki. Sedangkan untuk perempuan, ia cukup menyiramkan air di kepalanya tiga kali, dan menggosok badannya, dan tidak perlu membuka gulungan rambutnya. Ummu Salamah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita dengan gulungan rambut tebal, apakah aku harus membukanya ketika mandi janabat?" Rasulullah saw. menjawab, "Tidak usah, engkau cukup menyiramkan air tiga kali di kepalamu." (HR Tirmizi).

Hal-Hal yang Tidak Boleh Dilakukan oleh Orang yang Sedang Junub

Orang yang sedang junub tidak diperbolehkan melakukan hal-hal berikut.

  1. Membaca Alquran, kecuali istiazah (membaca taawud) dan yang lainnya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut. Rasulullah saw. bersabda, "Wanita yang sedang haid dan orang yang sedang junub tidak boleh membaca apa pun dari Alquran." (HR Tirmizi, dan ia menyahihkannya). Ali r.a. berkata, "Rasulullah saw. membaca Alquran dalam setiap keadaan, kecuali ketika ia sedang junub." (HR Tirmizi).

  2. Memasuki masjid, kecuali hanya melewatinya saja jika mendesak (terpaksa). Allah berfirman, "(Jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja." (An-Nisa: 43).

  3. Mengerjakan salat wajib atau salat sunah. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian tidak mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja, hingga kalian mandi." (An-Nisa: 43).

  4. Menyentuh Alquran meskipun dengan menggunakan kayu atau yang lainnya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Di kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan." (Al-Waqi'ah: 77--79). Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah engkau menyentuh Alquran, kecuali engaku dalam keadaan suci." (HR Daru Quthni).


Sumber: Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir al-Jazairi
 

Perbedaan Antara Alquran, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi

Perbedaan Antara Alquran, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi


Definisi Alquran telah dikemukakan pada halaman terdahulu, dan untuk mengetahui perbedaan antara definisi Alquran dengan hadis qudsi dan hadis nabawi, di sini kami kemukakan dua definisi.

Hadis Nabawi

Hadits (baru) dalam arti bahasa lawan dari kata qadim (lama). Dan, yang dimaksud hadis ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia, baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya maupun wahyu; baik dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini, Alquran dinamakan hadis.

"Hadis (kata-kata) siapakah yang lebih benar selain dari pada Allah?" (An-Nisa: 87).

Begitu pula yang terjadi pada manusia, di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.

"... dan engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil dari hadis-hadis-maksudnya mimpi." (Yusuf: 101).

Adapun menurut istilah, pengertian hadis ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi saw., "Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan, setiap orang bergantung pada niatnya ...."(HR Bukhari).

Yang berupa perbuatan ialah seperti ajarannya kepada para sahabat mengenai bagaimana cara mengerjakan salat, kemudian ia mengatakan, "Salatlah seperti kamu melihat aku salat." (HR Bukhari).

Juga, mengenai bagaimana ia melaksanakan ibadah haji, dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, "Ambillah dariku manasik hajimu." (HR Muslim).

Adapun yang berupa persetujuan adalah seperti ia menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan; di hadapannya ataupun tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya, seperti makanan biawak yang dihidangkan kepadanya. Dan, persetujuannya dalam satu riwayat, Rasulullah saw. mengutus orang dalam satu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam salat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang, mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah saw. berkata, "Tanyakan kepadanya mengapa ia berbuat demikian?" Mereka pun menanyakan, dan orang itu menjawab, "Kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya." Maka Rasulullah saw. menjawab, "Katakan kepadanya bahwa Allah pun menyenangi dia." (HR Bukhari dan Muslim).

Yang berupa sifat adalah riwayat seperti bahwa Rasulullah saw. selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula berbicara kotor, dan tidak juga suka mencela.

Hadis Qudsi

Kita telah mengetahui makna hadis secara etimologi, sedangkan qudsi dinisbatkan kepada kata quds. Nisbah ini mengesankan rasa hormat karena materi kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka, kata taqdis berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathir, dan taqaddasa sama dengan tathahhara (suci, bersih). Allah berfirman tentang malaikat, "... padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ...." (Al-Baqarah: 30).

Hadis qudsi adalah hadis yang oleh Rasulullah saw. disandarkan kepada Allah. Maksudnya, Rasulullah saw. meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka, Rasulullah saw. menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Rasulullah saw. sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, dia meriwayatkannya dari Allah dengan disandarkan kepada Allah dengan mengatakan, "Rasulullah saw. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya," atau ia mengatakan, "Rasulullah saw. mengatakan, 'Allah Taala telah berfirman atau berfirman Allah Taala'."

Contoh Pertama

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya, "Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik di waktu malam maupun siang hari ...." (HR Bukhari).

Contoh Kedua

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata, "Allah Taala berfirman, 'Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan, bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, Aku pun menyebutnya di kalangan orang banyak yang lebih baik dari itu ...'." (HR Bukhari dan Muslim).

Perbedaan Alquran dengan Hadis Qudsi

Ada beberapa perbedaan antara Alquran dengan hadis qudsi, dan yang terpenting adalah sebagai berikut.

1. Alquran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. dengan lafal-Nya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Alquran itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Alquran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Adapun hadis qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.

2. Alquran hanya dinisbatkan kepada Allah, sehingga dikatakan Allah Taala berfirman. Adapun hadis qudsi, seperti telah dijelaskan di atas, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah, sehingga nisbah hadis qudsi itu kepada Allah adalah nisbah dibuatkan. Maka dikatakan, Allah telah berfirman atau Allah berfirman. Dan, terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah saw. tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi menyampaikan hadis itu dari Allah. Maka, dikatakan Rasulullah saw. mengatakan apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.

3. Seluruh isi Alquran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya mutlak. Adapun hadis-hadis qudsi kebanyakan adalah kabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalanya hadis itu sahih, hasan, dan kadang-kadang daif.

4. Alquran dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah dan lafalnya dari Rasulullah saw. Hadis qudsi ialah wahyu dalam makna, tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis, diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja.

5. Membaca Alquran merupakan ibadah, karena itu ia dibaca dalam salat. "Maka, bacalah apa yang mudah bagimu dalam Alquran itu." (Al-Muzamil: 20).

Nilai ibadah membaca Alquran juga terdapat dalam hadis, "Barang siapa membaca satu huruf dari Alquran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan, kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf." (HR Tirmizi dan Ibnu Mas'ud).

Adapun hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam salat. Allah memberikan pahala membaca hadis qudsi secara umum saja. Maka, membaca hadis qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca Alquran bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan.

Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi

Hadis nabawi itu ada dua. Pertama, tauqifi. Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah saw. dari wahyu. Lalu, ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.

Kedua, taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah saw. menurut pemahamannya terhadap Alquran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Alquran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia benar. Dan, bila terdapat kesalahan di dalamnya, turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.

Dari sini, jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi atau yang taufiqi dengan ijtiihad yang diakui dari wahyu itu bersumber dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah tentang Rasul-Nya, "Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya." (An-Najm: 3--4).

Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah Taala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab, seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dan Alquran, dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun akan dianggap ibadah.

Mengenai hal ini timbul dua macam syubhat.
Pertama, bahwa hadis nabawi juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasulullah saw., tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis qudsi. Jawabnya adalah, kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas syara yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah saw. Allah Taala telah berfirman, atau Allah Taala berfirman. Itu sebabnya kita namakan hadis itu hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis nabawi, karena hadis nabawi tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu, masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan kepada Nabi melalui wahyu, yakni secara tauqifi, namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad, yaitu secara taufiqi. Oleh sebab itu, kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namai pula hadis qudsi.

