MISTERI
KEMENANGAN PERANG SALIB
A.
Pendahuluan
Salah satu peristiwa yang amat sangat traumatis di
dalam sejarah perjalanan umat Islam sejak kemunculannya sampai kepada
terbentuknya Peradaban Islam atau Imperium Islam adalah Perang Salib (the
Crussades) yang terjadi antara tahun 1095-1291 M. Sebab dalam peperangan
ini bertemunya dua kekuatan besar antara Timur dan Barat yang mana di antara
keduanya mewakili identitas masing-masing. Yang tidak hanya sebatas pada bangsa,
ras/etnis dan budaya, akan tetapi identitas agama atau sebagaimana yang diistilahkan
Huntington yaitu terjadinya benturan peradaban (Clash of Civilization)[1].
Seorang penulis Barat berkata, “Perang Salib
merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan.
Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir
tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami
kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan
manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan
kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan
bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan
berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani
Barat saat itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta
oleh Peter The Hermit dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci
Palestina dari tangan kaum Muslimin”.[2]
Perang atas nama agama ini pada dasarnya perang
merebut kekuasaan daerah. Hal
ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu
pengetahuan. Ini menunjukkan bahwa kaum Kristen Eropa (kaum frank/al-ifranj)[3]
yang datang ke dunia Islam tidak semuanya membawa misi untuk berperang, namun
banyak di antara mereka yang menuntut ilmu dari orang-orang muslim. Dampak dari
perang ini yang nantinya membawa perubahan alam berfikir orang-orang Eropa yang
dikenal dengan masa pencerahan (Renaissance)[4].
B. Sebab Terjadinya
Perang Salib
Carole Hillenbrand mencatat dalam bukunya ”bahwa
pertemuan pertama bangsa Eropa dengan Islam terjadi akibat kebijakan-kebijakan
negara muslim baru, yang terbentuk setelah wafatnya Nabi Saw. pada 632 M. Satu
abad kemudian, wilayah ekspansi Islam (kaum muslimin) telah
mencapai barisan pegunungan di antara Perancis dan Spanyol dan menaklukkan
wilayah-wilayah yang membentang dari India utara hingga Perancis selatan. Dua
ratus tahun berikutnya, perimbangan kekuasaan antara Eropa dan dunia Islam
secara meyakinkan masih berada di tangan kaum muslim, yang menikmati
pertumbuhan ekonomi besar-besaran dan mengalami perkembangan kebudayaan yang
luar biasa. Dari tahun 750 dan
seterusnya, wilayah Dinasti Abbasiyah dibentuk oleh pemerintahan dan kebudayaan
Persia-Islam dan semakin bertambah dengan dukungan militer dari budak-budak
Turki yang menjadi tentara yang berpusat di Baghdad.[5]
Ia menambahkan, pada abad ke-10 dan 11, perpecahan politik menimpa Dinasti
’Abbasiyah terus menerus. Sehingga kondisi tersebut mendukung munculnya gerakan
bangsa-bangsa Eropa di Mediterania timur dan menjadi awal kebangkitan kekuasaan
Kristen di Spanyol dan......”.
Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil menyimpulkan terhadap
apa yang telah dipaparkan Carole Hillenbrand akan sebab terjadinya Perang
Salib, yang antara lain; Pertama, perasaan keagamaan yang kuat.
Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus
dosa walau dosa setinggi langit. Kedua, perlakuan kasar orang-orang
Saljuk terhadap orang-orang Kristen. Negeri Islam selain Dinasti Saljuk
memperlakukan orang-orang Kristen sesuai dengan semangat toleransi Islam.
Mereka izinkan menunaikan ibadah di gereja-gereja suci mereka di Baitul Maqdis.
