NABI MUHAMMAD DAN PERUBAHAN SOSIAL
A.
Latar Belakang
Kajian sosial historis merupakan kajian yang
dianggap paling objektif dalam pendekatan terhadap suatu permasalahan.
Sehingga tidak mengherankan jika dalam beberapa abad terakhir
terdapat banyak sekali buku yang menganalisis kajian sosial kemasyarakatan
berdasarkan pada tinjauan sosial historis. Pemandangan serupa juga dapat kita
lihat pada kajian sosial keagamaan, Islam khususnya. Hal ini seolah menjadi
signal bahwa siapapun boleh memasuki suatu kawasan dengan bebas tidak
terkecuali hal yang sangat mendasar sekalipun dalam suatu ajaran keagamaan atau
keyakinan. Akan tetapi jika kita mencoba untuk sedikit lebih cermat maka
kecanggihan metodologi dalam pengungkapan suatu masalah tidak serta merta bebas
dari interes atau populer dengan istilah bebas nilai.
Pun demikian makalah ini tidak
berarti mengemban misi bebas nilai. Sebaliknya dengan ini akan diuraikan secara
singkat kebenaran dan keaslian ajaran Islam sebagai agama wahyu yang berlaku
bagi seluruh alam. Nabi Muhammad sebagai khatamu
al-Anbiya’ tentu memiliki karakter khusus yang merupakan keistimewaan
khusus yang Allah anugerahkan terhadapnya. Sehingga setiap detik dan setiap
gerakannya bersama para sahabat senantiasa memberikan dampak positif yang
massif dan komprehensif.
Satu hal yang sangat nampak dalam
perannya sebagai Nabi akhir zaman adalah perubahan sosial yang tidak hanya
berubah namun juga kokoh dengan landasan Ilahiah yang ini sangat berbeda dengan
landasan sosial pada masa pra Islam. Perubahan di sini tentu tidak serta-merta
dikarenakan Muhammad adalah seorang Nabi, tetapi secara logik sejarah
perjalanan Nabi Muhammad mulai dalam kandungan hingga pada saat menerima wahyu
pertama, sunnatullah juga berlaku baginya.[1]
Suatu peristiwa yang sangat
istimewa dan diakui oleh seluruh manusia di permukaan bumi ini jika sejak
kelahirannya Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad telah mampu memberikan warna
baru kehidupan umat manusia yang lebih baik dan berkeadilan. Sampai-sampai pada
era modern ini jika saja umat Islam tidak berupaya untuk mempertahankan
nilai-nilai luhur ajarannya tentu kejahiliahan umat manusia di muka bumi ini
akan terulang kedua kalinya dengan daya hancur yang lebih dahsyat.
Jika Nabi Muhammad mampu melakukan
transformasi sosial pada masanya maka suatu hal yang sangat mungkin untuk kita
wujudkan saat ini adalah melakukan hal yang serupa. Meskipun dalam realitanya
hal itu tidak akan pernah bisa sama atau bahkan melampaui apa yag telah diraih
oleh Nabi Muhammad Saw beserta para sahabatnya. Untuk itulah kajian mengenai
Nabi Muhammad dan perubahan sosial menjadi penting saat ini utamanya dalam
rangka merekayasa masa depan Islam yang lebih baik lagi. Apalagi kini umat
Islam sedang berada dalam kebingungan dan keterbelakangan yang sangat
memprihatinkan. Guna mencapai tujuan dengan lebih cepat dan lebih tepat maka
upaya memahami secara komprehensif perubahan sosial yang terjadi pada masa
ke-Nabi-an perlu untuk dikaji kembali. Terlebih umat Islam hingga saat ini
masih banyak yang terjebak pada masalah-masalah furu’ yang merugikan mereka
sendiri.
Dalam makalah ini akan disajikan
bagaimana kondisi Jazirah dan masyarakat Arab pra Islam, Makkah sebelum
kenabian, nasab Nabi Muhammad Saw, Makkah pada masa kenabian dan Hijrah Nabi
Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah serta perjanjian Hudaibiyah sampai terakhir
Madinah yang menjadi cikal bakal peradaban Islam, yang semua itu ditujukan
untuk memberikan gambaran konkrit bagaimanakah Nabi Muhammad Saw berupaya
membangun peradaban Islam yang agung itu ?.
B.
