SUMPAH DALAM
AL-QUR’AN
oleh: Mahmud al-Fahmi (Mahasiswa Pasca Sarjana UINSA)
Latar Belakang
Bersumpah adalah
mengucapkan kalimat sumpah. Bersumpah itu merupakan salah satu upaya yang telah
dilakukan manusia dalam rangka untuk menyakinkan orang lain bahwa telah berada
diatas kebenaran, yang artinya telah bersungguh-sungguh dengan serius, tidak
bohong atau sedang bersenda gurau. Adapun manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasannya
sulit sekali membebaskan dirinya secara penuh dari semua kesalahan. Dalam upaya
untuk membela dirinya dari semua kesalahan itu, maka salah satu yang harus
ditempuhnya ialah dengan bersumpah atas nama Allah[1].
Biasanya bersumpah
ini lazim digunakan manusia untuk mereka pada saat posisi mereka dijadikan
sebagai saksi dalam sebuah persidangan atau di pengadilan, atau juga sumpah
digunakan oleh seseorang yang karena sesuatu dan lain hal dia menjadi pimpinan
atau mengemban suatu jabatan tertentu di pemerintahan atau non pemerintahan.Sumpah yang akan digunakan oleh manusia
digunakan untuk menyakinkan pihak lain bahwa kandungan ucapannya yang benar.
Terjadi pelanggaran tentang bersumpah dengan selain Allah, jika pelaku
bertujuan mengagungkannya seperti orang yang telah bersumpah dengan Allah.
Selanjutnya
penulis akan membahas sedikit tentang Al Qur’an, Al-Qur’an adalah Wahyu Allah
yang telah diturunkan Nabi Muhammad saw sebagai Kitab suci terakhir untuk
dijadikan petunjuk dan pedoman hidup dalam mencapai kebahagian hidup dunia
akhirat. Adapun tujuan pengkajian Al-Qur’an ini adalah untuk memahami kalam
Allah, yang berdasarkan penjelasan dan keterangan dari Rasul saw dan riwayat
yang telah di sampaikan oleh para Tabi’in dan Sahabat sebelumnya.
Dalam
kenyataannya, banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang telah
mensyariatkan sumpah itu dan tidak seorang pun yang tidak mengakui adanya
syariat Sumpah itu. Bahwa sumpah yang sesuai dengan syariat Islam adalah sumpah
yang kalimat sumpahnya menyebut nama Allah. Sumpah menurut agama Islam adalah
pernyataan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang telah di kuatkan dengan
kalimat sumpah yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’. Sumpah di namai dengan
kata itu karena jika orang-orang terdahulu saling bersumpah satu sama lain
saling memegang tangan kanan temannya
Al Qur’an
diturunkan di Jazirah Arab, meskipun kandungannya bersifat universal tapi tidak
bisa dipungkiri terdapat banyak hal dalam Al Qur’an yang dalam sejarah turunnya
dilepaskan begitu saja dari budaya Arab,
artinya ada hal-hal yang disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat
Arab, salah satunya adalah dalam bersumpah.
Sumpah
atau al-qasam merupakan suatu hal atau kebiasaan bangsa Arab dalam
berkomunikasi untuk menyakinkan lawan bicaranya. Kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan oleh bangsa Arab merupakan suatu hal yang oleh al-Qur’an
direkonstruksi bahkan ada yang didekonstruksi nilai dan maknanya. Oleh karena
itu, al-Qur’an diturunkan di lingkungan bangsa Arab dan juga dalam bahasa Arab,
maka Allah juga menggunakan sumpah dalam mengkomunikasikan Kalam-Nya[2].
Bahkan
kebiasaan dalam hal bersumpah tersebut sudah ada sejak nilai doktrin Islam
belum eksis tatanan bangsa Arab. Meskipun bangsa Arab dikenal dengan menyembah
berhala (paganism) mereka tetap rnenggunakan kata Allah dalam sumpahnya,
seperti disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathir ayat 42 yang berbunyi:
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ
أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَهُمْ نَذِيرٌ لَيَكُونُنَّ أَهْدَى مِنْ إِحْدَى
الأمَمِ فَلَمَّا جَاءَهُمْ
نَذِيرٌ مَا زَادَهُمْ إِلا نُفُورً
Artinya:”Dan mereka bersumpah dengan nama
Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang
pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu
umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka
kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari
(kebenaran)”. (QS. Al-Fathiir 35: 42)[3]
Atau dalam surat An-Nahl ayat 38 yang berbunyi:
وَأَقْسَمُوا
بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ
حَقًّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Artinya:”Mereka bersumpah dengan nama Allah
dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan akan membangkitkan
orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya),
sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui”. (QS. An-Nahl 16: 38).