Di lain pihak, orang-orang Saljuk bersikap keras terhadap mereka karena
orang-orang Saljuk belum lama memeluk agama Islam. Ketiga, ambisi
pribadi Sri Paus. Ambisi Paus untuk menyatukan dunia Kristen ke dalam satu
negara religius yang langsung dipimpinnya dan mengusir kaum Muslimin dari
Baitul Maqdis.[6]
Senada
dengan apa yang telah ditambahkan Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil di akhir
penjelasannya akan kebencian dan kedengkian orang-orang Kristen Eropa terhadap
kaum Muslimin, Prof. Leopold Weiss[7]
menambahkan bahwa ”kemurkaan bangsa Eropa telah tersebar luas seiring dengan
kemajuan zaman. Kemudian kebencian berubah menjadi kebiasaan. Kebencian ini
akhirnya menumbuhkan perasaan kebangsaan setiap kali disebutkan kata
Muslim......”.
Allah Swt. telah menjelaskan akan watak kaum
Kristen dalam firman-Nya surat Ali Imran (3) ayat 118 yang berbunyi ”Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan
apa yang disembunyikan dalam hati mereka adalah lebih besar”.
Seiring dengan kebencian
dan kedengkian serta munculnya gerakan-gerakan orang-orang Eropa Kristen,
kondisi dunia Islam dan kaum Muslimin telah menciptakan mentalitas layak
terbelakang dan kalah (al-qabiliyyah li
at takhalluf wa al hazimah) di mana saat itu sebagaimana yang ditulis oleh Majid ’Irsan al Kilani dalam bukunya
bahwa di dalam tubuh umat Islam telah terjadi perpecahan pemikiran Islam dan
perselisihan antar mazhab, perpecahan dan penyimpangan tasawuf, ancaman
pemikiran kebatinan serta ancaman filsafat dan para filsuf. Hal ini berdampak
kepada rusaknya aspek ekonomi, aspek sosial, perpecahan politik dan pertentangan
Sunni-Syi’ah yang pada akhirnya lemahnya dunia Islam dalam menghadapi
serangan-serangan kaum salib Eropa.[8]
C.
Analisa Kemenangan Kaum
Muslimin
Setelah memahami uraian singkat di atas akan sebab
terjadinya Perang Salib dan kondisi dunia Islam pasca penyerangan orang-orang
Eropa Kristen, berikut ini akan disajikan beberapa penjelasan singkat sebab
kemenangan kaum Muslimin dalam melawan pasukan salib Kristen.
Tokoh legendaris Islam dalam melakukan perlawanan
sengit terhadap pasukan salib dengan merebut kembali daerah-daerah kaum
Muslimin yang telah dikuasai mereka, termasuk kota suci Baitul Maqdis adalah
Salahuddin al-Ayyubi pendiri Dinasti Ayyubiyah. Dalam uraian ini tidak akan
banyak dijelaskan biografi sang legendaris. Akan tetapi lebih difokuskan pada
sosok Salahuddin al-Ayyubi tersebut sebagai individu atau pelaku sejarah.
Pertanyaan yang muncul akan kepahlawanannya yaitu Apakah
Shalahuddin al-Ayyubi merupakan fenomena individu, sosok yang brillian dan
mukjizat yang lahir secara tiba-tiba di tengah panggung peristiwa dunia Islam
dan terbebas dari faktor-faktor kelemahan manusiawi ? atau sebaliknya, ia hanya
bagian dari generasi zamannya dan buah yang dipetik dari sekian langkah
permulaan dan perubahan yang dilakukan oleh masyarakat pada masa itu. Perubahan
yang meliputi seluruh lapisan umat dan kemudian melahirkan sumber daya manusia
brillian (jenius) yang bersifat kolektif dan menyiapkannya untuk keluar dari
krisis yang menghimpit, sementara Shalahuddin tidak lebih dari juru bicara
resmi yang diangkat oleh generasi tersebut untuk mewakilinya ?.
Tidak ada suatu peradaban
yang bangkit tanpa ditopang dan didukung oleh tradisi ilmu atau komunitas
ilmiah yang mengkaji ilmu secara dinamis dan berkesinambungan.[9]
Sebab Ilmulah yang melahirkan generasi
yang loyal terhadap bangsa dan negerinya. Bangsa dan negeri yang memiliki
pandangan hidup dan prinsip hidup yang teguh dan kokoh baik yang bersandar pada
agama atau tidak, Islam atupun non Islam.
