Oleh: Retno Dewi Zulaikah
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah
menurunkan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya di dunia ini sebagai petunjuk untuk
menggapai kehidupan di dunia ini menuju kehidupan abadi. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang,
yakni dengan tersiarnya agama Islam.
Dengan Hidayah, Rahmat dan Anugrah
Allah SWT., makalah Sejarah Peradaban Islam ini dapat diselesaikan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung atas terselesaikannya makalah ini dan juga
sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberi saran perbaikan makalah
ini, karena makalah ini masih jauh akan kesempurnaan.
Adapun harapan kami, semoga makalah ini
dapat memberikan manfa’at kepada kita semua, Amin.
Surabaya, 16 September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
A. Sejarah
Berdirinya Daulah Fatimiyah......................................... 3
1. Ubaidillah
Al-Mahdi............................................................... 5
2. Al-Qa’im................................................................................. 6
3. Al-Manshur.............................................................................. 7
4. Mu’iz
Lidinillah...................................................................... 8
5. Al-Aziz.................................................................................... 9
6. Al-Hakim................................................................................. 10
7. Az-Zahir.................................................................................. 11
8. Al-Mustansir............................................................................ 11
9. Al-Musta’li.............................................................................. 12
B. Perkembangan
Peradaban Pada Masa Daulah Fatimiyah............ 13
1. Bidang
Administrasi............................................................... 13
2. Kondisi
Sosial......................................................................... 14
3. Kemajuan Ilmu
Pengetahuan................................................... 15
4. Kemajuan di
Bidang Ekonomi................................................ 16
5. Bidang
Kebudayaan dan Keagamaan...................................... 17
C. Kemunduran
dan Akhir Daulah Fatimiyah................................. 18
BAB
III KESIMPULAN……......................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum munculnya peradaban
Islam telah dimulai sejak lahirnya agama itu sendiri kemudian mengalami
perkembangan pada saat Daulah Umayyah berkuasa dan mencapai puncak kejayaan
pada masa Daulah Abbasiyah. Daulah Fatimiyah hadir pada abad kesepuluh, akhir
masa Daulah Abbasiyah bersamaan dengan daulah-daulah kecil lainnya yang mulai
melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiyah.
Daulah
Fatimiyah merupakan salah satu Daulah Islam yang pernah ada dan juga memiliki
andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan
Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam yang pada
awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan
saling menghormati.
Ada kesulitan tersendiri dalam
merekonstruksi Daulah Fatimiyah. Sumber-sumber sejarah yang tersedia tidak
banyak memberikan data yang memadai. Prof Musrifah Sunanto misalnya, dalam buku
yang berjudul Sejarah Islam Klasik menulis Daulah Fatimiyah dalam lima
halaman saja. Bandingkan dengan Daulah Umayyah atau bahkan Daulah Abbasiyah
yang ditulis dalam lebih dari 35 halaman. Bisa jadi ini karena Daulah Fatimiyah
tidak banyak meninggalkan peradaban besar. Meskipun tidak banyak, ternyata
masih ada beberapa sumber informasi yang mencoba menampilkan beberapa
peninggalan peradaban Daulah Fatimiyah serta peradaban-peradaban yang
ditinggalkannya.
B. Rumusan Masalah
1. Kapan munculnya Daulah Fatimiyah?
2.
Bagaimana
perkembangan peradaban pada masa Daulah Fatimiyah?
3. Kapan runtuhnya Daulah
Fatimiyah?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui kemunculan dari Daulah Fatimiyah.
2.
Untuk
mengetahui perkembangan peradaban masa Daulah Fatimiyah.
3.
Untuk
mengetahui kapan runtuhnya Daulah Fatimiyah.
4.
Melengkapi tugas wajib individu matakuliah
Sejarah Peradaban
Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Daulah Fatimiyah
Wilayah
kekuasaan Daulah Fatimiyah (909 M-1171 M) meliputi Afrika Utara, Mesir, dan
Suriah. Berdirinya Daulah Fatimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya Daulah
Abbasiyah. Ubaidilillah Al-Mahdi mendirikan Daulah Fatimiyah yang lepas dari
kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa
kepemimpinan al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Daulah
Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid al-Azhar. Masjid ini
berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan. Daulah Fatimiyah
berakhir setelah al-Adid, khalifah terakhir Daulah Fatimiyah jatuh sakit.
Shalahuddin al-Ayyubi, wazir Daulah Fatimiyah menggunakan kesempatan tersebut
dengan mengakui kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mustahdi. Peninggalan dinasti
ini meliputi Masjid al-Azhar yang sekarang terkenal dengan Universitas
al-Azhar, bab al-Futuh (Benteng Futuh), dan Masjid al-Ahmar di Cairo, Mesir.[1]
Daulah
ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib
dan Fatimah bin Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri
daulah ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far ash-Shadiq. Sedangkan Ismail
merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setalah
Imam Ja’far ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Cabang
pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far,
sedangkan sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail bin Muhammad al-Maktum
sebagai Imam Syi’ah yang ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamakan dengan
Syi’ah Ismailiyah, yaitu tidak menampakkan gerakannya secara jelas sehingga
muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sistem
gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah
Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia
mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran
Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latarbelakang berdirinya Daulah
Fatimiyah di Afrika dan kemudian berpindah di Mesir.