Konsep
sumpah tersebut berbeda dengan kebiasan bangsa Indonesia, dan juga kebiasaan bangsa
– bangsa lain di dunia, sumpah bagi mereka lebih mengacu kepada sebuah kesaksian atau
menguatkan kebenaran sesuatu dalam forum resmi, seperti kesaksian saksi dalam
pengadilan dan sumpah jabatan, dengan tekad menjalankan tugas dengan baik.
Pengertian
Menurut
Bahasa Aqsam
adalah bentuk jamak dari Qasam
yang artinya sumpah. Adapun menurut
istilah yang dimaksud dengan ilmu Aqsamul Qur’an ialah ilmu yang membicarakan tentang
sumpah-sumpah yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an.1Lafaz
sumpah tersebut harus menggunakan huruf sumpah (al-qasam) yaitu waw, ba’, ta’ seperti wallahi (demi Allah), Billahi
(demi Allah), dan Tallahi
(demi Allah)[4].
Pengertian lain
dari kata sumpah adalah kata sumpah berasal dari bahasa Arab اْلقَسَمُ (al-qasamu)
yang bermakna اْليَمِينُ (al-yamiin) yaitu menguatkan sesuatu dengan menyebutkan
sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf (sebagai perangkat
sumpah) seperti و , ب dan huruf lainnya[5].
Secara
Etimologi Sumpah (Aqsam) merupakan bentuk jamak dari kata Qasam
yang artinya sumpah. Kata Qasam, sama artinya dengan kata-kata alhilf
dan al-yamin, karena memang satu makna yaitu
sumpah. Dinamakan dengan Yamin karena orang-orang Arab itu bersumpah saling memegang tangan
kanan masing-masing[6].
Dan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”,
sumpah diartikan sebagai:
- Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya).
- Pernyataan yang disertai tekat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar.
- Janji atau ikrar yang teguh ( akan menunaikan sesuatu)[7].
Sedangkan
menurut Louis Ma’luf, dalam konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh
orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selain-Nya. Pada intinya
sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu
yang disucikan[8].
Akan
tetapi, bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai masyarakat yang menyembah
berhala (paganism). Mereka menyebutkan atau mengatakan sumpah dengan
atas nama tuhannya dengan sebutan Allah, seperti dalam yang tersurat dalam
al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 61 yang berbunyi:
سَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَوَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْ
Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan
kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan
matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka
(dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. Al-Ankabuut: 61)
Dan selanjutnya, juga dalam surat Al-Ankabut
ayat 63 disebutkan firman Allah yang artinya :”Dan Sesungguhnya jika kamu
menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu
menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab:
“Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami(nya)”. (QS. Al-Ankabut: 63)
Syarat dan Rukun Sumpah (
Aqsam )
Apabila
Sumpah (Qasam) dan syarat berkumpul dalam suatu
kalimat, sehingga yang satu masuk kedalam yang lain, maka unsur kalimat yang
menjadi jawab adalah bagi yang terletak lebih dahulu dari keduanya, baik Qasam
maupun syarat, sedang jawab dari yang
terletak kemudian tidak diperlukan. Qasam (sumpah) dan syarat dalam bahasa arab
merupakan suatu unsur kalimat. Lazim disebab jawab qasam (muqsam’alaih) dan jawab syarat. Contoh dengan jawab
qasam
”Demi Allah, saya
akan bersedekah”. Pernyataan
”saya akan bersedekah ” disebut jawab qasam.
Dalam bersumpah telah disyaratkan: Akil, Baligh, Islam,
berkemampuan baik dan menentukan pilihan, jika seseorang bersumpah karena
dipaksa maka sumpahnya tidak sah. Sedangkan rukunnya itu lafaz yang akan
digunakan. Orang yang bersumpah itu wajub melaksanakan isi sumpahnya, sumpah
yang isinya dilaksanakan, menjadi amal baik, jika tidak melaksanakan maka wajib
membayar kaffarah atau denda.
