EPISTEMOLOGI
ISLAM & BARAT
(Sebuah
Analisa Deskriptif Tentang Prinsip-Prinsip Epistemologi)
A.
LATAR BELAKANG
Salah satu cabang filsafat yang jumlah
pembahasannya hampir mencakup isi keseluruhan filsafat itu sendiri adalah
epistemologi. Sebab, filsafat adalah
refleksi, dan setiap refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin
seorang memiliki suatu metafisika, yang tidak sekaligus merupakan epistemologi
dari metafisika, atau psikologi, yang tidak sekaligus epistemologi dari
psikologi.
Ini dapat dilihat dari cakupan epistemologi
yang meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur,
macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban,
dan skope pengetahuan.
Jadi, hal ini dapat juga dikatakan bahwa epistemologi adalah teori tentang
ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana memperolehnya.
Diskursus tentang epistemologi
dikalangan para intelektual Islam maupun Barat pada abad modern ini, seiring
lajunya perkembangan science di Barat, menjadi daya tarik tersendiri untuk
dikaji dan dikupas tuntas. Sebab, hal ini memunculkan polemik radikal di kalangan
mereka tentang, apakah ilmu itu bebas nilai (free value) atau sarat dengan nilai (by product) ?. Pangkal
utama polemik tersebut adalah teori ilmu yang berkembang menunjukkan telah
terjadi perceraian antara ilmu dan agama.
Fakta yang terjadi yaitu, ilmu yang
berkembang di Barat telah mengakibatkan munculnya berbagai aliran
pemikiran/ideologi yang menentang agama Kristen dan Yahudi yang dominan di
Barat. Sebagai
dampaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Leopold Weis
bahwa ‘Barat tidaklah menentang Tuhan secara sewenang-wenang dan
terang-terangan, akan tetapi jika dilihat dalam cara berfikirnya sedikitpun
tidak menunjukkan bahwa mereka butuh akan Tuhan ataupun tahu akan nilai Tuhan
yang sebenarnya’.
Cara berfikir seperti ini kemudian
dikembangkan oleh banyak intelektual muslim di dunia Islam dalam mengkaji Islam
dengan pisau analisa epistemologi Barat yang cendrung menafikan hal-hal
transenden. Mengapa itu terjadi ?, sebab bagi mereka, Barat sebagai lambang
kemajuan ilmu pengetahuan (science
dan teknology) di abad ini. Jadi,
menurut mereka kalau ingin maju, maka tirulah Barat dengan mengadopsi segala
apa yang dari Barat, termasuk dalam persoalan memahami agama. Meski demikian, ada sebagian dari kalangan
intelektual Islam yang masih tetap komitmen untuk tetap berpegang pada
prinsip-prinsip epistemologi Islam serta melakukan pengembangan dengan
prinsip-prinsip tersebut.
Berdasarkan fakta dan data yang telah
kami paparkan di atas, hal itu menunjukkan bahwa epistemologi Barat memang
problematik. Ini terbukti melalui prinsip-prinsip epistemologi Barat yang
berdasarkan kepada worldview mereka yang jauh dari nilai-nilai Agama.
Sehingga ilmu yang berkembang di Barat adalah ilmu-ilmu yang jauh dari
moralitas, hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan yang metafisik.
Untuk itu, makalah
ini akan mencoba untuk mengurai permasalahan yang berkaitan dengan epistemologi
yang akan difokuskan pada prinsip-prinsip epistemologis yang meliputi makna
ilmu, objek pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas ilmu, serta cara-cara
mendapatkan dan mengamalkan setiap ilmu itu dengan benar. Sebelum mengupas
tuntas masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip epistemologi Islam dan
Barat, terlebih dahulu akan dibahas mengenai epistemologi itu sendiri sebagai
bagian dari cabang filsafat. Sehingga diharapkan akan mendapatkan pemahaman
yang holistik. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli ilmu bahwa
seseorang tidak akan memahami sesuatu hal yang spesifik, jika belum mamahami sesuatu
yang bersifat umum. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan diurai mengenai definisi,
objek, tujuan, landasan, metode/metodologi, hakikat dan pengaruh epistemologi.
A.
EPISTEMOLOGI
1. Definisi
Dalam pembahasan filsafat,
epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat, yang sering dikaitkan
dengan ontologi dan aksiologi. Ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara
berurutan mulai dari ontologi, epistemologi kemudian aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat
dikatakan bahwa; ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara
memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan
suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Keterkaitan ini membuktikan betapa
sulitnya untuk menyatakan salah satu yang lebih penting dari yang lain, karena
ketiga sub ini memiliki fungsi masing-masing yang berurutan dalam mekanisme
pemikiran. Namun apabila kita
membahas lebih jauh mengenai epistemologi, kita akan menemukan betapa
pentingnya epistemologi. Seperti yang diungkapkan pada salam pembuka sebuah jurnal
ilmiah ‘Islamia’ kaitannya dengan pemikiran (hasil dari suatu aktifitas
berfikir) bahwa:
”problem
utama yang sangat mendasar dalam wacana pemikiran Islam yang kini tengah
berkembang terletak pada epistemologi.”
Demikian
halnya, ketika kita membicarakan epistemologi berarti kita sedang menekankan
bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan
pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedaan yang signifikan bahwa
aktivitas berfikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling
mampu mengembangkan kreatifitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh
karena itu, kita perlu memahami seluk beluk epistemologi secara sistematis,
yang di mulai dari defenisi, objek, tujuan, landasan, metode, hakikat dan
pengaruh epistemologi.