Sebelum
Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang paling
bersemangat yaitu abdullah Al-Husain sebagai pemimpin Syi’ah Ismailiyah. Ia
adalah orang Yaman asli, sampai dengan abad ke Sembilan ia mengklaim diri
sebagai wakil al-Mahdi. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat
propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar,
khususnya dari kalangan Khitamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini.
Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yaitu Ibrahim bin Muhammad, berusaha merekan
gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah putranya dan
pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah
berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain menulis
surat kepada Imam Ismailiyah, yaitu Sa’id bin Husain as-Salamiyah agar segera
berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan
tertinggi gerakan Ismailiyah. Sa’id mengabulkan undangan tersebut, dan ia
memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah.
Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunisia, pusat pemerintahan Dinasti
Aghlabiyah pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang
terakhir, yaitu Ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam
dengan gelar “Ubaidillah al-Mahdi”. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan
Daulah Fatimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai Khalifah pertamanya.[2]
Obsesi yang tersirat dalam pendirian Daulah
Fatimiyah yang
terpenting adalah mencoba menguasai pusat dunia Islam: yaitu Mesir. Hal yang
mendorong mereka untuk menguasai Mesir tersebut adalah faktor
"Ekomomi" dan "Politik". Ditinjau dari faktor ekonomi,
Mesir terletak di daerah yang alamnya sangat subur dan menjadi daerah lintas
perdagangan yang strategis, yaitu perdagangan ke Hindia melalui laut Merah, ke
Italia dan Laut Tengah Barat, ke kerajaan Bizantium.
Peta kekuasaan Daulah Fatimiyah
Menurut peta politik, Mesir terletak di
wilayah yang strategis, daerah ini dekat dengan Syam, Palestina dan Hijaz yang
juga merupakan wilayah Mesir sejak Dinasti Tulun. Bila Fatimiyah dapat
menaklukkan Mesir berarti akan mudah baginya untuk menguasai Madinah sebagai
pusat Islam masa lampau, serta kota Damaskus dan Bahgdad dua ibu kota ternama
di zaman Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Dengan demikian maka nantinya
Daulah Fatimiyah ini akan cepat termasyhur dan di kenal dunia. Adapun
para penguasa Daulah Fatimiyah adalah sebagai berikut:
1.
Ubaidillah
Al-Mahdi (909-934 M)
Al-Mahdi
merupakan penguasa Fatimiyah yang cakap, dua tahun semenjak penobatannya ia
menghukum mati pimpinan propagandanya yaitu Abu Abdullah al-Husain karena
terbukti bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abul Abbas untuk
melancarkan perebutan jabatan khalifah. Kemudian al-Mahdi melancarkan gerakan perluasan
wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang dari Mesir sampai dengan
wilayah Fes di Maroko. Pada tahun 914 M, ia menduduki Alexandria. Kota-kota
lainnya seperti Malta, Syiria, Sardinia, Corcisa, dan sejumlah kota lain jatuh
didalam kekuasaannya.[3] Pada
tahun 920 M, khalifah al-Mahdi mendirikan kota baru di pantai Tunisia dan
menjadikannya sebagai ibu Kota Fatimiyah, kota ini dinamakan kota Mahdiniyah.
Al-Mahdi
ingin menaklukan Spanyol dari kekuasaan Umayyah. Oleh karena itu, ia menerima
hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Muhammad bin Hafsun, pimpinan
pergerakan pemberontak di Spanyol. Namun, ambisinya ini belum berhasil sampai
ia meninggal dunia pada tahun 934 M.
2.
Al-Qa’im
(934-946 M)
Al-Mahdi
digantikan oleh putranya yang tertua bernama Abul Qasim dan bergelar al-Qa’im.
Ia meneruskan gerakan ekspansi yang telah dimulai ayahnya. Pada tahun 834 M, ia
mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke daerah selatan pantai Prancis.
Pasukan ini berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria.
Mereka melancarkan pembunuhan, penyiksaan, pembakaran kapal-kapal, dan merampas
budak-budak. Pada saat uang sama ia juga mengerahkan pasukannya ke Mesir, namun
pasukan ini berhasil dikalahkan oleh Dinasti Ihsidiyah sehingga mereka terusir
dari Alexandria. Di tengah kesuksesannya dalam ekspansi, al-Qa’im mendapat
perlawanan dari kalangan Khawarij yang melancarkan pemberontakan di bawah
pimpinan Abu Yazid Makad. Berkali-kali gerakan pemberontak ini mampu menahan
serangan pasukan Fatimiyah dalam peperangan yang berlangsung hampir tujuh
tahun.