Huruf – Huruf Sumpah
Sedangkan
huruf-huruf yang berfungsi sebagai perangkat sumpah atau untuk membentuk lafal
sumpah ada 3 macam[9],
yaitu:
1. Wawu (و )
Seperti firman Allah dalam surat Adz-Dzariyaat
ayat 23 yang berbunyi:
تَنْطِقُونَ أَنَّكُمْ مَا مِثْلَ لَحَقٌّ إِنَّهُ وَالْأَرْضِ السَّمَاءِ فَوَرَبِّ
Artinya:”Maka demi Tuhan langit dan bumi,
Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti
perkataan yang kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyaat: 23).
Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf
qasam – maka ’amil (pelaku)nya wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus
diikuti dengan isim dlahir.
2. Ba’ ( ب )
Seperti dalam firman Allah dalam surat
A-Qiyaamah ayat 1 yang berbunyi:
الْقِيَامَةِ بِيَوْمِ أُقْسِمُ لَا
Artinya:”Aku bersumpah demi hari kiamat”.
(QS. Al-Qiyaamah: 1)
Maka dengan masuknya huruf Ba’ ini boleh
disebutkan ’amil-nya sebagaimana contoh di atas, dan boleh juga
menghapusnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad ayat 82 tentang Iblis
yang bersumpah untuk menyesatkan manusia:
Yang artinya:”Iblis
menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya. (QS.
Shaad: 82).
Setelah huruf Ba’ boleh diikuti isim dlahir
sebagaimana telah dicontohkan di atas, dan boleh juga diikuti oleh isim
dlamir.
3. Ta’ ( ت)
Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Nahl
ayat 56:
وَيَجْعَلُونَ لِمَا لا يَعْلَمُونَ
نَصِيبًا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ تَاللَّهِ لَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ
تَفْتَرُونَ
Artinya:”Dan mereka sediakan untuk
berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari
rezki yang Telah kami berikan kepada mereka. demi Allah, Sesungguhnya kamu akan
ditanyai tentang apa yang Telah kamu ada-adakan”. (QS. An-Nahl: 56).
Dengan masuknya huruf Ta’ ini, ’amil
(pelaku)-nya harus dihapuskan dan tidak bisa diikuti sesudahnya kecuali isim
jalalah (nama Allah), yaitu الله atau ربّ.
Pada
dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar atau
landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh terdahulu. Dan
kadang-kadang dihapus dengan ‘amil (pelaku)-nya. Bentuk yang seperti ini
banyak sekali, misalnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Takaatsur ayat 8
yang berbunyi:
Artinya:”Kemudian kamu pasti akan ditanyai
pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”.
(QS. At-Takaastur: 8)
Pada
dasarnya, kebanyakan al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan)
disebutkan. Seperti dalam firman Allah yang artinya :”Orang-orang yang kafir
mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah:
“Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan
diberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.” yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah”. (QS. At-Taghaabun : 7)
Selain
dari unsur-unsur dan redaksi sumpah tersebut di atas, yang paling fundamental
adalah rukun sumpah yang merupakan unsur-unsur sumpah muncul. Nashruddin Baidan
mengungkapkan bahwa rukun sumpah ada 4, yaitu:
- Muqsim (pelaku sumpah).
- Muqsam Bih (sesuatu yang dipakai sumpah).
- Adat Qasam (alat untuk bersumpah).
- Muqsam “Alaih (berita yang dijadikan isi sumpah atau disebut juga dengan jawab sumpah)[10].
Tujuan dan Manfaat Sumpah Dalam Al-Qur’an
Adapun
tujuan dari Qasam dalam al-Qur’an adalah untuk menegaskan dan menguatkan
khabar, dan dapat mewujudkan muqsam ’alaih. Oleh karena itu, muqsam
’alaih itu berupa sesuatu yang dapat layak
untuk dijadikan sebagai sumpah. Seperti halnya telah tersembunyi, bila qasam
itu dapat dimaksudkan untuk menetapkan
kebenarannya. Dan juga dapat menjelaskan tauhid atau untuk menegaskan kebenaran
dalam al-Qur’an. Von Denffer mengatakan fungsi dari sumpah aadalah untuk
memperkuat dan mendukung argumen, dan untuk membubarkan keraguan dalam pikiran
pendengar[11].