Istilah epistemologi pertama kali
digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854.
Sebagai sub filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau
pengertian yang tidak mudah dipahami.
Pengertian epistemologi ini, cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengungkapkannya. Sehingga didapat
pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya melainkan juga pada subtansi
persoalan, yang menjadi sentral dalam memahami pengertian suatu konsep.
Pembahasan
konsep harus diawali dengan memperkenalkan definisi (pengertian) secara teknis,
guna menangkap subtansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut.
Sebagaimana Mujamil Qomar mengungkapkan bahwa:
“
pemahaman terhadap subtansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahasan
selanjutnya yang sedang dibahas dan suatu konsep itu biasanya terkandung dalam
defenisi (pengertian).”
Ada
beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai
pijakan dalam memahami, apa sebenarnya epistemologi itu. P. Hardono Hadi menyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. D.W. Hamlyn mendefenisikan,
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya, serta secara umum dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Dagobert D. Runes meyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat
yang membahas sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan. Azyumardi Azra menyatakan, epistemologi
sebagai Ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, validitas ilmu pengetahuan. Adnin Armas menyatakan, epistemologi sebagai cabang
filsafat yang membahas proses/cara mendapat ilmu, sumber-sumber ilmu dan
klasifikasi ilmu, teori tentang kebenaran, dan hal-hal lain yang terkait dengan
filsafat ilmu.
Amsal Bakhtiar menyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dan dasar-dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Dari
beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, setidaknya dapat memberikan
pemahaman terhadap, apa sebenarnya epistemologi itu?.
Selanjutnya
pengertian epistemologi yang lebih jelas dan mudah dipahami, ditinjau dari
etimologi dan terminologinya. Secara etimologi, epistemologi berasal dari
bahasa yunani “episteme”, yang berarti ilmu, dan “logos” berarti ilmu
sistematika atau teori, uraian, dan alasan. Jadi epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana memperolehnya, kemudian
membahasnya secara mendalam (subtantif).
Kendati ada sedikit perbedaan dari pengertian-pengertian sebelumnya, tetapi
pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.
2. Objek Dan Tujuan
Dalam kehidupan masyarakat, tidak
jarang pemahaman objek dan tujuan sering disamakan, sehingga pengertiannya
menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek
berbeda dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang tujuan sama dengan
harapan. Adapun objek dan tujuan epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri
berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan.” proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran
teori pengetahuan dan sekaligus mengantarkan tercapainya tujuan.
Selanjutnya yang menjadi tujuan epistemologi
menurut Jacques Martain “tujuan epistemologi bukanlah hal utama untuk menjawab
pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu.” Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi
bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari,
tapi yang lebih penting adalah potensi untuk memperoleh pengetahuan.
3. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi memiliki arti
yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, yang dijadikan sebagai tempat
berpijak. Bangunan pengetahuan akan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang
kokoh. Bangunan pengetahuan seperti bangunan rumah, sedangkan landasannya
adalah fundamennya, rumah tidak akan kokoh dan bertahan lama apabila tidak
didasari dengan fundamen yang kokoh pula. .Demikian juga dengan epistemologi,
akan sangat dipengaruhi oleh landasannya.
Landasan epistemologi ilmu sering di
sebut juga metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun
pengetahuan yang benar. Jadi ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah,
tapi tidak semua ilmu disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang mendapatkannya
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun dikatakan juga oleh Mujamil Qomar
bahwa “metode ilmiah adalah gabungan antara metode induktif dan deduktif atau
“Perkawinan” antara rasionalisme dengan empirisme.”
Sehingga apabila ditinjau dari cara
berfikir manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan, yaitu
berfikir secara rasional yang mengembangkan paham rasionalisme dan berpikir
berdasarkan fakta yang mengembangkan paham empirisme.
Jadi landasan yang utama adalah mampu mengembangkan ilmu yang memiliki
kerangkan penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang
sebenarnya. Sehingga dengan pemaduan metode induktif dan deduktif ini, dapat
mengatasi masing-masing kelemahan metode tersebut.
Akan
tetapi, hal yang sangat mendasar berkaitan dengan landasan epistemologi itu sendiri terletak pada worldview (pandangan hidup). Sebab, epistemologi dan worldview keduanya berada dan bekerja
dalam pikiran manusia. Oleh karenanya, epistemologi dan worldview mempunyai hubungan yang sangat
erat kaitannya. Ia bahkan dapat digambarkan sebagai lingkaran setan (vicious circle), dimana yang satu dapat
mempengaruhi yang lain. Jadi, bukan sekedar persoalan rasonalisme-empirisme
atau deduktif-induktif saja, jauh lebih mendasar lagi tentang hal yang
mendasari terhadap pola berfikir di dalam memperoleh pengetahuan tersebut baik
secara rasional-empiris ataupun deduktif-induktif. Di sinilah kemudian yang
akan menunjukkan bahwa ilmu adalah merupakan hasil dari produk suatu pandangan
hidup yang tidak serta merta bebas nilai, namun sarat akan nilai.
4. Metode Dan Metodologi
Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam
konteks epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya antara metode,
metodologi, dan epistemologi. Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang
disebut metode, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu
yang dikaji. Lebih jauh lagi Perter R.