Al-Qa’im
merupakan prajurit pemberani, hampir setiap ekspedisi militer dipimpinnya
secara langsung. Ia merupakan khalifah Fatimiyah pertama yang menguasai lautan
Tengah. Al-Qa’im meninggal pada tahun 946 M, ketika itu sedang terjadi
pemberontakan di Susa’ yang dipimpin oleh Abu Yazid. Al-Qa’im digantikan oleh
putranya yang bernama al-Manshur.
3.
Al-Manshur
(946-965 M)
Al-Manshur
mulai memegang jabatan khalifah ketika ayahnya mengumumkan pengangkatan sebagai
putra mahkota beberapa saat sebelum meninggal. Tak lama kemudian dia
memerintahkan pengiriman kapal yang dipenuhi makanan dan peralatan peran ke
Suez yang saat itu sedang dikepung oleh tentara Abu Yazid. Bantuan itu tiba di Suez
dua hari sebelum kematian al-Qa’im. Sepekan setelah kematian ayahnya, al-Manshur
mempersiapkan diri memimpin pertempuran menumpas Abu Yazid dan pasukannya di
Suez melalui jalur darat. Namun Al-Manshur mengurungkan niatnya dan menunjuk
Kabun sebagai penggantinya. Al-Manshur juga memerintahkan Ya’qub bin Ishaq
menuju ke Suez melalui laut secara diam-diam. Dalam misi ini al-Manshur mampu
mengusir Abu Yazid dan pasukannya dari Suez. Abu Yazid dapat lolos dan
melarikan diri ke kota Qairuwan kemudian meneruskan perjalanan ke Kadiyah.
Pada
akhir 974 M di puncak Gunung Kiyanah, Abu Yazid dan pasukannya dapat dikepung
didalam kemahnya, dan menjelang malam hari seluruh perkemahan dibakar agar
tidak seorangpun yang dapat lolos, dan Abu Yazid dapat lolos namun dapat
ditangkap dalam keadaan penuh luka, akhirnya Abu Yazid meningggal ditengah
perjalanan saat akan dibawa ke Afrika.
Setelah
mampu mengembalikan stabilitas dalam negeri yang sempat hilang dibawah
al-Qa’im, al-Manshur memindahkan ibu kota Fatimiyah dari Mahdiyah ke
Manshuriyah, dari Manshuriyah al-Manshur berkonsentrasi mengalahkan dua
kompetitornya di dunia Islam yaitu para khalifah Abbasiyah dan para amir
Umayyah di Andalus. Al-Manshur juga berambisi menaklukkan para raja Nasrani
termasuk Bizantium, namun sebelum semuanya terwujud al-Manshur meninggal.
4.
Mu’iz
Lidinillah (965-975 M)
Ketika
al-Manshur meninggal, putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad menggantikan
kedudukannya sebagai khalifah dengan bergelar Mu’iz Lidinillah. Penobatan Mu’iz
sebagai khalifah keempat menandai era baru Daulah Fatimiyah, banyak
keberhasilan yang dicapainya. Pertama kali ia menerapkan untuk mengadakan
peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaannya untuk mengetahui kondisi
yang sebenarnya. Selanjutnya Mu’iz menetapkan langkah-langkah yang harus
ditempuh demi terciptanya keadilan dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan
pemberontakan secara tuntas hingga mereka bersedia tunduk dalam kekuasaan
Mu’iz. Mu’iz menempuh kebijakan damai terhadap para pimpinan dan gubernur
dengan menjanjikan penghargaan kepada mereka yang menunjukkan loyalitasnya.
Oleh karena itu, dalam tempo singkat masyarakat seluruh negeri mengenyam
kehidupan yang damai dan makmur.
Penaklukan
Mesir merupakan cita-cita terbesar gerakan ekspansi Mu’iz, ia telah lama
menanti datangnya kesempatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Maka ketika
Mesir dilanda kerusuhan serius pada tahun 968 M, Mu’iz segera memerintahkan
Jauhar untuk mengerahkan menaklukkan Mesir. Pada tahun 969 M, Jauhar berhasil
menduduki Fustat tanpa suatu perlawanan. Peristiwa ini menandai berakhirnya
kekuasan Dinasti Ihsidiyah di Mesir, dan Mesir memasuki era baru di bawah
kekuasaan Daulah Fatimiyah. Jauhar segera membangun kota Fustat menjadi kota
baru dengan nama Qahirah (Kairo). Semenjak tahun 973 M kota in dijadikan
sebagai ibu kota pemerintahan Daulah Fatimiyah. Selanjutnya Mu’iz mendirikan
Masjid al-Azhar, masjid ini oleh Khalifah al-Aziz dijadikan sebagai pendidikan
tinggi al-Azhar yang berkembang di masa sekarang ini bermula dari pendidikan
tinggi ini.[4]
Khalifah
Mu’iz meninggal pada tahun 975 M, ia merupakan khalifah yang terbesar, ia
adalah pendiri Daulah Fatimiyah di Mesir. Kecakapannya sebagai negarawan
terbukti oleh perubahan Fatimiyah sebagai dinasti kecil menjadi imperium besar.