Kedua, apabila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah saw., maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi: Allah Taala telah berfirman atau Allah Taala berfirman. Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya, bukan berdasarkan lafalnya. Misalkan ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakana bahwa penyair berkata demikian. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan si Fulan berkata demikian. Begitu juga Alquran menceritakan tentang Musa, Firaun, dan sebagainya, isi kata-kata mereka dengan lafal yang bukan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan gaya bahasa mereka, tetapi dinisbahkan kepada mereka.

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firmannya): 'Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Firaun. Mengapa mereka tidak bertakwa? Berkata Musa: 'Ya Tuahnku, aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan, (karena itu) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku, maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan, aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.' Allah berfirman, 'Jangan takut (mereka tidak akan bisa membunuhmu), maka pergilah kami berdua dengan membawa ayat-ayat kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakana), maka datanglah kamu berdua kepada Firaun dan katakanlah olehmu, 'Sesungguhnya kami adalah rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.' Firaun menjawab, 'Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan, kamu telah berbuat sesuatu perbuatan yang kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna.' Berkata Musa, 'Aku telah melakukannya sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu, aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.' Firaun bertanya, 'Siapa Tuhan semesta alam itu?' Musa menjawab, 'Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayainya'." (As-Syuara: 10--24).

Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil al-Qattaan

Tayammum

Tayammum

Tayammum disyariatkan berdasarkan Alquran dan sunah. Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu ...." (An-Nisa: 43).

Rasulullah saw. bersabda, "Tanah adalah wudu seorang muslim jika tidak mendapatkan air kendati selama sepuluh tahun." (HR An-Nasai dan Ibnu Hibban).

Rasulullah saw. juga bersabda, "Seluruh tanah di bumi dijadikan sebagai tempat sujud dan bersuci bagiku dan umatku. Maka, di mana saja waktu salat menghampiri seseorang dari umatku, tanah dapat menyucikannya." (HR Ahmad).

Sebab Disyariatkannya Tayamum

Diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata, "Kami bepergian bersama dengan Nabi dalam suatu perjalanan. Ketika kami sampai di Baida', kalungku hilang. Karena itu, Nabi berhenti untuk mencarinya. Begitu pula seluruh rombongan turut berhenti bersama dengan beliau. Sedangkan di tempat itu tidak ada air, dan mereka tidak membawa air. Mereka mendatangi Abu Bakar, lalu berkata, 'Tidakkah engkau memperhatikan Aisyah? Karena ulahnya, Nabi dan para sahabat berhenti, padahal di sini tidak ada air, dan rombongan tidak membawa air.' Lalu Abu Bakar mendatangiku, sedangkan Rasulullah tertidur dengan kepalanya berada di atas pahaku. Kemudian Abu Bakar mengata-ngataiku sepuas hatinya, sehingga ditusuknya rusukku dengan tangannya. Aku tak dapat bergerak karena Nabi tidur di pahaku. Beliau tertidur sampai subuh tanpa air. Kemudian Allah menurunkan ayat tayamum, 'Maka, hendaklah kalian bertayamum,' Usaid bin Hudhair berkata, 'Ini bukanlah berkah yang pertama darimu, wahai keluarga Abu Bakar'." Selanjutnya Aisyah berkata, "Ketika unta kami suruh berdiri, kami dapati kalungku berada di bawah unta itu." (HR Jamaah, kecuali Tirmizi).

Orang yang Diperbolehkan Bertayamum

Tayamum diperbolehkan bagi orang yang tidak mendapatkan air setelah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya, atau ada air namun tidak bisa menggunakannya karena sakit, atau khawatir jika menggunakan air maka sakitnya akan bertambah parah dan menghambat kesembuhannya, atau seseorang yang tidak dapat bergerak dan tidak ada orang yang bisa memberikan air kepadanya.

Hal-Hal yang Bisa Dipergunakan untuk Tayamum

Dalam bertayammum, diperbolehkan menggunakan debu yang suci dan segala sesuatu yang sejenis dengan tanah, seperti kerikil, batu, atau kapur. Allah berfirman, "Maka, bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)." (An-Nisa: 43).

Para ahli bahasa sepakat bahwa kata ash-sha'id memiliki arti permukaan tanah, baik berupa debu atau yang lainnya.

Hal-Hal yang Diwajibkan ketika Tayamum

1. Niat. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan." (HR Bukhari).
2. Menggunakan tanah yang suci. Allah berfirman, "... maka, bertayamumlah kamu dengan tanah yang suci ...." (An-Nisa: 43).
3. Sekali tepuk (sentuh), maksudnya adalah ketika meletakkan kedua tangannya di atas tanah.
4. Mengusap wajah dan kedua telapak tangan. Allah berfirman, "... maka sapulah muka dan kedua tangan kalian." (An-Nisa: 43).

Hal-Hal yang Membatalkan Tayamum

1. Semua hal yang membatalkan wudu, karena tayamum merupakan pengganti wudu.
2. Apabila mendapatkan air sebelum mengerjakan salat, atau sedang mengerjakan salat. Rasulullah saw. bersabda, "Debu itu cukup bagimu untuk bersuci selama kamu tidak mendapatkan air. Apabila kamu telah mendapatkan air, maka usapkanlah ia ke kulitmu." (HR Abu Dawud). Namun, apabila seseorang baru mendapatkan air setelah ia selesai mengerjakan salat, ia tidak perlu mengulanginya kembali. Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian mengerjakan satu salat (fardu) dua kali dalam sehari." (HR An-Nasai, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hiban).

Hal-Hal yang Boleh Dilakukan setelah Bertayamum

Orang yang bertayamum diperbolehkan baginya untuk melakukan hal-hal yang boleh dilakukan oleh seseorang yang telah berwudu atau mandi, seperti salat, membaca Alquran atau menyentuhnya, thawaf, atau berdiam di masjid.

Cara Bertayamum

Tayamum dilakukan dengan cara menepukkan kedua tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, lalu mengusapkannya ke wajah, kemudian pada kedua tangan. Rasulullah saw. bersabda, "Sebenarnya cukup bagimu begini, seraya menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu mengusapkannya ke wajah, kemudian kepada ke dua tangannya."

Bila seseorang bertayamum dengan lebih dari satu kali tepukan, hal itu diperbolehkan. Dan, jika seseorang mengusap tangannya melebihi batas pergelangan, hal itu pun tetap dibenarkan.