Senn mengemukakan ,”metode merupakan
suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah
sistematis.” Sedangkan metodologi
merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peaturan metode
tersebut. Secara sederhana metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang
mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.
Oleh
karena itu dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural teoritis antara
epistemologi, metodologi, dan metode, sebagai berikut: dari epistemologi,
dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode
atau tehnik. Epistemologi itu sendiri
adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dipisahkan
dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan
epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologi, dan dari metodologi
itulah akhirnya diperoleh metode. Dalam filsafat, istilah metodologi berkaitan
dengan paraktek epistemologi, lebih jelas lagi bahwa seseorang yang sedang
mengembangkan penggunaan dan penerapan metode untuk memperoleh pengetahuan,
maka dia harus mengacu pada metodologi. Metodologi inilah yang memberikan
penjelasan-penjelasan konseptual dan teoritis terhadap metode.
Dengan
demikian, harus disadari bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting
dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Sejarah membuktikan bahwa semua ilmu tumbuh
melalui metodologi baik ilmu sosiologi, ekonomi, antropologi dan sebaginya.
Metodologi memiliki misi memecahkan persoalan-persoalan yang diajukan berdasarkan temuan-temuan baru, guna
akumulasi pengetahuan, baik mengenai “dunia alam” maupun “dunia sosial”.
Metodologi senantiasa menemukan temuan-temuan baru untuk mewujudkan dinamika
ilmu pengetahuan. Hasil temuan baru ini dilaporkan dan dikomunikasikan sehingga
terbuka untuk diketahui dan diuji oleh siapapun.
5. Hakikat Epistemologi
Pembahasan mengenai hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena kita tidak
dapat menangkapnya kecuali melalui ciri-cirinya. Secara filsafati, epistemologi
adalah ilmu untuk mencari hakikat dan kebenaran ilmu; secara metode,
berorientasi untuk mengantar manusia dalam memperoleh ilmu, dan secara sistem
berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah hierarki yang sistematis.
Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan
cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan
batas-batasnya.” Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui”
adalah masalah-masalah sentral epistemologi. Sebagaimana telah diungkapkan oleh
Jujun S. Suriasumantri, bahwa “persoalan
yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya ...”.
Epistemologi
adalah problem mendasar dalam wacana pemikiran, dan sekaligus merupakan
parameter yang bisa memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin
menurut bidang-bidangnya. Dengan demikian epistemologi bisa dijadikan penyaring
atau filter terhadap objek-objek pengetahuan dan bisa juga menentukan cara dan
arah berfikir manusia. Jadi pada hakikatnya epistemologi merupakan gabungan
antara barfikir rasional dan berfikir secara empiris. Kedua cara berfikir tersebut
dalam mempelajari gejala alam dalam menemukan kebenaran, sebab secara
epistemologis ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam,
yakni pikiran dan indera.
Oleh
sebab itulah epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan
bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diri sendiri . Jadi hakikat
epitemologi terletak pada metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme
atau deduktif dengan induktif),
dengan kata lain hakikat epistemologi bertumpu pada landasannya, karena lebih
mecerminkan esensi dari epistemologi. Dari pemahaman ini memperkuat bahwa epistemologi
itu rumit, sebagaimana diungkapkan oleh Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt
bahwa “epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi.”
6. Pengaruh Epistemologi
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai
teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis
secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia, karena tidak
mungkin satu peradaban akan bangkit tanpa didahului oleh tradisi ilmu.
Epistemologi mengatur semua aspek studi
manusia, dari ilmu filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologilah
yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang
maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan
epistemologi.
Tidak ada bangsa yang merekayasa
fenomena alam, sehingga mencapai kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung
oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang
strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk
sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada
teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak
lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan
pengembangan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam
mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan
hanya mungkin, melainkan mutlak untuk dikuasai. Namun sayang sekali,
sarjana-sarjana kontemporer, baik yang modernis maupun tradisionalis tampaknya
mengesampingkan peranan kunci yang bisa dimainkan oleh epistemologi dalam
membangun masyarakat. Epistemologi membekali seseorang yang menguasainya untuk
menjadi produsen, baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, bisnis,
maupun secara umum, peradaban.
Jadi, pengaruh epistemologi terhadap perkembangan kemajuan sebuah bangsa atau
peradaban sangatlah menentukan, sebab tidak ada suatu bangsa atau peradaban
besar manapun, di dunia ini yang maju tanpa didahului oleh tradisi ilmu, tak
terkecuali peradaban Islam.
B.
EPISTEMOLOGI BARAT
Barat sekarang ini telah mencapai
kemajuan yang begitu pesat, berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan
Barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Barat dianggap mampu menyajikan bebagai temuan baru secara dinamis dan varian,
sehingga memberikan sumbangan yang besar
terhadap sains dan teknologi modern. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan
saja dari segi wilayahnya, melainkan disamping sains dan teknologi, juga sampai
pada persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya.
“Kunci rahasia” yang perlu diungkap
adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan sains dan
epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan Barat benar-benar
dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi.
Tradisi untuk menawarkan teori-teori ilmiah yang dibangun berdasarkan penalaran
dan pengamatan tampak begitu subur dikalangan mereka sehingga menghasilkan
temuan baru yang silih berganti, baik bersifat menyempurnakan temuan yang lama,
temuan baru, bahkan menentang temuan lama sama sekali.
Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan
Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran ilmuwan di seluruh dunia seiring
dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi mereka. Epistemologi itu
dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran
para ilmuwan di masing-masing
Negara, sehingga secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya,
pijakan berfikirnya, metode berfikirnya, caranya mempersepsi terhadap
pengetahun, dan sebagainya, mengikuti gaya Barat, baik sadar maupun tidak disadari.
Oleh karena sangat dominannya
epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim dan seluruh penduduk dunia ini
dibentuk oleh pemikiran manusia Barat. Dalam waktu yang bersamaan mereka tidak
lagi mau mempertimbangkan epistemologi versi lain, dalam mencari pengetahuan.
Epistemologi versi lain dianggap tidak berkualitas dan belum teruji
keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Pada
bahasan berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai akar dari tradisi
ilmu Barat secara historis, sehingga dapat diketahui dan dipahami asal usul
dari kebudayaan dan peradaban Barat yang dibangun di atas kemajuan sains dan
teknologi. Selanjutnya dari pengetahuan akan tradisi ilmu Barat tersebut, dapat
pula diketahui bangunan dari epistemologi Barat serta prinsip-prinsip yang
mendasarinya sebagai pangkal pengembangan sains dan teknologi.
1.
Tradisi Ilmu Barat
Memaknai Barat tidak lagi relevan jika
dilihat dari perspektif geografis, yang menunjukkan suatu entitas wilayah,
daerah atau kawasan yang berada di belahan bumi bagian Barat. Sebab, Barat saat
ini berada dalam sebuah struktur konseptual pandangan hidup yang membawa makna
yang kompleks dan terkadang kontroversial.
Saat ini barat bermakna alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu kebudayaan
dan peradaban. Jadi dari kaca mata peradaban, Barat adalah peradaban yang
dibentuk dan dibangun oleh pandangan hidupnya sendiri (Worldview).
Sebuah kebudayaan atau peradaban memiliki sejarahnya
sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Pada umumnya sarjana Barat membagi
sejarah Barat menjadi zaman kuno, zaman pertengahan, dan zaman modern. Para
sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai asal usul kebudayaan mereka.
Perbedaan itu meruncing ketika sejarawan berpegang pada ilmu sebagai akar kebudayaan.
Artinya sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan berkembang seiring
dengan perkembangan konsep-konsep keilmuan didalamnya. Sebab faktor keilmuan
inilah sebenarnya yang melahirkan aktivitas sosial, politik, ekonomi dan
aktivitas kultural lainnya.
Akan tetapi secara historis Barat
adalah merupakan suatu peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa
dari peradaban Yunani kuno yang dikawinkan dengan peradaban Romawi, dan
disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropa terutamanya Jerman,
Inggris dan perancis. Prinsip-prinsip rmengenai ketatanegaraan diambil dari
Romawi, sementara Agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan
budaya Barat.
Ilmu di Barat tidak lahir dari
pandangan hidup (worldview) Agama
tertentu, sebab hubungan Agama dan sains di Barat memang problematik. Setidaknya
ada tiga faktor penting yang membuat Barat jauh dari nilai-nilai Agama. Pertama, trauma sejarah, khusunya yang
berhubungan dengan Agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan
sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization)
telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Zaman itu dimulai ketika
Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan
mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan, dalam masyarakat Kristen
Barat sampai dengan masuknya zaman reneissance
sekitar abad ke 14. Besarnya
kekuasaan Gereja melahirkan penyimpangan
dan penindasan brutal terhadap non Kristen dan kelompok-kelompok yang
dianggap kafir.
Bentuk kekejaman yang dilakukan oleh
pihak Gereja diungkapkan oleh Peter De Rosa
“betapapun, inquisisi tersebut bukan jahat saat dibandingkan nilai-nilali abad
20. Tetapi ini juga jahat dibandingkan degan nilai-nilai abad ke-10 dan ke-11, .......................................................................................................................................”
Hal inilah yang menjadikan barat menjadi trauma terhadap Agama.
Kedua, problem teks Bible. Ada
sebagian kalangan yang mencoba menyamakan antara Al Qur’an dan Bible dengan
menyatakan, bahwa semuanya adalah kitab suci dan semuanya mukjizat. Padahal
ilmuan Barat yang jeli bisa membedakan antara kedua kitab agama itu. Teks al
Qur’an tidak mengalami problema sebagaimana teks Bible. Di dalam Bible terdapat
problema yang hingga saat ini masih menjadi mesteri. Richard Elliot Freidman
dalam bukunya, Who wrote the Bible,
menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis kitab ini masih
merupakan misteri dan banyak kontradiksi di dalamnya.
Ketiga, problem teologi
Kristen. Inti seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari
kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi suatu problem pemikiran ilmuwan
Barat yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.
Sehingga teori ilmu yang berkembang di
Barat termanifestasikan dalam berbagai aliran
seperti rasionalisme, empirisisme, skeptisisme, agnotisisme,
positivisme, objektifisme, subjektifisme, dan relativisme. Aliran-aliran
semacam ini berimplikasi sangat serius dalam; Pertama, menegasikan dan
memutuskan relasi manusia dengan alam metafisik, mengosongkan kehidupannya dari
unsur-unsur dan nilai transenden serta mempertuhankan manusia. Kedua,
melahirkan dualisme, manusia terjebak pada dua hal yang dikotomis dan tak dapat
dipersatukan, antara dunia-akhirat, Agama-sains, tekstual-kontekstual,
akal-wahyu, dan seterusnya. Ini mengakibatkan manusia yang tebelah jiwanya (split personality).