Menurut Sayid Amir Ali, ketenaran Mu’iz dalam bidang pendidikan dan pengetahuan
sebanding dengan Khalifah al-Makmun, yang berhasil membawa kemakmuran dan kemajuan
peradaban Afrika Utara. Mu’iz bukan saja orang yang berpendidikan tinggi tetapi
pandai di bidang syair dan kesusastraan Arab, ia juga menguasai beberapa bahasa
dan fasih berpidato.
5.
Al-Aziz
(975-996 M)
Nama
lengkapnya Abu Manshur Nizar al-Aziz. Ia berkuasa dari 975 hingga 996 M. Di
bawah pemerintahannya, Daulah Fatimiyah mencapai kejayaannya. Al-Aziz tidak
saja mampu menciptakan kemakmuran dan ketentraman namun menempatkan Daulah
Fatimiyah sebagai kekhalifahan besar hingga mampu menenggelamkan nama besar
Daulah Abbasiyah. Tak tanggung-tanggung, al-Aziz mengalokasikan dana dua juta
Dinar guna membangun istananya untuk menyaingi istana Abbasiyah di Baghdad. Istana
dibangun sangat megah dengan berbagai hiasan dan ornament yang sangat indah.
Istana juga dilengkapi dengan air mancur yang dapat mendinginkan lingkungan
istana. Karya terbesarnya adalah mengembangkan masjid al-Azhar menjadi
universitas.
Usahanya
yang tak kalah penting adalah membangun kerukunan antar umat beragama. Di
samping memberikan kebebasan kepada warga Sunni menjalankan keyakinannya, al-Aziz
juga memberikan kebebasan beragama kepada warga Nasrani. Al-Aziz juga membangun
kanal-kanal guna mengairi tanah pertanian dan membangun jembatan guna
memudahkan perpindahan barang dan orang. Usaha ini dimaksudkan untuk
mengembangkan dan memajukan perekonomian Negara. Hubungan dagang dengan
negeri-negeri lain juga dibangun. Masyarakat didorong menghasilkan produk
industri dan seni yang kompetitif. Untuk menjadikan Mesir sebagai kota
perdagangan dunia, dibangunlah pasar dengan 20.000 toko. Di hampir setiap sudut
kota dibangun sejumlah pemandian umum guna menciptakan kebersihan dan keindahan
kota.[5]
Al-Aziz
juga dikenang dengan jasanya mereformasi sistem pemerintahan. Para wazir dibagi
menjadi dua kelompok, yakni militer dan sipil. Militer bertanggung jawab
terhadap keamanan istana, urusan tentara, perang, dan pengawal. Sedangkan sipil
memimpin urusan hakim, ekonomi, urusan rumah tangga istana, keuangan dan ketua
dakwah.
6.
Al-Hakim
(996-1021 M)
Pada
saat diangkat khalifah usianya baru menginjak 11 tahun sehingga kekuasaannya
banyak dijalankan oleh para wazir. Al-Hakim memberikan kontribusi positif bagi
kebesaran Daulah Fatimiyah. Dia membangun Dar al-Hikmah sebagai lembaga
pengajaran dan pengembangan ilmu astronomi dan kedokteran. Al-Hakim juga
membangun Dar al-Ilm, sebuah lembaga yang mengoleksi jutaan buku dalam berbagai
disiplin ilmu. Tidak kurang dari 257 Dinar digelontorkan untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus, seorang astronom besar uang
menemukan pendulum dan alar ukur waktu.
Namun
al-Hakim juga dinilai sebagai Khalifah Fatimiyah yang memulai menghancurkan
Daulah Fatimiyah dengan beberapa kebijakannya yang kejam dan tidak toleran. Ia
membunuh beberapa wazirnya dan menghancurkan beberapa gereja Kristen. Bahkan
kuburan suci umat Kristen juga ikut dihancurkan. Tidak berhenti sampai disitu,
toleransi beragama yang sudah mulai berkembang dipupuskan dengan aturan yang
membatasi, non-muslim hanya boleh menunggang keledai, non-muslim juga harus
menandai dirinya dengan memakai jubah hitam serta mengenakan salib yang
dikalungkan di leher untuk orang Nasrani dan tenggala berlonceng untuk orang
Yahudi.
7.