Sumber: Diadaptasi dari kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dan Al-Jami' fi Fiqhin Nisa' karya Syekh Kamil Muhammad 'Uwaidah

EPISTEMOLOGI ISLAM & BARAT



EPISTEMOLOGI ISLAM & BARAT
(Sebuah Analisa Deskriptif Tentang Prinsip-Prinsip Epistemologi)

A.    LATAR BELAKANG
Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya hampir mencakup isi keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi.[1] Sebab, filsafat adalah refleksi, dan setiap refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seorang memiliki suatu metafisika, yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi, yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi.[2]
Ini dapat dilihat dari cakupan epistemologi yang meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan.[3] Jadi, hal ini dapat juga dikatakan bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana memperolehnya.[4]
Diskursus tentang epistemologi dikalangan para intelektual Islam maupun Barat pada abad modern ini, seiring lajunya perkembangan science di Barat, menjadi daya tarik tersendiri untuk dikaji dan dikupas tuntas. Sebab, hal ini memunculkan polemik radikal di kalangan mereka tentang, apakah ilmu itu bebas nilai (free value) atau sarat dengan nilai (by product) ?.[5] Pangkal utama polemik tersebut adalah teori ilmu yang berkembang menunjukkan telah terjadi perceraian antara ilmu dan agama.[6]
Fakta yang terjadi yaitu, ilmu yang berkembang di Barat telah mengakibatkan munculnya berbagai aliran pemikiran/ideologi yang menentang agama Kristen dan Yahudi yang dominan di Barat.[7] Sebagai dampaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Leopold Weis[8] bahwa ‘Barat tidaklah menentang Tuhan secara sewenang-wenang dan terang-terangan, akan tetapi jika dilihat dalam cara berfikirnya sedikitpun tidak menunjukkan bahwa mereka butuh akan Tuhan ataupun tahu akan nilai Tuhan yang sebenarnya’.[9]
Cara berfikir seperti ini kemudian dikembangkan oleh banyak intelektual muslim di dunia Islam dalam mengkaji Islam dengan pisau analisa epistemologi Barat yang cendrung menafikan hal-hal transenden. Mengapa itu terjadi ?, sebab bagi mereka, Barat sebagai lambang kemajuan ilmu pengetahuan (science dan teknology) di abad ini. Jadi, menurut mereka kalau ingin maju, maka tirulah Barat dengan mengadopsi segala apa yang dari Barat, termasuk dalam persoalan memahami agama.  Meski demikian, ada sebagian dari kalangan intelektual Islam yang masih tetap komitmen untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip epistemologi Islam serta melakukan pengembangan dengan prinsip-prinsip tersebut.[10]
Berdasarkan fakta dan data yang telah kami paparkan di atas, hal itu menunjukkan bahwa epistemologi Barat memang problematik. Ini terbukti melalui prinsip-prinsip epistemologi Barat yang berdasarkan kepada worldview  mereka yang jauh dari nilai-nilai Agama. Sehingga ilmu yang berkembang di Barat adalah ilmu-ilmu yang jauh dari moralitas, hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan yang metafisik.[11]
Untuk itu, makalah ini akan mencoba untuk mengurai permasalahan yang berkaitan dengan epistemologi yang akan difokuskan pada prinsip-prinsip epistemologis yang meliputi makna ilmu, objek pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas ilmu, serta cara-cara mendapatkan dan mengamalkan setiap ilmu itu dengan benar. Sebelum mengupas tuntas masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip epistemologi Islam dan Barat, terlebih dahulu akan dibahas mengenai epistemologi itu sendiri sebagai bagian dari cabang filsafat. Sehingga diharapkan akan mendapatkan pemahaman yang holistik. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli ilmu bahwa seseorang tidak akan memahami sesuatu hal yang spesifik, jika belum mamahami sesuatu yang bersifat umum. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan diurai mengenai definisi, objek, tujuan, landasan, metode/metodologi, hakikat dan pengaruh epistemologi.

A.    EPISTEMOLOGI
1.  Definisi
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat, yang sering dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi. Ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan mulai dari ontologi, epistemologi kemudian  aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa; ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau  kegunaan (aksiologi).
Keterkaitan ini membuktikan betapa sulitnya untuk menyatakan salah satu yang lebih penting dari yang lain, karena ketiga sub ini memiliki fungsi masing-masing yang berurutan dalam mekanisme pemikiran.[12] Namun apabila kita membahas lebih jauh mengenai epistemologi, kita akan menemukan betapa pentingnya epistemologi. Seperti yang diungkapkan pada salam pembuka sebuah jurnal ilmiah ‘Islamia’ kaitannya dengan pemikiran (hasil dari suatu aktifitas berfikir) bahwa:[13]  
”problem utama yang sangat mendasar dalam wacana pemikiran Islam yang kini tengah berkembang terletak pada epistemologi.”

      Demikian halnya, ketika kita membicarakan epistemologi berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedaan yang signifikan bahwa aktivitas berfikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreatifitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk epistemologi secara sistematis, yang di mulai dari defenisi, objek, tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi.[14]
Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854.[15] Sebagai sub filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian  yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini, cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengungkapkannya. Sehingga didapat pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya melainkan juga pada subtansi persoalan, yang menjadi sentral dalam memahami pengertian suatu konsep.
            Pembahasan konsep harus diawali dengan memperkenalkan definisi (pengertian) secara teknis, guna menangkap subtansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Sebagaimana Mujamil Qomar mengungkapkan bahwa:[16]
“ pemahaman terhadap subtansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya yang sedang dibahas dan suatu konsep itu biasanya terkandung dalam defenisi (pengertian).”

            Ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam memahami, apa sebenarnya epistemologi itu. P. Hardono Hadi menyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[17] D.W. Hamlyn mendefenisikan, epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya, serta secara umum dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[18]
            Dagobert D. Runes meyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan.[19] Azyumardi Azra menyatakan, epistemologi sebagai Ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur,  metode, validitas ilmu pengetahuan.[20] Adnin Armas  menyatakan, epistemologi sebagai cabang filsafat yang membahas proses/cara mendapat ilmu, sumber-sumber ilmu dan klasifikasi ilmu, teori tentang kebenaran, dan hal-hal lain yang terkait dengan filsafat ilmu.[21]
            Amsal Bakhtiar menyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[22] Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, setidaknya dapat memberikan pemahaman terhadap, apa sebenarnya epistemologi itu?.
            Selanjutnya pengertian epistemologi yang lebih jelas dan mudah dipahami, ditinjau dari etimologi dan terminologinya. Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa yunani “episteme”, yang berarti ilmu, dan “logos” berarti ilmu sistematika atau teori, uraian, dan alasan. Jadi epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas  ilmu dan bagaimana memperolehnya, kemudian membahasnya secara mendalam (subtantif).[23] Kendati ada sedikit perbedaan dari pengertian-pengertian sebelumnya, tetapi pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.

2.  Objek Dan Tujuan
Dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang pemahaman objek dan tujuan sering disamakan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek berbeda dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang tujuan sama dengan harapan. Adapun objek dan tujuan epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus mengantarkan tercapainya tujuan.[24]
 Selanjutnya yang menjadi tujuan epistemologi menurut Jacques Martain “tujuan epistemologi bukanlah hal utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.” Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, tapi yang lebih penting adalah potensi untuk memperoleh pengetahuan.[25]

3.  Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, yang dijadikan sebagai tempat berpijak. Bangunan pengetahuan akan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Bangunan pengetahuan seperti bangunan rumah, sedangkan landasannya adalah fundamennya, rumah tidak akan kokoh dan bertahan lama apabila tidak didasari dengan fundamen yang kokoh pula. .Demikian juga dengan epistemologi, akan sangat dipengaruhi oleh landasannya.
Landasan epistemologi ilmu sering di sebut juga metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Jadi ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah, tapi tidak semua ilmu disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun dikatakan juga oleh Mujamil Qomar bahwa “metode ilmiah adalah gabungan antara metode induktif dan deduktif atau “Perkawinan” antara rasionalisme dengan empirisme.”[26]
Sehingga apabila ditinjau dari cara berfikir manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan, yaitu berfikir secara rasional yang mengembangkan paham rasionalisme dan berpikir berdasarkan fakta yang mengembangkan paham empirisme.[27] Jadi landasan yang utama adalah mampu mengembangkan ilmu yang memiliki kerangkan penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Sehingga dengan pemaduan metode induktif dan deduktif ini, dapat mengatasi masing-masing kelemahan metode tersebut.  
            Akan tetapi, hal yang sangat mendasar berkaitan dengan landasan epistemologi  itu sendiri terletak pada worldview (pandangan hidup). Sebab, epistemologi dan worldview keduanya berada dan bekerja dalam pikiran manusia.[28]  Oleh karenanya, epistemologi dan worldview mempunyai hubungan yang sangat erat kaitannya. Ia bahkan dapat digambarkan sebagai lingkaran setan (vicious circle), dimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Jadi, bukan sekedar persoalan rasonalisme-empirisme atau deduktif-induktif saja, jauh lebih mendasar lagi tentang hal yang mendasari terhadap pola berfikir di dalam memperoleh pengetahuan tersebut baik secara rasional-empiris ataupun deduktif-induktif. Di sinilah kemudian yang akan menunjukkan bahwa ilmu adalah merupakan hasil dari produk suatu pandangan hidup yang tidak serta merta bebas nilai, namun sarat akan nilai.[29]