2. Pendekatan
Keilmuan Barat
Pemaparan mengenai epistemologi Barat
menujukkan konsep ilmu dalam peradaban Barat hampa dari Agama. Ilmu yang kosong
dari Agama (ilmu sekular) merupakan fondasi utama dari peradaban Barat saat
ini. Dengan berdasarkan uraian di atas bahwa epistemologi Barat berangkat dari
praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa
didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan
nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas
epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran
itu sendiri.
Kazuo Shimogaki menyebutkan
kecendrungan epistemologi Barat modern menjadi lima macam, yaitu pemisahan
antara bidang sakral dan bidang duniawi, kecendrungan ke arah reduksionisme,
pemisahan antara subjektivitas dan objektivitas, antroposentrisme, dan
progresivisme. Sedangkan Ziauddin Sardar menyatakan, adanya perbedaan antara
yang subjektif dan objektif, antara pengamat dan dunia luar (yang diamati),
antara keadaan-keadaan subjektif serta emosi dan “realitas” yang terdapat di
luar pengamat, yakni realitas yang hanya dapat diketahui melalui observasi dan
penalaran, maka dapat disebutkan bahwa pendekatan epistemologi Barat itu adalah
skeptis, rasional-empiris, dikotomik, posotivis-objektivis, dan menentang dimensi
spiritual (antimetafisika).
3.
Tokoh Pemikir Barat
Paul Johnson, jurnalis dan sejarawan
Kristen konservatif dalam bukunya Intellectuals
telah membongkar perilaku menyimpang para pemikir besar Barat sebagai produk
dari epistemologi Barat yang hampa dari agama dan moralitas. Adalah Ernest
Hemingway seorang sastrawan yang memeiliki daya serap publik lebih besar dengan
karyanya yang bertumpuk-tumpuk, mulai dari Three
Stories & Ten Poems karya pertamanya yang banyak penerbit menolaknya
sampai akhirnya Old Man and The Sea karyanya
yang fenomenal dan karya terakhirnya True At First Light yang lahir di tahun
yang sama dengan kematiannya, 1999.
Jutaan orang telah menjadikannya
idola, penganut dan pengikutnya. Namun di balik ketenarannya tersebut tersimpan
suatu perilaku kedustaan/kebohongan, sikap ateis dalam diri Hamingway. Paul
Johnson mendeskripsikan kemampuan Ernest Hemingway dalam berbohong dengan
kalimat yang indah. “He thought, and
sometimes boasted, that lying was part of his training as a writer. He lied
both conciously and without thinking”. Sedangkan menurut kesaksian dari
istrinya Hadley sebagaimana yang dikutip Johnson bahwa seumur hidupnya sang
sastrawan hanya dua kali ia temui berlutut di depan altar. Pertama, saat mereka
menikah. Dan yang kedua, sekaligus yang terakhir, saat anak mereka dibaptis di
dalam gereja.
Jean Jacques Rousseau yang diberi
julukan sebagai An Interesting Madman
dalam kurun waktu 200 tahun terakhir, menjadi nama besar yang mempengaruhi
semua teori pemikiran sekuler dan intelektual modern. Bahkan tidak lepas dari
kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab teori-teori kenegaraan modern, banyak
yang lahir dari pemikirannya. Seperti teori perwakilan politik yang saat ini
hampir menjadi model negara di seluruh dunia, bisa dilacak dalam jejak
pemikirannya dalam bukunya, Du Contrack
Sociale.
Tapi siapa sangka, Rousseau adalah
laki-laki gila dalam definisi yang sebenarnya menurut Paul Johnson. Ia
laki-laki yang begitu mencintai dirinya, lebih dari apapun. Dalam bahasanya
senidiri Rousseau menyebut dirinya amour
de soi, natural selfishness. Saking cintanya pada diri sendiri, ia bahkan
tak peduli dan membuang semua anak-anaknya ke foundling home, sebutan untuk sebuah rumah penampungan anak-anak
yang tidak diketahui orang tuanya. Ini sangat bertolak belakang dengan
nilai-nilai luhur, juga tentang anak-anak, yang ia tulis dalam sebuah buku yang
telah menjadi teks klasik, Emile.
Jadi, apa sebenarnya arti intelektual
bagi dunia modern, jika para pencetus dan peletak pondasi intelektual, menjadi
orang-orang pertama yang mengingkari pemikirannya sendiri ? Bukankah hasil dari
pemikiran dan out put dari intelektual adalah proses perbaikan perilaku dan
moral ? Apakah mungkin dipisahkan antara konsepsi ideal sebuah pemikiran dengan
tata cara hidup para pemikirannya ? Jika demikian, benarlah pepatah tua yang
mengatakan hidup ini hanya panggung opera besar yang tak pernah habis
ceritanya. Tal layaknya seperti panggung, para pemain kerap kali memiliki peran
ganda, bahkan mungkin lebih, dalam hidupnya. Dan masing-masing saling membantah
peran lainnya.