Az-Zahir
(1021-1036 M)
Al-Hakim
digantikan oleh putranya yang bernama Abu Hasyim Ali dengan gelar Az-Zahir. Ia
naik tahta pada usia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya
yang bernama Sitt al-Mulk. Sepeninggal bibinya, az-Zahir menjadi raja boneka di
tangan menterinya. Pada masa pemerintahan ini rakyat menderita kekurangan bahan
makanan dan harga barang tidak dapat terjangkau. Kondisi ini disebabkan
terjadinya musibah banjir terus-menerus.
Peristiwa
yang paling terkenang pada masa ini adalah penyelesaiain persengketaan
keagamaan pada tahun 1025 M di mana tokoh-tokoh mazhab Malikiyah diusir dari
Mesir. Sekalipun demikian, secara umum az-Zahir cukup toleran kepada kelompok
Sunni. Ia bersedia membuat perjanjian dengan kaisar Romawi, yaitu Kaisar
Constantine VIII. Sang kaisar di izinkan
membangun kembali gereja Yerusalem yang roboh akibat kerusuhan yang terjadi
disana. Ia meninggal pada 1036 M, setelah memerintah selama 16 tahun.
8.
Al-Mustansir
(1036-1095 M)
Az-Zahir
digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar al-Mustansir,
pemerintahannya selama 61 tahun dan merupakan masa pemerintahan terpanjang
dalam sejarah Islam. Masa awal pemerintahannya berada sepenuhnya ditangan
ibunya, lantaran ketika dinobatkan sebagai khalifah ia baru berusia tujuh
tahun. Pada masa ini kekuasaan Fatimiyah mengalami kemunduran secara drastis.
Beberapa kali perebutan jabatan perdana menteri turut memperlemah ketahanan
imperium ini, disamping terjadinya sejumlah pemberontakan dan peperangan selama
pemerintahan ini.[6]
Raja
muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz bin Badis melemparkan penghinaan
kepada Daulah Fatimiyah dengan tidak menyebut nama Khalifah Fatimiyah dalam
khutbah Jum’atnya, melainkan ia menyebut nama khalifah Abbasiyah.
9.
Al-Musta’li
(1095-1101 M)
Putra
termuda al-Mustansir yang bergelar al-Musta’li menduduki tahta kekhalifahan
sepeninggal sang ayah al-Mustansir. Nizar sebagai putra al-Mustansir yang
tertua, menentang penobatan adiknya. Ia segera bangkit di Alexandria setelah memecat
gubernur wilayah ini, namun satu tahun kemudian, ia dapat dipaksa menyerah.
Setelah
al-Musta’li meninggal, anaknya yang masih muda bernama al-Amir Manshur dengan
gelar al-Amir dinobatkan sebagai khalifah oleh al-Afzal. al-Afzal merupakan
perdana menteri yang berkuasa secara absolut selama dua puluh tahun masa
pemerintahan al-Amir. Berkat keluwesan dan keadilannya, Mesir menjadi cukup
damai dan makmur.
Setelah
al-Amir menjadi korban pembunuhan politik, kemenakannya al-Hafiz
memproklamirkan diri sebagai khalifah. Pemerinyahan al-Hafiz ini diwarnai
dengan perpecahan antar unsur kemiliteran. Anaknya Abu Manshur Ismail, dengan
gelar az-Zafir, menggantikan kedudukannya setelah wafatnya al-Hafiz. Ia adalah
pemuda 17 tahun yang tampan yang tidak peduli dengan urusan politik
pemerintahan. Az-Zafir meninggal pada tahun 1154 M, terbunuh oleh Nasir Ibnu
Abbas.
Anak
az-Zafir yang masih kecil menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar al-Faiz.
Ia meninggal dunia sebelum dewasa dan digantikan kemenakannya al-Azid. Sewaktu
naik tahta, sang khalifah berusia 9 tahun. Ia merupakan Khalifah Daulah
Fatimiyah yang ke empat belas dan mengakhiri masa pemerintahan Fatimiyah selama
lebih kurang dua setengah abad. Al-Azid berjuang keras untuk menegakkan
kedudukannya dari serangan raja Yerusalem yang pada waktu itu telah berada di
gerbang Kota Cairo. Dalam keadaan yang kacau, datang Sultan Shalahuddin al-Ayubi,
pejuang dalam perang salib. Sultan Shalahuddin menurunkan al-Azid dari khalifah
Fatimiyah terakhir pada tahun 1171 M. Dengan demikian, Daulah Fatimiyah yang
didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi ini berakhir sudah.[7]
B. Perkembangan Peradaban pada Masa Daulah
Fatimiyah
Sejak awal berdirinya Daulah Fatimiyah, para
pemukanya telah mempunyai perencanaan untuk mencapai kejayaan. Kecemerlangan
itu dicapai pada masa al- Aziz Khalifah Fatimiyah ke-5. Bila diamati dari
perjalanan sejarahnya, khalifah-khalifah Fatimiyyah mempunyai beberapa
keistimewaan di berbagai bidang, antara lain:[8]
1.