4.  Metode Dan Metodologi
            Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya antara metode, metodologi, dan epistemologi. Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang dikaji.[30] Lebih jauh lagi Perter R. Senn mengemukakan ,”metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis.  Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peaturan metode tersebut. Secara sederhana metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.[31]
            Oleh karena itu dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural teoritis antara epistemologi, metodologi, dan metode, sebagai berikut: dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik.[32] Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari filsafat.[33] Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologi, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Dalam filsafat, istilah metodologi berkaitan dengan paraktek epistemologi, lebih jelas lagi bahwa seseorang yang sedang mengembangkan penggunaan dan penerapan metode untuk memperoleh pengetahuan, maka dia harus mengacu pada metodologi. Metodologi inilah yang memberikan penjelasan-penjelasan konseptual dan teoritis terhadap metode.
            Dengan demikian, harus disadari bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Sejarah membuktikan bahwa semua ilmu tumbuh melalui metodologi baik ilmu sosiologi, ekonomi, antropologi dan sebaginya. Metodologi memiliki misi memecahkan persoalan-persoalan yang diajukan  berdasarkan temuan-temuan baru, guna akumulasi pengetahuan, baik mengenai “dunia alam” maupun “dunia sosial”. Metodologi senantiasa menemukan temuan-temuan baru untuk mewujudkan dinamika ilmu pengetahuan. Hasil temuan baru ini dilaporkan dan dikomunikasikan sehingga terbuka untuk diketahui dan diuji oleh siapapun.[34]

5.  Hakikat Epistemologi
            Pembahasan mengenai hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena kita tidak dapat menangkapnya kecuali melalui ciri-cirinya. Secara filsafati, epistemologi adalah ilmu untuk mencari hakikat dan kebenaran ilmu; secara metode, berorientasi untuk mengantar manusia dalam memperoleh ilmu, dan secara sistem berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah hierarki yang sistematis.[35] Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya.” Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Jujun S. Suriasumantri, bahwa “persoalan yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya ...”.[36]
            Epistemologi adalah problem mendasar dalam wacana pemikiran, dan sekaligus merupakan parameter yang bisa memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya. Dengan demikian epistemologi bisa dijadikan penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan dan bisa juga menentukan cara dan arah berfikir manusia. Jadi pada hakikatnya epistemologi merupakan gabungan antara barfikir rasional dan berfikir secara empiris. Kedua cara berfikir tersebut dalam mempelajari gejala alam dalam menemukan kebenaran, sebab secara epistemologis ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera.[37]
            Oleh sebab itulah epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan[38] bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diri sendiri . Jadi hakikat epitemologi terletak pada metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme atau deduktif dengan induktif),[39] dengan kata lain hakikat epistemologi bertumpu pada landasannya, karena lebih mecerminkan esensi dari epistemologi.[40]  Dari pemahaman ini memperkuat bahwa epistemologi itu rumit, sebagaimana diungkapkan oleh Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt bahwa “epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi.”

6.  Pengaruh Epistemologi
            Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia, karena tidak mungkin satu peradaban akan bangkit tanpa didahului oleh tradisi ilmu. Epistemologi  mengatur semua aspek studi manusia, dari ilmu filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi.[41]
Tidak ada bangsa yang merekayasa fenomena alam, sehingga mencapai kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.[42]    Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak untuk dikuasai. Namun sayang sekali, sarjana-sarjana kontemporer, baik yang modernis maupun tradisionalis tampaknya mengesampingkan peranan kunci yang bisa dimainkan oleh epistemologi dalam membangun masyarakat. Epistemologi membekali seseorang yang menguasainya untuk menjadi produsen, baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, bisnis, maupun secara umum, peradaban.[43] Jadi, pengaruh epistemologi terhadap perkembangan kemajuan sebuah bangsa atau peradaban sangatlah menentukan, sebab tidak ada suatu bangsa atau peradaban besar manapun, di dunia ini yang maju tanpa didahului oleh tradisi ilmu, tak terkecuali peradaban Islam.

B.     EPISTEMOLOGI  BARAT
Barat sekarang ini telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan Barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu menyajikan bebagai temuan baru secara dinamis dan varian, sehingga memberikan sumbangan  yang besar terhadap sains dan teknologi modern. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya, melainkan disamping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya.[44]
            “Kunci rahasia” yang perlu diungkap adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan sains dan epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan Barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Tradisi untuk menawarkan teori-teori ilmiah yang dibangun berdasarkan penalaran dan pengamatan tampak begitu subur dikalangan mereka sehingga menghasilkan temuan baru yang silih berganti, baik bersifat menyempurnakan temuan yang lama, temuan baru, bahkan menentang temuan lama sama sekali.
            Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran  para ilmuwan di masing-masing  Negara, sehingga secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berfikirnya, metode berfikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahun, dan sebagainya, mengikuti gaya Barat, baik sadar  maupun  tidak disadari.
            Oleh karena sangat dominannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim dan seluruh penduduk dunia ini dibentuk oleh pemikiran manusia Barat. Dalam waktu yang bersamaan mereka tidak lagi mau mempertimbangkan epistemologi versi lain, dalam mencari pengetahuan. Epistemologi versi lain dianggap tidak berkualitas dan belum teruji keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[45]
            Pada bahasan berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai akar dari tradisi ilmu Barat secara historis, sehingga dapat diketahui dan dipahami asal usul dari kebudayaan dan peradaban Barat yang dibangun di atas kemajuan sains dan teknologi. Selanjutnya dari pengetahuan akan tradisi ilmu Barat tersebut, dapat pula diketahui bangunan dari epistemologi Barat serta prinsip-prinsip yang mendasarinya sebagai pangkal pengembangan sains dan teknologi.   