Pra Peradaban Islam di Jazirah Arab
Sebelum kelahiran Islam dunia dikuasai oleh
dua peradaban besar yakni Romawi di Barat dan Persia di Timur. Peradaban Romawi
yang dikendalikan oleh seorang raja kala itu telah berdiri sejak tahun 750
Sebelum Masehi dengan ibukotanya Roma yang mampu bertahan selama 10 abad
lamanya. Kerajaan ini mengalami masa kejayaannya pada masa maha raja Yustianus
I (527 – 565 M).[2]
Selama
bercokolnya peradaban Romawi di dunia saat itu tradisi agama, filsafat dan
bahasa telah mantap saat itu juga. Mayoritas penduduk yang berada di bawah
kekuasaan kerajaan Romawi Timur pada umumnya beragama Nasrani.[3] Namun demikian
budaya filsafat juga berlangsung subur di sana.
Berbicara filsafat pada masa Romawi maka tidak bisa mengabaikan peran
“kebudayaan Yunani” sebelumnya. Karena keunggulan Romawi atas bangsa yang lain
sejatinya adalah lanjutan dari kebudayaan Yunani.[4]
Sementara
itu di sisi lain Persia
dengan peradabannya cenderung menjadikan alam nyata sebagai Tuhan. Langit biru,
cahaya, api, udara, air dan sebagainya adalah sembahan-sembahan yang populer
kala itu. Mereka mengklasifikasi tuhan dua bagian ada “tuhan baik” dan ada
“tuhan jahat”, yang di antara keduanya selalu terjadi permusuhan dan
perkelahian. Tuhan baik dilambangkan
dengan simbol api, karenanya api selalu dinyalakan di setiap rumah ibadah
mereka.[5]
Pada
abad ketujuh Sebelum Masehi muncul seorang pemimpin yang bernama Zoroaster, yang selanjutnya dikenal
sebagai “Nabi orang Persia”.
Ajaran yang dibawanya berprinsip pada prinsip agama lama yang telah diperbaiki.
Terdapat dua prinsip dalam ajaran yang dibawanya :
·
Alam
berjalan sesuai dengan “qonun” yang tertentu.
·
Dalam
alam selalu ada pertentangan antara berbagai kekuatan : antara cahaya dengan
gelap, antara subur dengan tandus dan lain-lain.
Ajaran Zoroaster memiliki kitab
suci yang syarahnya bernama Zamdavesta.[6]
Kedua
peradaban besar tersebut sedikit banyak telah memberikan pengaruh cukup besar
terhadap kebudayaan Arab pra Islam. Jika Romawi menganut Nasrani sebagai keyakinan kemudian Persia menjadikan
Zoroaster sebagai Nabi yang menguatkan keyakinan mereka maka bangsa Arab dapat
dikatakan cukup “kreatif” karena di tengah-tengah kesibukan mereka sebagai
pengembara dan pedagang, mereka menciptakan tuhan sendiri dan memberikan nama
sesuka hatinya. Inilah yang pada kemudian hari mendorong bangsa Arab terjebak
pada paganisme.
Secara
bahasa Arab berarti padang
pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanaman di dalamnya. Jazirah
Arab dibatasi oleh laut Merah dan gurun Sinai di Barat, Teluk Arab sebelah
Timur dan Iraq Selatan, kemudian di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Arab
yang bersambung dengan lautan India, di sebelah utara dibatasi negeri Syam dan
sebagian kecil dari negara Iraq. Sekalipun masih terdapat perbedaan luas
Jazirah Arab membentang antara satu juta mil kali satu juta tiga ratus ribu
mil.[7]
Di
kalangan mereka (bangsa Arab) terdapat beberapa kelas masyarakat, yang
kondisinya berbeda antara satu dengan lainnya. Kelas inilah sejatinya yang menyebabkan
kerusakan menjadi suatu hal yang dimaklumi. Kaum ningrat mengeksplorasi rakyat
jelata menjadi budak yang hasil jerih payah mereka dipergunakan untuk
berfoya-foya. Di sisi lain bangsa Arab memiliki kepercayaan bahwa wanita adalah
aib yang harus dikurangi jumlahnya, sehingga jika seorang ibu melahirkan
seorang bayi perempuan, maka bayi tersebut akan dibunuh atau dikubur
hidup-hidup. Selain itu jika mereka berhasil menaklukkan suatu kaum maka kaum
wanitanya akan diperkosa beramai-ramai di depan keluarganya. Setidaknya dua hal
tersebut menjadi alasan mengapa bangsa Arab mengharuskan membunuh anak-anak
perempuannya.[8]
Secara
garis besarnya, kondisi sosial mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan
mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup
layaknya binatang, wanita diperjualbelikan dan kadang-kadang diperlakukan
layaknya benda mati. Hubungan di tengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang
pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali
rakyat diperlukan untuk menghadang serangan musuh. Selain itu bangsa Arab juga
tidak mengenal perindustrian dan kerajinan. Kalaupun di sana terdapat hasil kerajinan semua itu
berasal dari rakyat Yaman, Hirah dan pinggiran Syam. Peperangan, kemiskinan, kelaparan
dan orang-orang yang telanjang merupakan pemandangan yang biasa di tengah
masyarakat Arab saat itu. [9]
Dengan
seting sosial seperti ini, maka segala hal yang berkaitan langsung dengan
kehidupan mereka, akhlak misalnya adalah sesuatu yang sangat susah diterima
akal sehat dan logika orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir. Segala hal yang dilarang dalam ajaran Islam adalah suatu hal yang
harus dikerjakan dan sesuatu yang menyebabkan mereka memiliki wibawa jika mampu
melakukannya.[10]
Meskipun demikian tidak berarti semua yang ada kala
itu adalah jelek dan tidak ada baiknya sama sekali. Setia kepada kawan dan
setia kepada janji, menghormati tamu, tolong-menolong antara anggota-anggota
kabilah adalah segi sosial yang baik. Sementara itu merendahkan derajat wanita,
bermusuhan lantaran soal sepele adalah segi buruk yang perlu dijauhi.