Selain nama-nama di atas, masih ada
banyak lagi nama besar dalam dunia intelektual yang dikupas tuntas oleh Paul
Johnson di antaranya adalah Bertrand Russel yang konon membenci peperangan tapi
begitu gandrung memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sangat benci pada
Tuhan. Tolstoy yang dikatakan di dalam sebuah artikel yang diberi judul oleh
penulisnya, God’s Elder Brother.
Bahwa Tolstoy adalah saudara tua Tuhan yang lebih mengerti tentang Tuhan dari
pada Tuhan itu sendiri, tapi ia orang yang gagal membina rumah tangga yang
wajar.
Penyebab utama dari hal tersebut
adalah epistemologi Barat yang berangkat dari praduga-praduga, atau
prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang
mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan
akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas epistemologi Barat tidak dapat
mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri. Yang kemudian
melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang tak bermoral, skeptis dan atheis.
C.
EPISTEMOLOGI ISLAM
Pembahasan epistemologi Islam sangat
penting untuk dibahas, sebab problem mendasar dalam pemikiran Islam terletak
pada epistemologinya.
Gagasan epistemologi Islam itu brtujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat
muslim pada khususnya, agar bisa keluar dari belenggu pemahaman dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi Barat. Dikalangan
pemikir muslim menawarkan “segala sesuatu” berdasarkan epistemologi Islam. Di dalam
Islam epistemologi berkaitan erat dengan metafisika dasar Islam yang
terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadist, akal, dan intuisi.
Kalaulah disepakati, bahwa peradaban
Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak brbasiskan ilmu pengetahuan, maka
membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan
menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu dalam Islam adalah
persyaratan untuk menguasai dunia dan akhirat. Menegakkan bangunan ilmu
maksudnya tidak lain adalah untuk mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir
manusianya agar sejalan dengan prinsip-prisip ilmu pengetahuan dalam Islam.
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan
Islam adalah wahyu Tuhan ditempatkan di atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan
yang paling tinggi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, sehingga
wahyu dijadikan sebagai sumbet kebenaran mutlak suatu kebenaran. Jadi rusaknya keberagamaan
umat Islam lebih karena rusaknya pemikiran dan hancurnya peradaban Islam karena
hancurnya bangunan ilmu pengetahuan.
1. Tradisi Ilmu Islam
Pada 1400 tahun atau 14 abad
yang lampau, telah lahir seorang Maha Guru, guru dari sekalian manusia,
yang membawa manusia dari lembah kegelapan, kenistaan menuju suatu puncak
kegemilangan yang penuh dengan cahaya keridhaan. Adalah Muhammad bin Abdillah
dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban
kala itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi
sekaligus Rasul. Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu
bukanlah tugas yang ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas
itu adalah menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh ummat manusia di
penjuru dunia.
Dalam waktu ± 23 tahun,
setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan sepanjang dakwah risalah,
Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan di mana siapa saja
yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan
lahirnya sebuah kota yaitu Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan.
Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara (state)
atau peradaban (civilization).
Menurut Ibnu Khaldun, wujud
suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting antara lain
1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, 2)
kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan 3)
kesanggupan berjuang untuk hidup.
Ketiga elemen tersebut telah mewujud di Madinah kala itu. Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut
Madinah sudah bisa dikatan sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah
kebangkitan Peradaban Islam berawal dan berkembang.
Peradaban Islam di mulai
dengan tradisi ilmu atau tafaqquh fid din secara terus menerus. Mulai
dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. proses interaksi dan ideasi antar
individu dan masyarakat senantiasa didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu
tidak hanya dalam pikiran semata akan tetapi mewujud dalam sebuah aktifitas,
baik berupa amal infiradi maupun amal jama’i. Dari sinilah lahir
komunitas ilmiah yang mana oleh sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.
Di lembaga pendidikan pertama
inilah kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi dikaji dalam kegiatan belajar
mengajar yang efektif.
Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada
wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan
dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan
tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the
cradle of western civilization).
Hasil dari kegiatan ini
memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist Nabi, seperti Abu
Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn Mas’ud dan
lain-lain. Ribuan hadist telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan pengkajian wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi
berikutnya dalam bentuk lain.
Tidak lebih dari dua abad
lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai bidang studi
keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al Hanafiyah (w.81
H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih (w. 110,114
H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w. 148/765),
Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al
Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
Islam adalah sebuah peradaban
yang memadukan aspek dunia dan aspek akhirat, aspek jiwa dan aspek raga. Ia
bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang
meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan
tradisi ilmu pada masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan
mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuan yang dzalim dan jahat harus
dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas
diragukan kebenarannya. Sebab ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang
ditunjukkan oleh sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, ’Utsman, Ali (radhiyallahu
’anhum) dan lain-lain.
Ilmu dalam Islam mengantarkan
seseorang untuk mengenal Allah Swt. Untuk mengenal-Nya manusia memerlukan
sarana-sarana yang menuju kepada pengenalan dzat-Nya yang Maha Abadi. Salah
satunya adalah beriman kepada Rasulullah Saw sebagai Nabi dan Utusan-Nya.
Karena tanpanya manusia tidak mampu meraih pengetahuan akan Allah. Meskipun
manusia dilengkapi dengan potensi akal, namun dalam hal mengenal Tuhan ia
membutuhkan petunjuk, sebab akal tidak dapat menjangkau hal yang metafisik.