1.      Tradisi Ilmu Barat
Memaknai Barat tidak lagi relevan jika dilihat dari perspektif geografis, yang menunjukkan suatu entitas wilayah, daerah atau kawasan yang berada di belahan bumi bagian Barat. Sebab, Barat saat ini berada dalam sebuah struktur konseptual pandangan hidup yang membawa makna yang kompleks dan terkadang kontroversial.[46] Saat ini barat bermakna alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu kebudayaan dan peradaban. Jadi dari kaca mata peradaban, Barat adalah peradaban yang dibentuk dan dibangun oleh pandangan hidupnya sendiri (Worldview).[47]        
                  Sebuah kebudayaan atau peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Pada umumnya sarjana Barat membagi sejarah Barat menjadi zaman kuno, zaman pertengahan, dan zaman modern. Para sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai asal usul kebudayaan mereka. Perbedaan itu meruncing ketika sejarawan berpegang pada ilmu sebagai akar kebudayaan. Artinya sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan konsep-konsep keilmuan didalamnya. Sebab faktor keilmuan inilah sebenarnya yang melahirkan aktivitas sosial, politik, ekonomi dan aktivitas kultural lainnya.          
Akan tetapi secara historis Barat adalah merupakan suatu peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno yang dikawinkan dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropa terutamanya Jerman, Inggris dan perancis. Prinsip-prinsip rmengenai ketatanegaraan diambil dari Romawi, sementara Agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat.[48]
Ilmu di Barat tidak lahir dari pandangan hidup (worldview) Agama tertentu, sebab hubungan Agama dan sains di Barat memang problematik.[49] Setidaknya ada tiga faktor penting yang membuat Barat jauh dari nilai-nilai Agama. Pertama, trauma sejarah, khusunya yang berhubungan dengan Agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi  Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan, dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman reneissance sekitar abad ke 14.[50] Besarnya kekuasaan Gereja melahirkan penyimpangan  dan penindasan brutal terhadap non Kristen dan kelompok-kelompok yang dianggap kafir.
Bentuk kekejaman yang dilakukan oleh pihak Gereja diungkapkan oleh Peter De Rosa[51] “betapapun, inquisisi tersebut bukan jahat saat dibandingkan nilai-nilali abad 20. Tetapi ini juga jahat dibandingkan degan nilai-nilai abad ke-10 dan ke-11,  .......................................................................................................................................” Hal inilah yang menjadikan barat menjadi trauma terhadap Agama.
Kedua, problem teks Bible. Ada sebagian kalangan yang mencoba menyamakan antara Al Qur’an dan Bible dengan menyatakan, bahwa semuanya adalah kitab suci dan semuanya mukjizat. Padahal ilmuan Barat yang jeli bisa membedakan antara kedua kitab agama itu. Teks al Qur’an tidak mengalami problema sebagaimana teks Bible. Di dalam Bible terdapat problema yang hingga saat ini masih menjadi mesteri. Richard Elliot Freidman dalam bukunya, Who wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis kitab ini masih merupakan misteri dan banyak kontradiksi di dalamnya.[52]
Ketiga, problem teologi Kristen. Inti seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi suatu problem pemikiran ilmuwan Barat yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.
Sehingga teori ilmu yang berkembang di Barat termanifestasikan dalam berbagai aliran  seperti rasionalisme, empirisisme, skeptisisme, agnotisisme, positivisme, objektifisme, subjektifisme, dan relativisme.[53] Aliran-aliran semacam ini berimplikasi sangat serius dalam; Pertama, menegasikan dan memutuskan relasi manusia dengan alam metafisik, mengosongkan kehidupannya dari unsur-unsur dan nilai transenden serta mempertuhankan manusia. Kedua, melahirkan dualisme, manusia terjebak pada dua hal yang dikotomis dan tak dapat dipersatukan, antara dunia-akhirat, Agama-sains, tekstual-kontekstual, akal-wahyu, dan seterusnya. Ini mengakibatkan manusia yang tebelah jiwanya (split personality).[54]

2.  Pendekatan Keilmuan Barat
Pemaparan mengenai epistemologi Barat menujukkan konsep ilmu dalam peradaban Barat hampa dari Agama. Ilmu yang kosong dari Agama (ilmu sekular) merupakan fondasi utama dari peradaban Barat saat ini. Dengan berdasarkan uraian di atas bahwa epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri.
Kazuo Shimogaki menyebutkan kecendrungan epistemologi Barat modern menjadi lima macam, yaitu pemisahan antara bidang sakral dan bidang duniawi, kecendrungan ke arah reduksionisme, pemisahan antara subjektivitas dan objektivitas, antroposentrisme, dan progresivisme. Sedangkan Ziauddin Sardar menyatakan, adanya perbedaan antara yang subjektif dan objektif, antara pengamat dan dunia luar (yang diamati), antara keadaan-keadaan subjektif serta emosi dan “realitas” yang terdapat di luar pengamat, yakni realitas yang hanya dapat diketahui melalui observasi dan penalaran, maka dapat disebutkan bahwa pendekatan epistemologi Barat itu adalah skeptis, rasional-empiris, dikotomik, posotivis-objektivis, dan menentang dimensi spiritual (antimetafisika).

3.      Tokoh Pemikir Barat
Paul Johnson, jurnalis dan sejarawan Kristen konservatif dalam bukunya Intellectuals telah membongkar perilaku menyimpang para pemikir besar Barat sebagai produk dari epistemologi Barat yang hampa dari agama dan moralitas. Adalah Ernest Hemingway seorang sastrawan yang memeiliki daya serap publik lebih besar dengan karyanya yang bertumpuk-tumpuk, mulai dari Three Stories & Ten Poems karya pertamanya yang banyak penerbit menolaknya sampai akhirnya Old Man and The Sea karyanya yang fenomenal dan karya terakhirnya True At First Light yang lahir di tahun yang sama dengan kematiannya, 1999.[55]
Jutaan orang telah menjadikannya idola, penganut dan pengikutnya. Namun di balik ketenarannya tersebut tersimpan suatu perilaku kedustaan/kebohongan, sikap ateis dalam diri Hamingway. Paul Johnson mendeskripsikan kemampuan Ernest Hemingway dalam berbohong dengan kalimat yang indah. “He thought, and sometimes boasted, that lying was part of his training as a writer. He lied both conciously and without thinking”. Sedangkan menurut kesaksian dari istrinya Hadley sebagaimana yang dikutip Johnson bahwa seumur hidupnya sang sastrawan hanya dua kali ia temui berlutut di depan altar. Pertama, saat mereka menikah. Dan yang kedua, sekaligus yang terakhir, saat anak mereka dibaptis di dalam gereja.
Jean Jacques Rousseau yang diberi julukan sebagai An Interesting Madman dalam kurun waktu 200 tahun terakhir, menjadi nama besar yang mempengaruhi semua teori pemikiran sekuler dan intelektual modern. Bahkan tidak lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab teori-teori kenegaraan modern, banyak yang lahir dari pemikirannya. Seperti teori perwakilan politik yang saat ini hampir menjadi model negara di seluruh dunia, bisa dilacak dalam jejak pemikirannya dalam bukunya, Du Contrack Sociale.
Tapi siapa sangka, Rousseau adalah laki-laki gila dalam definisi yang sebenarnya menurut Paul Johnson. Ia laki-laki yang begitu mencintai dirinya, lebih dari apapun. Dalam bahasanya senidiri Rousseau menyebut dirinya amour de soi, natural selfishness. Saking cintanya pada diri sendiri, ia bahkan tak peduli dan membuang semua anak-anaknya ke foundling home, sebutan untuk sebuah rumah penampungan anak-anak yang tidak diketahui orang tuanya. Ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur, juga tentang anak-anak, yang ia tulis dalam sebuah buku yang telah menjadi teks klasik, Emile.
Jadi, apa sebenarnya arti intelektual bagi dunia modern, jika para pencetus dan peletak pondasi intelektual, menjadi orang-orang pertama yang mengingkari pemikirannya sendiri ? Bukankah hasil dari pemikiran dan out put dari intelektual adalah proses perbaikan perilaku dan moral ? Apakah mungkin dipisahkan antara konsepsi ideal sebuah pemikiran dengan tata cara hidup para pemikirannya ? Jika demikian, benarlah pepatah tua yang mengatakan hidup ini hanya panggung opera besar yang tak pernah habis ceritanya. Tal layaknya seperti panggung, para pemain kerap kali memiliki peran ganda, bahkan mungkin lebih, dalam hidupnya. Dan masing-masing saling membantah peran lainnya.
Selain nama-nama di atas, masih ada banyak lagi nama besar dalam dunia intelektual yang dikupas tuntas oleh Paul Johnson di antaranya adalah Bertrand Russel yang konon membenci peperangan tapi begitu gandrung memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sangat benci pada Tuhan. Tolstoy yang dikatakan di dalam sebuah artikel yang diberi judul oleh penulisnya, God’s Elder Brother. Bahwa Tolstoy adalah saudara tua Tuhan yang lebih mengerti tentang Tuhan dari pada Tuhan itu sendiri, tapi ia orang yang gagal membina rumah tangga yang wajar.  
Penyebab utama dari hal tersebut adalah epistemologi Barat yang berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri. Yang kemudian melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang tak bermoral, skeptis dan atheis.    
      