C. Makkah Sebelum
Kenabian
Setting
sosial budaya, ekonomi, politik dan keagamaan secara umum tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan di atas. Kerusakan
moral, kemiskinan, kelaparan dan perpecahan adalah satu hal yang dianggap
lumrah dan tidak lagi dianggap sebagai sebuah problem. Oleh karenanya hal
demikian berlangsung cukup lama di seantero jagad Arab tidak terkecuali Makkah
di dalamnya. Makkah artinya tempat suci. Sehingga bisa dikatakan bahwa sejak
dulu – jauh sebelum kelahiran Nabi – Makkah telah menjadi pusat keagamaan. Kota
Makkah teletak di Tihamah, sebelah selatan Hijaz, sekitar 48 mil dari Laut
Merah, di sebuah lembah gersang dan berbukit yang digambarkan dalam al-Qur’an
(QS. 14 : 37) sebagai tanah yang “tidak bisa ditanami”.[11]
Ini
berarti bahwa bangsa Arab telah hidup dengan peradabannya, hal ini bisa kita
temui dalam berbagai aspek, diantaranya adalah politik, ekonomi dan agama serta
seni budaya yang berlangsung ketika itu.[12] Perlu
diketahui bahwa kota Makkah adalah kota suci yang setiap
tahunnya tidak pernah sepi dari pengunjung baik dari dalam negeri maupun
mancanegara, ini terjadi karena di Makkah berdiri tegak bangunan suci Ka’bah.
Di samping itu Makkah juga merupakan jalur persilangan ekonomi internasional,
yang menghubungkan jalur-jalur dari dan ke mancanegara.
Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa
tradisi perdagangan di Arab telah ada jauh sebelum kehadiran Islam. Namun
demikian, harus diakui bahwa tradisi perdagangan yang ada tidak memiliki ruh
atau semangat kemanusiaan seperti keadilan dan persamaan. Hal ini dapat dilihat
dari bagaimana permodalan dikuasai oleh elit-elit pemodal. sebagai contoh
misalnya, para pedagang meminjam modal pada konglomerat, akan tetapi pada saat
jatuh tempo mereka harus membayar utang tersebut dengan bayaran yang jauh lebih
tinggi. Inilah yang kemudian menyebabkan sebagian besar di antara para pedagang
mengalami kebangkrutan dan melarikan diri ke gurun-gurun.[13]
Dalam
hal keyakinan di Makkah dapat ditemukan berbagai macam agama di antaranya
paganisme, Kristen, Yahudi dan Majusi. Pada saat yang sama juga dapat ditemukan
beberapa masyarakat Arab yang mengenal agama Nabi Ibrahim yang itu dapat
dilihat dari masih adanya penyebutan Allah sebagai Tuhan mereka. Akan tetapi
pada umumnya mereka lebih akrab dengan berhala. Inilah kaum paganisme. Mereka
membuat patung dari batu yang diambil dari Ka’bah kemudian dikelilingi untuk
dipuja dan disembah.[14]
Secara
singkat dapat dipahami bahwa Makkah ketika itu berada dalam suatu kondisi yang
sangat memprihatinkan. Kemerosotan merembet ke hampir seluruh aspek kehidupan
mulai dari moral, sosial, ekonomi, politik dan bahkan agama. Contoh populer
yang telah banyak diketahui oleh umat Islam adalah tradisi membunuh bayi perempuan
yang lahir, dimana untuk hal itu mereka tidak segan-segan membunuh atau
menguburnya hidup-hidup.