Maka, Allah melalui lisan Rasul-Nya memberikan petunjuk seperangkat tatacara
untuk sampai kepada-Nya. Jadi ilmu dalam Islam senantiasa berdimensi Iman
dan Ihsan. Ilmu dalam Islam berpijak kepada wahyu Allah Swt sebagai
sumber ilmu yang absolute.
Tradisi keilmuan tersebut
kemudian berlanjut dari generasi ke generasi, dari abad ke abad dan mengalami
puncak perkembangan dan keemasannya antara abad ke-7 M sampai pada abad ke-12
M. Pada saat itu telah lahir intelektual-intelektual muslim di bidang sains dan
teknologi, seperti Al Khawarizmi, ’Bapak Matematika’ Muslim (w. 780 M) yang
namanya dikenal di dunia Barat dengan Algorizm, Ibnu Sina ’Bapak Kedokteran
Muslim’ yang dikenal dengan sebutan Aviecena. Ibnu Sina sebelum meninggal telah
menulis kitab sejumlah kurang lebih 276 karya. Karyanya yang sangat monumental al
Qonun fi al Tibb telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin di Toledo,
Spanyol pada abad ke-12. Buku ini juga telah dijadikan rujukan utama di
universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17.
2. Pendekatan Keilmuan Islam
Konstruk
epistemologi Islam dibangun di atas landasan wahyu, sehingga bersifat tawhidy. Konsep ketuhanan menjadi
sentral utama dari pembahasan epistemologi Islam. Dengan kata lain, dalam
Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang
telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan
intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep
yang universal, permanen (thawabit)
dan dinamis (mutaghayyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar (mutashabih), yang asasi (usul) dan yang tidak (furu’).
Oleh sebab itu pemahaman terhadap
wahyu tidak dapat dilihat secara dikhotomis: historis-normatif,
tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-tama
harus difahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup
baru. Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan dan ditafsirkan
agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta
dan kehidupan ini. Karena bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview
itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan
bagian terpenting di dalamnya.
Proses terbentuknya epsitemologi Islam
terlebih dahulu di awali dengan proses terbentuknya worldview Islam. Worldview
terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan dalam fikiran seseorang, baik a priori maupun a posteriori, konsep-konsep serta sikap mental yang dikembangkan
oleh seseorang sepanjang hidupnya. Menurut Wall akumulasi pengetahuan yang disebut epistemological
beliefs sangat berpengaruh terhadap pembentukan worldview seseorang, namun
yang sangat menentukan tebentuknya worldview baginya adalah metaphysical belief.
Epistemologi Islam lahir dari
pandangan hidup Islam itu sendiri, sebab di dalam lapisan worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja
konseptual) , sehingga pendekatan-pendekatannya pun berdasar kepada pandangan
hidupnya yang bertumpu kepada metaphysical
belief. Konsep ketauhidan menjadi framework di dalam mengkaji dan memahami
wahyu dan realitas alam semesta ini. Adapun framework menurut Alparslan, tidak
hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan
metodologis.
Artinya, bagaimana data dan fakta itu
dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah)
data dan fakta (afaq) sebagai objek
kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subjek yang mikrokosmis
tersebut. Karena itu realitas alam pikiran (afaq)
Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak
jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu
produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiris atau
intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran dari
wahyu. Jadi pendekatan dalam epistemologi Islam bersifat integral (tawhidy) dan holistik. Keselarasan
antara subjek-objek, teks-konteks, normatif-historis, dan tidak mengenal
dikotomi dan juga tidak bersifat spekulatif akal semata.
3.
Tokoh Pemikir Islam
Dalam Islam, seorang yang memiliki
pengetahuan yang luas dan dalam, serta kesalehan pribadi yang tinggi
mendapatkan predikat kehormatan yang berkualitas super atau bisa dikatakan
super excellent di sisi manusia dan di sisi Tuhannya yang Maha Menciptkan.
Pribadi tersebut diistilahkan dengan ‘Ulama’.
Seorang tidaklah dikatakan orang yang pandai jikalau ia belum mengamalkan
ilmunya. Artinya tidak tercermin dalam setiap kepribadiannya sebagai seorang
yang ahli ilmu.
Adalah Malik bin Anas (180 H/796 M), seorang
ulama ahli hadist periode awal yang menetap di Madinah. Sufyan bin Uyaynah
menyebut Imam Malik sayyid al muslimun,
sayyid ahl madinah. Ia juga mengibaratkan Imam Malik sebagai lampu
penerang, hujjah di masanya. Ketika
Malik wafat ia berkata, “Tidak ada orang seperti dia, tidak tertinggal di bumi
ini orang seperti dia”. Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila kamu menerima athar dari Malik maka pegangilah kuat.
“Ini menunjukkan kualitas pribadi dan intelektual Imam Malik”.
Kualitas intelektual dan pribadi Malik
menjadikannya Imam yang diikuti oleh umatnya, maka dikemudian hari dikenallah
dalam dunia Islam sebuah madzhab yang disandarkan kepada Imam ahl al madinah. Madzhab Maliky
didasarkan pada al Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas dan tradisi masyarakat Madinah,
terutama tradisi para imamnya. Ia terkadang menolak suatu hadith yang
bertentangan dengan tradisi Madinah. Selain itu, Maliky menggunakan dasar
mursalah-mursalah, misal hukum memukul tertuduh pencurian agar ia mengaku.