Manna
al-Quththan[12]
berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam
ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai
yaitu;
- Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim (pengujar dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
- Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka dinamakan thalaby.
- Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakandengan inkary.
Pada
kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu
penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya dengan
konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab.
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah adalah:
- Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah).
- Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya[13].
Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah
kecuali dalam keadaan berikut :
- Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah sesuatu yang penting.
- Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
- Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)
Terlepas
dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang,
teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis,
teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam
memahami ‘sejarah’ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga
transformasi makna.
Dengan
begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang
zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya
tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap
dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang
menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika
logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah
manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun
terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi
Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam
psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau
tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan
berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat
intensional dan teleologis[14].
Ada
pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan asSayuthi. Apa
gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman, yang pasti percaya firman
Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat sumpah dalam alQur’an yang
ditujukan kepada orang kafir. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran
al-Qur’an. As-Sayuthi[15]
berargumentasi bahwa alQur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan
kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika
menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi
berpendapat al-qasam dalam al-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan
argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu
bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga
tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan
QS.1O:53[16].
Alasan
yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra
kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca.
Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang
menentukan makna (meaning) adalah pembaca. Secara tidak disadari
as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan penanda (signifier) dalam
menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan kebiasaan dari pembaca
petanda (reader/signified) signified Padahal dalam konsep teologi Sunni,
kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan
alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi
untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse),
yang mempengaruhi kepada pembaca.
Namun
sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun[17],
al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai
situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati. Pemyataan
Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia yang ‘diajak
bicara’.
Kesimpulan
Al-qasam
(sumpah)
merupakan kebiasaan bangsa Arab untuk. menyakinkan lawan bicaranya (mukhatab).
Semenjak dari pra Islam, masyarakat Arab sudah akrab memakai qasam untuk
menegaskan bahwa yang dikatakannya itu benar. Setelah Islam datang, sumpah
boleh dilakukan hanya dengan nama Allah. Kalau melanggar bisa terkena sanksi
teologis dengan ‘vonis’ syirk, menyekutukan Tuhan. Berbeda dengan
al-Qur’an, Allah secara absolut menggunakan sumpah tersebut. Dia biasanya
bersumpah dengan dua cara yaitu dengan menyebut diri-Nya yang Maha Agung atau
dengan menyebut ciptaan-Nya. Sisanya bersumpah dengan nama makhluk-Nya. Maksud
menyebutkan ciptaan-Nya itu untuk menyebutkan keutamaan . (fadlilah) dan
manfaat bagi kesejahteraan manusia.
DAFTAR ISI
Prof
Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2005).
Muchotob Hamzah. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta:
Gama Media. 2003.
Al
Qur’an Terjemah Bahasa Indonesia Juz 1-30 : Menara Kudus
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993),
Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998.
Tim Penyususun. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012.
Louis Ma’luf. al-Munjid. Beirut: al-Mathba’ah
al-Kathaliqiyyah. 1956.
Manna Qaththan. Mabakhisfi Ulum Al-Qur’an.
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2005.
Ahmad
Von Denffer, An Introduction to The Science of The Qur’an, PDF.
Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2000.
Anonim. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta: LidS. 1996.
Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu
Bakar as-Suyuthi. Al-Itqan Fi ‘Ulum
Al- Qur ‘an. Terj: Abdul Wahab.
Yogyakarta: Wacana Persada. 2000.
Mohammed Arkoun. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai
Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS. 1994.
[1] Prof Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 203.
[7] Tim Penyususun.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012. Hal: 973
[13] Muhammad bin
Shaleh Al-‘Utsaimin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2000. Hal: 205
[15] Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar
as-Suyuthi. Al-Itqan Fi ‘Ulum Al-
Qur ‘an. Terj: Abdul Wahab.
Yogyakarta: Wacana Persada. 2000. Hal: 259
[16] ibid
[17] Mohammed
Arkoun. Nalar Islami dan Nalar
Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS. 1994. Hal:
195
0 komentar:
Posting Komentar