D. Nasab Nabi
Muhammad Saw
Masyarakat Arab pada umumnya
membanggakan keturunan dan kekayaan, namun berbeda dengan sosok Muhammad bin
Abdullah yang hidupnya penuh dengan kesederhanaan, yang ditakdirkan sebagai
anak yatim piatu dalam usia 6 tahun. Dia tergolong kaum Quraisy dengan garis
keturunan dari bani Hasyim (Hasyimiyah)[15]
yang merupakan salah satu keluarga pedagang dari sekian banyak pedagang di
tanah Makkah.
Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Syaikh
Syafiyurrahman Al Mubarakfury menjelaskan tentang nasab Nabi Muhammad Saw. dan
membaginya dalam tiga bagian. Bagian pertama merupakan nasab yang disepakati
kebenarannya oleh pakar biografi, yaitu sampai pada Adnan. Bagian kedua
merupakan nasab yang tidak diketahui secara pasti, yaitu Adnan ke atas hingga
Ibrahim As. Bagian ketiga juga merupakan nasab yang tidak diragukan bahwa di
dalamnya ada kesalahan. Namun, dalam makalah ini penulis lebih cendrung kepada
nasab Nabi yang bagian pertama yang telah disepakati oleh ahli biografi yang
hanya sampai kepada Adnan.
Nasabnya ialah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib
(namanya Syaibatul Hamd) bin Hisyam bin Abdi Manaf (namanya al-Mughirah) bin
Qushayyi (namanya Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin
Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas
bin Mudhar bin Nazzar bin Mu’iddu bin Adnan.[16]
Selanjutnya
diyakini bahwa Adnan termasuk anak dari Nabi Isma’il As bin Nabi Ibrahim As.
Allah telah memilihnya (Nabi Muhammad) dari kabilah yang paling bersih,
keturunan yang paling suci dan utama. Tak sedikit pun dari “karat-karat”
jahiliyah menyusup ke dalam nasabnya.[17]
E. Makkah Masa
Kenabian
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang
menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Yang mengajar manusia apa yang mereka tidak ketahui.
(Q.S Al-‘Alaq ayat 1-5).
Surat ini adalah surat
pertama yang diwahyukan Allah kepada Nabi terakhirnya Muhammad Saw. Telah
diketahui bahwa ketika Nabi muncul sebagai rahmatan lil’alamin dua super
power telah lama eksis ketika itu, yakni Romawi dan Persia. Keduanya senantiasa
berperang antara satu dan yang lain. Keyakinan dari kedua super power tersebut
tidak mampu memberikan solusi perdamaian di antara mereka. Abdul karim
menyebutkan pendapat Hamka dalam bukunya bahwa di kedua super power tersebut
telah terjadi penyimpangan terhadap keyakinan agama mereka. Mazdaisme yang berubah
menjadi Majusi dan Nasrani yang telah tercemar oleh pelajaran syirik dan
menjadi agama olok-olok. Lebih dari itu adalah perilaku penguasa yang
menjadikan agama sebagai alat untuk mempermainkan rakyat demi kepentingan
politik dan ekonomi mereka. Sementara itu di Mesir, Afrika Utara, Andalusia, dan Italia terjadi pertentangan hebat di
antara aliran-aliran agama (Nasrani). Mereka saling sesat-menyesatkan karena
persoalan-persoalan yang kecil yang selanjutnya pertentangan itu kian melebar
setelah adanya campur tangan dari pihak penguasa.[18]
Diturunkannya
wahyu pertama belum mengharuskan Nabi untuk melakukan dakwah. Sehingga
pendukung awal risalah kenabiannya hanyalah dari kalangan keluarga sendiri.
Mereka adalah Khadijah istri tercinta, Ali bin Abi Thalib sang sepupu, dan Zaid
bin Harits hamba sahayanya. Dengan kata lain tradisi jahiliah masih terjadi
saat itu.