C.    EPISTEMOLOGI ISLAM
Pembahasan epistemologi Islam sangat penting untuk dibahas, sebab problem mendasar dalam pemikiran Islam terletak pada epistemologinya.[56] Gagasan epistemologi Islam itu brtujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat muslim pada khususnya, agar bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi Barat. Dikalangan pemikir muslim menawarkan “segala sesuatu” berdasarkan epistemologi Islam. Di dalam Islam epistemologi berkaitan erat dengan metafisika dasar Islam yang terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadist, akal, dan intuisi.[57]
Kalaulah disepakati, bahwa peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak brbasiskan ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu dalam Islam adalah persyaratan untuk menguasai dunia dan akhirat. Menegakkan bangunan ilmu maksudnya tidak lain adalah untuk mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya agar sejalan dengan prinsip-prisip ilmu pengetahuan dalam Islam.[58]
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan ditempatkan di atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, sehingga wahyu dijadikan sebagai sumbet kebenaran mutlak suatu kebenaran. Jadi rusaknya keberagamaan umat Islam lebih karena rusaknya pemikiran dan hancurnya peradaban Islam karena hancurnya bangunan ilmu pengetahuan.

1.  Tradisi Ilmu Islam
Pada 1400 tahun atau 14 abad yang lampau, telah lahir seorang Maha Guru, guru dari sekalian manusia, yang membawa manusia dari lembah kegelapan, kenistaan menuju suatu puncak kegemilangan yang penuh dengan cahaya keridhaan. Adalah Muhammad bin Abdillah dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban kala itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi sekaligus Rasul. Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu bukanlah tugas yang ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas itu adalah menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru dunia.
Dalam waktu ± 23 tahun, setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan sepanjang dakwah risalah, Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan di mana siapa saja yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan lahirnya sebuah kota yaitu Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan. Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara (state) atau peradaban (civilization).
Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting antara lain 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[59] Ketiga elemen tersebut telah mewujud di Madinah kala itu.  Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut Madinah sudah bisa dikatan sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah kebangkitan Peradaban Islam berawal dan berkembang.
Peradaban Islam di mulai dengan tradisi ilmu atau tafaqquh fid din secara terus menerus. Mulai dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. proses interaksi dan ideasi antar individu dan masyarakat senantiasa didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu tidak hanya dalam pikiran semata akan tetapi mewujud dalam sebuah aktifitas, baik berupa amal infiradi maupun amal jama’i. Dari sinilah lahir komunitas ilmiah yang mana oleh sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.[60]
Di lembaga pendidikan pertama inilah kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif.[61] Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).[62]
Hasil dari kegiatan ini memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadist telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.[63] Kegiatan pengkajian wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk lain.
Tidak lebih dari dua abad lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al Hanafiyah (w.81 H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih (w. 110,114 H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w. 148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.[64]
Islam adalah sebuah peradaban yang memadukan aspek dunia dan aspek akhirat, aspek jiwa dan aspek raga. Ia bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu pada masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuan yang dzalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Sebab ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, ’Utsman, Ali (radhiyallahu ’anhum) dan lain-lain.[65]  
Ilmu dalam Islam mengantarkan seseorang untuk mengenal Allah Swt. Untuk mengenal-Nya manusia memerlukan sarana-sarana yang menuju kepada pengenalan dzat-Nya yang Maha Abadi. Salah satunya adalah beriman kepada Rasulullah Saw sebagai Nabi dan Utusan-Nya. Karena tanpanya manusia tidak mampu meraih pengetahuan akan Allah. Meskipun manusia dilengkapi dengan potensi akal, namun dalam hal mengenal Tuhan ia membutuhkan petunjuk, sebab akal tidak dapat menjangkau hal yang metafisik. Maka, Allah melalui lisan Rasul-Nya memberikan petunjuk seperangkat tatacara untuk sampai kepada-Nya. Jadi ilmu dalam Islam senantiasa berdimensi Iman dan Ihsan. Ilmu dalam Islam berpijak kepada wahyu Allah Swt sebagai sumber ilmu yang absolute.
Tradisi keilmuan tersebut kemudian berlanjut dari generasi ke generasi, dari abad ke abad dan mengalami puncak perkembangan dan keemasannya antara abad ke-7 M sampai pada abad ke-12 M. Pada saat itu telah lahir intelektual-intelektual muslim di bidang sains dan teknologi, seperti Al Khawarizmi, ’Bapak Matematika’ Muslim (w. 780 M) yang namanya dikenal di dunia Barat dengan Algorizm, Ibnu Sina ’Bapak Kedokteran Muslim’ yang dikenal dengan sebutan Aviecena. Ibnu Sina sebelum meninggal telah menulis kitab sejumlah kurang lebih 276 karya. Karyanya yang sangat monumental al Qonun fi al Tibb telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin di Toledo, Spanyol pada abad ke-12. Buku ini juga telah dijadikan rujukan utama di universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17.[66]  

2.  Pendekatan Keilmuan Islam
            Konstruk epistemologi Islam dibangun di atas landasan wahyu, sehingga bersifat tawhidy. Konsep ketuhanan menjadi sentral utama dari pembahasan epistemologi Islam. Dengan kata lain, dalam Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen (thawabit) dan dinamis (mutaghayyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar (mutashabih), yang asasi (usul) dan yang tidak (furu’).[67]
Oleh sebab itu pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat secara dikhotomis: historis-normatif, tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-tama harus difahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru. Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan dan ditafsirkan agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini. Karena bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting di dalamnya.
Proses terbentuknya epsitemologi Islam terlebih dahulu di awali dengan proses terbentuknya worldview Islam. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan dalam fikiran seseorang, baik a priori maupun a posteriori, konsep-konsep serta sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya. Menurut Wall akumulasi pengetahuan yang  disebut epistemological beliefs sangat berpengaruh terhadap pembentukan worldview seseorang, namun yang sangat menentukan tebentuknya worldview baginya adalah metaphysical belief.
Epistemologi Islam lahir dari pandangan hidup Islam itu sendiri, sebab di dalam lapisan worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja konseptual) , sehingga pendekatan-pendekatannya pun berdasar kepada pandangan hidupnya yang bertumpu kepada metaphysical belief. Konsep ketauhidan menjadi framework di dalam mengkaji dan memahami wahyu dan realitas alam semesta ini. Adapun framework menurut Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.
Artinya, bagaimana data dan fakta itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta (afaq) sebagai objek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subjek yang mikrokosmis tersebut. Karena itu realitas alam pikiran (afaq) Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiris atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran dari wahyu. Jadi pendekatan dalam epistemologi Islam bersifat integral (tawhidy) dan holistik. Keselarasan antara subjek-objek, teks-konteks, normatif-historis, dan tidak mengenal dikotomi dan juga tidak bersifat spekulatif akal semata. 