Generasi Shalahuddin
merupakan generasi yang dilahirkan pada zamannya oleh orang-orang yang memiliki
prinsip dan keyakinan tinggi akan kemenangan hidup mereka dari tangan-tangan
kaum penindas. Para Ulamalah yang dengan kekuatan tulisan, lisan serta seluruh
potensi fikir dan dzikir mereka mampu membangkitkan dan menumbuhkan ribuan
generasi pada masa dan tempat yang sama dengan tujuan yang satu dan hati yang
bulat serta tekad yang kuat yang dibangun di atas keimanan yang menghujam
dengan berbekalkan ketaqwaan dan hanya berharap keridhaan ilahi, telah mampu mengukir
sejarah gemilang yang hadir di ruang dan waktu kita saat ini. Inilah yang
dikatakan bahwa apabila jaringan interaksi sosial suatu umat terbentuk atas
dasar loyalitas kepada pemikiran
risalah yang dianut dan dijadikan landasan hidup, maka setiap individu masyarakat
akan terlindungi dan terhormat, baik selama masih hidup maupun setelah mati.[10]
Rasulullah saw bersabda: “Apabila umatku sudah
mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka
meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan
wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan
Allah.”
Kondisi umat Islam di masa
kejatuhan Baitul Maqdis ke tangan orang-orang salib tidak kurang dari apa yang
disabdakan Rasulullah Saw. Umat Islam kala itu mengalami keterpurukan atau degradasi
iman dan moral. Para pemimpin yang hedonis dan tidak amanah dalam melaksanakan
tugas-tugas kepemimpinannya.
D.
Kesimpulan
[1]Istilah tersebut menjadi judul bukunya, Samuel P. Huntington,
Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York :
Touchtone Books, 1996)
[2]http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=237
[3]Carole Hillenbrand, Perang Salib Sudut
Pandang Islam, cet.II.(Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2005),41
[4]Bagi Barat, Perang Salib merupakan bagian
dari evolusi Eropa barat abad pertengahan. Arti pentingnya telah lama diakui
dan dipelajari oleh banyak generasi para ilmuwan Barat.
[5]Hillenbrand, Carole.Op.Cit.hal.20-21
[6]Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam
Dari Dinasti Bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern,cet.IV. (Jakarta :
Pustaka Kautsar, 2000),hal. 165-166
[7]Muhammad Asad terlahir sebagai Leopold Weiss pada
tahun 1900 di kota Lemberg, Ukraina. Tahun 1926, berkat kesan mendalam dari
hasil pengembaraannya di negara-negara Islam Timur Tengah (terekam dalam salah
satunya bukunya "Road to Mecca") ia memeluk Islam. Ia lantas
mengatakan mengenai Islam :" Dalam pandangan saya, Islam terlihat
seperti sebuah hasil arsitektur yang sempurna. Semua elemen didalamnya secara
harmonis dalam saling melengkapi dan mendukung; tidak ada yang berlebihan dan
tidak ada yang kurang; hasilnya adalah sebuah struktur dengan keseimbangan
sempurna dan komposisi yang kuat." Ia mengembara dan menyaksikan
dengan kepala sendiri beberapa pergerakan pembebasan yang muncul pada awal abad
20 untuk membebaskan daerah Islam dari kaum kolonial.
[8]Majid ‘Irsan al-Kilani, Hakadza Zhahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al Quds, (Saudi
Arabiya : Ad-Dar As-Su’udiyyah, 1985).hal.13-61
[9]Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam
Kembali. Diktat Mata Kuliah Worldview Islam. Disampaikan dalam seminar
kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).hal.1
[10]Majid ‘Irsan Al Kilani, Misteri Masa Kelam Islam
Dan Kemenangan Perang Salib. (Bekasi : Kalam Aulia Mediatama,2007).hal.8
0 komentar:
Posting Komentar