Malik bin Anas adalah salah seorang
dari sekian banyak Ulama yang dilahirkan dari produk tradisi ilmu Islam yang
berlandaskan kepada pandangan hidup Islam yang berakar pada kajian metafisika.
Para Ulama sekaliber Malik bin Anas baik sebelum dan sesudahnya merupakan bukti
nyata akan kekuatan tradisi Islam semenjak kemunculannya sebagai sebuah agama
dan peradaban dalam sepanjang sejarahnya samapai detik hari ini. Epistemologi
Islam sebagai sebuah bangunan keilmuan yang menjadi pijakan utama dalam
melakukan pengembangan keilmuan telah terbukti kecanggihannya yang tidak perlu
lagi diragukan, apalagi didekonstruksi dengan digantikannya dengan epestemologi
lain.
D.
KESIMPULAN
Epistemologi yang juga disebut dengan
Teori Ilmu menempati ruang yang sangat urgen di dalam pengembangan kemajuan
sebuah kebudayaan bangsa atau peradaban. Setiap peradaban dibangun oleh
epistemologinya masing-masing dengan berdasarkan kepada pandangan hidup (worldview) dari peradaban tersebut.
Sebab, epistemologi berkaitan erat dengan worldview. Jadi, setiap peradaban
memiliki epistemologi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, tak
terkecuali antara epistemologi Islam dan
Barat. Yang tentunya juga secara spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda
pula.
Adapun prinsip-prinsip dari keduanya
dapat dibedakan dari beberapa aspek yang mana dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :
Epistemologi
Islam
|
Epistemologi
Barat
|
1. Didasarkan kepada kejian metafisika
|
1. Didasarkan kepada praduga-praduga
|
2. Sumber kepada wahyu, akal sehat,
panca indra dan intuisi
|
2. Sumber hanya kepada akal (rasio)
dan data/fakta empiris
|
3. Pendekatannya bersifat tawhidy
|
3. Pendekatannya bersifat dikothomi
|
4. Objeknya fisik dan sekaligus metafisik
|
4. Objeknya fisik, observable &
penalaran
|
5. Ilmu syarat dengan nilai (value
full)
|
5. Ilmu bebas nilai (free value)
|
6. Validitas kebenaran konteks (data
& fakta) diselaraskan dengan
teks (wahyu)
|
6. Validitas kebenarannya hanya
bertumpu kepada rasio-empiris
|
7. Berorientasi dunia dan akherat
|
7. Berorientasi kepada dunia semata
|
Dari sini dapatlah dipahami akan
perbedaan dari keduanya yang sangat jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan
worldview masing-masing sebagai elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu
Islam dan Barat. Selain itu, uraian singkat dalam makalah ini juga dapat
diperoleh suatu pemahaman bahwa substansi epistemologi tidak sebagaimana yang
dinyatakan oleh para ilmuan kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan
tetapi lebih dalam lagi yaitu epistemological
belief yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang yang kemudian
menentukan corak dari epistemologinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, Islamisasi Ilmu Konsep
dan Epistemologi, Malang: Islamic thought
and Civilization (ICON) forum, 2008.
Arifin, M, filsafat pendidikan islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1991.
Armas, Adnin, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi
Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan,
Disampaikan pada kuliah Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2007.
Zarkasyi,Hamid Fahmi, Membangun Peradaban Islam Kembali, Makalah disampaikan dalam
workshop pemikiran ideologis Forum Ukhuwah
Islamiyah daerah Istimewa Yogyakarta 15 April 2007.
__________________, dkk, Tantangan
Sekularisasi Dan Liberalisasi Di
Dunia Islam, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
__________________, Leberalisasi
Pemikiran Islam (Gerakan Bersama
Misionaris, Orientalis, dan kolonialis), Ponorogo: Center For Islamic and Occidental Studies, 2007.
Qomar, Mujamil, Epistemologi
Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta: ERLANGGA, 2005.
Sholihin,M, Epistemologi Ilmu Dalam
Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat
Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta: GEMA INSANI,2005.
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di
Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Handono, Irena, Menyingkap Fitnah Dan
Teror, Bekasi: GERBANG PUBLISHING, 2008.
Husaini, Adian, Virus Liberalisme Di
Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2009.
Pranaka, A.M.W, Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008.
Muhammad Al-Naquib
Al-Attas, syed, Dilema Kaum Muslimin,
Surabaya: PT.
Bina Ilmu,1986.
Suriasumantri, Suria.S, Mencari
Alternatif Pengetahuan Baru, Bandung: Mizan, 1991.
Suriasumantri, Jujun.S, Filsafat Ilmu
Sebagai Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan,1990.
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Tim Dosen, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.
Jurnal Islamia Vol. III No.2, Melacak Akar Peradaban Barat, Jakarta
Selatan: Khairul Bayan, 2007.
Jurnal Islamia Thn I No 6, Membangun
Peradaban Islam Dari Dewesternisasi
Kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2005.
Jurnal Islamia Thn II No 5, Epistemologi
Islam & Problem Pemikiran Muslim
Kontemporer , Jakarta Selatan: Khairul Bayan,2005.
Jurnal Islamia vol.III.No.3, Wajah
Universitas Islam, Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2008.
Husaeni, Adian, Dari Tradisi Ilmu Ke Peradaban Islam, Catatan untuk
5 Tahun INSIST sebagai
dimuat dalam Catatan Akhir Pekan Di www.
Hidayatullah.com