3.      Tokoh Pemikir Islam
Dalam Islam, seorang yang memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, serta kesalehan pribadi yang tinggi mendapatkan predikat kehormatan yang berkualitas super atau bisa dikatakan super excellent di sisi manusia dan di sisi Tuhannya yang Maha Menciptkan. Pribadi tersebut diistilahkan dengan ‘Ulama’. Seorang tidaklah dikatakan orang yang pandai jikalau ia belum mengamalkan ilmunya. Artinya tidak tercermin dalam setiap kepribadiannya sebagai seorang yang ahli ilmu.
Adalah Malik bin Anas (180 H/796 M), seorang ulama ahli hadist periode awal yang menetap di Madinah. Sufyan bin Uyaynah menyebut Imam Malik sayyid al muslimun, sayyid ahl madinah. Ia juga mengibaratkan Imam Malik sebagai lampu penerang, hujjah di masanya. Ketika Malik wafat ia berkata, “Tidak ada orang seperti dia, tidak tertinggal di bumi ini orang seperti dia”. Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila kamu menerima athar dari Malik maka pegangilah kuat. “Ini menunjukkan kualitas pribadi dan intelektual Imam Malik”.
Kualitas intelektual dan pribadi Malik menjadikannya Imam yang diikuti oleh umatnya, maka dikemudian hari dikenallah dalam dunia Islam sebuah madzhab yang disandarkan kepada Imam ahl al madinah. Madzhab Maliky didasarkan pada al Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas dan tradisi masyarakat Madinah, terutama tradisi para imamnya. Ia terkadang menolak suatu hadith yang bertentangan dengan tradisi Madinah. Selain itu, Maliky menggunakan dasar mursalah-mursalah, misal hukum memukul tertuduh pencurian agar ia mengaku.[68]
Malik bin Anas adalah salah seorang dari sekian banyak Ulama yang dilahirkan dari produk tradisi ilmu Islam yang berlandaskan kepada pandangan hidup Islam yang berakar pada kajian metafisika. Para Ulama sekaliber Malik bin Anas baik sebelum dan sesudahnya merupakan bukti nyata akan kekuatan tradisi Islam semenjak kemunculannya sebagai sebuah agama dan peradaban dalam sepanjang sejarahnya samapai detik hari ini. Epistemologi Islam sebagai sebuah bangunan keilmuan yang menjadi pijakan utama dalam melakukan pengembangan keilmuan telah terbukti kecanggihannya yang tidak perlu lagi diragukan, apalagi didekonstruksi dengan digantikannya dengan epestemologi lain.    
     
D.    KESIMPULAN
Epistemologi yang juga disebut dengan Teori Ilmu menempati ruang yang sangat urgen di dalam pengembangan kemajuan sebuah kebudayaan bangsa atau peradaban. Setiap peradaban dibangun oleh epistemologinya masing-masing dengan berdasarkan kepada pandangan hidup (worldview) dari peradaban tersebut. Sebab, epistemologi berkaitan erat dengan worldview. Jadi, setiap peradaban memiliki epistemologi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, tak terkecuali antara  epistemologi Islam dan Barat. Yang tentunya juga secara spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda pula.
Adapun prinsip-prinsip dari keduanya dapat dibedakan dari beberapa aspek yang mana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Epistemologi Islam
Epistemologi Barat
1. Didasarkan kepada kejian metafisika
1. Didasarkan kepada praduga-praduga
2. Sumber kepada wahyu, akal sehat, panca indra dan intuisi
2. Sumber hanya kepada akal (rasio) dan data/fakta empiris
3. Pendekatannya bersifat tawhidy
3. Pendekatannya bersifat dikothomi
4. Objeknya fisik dan sekaligus metafisik
4. Objeknya fisik, observable & penalaran
5. Ilmu syarat dengan nilai (value full)
5. Ilmu bebas nilai (free value)
6. Validitas kebenaran konteks (data &     fakta) diselaraskan dengan teks (wahyu)
6. Validitas kebenarannya hanya bertumpu kepada rasio-empiris
7. Berorientasi dunia dan akherat
7. Berorientasi kepada dunia semata

Dari sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya yang sangat jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain itu, uraian singkat dalam makalah ini juga dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa substansi epistemologi tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ilmuan kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan tetapi lebih dalam lagi yaitu epistemological belief yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang yang kemudian menentukan corak dari epistemologinya masing-masing.  












DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, Islamisasi Ilmu Konsep dan Epistemologi, Malang: Islamic thought and Civilization (ICON) forum, 2008.
Arifin, M,  filsafat pendidikan islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Armas, Adnin, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan,       Disampaikan pada kuliah Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2007.
Zarkasyi,Hamid Fahmi, Membangun Peradaban Islam Kembali, Makalah                           disampaikan dalam workshop pemikiran ideologis Forum Ukhuwah                    Islamiyah daerah Istimewa Yogyakarta 15 April 2007.
__________________, dkk, Tantangan Sekularisasi Dan     Liberalisasi Di Dunia Islam, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
__________________, Leberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama                            Misionaris, Orientalis, dan kolonialis), Ponorogo: Center For Islamic and                Occidental Studies, 2007.
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga                    Metode Kritik, Jakarta: ERLANGGA, 2005.
Sholihin,M, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung: Pustaka        Setia, 2001.
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi                   Sekular-Liberal (Jakarta: GEMA INSANI,2005.
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Handono, Irena, Menyingkap Fitnah Dan Teror, Bekasi: GERBANG PUBLISHING, 2008.
Husaini, Adian, Virus Liberalisme Di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani          Press, 2009.
Pranaka, A.M.W, Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008.
Muhammad Al-Naquib Al-Attas, syed, Dilema Kaum Muslimin, Surabaya: PT. Bina         Ilmu,1986.
Suriasumantri, Suria.S, Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, Bandung: Mizan,                 1991.
Suriasumantri, Jujun.S, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1990.
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Tim Dosen, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar                   Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.
Jurnal Islamia Vol. III No.2, Melacak Akar Peradaban Barat, Jakarta Selatan: Khairul        Bayan, 2007.
Jurnal Islamia Thn I No 6, Membangun Peradaban Islam Dari Dewesternisasi                   Kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2005.
Jurnal Islamia Thn II No 5, Epistemologi Islam & Problem Pemikiran Muslim       
             Kontemporer , Jakarta Selatan: Khairul Bayan,2005.
Jurnal Islamia vol.III.No.3, Wajah Universitas Islam, Jakarta Selatan: Khairul Bayan,        2008.
Husaeni, Adian, Dari Tradisi Ilmu Ke Peradaban Islam, Catatan untuk 5 Tahun                INSIST sebagai dimuat dalam Catatan Akhir Pekan Di www.                                    Hidayatullah.com


[1]Bahkan diungkapkan dengan ekstrem oleh Gallagher bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Lihat: Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik,(Jakarta: ERLANGGA, 2005), h.5
[2]Ibid.
[3]Ibid.,h.2.
[4]M.Sholihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali,(Bandung: Pustaka Setia, 2001),h.9.
[5]Jurnal Islamia Thn II No 5, Epistemologi Islam & Problem Pemikiran Muslim Kontemporer , (Jakarta Selatan: Khairul Bayan,2005), h.6.
6Adnin Armas, Islamisasi Ilmu Konsep dan Epistemologi, (Malang: Islamic thought and Civilization (ICON) forum, 2008),h.9.