Bidang
administrasi
Periode
Daulah Fatimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir. Sebagian khalifah
dinasti ini adalah pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir. Administrasi kepemerintahan Daulah
Fatimiyah secara garis besar tidak berbeda dengan administrasi Daulah
Abbasiyah, sekalipun pada masa ini muncul beberapa jabatan yang berbeda.
Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun
spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan
jabatan-jabatan dibawahnya.
Kementrian
negara (wazir) terbagi menjadi dua kelompok: pertama adalah para ahli pedang
dan kedua adalah para ahli pena. Kelompok pertama menduduki urusan militer dan
keamanan serta pengawal pribadi sang khalifah. Sedang kelompok kedua menduduki
beberapa jabatan kementrian, yaitu:
a.
Hakim
b.
Pejabat
pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Dar al-Hikmah
c.
Inspektur
pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan
d.
Pejabat
keuangan yang menangani segala urusan keuangan Negara
e.
Regu
pembantu istana
f.
Petugas
pembaca al-Qur’an
g.
Ahli
pena, terdiri atas kelompok pegawai negeri, yaitu petugas penjaga dan juru
tulis
2.
Kondisi
sosial
Mayoritas
khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama
nonmuslim. Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana,
hanya khalifah al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang
Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan
melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa al-Aziz bahkan mereka lebih
diuntungkan daripada umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki
jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa al-Mustansir dan
seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan
keuangan dipegang oleh orang-orang Kopti. Pada khalifah generasi akhir,
gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak
yang diangkat sebagai pegawai pemerintah. Demikianlah semua ini menunjukkan
kebijaksanaan penguasa Fatimiyah terhadap umat Kristiani.
Nasir
al-Khusraw, salah seorang pengembara Ismailiyah berkebangsaan Persia, yang
mengunjungi Mesir antara tahun 1046-1049 M, meninggalkan catatan tentang
kehidupan kota Kairo, yaitu ibu kota Daulah Fatimiyah. Pada saat itu ia mendapatkan kota Kairo sebagai kota makmur
dan aman. Menurutnya, toko-toko perhiasan dan
pusat-pusat penukaran uang ditinggalkannya oleh pemiliknya begitu saja
tanpa kunci, rakyat menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-jalan
raya diterangi beragam lampu. Penjual toko menjual barang dengan harga jual
yang telah diputuskan dan jika seseorang terbukti melanggar ketentuan harga
jual akan dihukum dengan diarak di atas unta sepanjang jalan dengan diiringi
bunyi-bunyian.
Daulah
Fatimiyah berhasil dalam mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan
peradaban yang berlainan semacam di dunia Timur. Hal ini sangat menarik
perhatian karena sistem administrasinya yang sangat baik sekali, aktifitas artistik,
luasnya toleransi, kejujuran pengadilan, dan terutama perlindungannya terhadap
ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[9]
3.
Kemajuan
ilmu pengetahuan
Sumbangan
Daulah Fatimiyah dalam kemajuan ilmu pengetahuan tidak sebesar sumbangan
Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol. Masa ini kurang produktif dalam
menghasilkan karya tulis dan ulama besar kecuali dalam jumlah yang kecil,
sekalipun banyak di antara khalifah dan para wazir menaruh perhatian dan
penghormatan kepada para ilmuan dan pujangga. Ibnu Khilis merupakan salah
seorang wazir Fatimiyah yang sangat memperdulikan pengajaran. Ia mendirikan
lembaga pendidikan dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa Ibnu
Khilis ini di dalam istana al-Aziz terdapat fisikawan besar bernama Muhammad at-Tamim.
Al-Kindi sejarawan dan topographer terbesar hidup di Fustat dan meninggal di
tahun 961 M. Pakar terbesar pada awal Fatimiyah adalah Qazdi an-Nu’man dan
beberapa keturunannya yang menduduki jabatan qadhi dan keagamaan tertinggi
selama 50 tahun semenjak penaklukkan Mesir sampai pada masa pemerintahan
al-Hakim. Para qadhi ini tidak hanya pandai dalam bidang hukum, melainkan juga
cakap dalam berbagai disiplin pendidikan tinggi. Diantara pegawai pemerintahan
pada masa al-Hakim terdapat seorang Mesir yang terkaya dalam penulisan sejarah
dan karya-karya lain tentang keIslaman, syair, dan astrologi.