[7]Jurnal Islamia Thn I No 6, Membangun Peradaban Islam Dari Dewesternisasi Kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2005) h.11-12.
[8] Leopold Weis adalah seorang intelektual Eropa berkebangsaan Austria  yang masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Asad. Lihat: Cahyadi Takariawan, Dialog Peradaban Islam Mengugat Materialisme Barat, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 25.
[9]Ibid,-
[10]Jurnal Islamia Vol. III No.2, Melacak Akar Peradaban Barat, (Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2007), h.6.
[11]Jurnal Islamia Thn II No 5,loc.cit., lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi  Sekular-Liberal (Jakarta: GEMA INSANI,2005),h.x.
[12]Mujamil Qomar, op.cit., h.1-2.
[13]Jurnal Islamia Thn II No 5, loc.cit.
[14]Mujamil Qomar, loc.cit.
[15]M Sholihin, op.cit.,h. 32., lihat: A.M.W. Pranaka, Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, (Jakarta: CSIS, 1987), h.3-4.
[16]Mujamil Qomar, loc.cit.h.3.
[17]Ibid. Lihat: P.Hardono Hardi, “Pengantar”, dalam Kanneth T. Gallagher, epistemologi filsafat pengetahuan, disadur P. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h, 5.
[18]Ibid. Lihat: D.W. Hamlyn, “History Of Epistemology”, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia Of Philosophy, vol.3, 1967, h.8-9.
[19]Ibid.,h.3. Lihat: Dagobert D. Runes, Dictionary Of  Philosophy, (New Jersey, Little Field Adams & CO, 1963), h.49.
[20]Ibid. Lihat: Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.114.
[21]Adnin Armas,Islamisasi Ilmu Konsep dan Epistemologi,(Malang: Islamic thought and Civilization (ICON) forum, 2008),h.9.
[22]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008),h.149.
[23]M sholihin, op.cit.,h.9 dan 33. Lihat: Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Ilmu Islam, (Jakarta: UI Press,1983), h.50. Lihat juga: Harun Nasution, filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Binatang, 1973), h.10.
[24]Mujamil Qomar, op.cit.,h.7-9. Lihat: Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Dilema Kaum Muslimin, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,1986),h.103.
[25]Mujamil Qomar, op.cit. Lihat: Jacues Maritain, The Degrees Of Knowledge, transl. By Gerold B.Phelan, (New York: Scribner, 1959), h. 4.
[26]Mujamil Qomar, op.cit.
[27]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1990), h. 50.
[28]Jurnal Islamia Thn II No 5, Epistemologi Islam & Problem Pemikiran Muslim Kontemporer , (Jakarta Selatan: Khairul Bayan,2005), h.9.
[29]Di tulis dalam telaah utama pembahasan, mengenai worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, (Jurnal Islamia Thn II No 5, op.cit.,h. 9-20).
[30]M.Arifin, filsafat pendidikan islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 20.
[31]Mujamil Qomar, op.cit., h. 20.
[32]Ibid., h. 21. lihat:
[33]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), h. 32.
[34]Mujamil Qomar, loc.cit.
[35]M. Solihin, op.cit., h. 33.
[36]Mujamil Qomar, op.cit.,h. 26; Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,loc.cit.
[37]Ibid.,h.27; Jujun S. Suriasumantri, Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, (Bandung: Mizan, 1991),     h.17.
[38]Usaha untuk menafsir adalah aplikasi berfikir rasional, sedangkan usaha membuktiakan adalah aplikasi berfikir empiris.
[39]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,op.cit., h. 126-134.
[40]Mujamil Qomar, loc.cit., h. 28.
[41]Ibid., h.31.
[42] Ibid.
[43]Muajamil qomar, op.cit.,h.31.
[44] Ibid.,h.41.
[45]Mujamil Qomar, op.cit.,h. 44.
[46]Jurnal Islamia vol.III No.2, Melacak Akar Peradaban Barat, (Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2007), hlm. 11.
[47] Ibid.,hlm.19.
[48]Hamid Fahmy Zarkasyi, Leberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis, dan kolonialis),(Ponorogo: Center For Islamic and Occidental Studies, 2007), h.4.
[49]Jurnal Islamia Thn II No 5, op.cit.,h.6.
[50]Reneisance adalah gerekan pencerahan atau diartikan sebagai gerakan kelahiran kembali (rebirth) sebagai manusia yang serba baru, gerakan ini mengahancurkan otoritas Gereja (paus) pada tahun 1648. maka lahirlah nation state yang pada perjalanannya menjadi awal pemisahan Negara dan Agama yang kemudian melahirkan sekularisme.  (Adian Husaini, wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Isani Press, 2005), h. 30).
[51]Ibid.,h. 34., lihat: Irena Handono, Menyingkap Fitnah Dan Teror, (Bekasi: GERBANG PUBLISHING, 2008), h.28-66.
[52] Ibid., h. 42; Hamid Fahmy Zarkasyi, Adnin Armas, Adian Husaini, Tantangan Sekularisasi Dan Liberalisasi Di Dunia Islam, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), h. 29-31.
[53]Adian Husaini, Virus Liberalisme Di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), h. 167; Hamid Fahmy Zarkasyi, op.cit., h.11.,lihat juga: Adnin Armas, op.cit., h.26.
[54]Adian Husaini, Virus Liberalisme Di Perguruan Tinggi Islam, loc.cit., lihat: Jurnal Islamia vol.III.No.3, Wajah Universitas Islam, (Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2008), h. 91.
[55] Jurnal Islamia vol III No.2, op.cit., h. 98-99.
[56]Jurnal Islamia Thn II No 5, op.cit.,h.1
[57]Ibid.,h.9.
[58]Mujamil Qomar, op.cit., h.130-131.
[59]Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam Kembali, (Makalah disampaikan dalam workshop pemikiran ideologis Forum Ukhuwah Islamiyah daerah Istimewa Yogyakarta 15 April 2007)hal. 7 adapun penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di dalam Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Ini dikutip dari edisi terjemahan berbahasa Inggris 3 jilid dengan penerjemah Franz Rosental ‘The Muqaddimah : an Introduction to History’, editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978)hal. 54-57.  
[60]Hamid Fahmy Zarkasyi,hal.7. dalam catatan kakinya ia menambahkan bahwa Tujuan utama Ahlus Suffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, seperti shalat, membaca al Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis. Lulusan dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadist-hadist nabi. Dikutip dari Abu Daud al Sijistani, Sulaiman ibn al Asha’ath, (d. 275 H) al Sunan, 2 jilid (Egypt, Mustafa al Babi al Halabi, 1371) 2/237; Ibnu Majah, Muhammad ibn Yazid (d.273), al Sunan, dengan komentar dari Muhammad Fuad Abdul Baqe, (Kairo : Dar Ihya’ al Kutub al ‘Arabiyah, 1953, jilid 2,hal.70).
[61]Hamid Fahmy Zarkasyi,hal.7, Ia menambahkan bahwa Mengenai jumlah peserta dalam komunitas ilmuan dan materi yang dikaji, lihat Abu Nu’aim, Ahmad ibn Abdullah al Asbahani (d.430 A.H) Hilyatul Auliya’, 10 jilid, Mesir : al Sa’adah Press, 1357, 1/339,hal.341.
[62]Ibid.
[63]Ibid.,hal.8
[64]Ibid.
[65]Adian Husaini, Dari Tradisi Ilmu Ke Peradaban Islam, Catatan untuk 5 Tahun INSIST sebagai dimuat dalam Catatan Akhir Pekan Di www. Hidayatullah.com
[66]Adnin Armas, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Disampaikan pada kuliah Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2007.
[67] Ibid.
[68] Jurnal Islamia vol.III No.2, op.cit.,h.114.