Di
antara para khalifah Fatimiyah adalah tokoh pendidikan dan orang yang
berperadaban tinggi. al-Aziz termasuk diantara khalifah yang mahir dalam bidang
syair dan mencintai kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung al-Azhar
menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi. Kekayaan dan kemakmuran Daulah
Fatimiyah dan besarnya perhatian para khalifahnya merupakan faktor pendorong
para ilmuan untuk berpindah ke Kairo. Istana al-Hakim dihiasi dengan kehadiran
Ali bin Yunus, pakar terbesar dalam bidang astronomi, dan Ibnu Ali al-Hasan bin
al-Haitami, seorang fisikawan muslim terbesar dan ahli dibidang optik. Selain
mereka berdua terdapat sejumlah sastrawan dan ilmuan yang berkarya di Istana
Fatimiyah.[10]
Khalifah
Fatimiyah mendirikan sejumlah sekolah dan perguruan, mendirikan perpustakaan
umum dan lembaga ilmu pengetahuan. Dar al-Hikmah merupakan prakarsa terbesar
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sekalipun pada awalnya lembaga ini
dimaksudkan sebagai sarana penyebaran dan pengembangan ajaran Syi’ah Ismailiyah.
Lembaga ini didirikan oleh khalifah al-Hakim pada tahun 1005 M. Al-Hakim juga
besar minatnya dalam penelitian Astronomi. Oleh karena itu, ia mendirikan
lembaga observasi di bukit al-Makattam. Lembaga observasi seperti ini juga
didirikan di tempat lain.
4.
Kemajuan di Bidang Ekonomi
Kemajuan bidang ekonomi sangat nyata bagi
rakyat Mesir di masa pemerintahan Fatimiyah, penghasilan utama mereka dari
bidang pertanian karena tanahnya sangat subur-subur, bidang perdagangan dan
perindustrian. Mesir merupakan negara agraris yang amat subur maka perhatian
pemerintah disektor ini besar sekali, irigasi dibangun untuk mengalirkan air
dari sungai Nil kelahan-lahan pertanian, endapan lumpur dari sungai Nil ini
menyuburkan tanaman mereka. Penghasilan meraka kurma, gandum, kapas, gula dari
tebu, bawang, dan lainnya. Mereka juga mengusulkan kayu yang digunakan untuk
membangun dermaga dan kapal-kapal laut atau kapal dagang.
Perindustrian Mesir, menghasilkan tekstil,
kain sutra, dan wol yang mereka eksport ke negara Eropa. Industri kerajinan
Mesir menghasilkan karya yang bermutu seperti kiswah Ka’bah yang sulam dengan benang emas. Pembuatan Kristal dan keramik,
mereka juga mendapatkan keuntungan dari hasil tambang besi, baja, dan tembaga.
Khalifah al-Mu’iz memprakarsai berdirinya pabrik tekstil yang memproduksi pakaian para
pegawai pemerintah. Bidang perdagangan berkembang pesat dan mendapat dukungan
dari pemerintah, tidak pernah ada hambatan dan kerusuhan dalam kehidupan
mereka, maka para pedagang dari berbagai penjuru berdatangan ke daerah ini,
jadilah Mesir sebagai sentral dagang. Pusat perdagangan itu kota Fustat di
Kairo, Diniyat, dan Quas dan Iskandariah sebagai kota pelabuhan juga pusat
perdagangan internasional. Ya’qub
bin Killis, membuat sistem pajak yang dijalankan Daulah Fatimiyah di zaman
al-Mu’iz, hasil pajak di Fustat satu hari mencapai
50.000 sampai 120.000 dirham.
Dari Dimyat, Asymun diperoleh hasil pajak
lebih dari 220 dirham per hari. Pada masa Wazir al-Hasan bin Ali al-Yazuri,
hasil pajak yang diperolehnya kurang lebih 2.000.000 dinar per tahun. Dari Syam
1 juta dinar per tahun. Di bawah Fatimiyah, Mesir dan Kairo mengalami
kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan Bahgdad.
5.
Bidang kebudayaan dan Keagamaan
Menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan
agama walaupun yang dimaksud untuk mengembangkan ideologi mereka. Ada sebuah masjid
yang yang kemudiannya menjadi universitas al-Azhar. Khalifah juga membiayai
para fuqaha yang menyebarkan ilmu pengetahuan. Hal ini membuktikan bahwa
khalifah mencintai ilmu dan suka pada kemajuan.
C. Kemunduran dan Akhir Daulah Fatimiyah
Setelah meninggal al-Aziz diganti oleh
al-Hakim, yang banyak melakukan kerusakan, yaitu membunuh sejumlah menteri,
merusak gereja suci di Palestina pada tahun 1009 M, yang menjadi salah satu
memicu perang salib, dan ia mengaku sebagai inkarnasi Tuhan dan akhirnya ia mati
dibunuh atas konspirasi Sitt al-Mulk dengan Muqattam. Setelah meninggal al-Hakim
diganti oleh putranya Abu Hasan Ali al-Zhahir, dan ia meninggal karena sakit.
Penggantinya adalah Abu Tamim Ma’ad al-Muntansir. Pada saat yang bersamaan,
Palestina berontak dan Saljuk berhasil menguasai Asia Barat, Provinsi-provinsi
di Afrika menolak membayar pajak dan mengatakan lepas dari Fatimiyah atas
dukungan Daulah Bani Abbas. Tripoli dan Tunisia dikuasai oleh suku Hilal dan
Sulaim, dan Sicilia dikuasai oleh bangsa Normandia.[11]
Keadaan Fatimiyah diperparah lagi
oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga sungai Nil
kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al-Muntansir
diganti oleh anaknya al-Musta’li, akan tetapi Nizar anak Abu Tamim Ma’ad al-Muntansir
yang tertua melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai
khalifah. Oleh karena itu, Fatimiyah terpecah menjadi dua, yaitu Nizari dan
Musta’li. Pada masa al-Musta’li pasukan salib melakukan serangan sehingga
menguasai Antokia hingga Bait al-Maqdis. Setelah wafat, al-Musta’li diganti
oleh al-Amir. Al-Amir meninggal karena dibunuh oleh kelompok Bathiniyah, dan
diganti oleh al-Hafizh dan setelah meninggal dunia, al-Hafizh diganti oleh az-Zafir.
Karena tentara salib begitu
tangguh, az-Zafir meminta bantuan kepada Nuruddin al-Zanki (Gubernur Suriah di
bawah khalifah Abbasiyah Baghdad). Nuruddin al-Zanki mengirim pasukan di bawah
pimpinan Syirkuh dan Shalahuddin al-Ayubi. Setelah berhasil mengalahkan pasukan
salib, pasukan Nuruddin al-Zanki kembali ke Suriah. Akan tetapi, sepeninggal
pasukan tersebut terdapat konflik internal, yaitu Syawar mengundang tentara
salib ke Mesir karena ia ingin memperoleh jabatan wazir. Akhirnya, pasukan
Nuruddin al-Zanki yang dipimpin oleh Syirkuh datang kembali ke Mesir. Syawar
ditangkap dan kepalanya dipenggal atas perintah Daulah Fatimiyah. Syirkuh
akhirnya diangkat menjadi wazir oleh Fatimiyah, tiga bulan kemudian Syirkuh
wafat, dan diganti oleh kemenakannya yaitu Shalahuddin al-Ayubi. Pada tanggal
10 Muharram 1171 M, khalifah al-Adid wafat dan kekuasaannya berpindah ke tangan
Shalahuddin al-Ayubi.
BAB III
KESIMPULAN
Daulah Fatimiyah merupakan penguasa negara
yang besar berpusat di lembah Nil, Kairo. Kekhalifahan ini berkuasa selama
lebih dari 200 tahun yaitu sejak tahun 909 sampai tahun 1171 M. Cikal bakal
dari kekhalifahan Fatimiyah ini adalah Gerakan Bani Fatimiyah yang berasal dari
kelompok Syi’ah Ismailiyah, mereka mengasingkan diri ke kota Salamah guna
menyelamatkan diri dari pengejaran Bani Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah al-Ma'mun.
Pola pemerintahan yang dijalankan Fatimiyah
mengikuti pola pemerintahan bani Abbasiyah di Bahgdad. Kepemimpinan
dikonsentrasikan kepada Khalifah dan dibai'ah lewat upacara yang megah.
Berbagai kemajuan diraih pada masa Daulah Fatimiyah ini, mulai dari kemajuan
dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan yang lainnya hingga
dapat berdiri perguruan tinggi pertama di dunia yaitu Universitas al-Azhar yang
bertempat di Kairo sampai sekarang.
Runtuhnya Daulah Fatimiyah ini berawal pada
tahun 558 H/1163 M, yang mana panglima Asasuddin Syirkuh membawa Shalahuddin al-Ayyubi
untuk menundukkan Daulah Fatimiyah di Mesir dan usahanya berhasil. Khalifah
Daulah Fatimiyah yang terakhir, yaitu al-Adid dipaksa oleh Syirkuh untuk
menandatangani perjanjian. Akan tetapi, wazir besarnya Syawar merasa iri
melihat kekuasan Syirkuh semakin besar. Dengan sembunyi-sembunyi Syawar pergi
ke Bait al-Maqdis, meminta bantuan pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari
Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005.
Hasan Ibarahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989.
Machfud Syaefusin, dkk., Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta:
Pustaka Ilmu, 2013.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hooeve, 2005.
Prof. K. Ali, Sejarah Islam, Jakarta: Srigunting, 1997.
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013.
[1] Azyumardi Azra, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hooeve, 2005), 389.
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 254
[3] Hasan Ibarahim
Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989),
299.
[4] K. Ali, Sejarah
Islam, (Jakarta: Srigunting, 1997), 330
[5] Machfud Syaefusin,
dkk., Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013),123.
[6] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, 261.
[7] K. Ali, Sejarah
Islam, 338.
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, 264-265.
[9] Hasan Ibrahim Hasan,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, 285
[10] K. Ali, Sejarah
Islam, 341.
[11] Jaih Mubarok, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005),164-165
0 komentar:
Posting Komentar