Sebagai
ajaran yang asing bagi kaum Quraisy kala itu seruan Nabi Muhammad tidak banyak
menarik perhatian para penguasa dan konglomerat[19] saat itu. Dari
alumni hasil pembinaan di rumah al-Arqam bin Abil Arqam yang berjumlah sekitar
empat puluh lelaki dan wanita penganut Islam kebanyakan mereka adalah
orang-orang fakir, kaum budak, dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki
kedudukan. Tidak hanya itu jika mereka ingin melaksanakan salah satu ibadah,
mereka harus pergi ke lorong-lorong Makkah seraya bersembunyi dari pandangan
orang-orang Quraisy.[20]
Wahyu
pertama telah membawa perubahan cepat dalam “alam pikiran Arab” pada khususnya
dan dalam “alam pikiran dunia” pada umumnya. Ini berarti telah terjadi revolusi
dalam segala bidang kehidupan manusia : bidang agama, politik, ekonomi dan
bidang sosial budaya, bahkan dalam bidang bahasa dan ilmu pengetahuan.[21] Perubahan yang
sangat besar terlihat dari perubahan para pengikut Nabi yang kebanyakan dari
kalangan miskin dan kaum budak. Bilal misalnya, dia yang merupakan budak
Umayyah bin Khalaf. Bilal tetap teguh dengan keyakinannya meskipun berbagai
macam siksaan yang begitu berat ia terima dari sang majikan. Sampai pada suatu
waktu Abu Bakar menebus Bilal dari majikannya kemudian memerdekakannya. Inilah
awal terbangunnya suatu kebudayaan baru di atas puing-puing kejahiliyahan.
Fenomena
tersebut adalah cermin nyata bahwa dalam diri para pengikut Islam telah terjadi
perubahan besar dan mendasar yang menjadikan mereka tampil dengan performan
yang lebih meyakinkan dan jauh berbeda dengan masa sebelum mereka mengenal
Islam. Dalam hal ini setidaknya terjadi dua segi perubahan[22];
1.
Segi langsung, bahwa ajaran-ajara Islam, baik aqidah ataupun syari’ah langsung
mempengaruhi dan merubah kepercayaan dan tata hidup orang Arab.
2. Segi tak langsung, bahwa Islam telah memberi
kemungkinan kepada orang-orang Arab Muslim untuk menaklukkan kerajaan Romawi
dan Persia, dua bangsa besar yang telah bertamadun tinggi. Akibat dari
penaklukan ini orang-orang Arab Muslim telah dapat menyelami buah tamadun dari
kedua bangsa itu, yang kemudian dikembangkan ke tengah-tengah Muslim Arab,
sehingga menyebabkan terjadi perubahan dalam alam pikiran mereka.
F. Hijrah Nabi Muhammad Saw
Berbagai tekanan yang dilancarkan orang-orang
Quraisy telah berlangsung sejak pertengahan atau akhir tahun keempat dari Nubuwah yang banyak ditimpakan kepada
mereka yang lemah. Akhirnya umat Islam yang tidak seberapa itu mulai berpikir
untuk mencari jalan keluar dari siksaan yang pedih itu. Untuk mengukuhkan hati
dan keyakinan mereka Allah menurunkan wahyunya (al-Kahfi) sebagai sanggahan terhadap berbagai pertanyaan yang
disampaikan orang-orang musyrik kepada Nabi Muhammad. Surat ini meliputi tiga kisah[23];
1. Kisah Ashabul Kahfi yang diberi petunjuk
untuk hijrah dari pusat kekufuran dan permusuhan, karena dikhawatirkan
mendatangkan cobaan terhadap agama, dengan memasrahkan diri kepada Allah.[24]
2. Kisah tentang Nabi Khidir dan Nabi Musa, yang memberikan suatu pengertian bahwa
berbagai faktor tidak selamanya bisa berjalan dan berhasil dengan bergantung
kepada yang riil semata, tapi permasalahannya bisa berbalik total tidak seperti
yang tampak. Di sini terdapat isyarat yang lembut bahwa usaha memerangi
orang-orang Muslim bisa membalikkan kenyataan secara total, dan orang-orang
musyrik yang berbuat semena-mena terhadap orang-orang Muslim yang lemah itu bisa
dibalik keadaannya.
3. Kisah tentang Dzil-Qarnain,
yang memberikan suatu pengertian bahwa bumi ini adalah milik Allah, yang
diwariskan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, bahwa
keberuntungan hanya diperoleh di jalan iman, bukan di jalan kekufuran, bahwa
dari waktu ke waktu Allah senantiasa akan menurunkan orang yang siap membela
dan menyelamatkan orang-orang yang lemah, seperti Ya’juj dan Ma’juj pada zaman
itu, bahwa yang layak mewarisi bumi ini adalah hamba-hamba Allah yang shalih.
Demikianlah
Islam memberikan pengarahan kepada umat Nabi Muhammad sehingga mereka memiliki
kekuatan mental yang hebat. Siksaan dan cemoohan kaum kafir Quraisy bukanlah
suatu hal yang perlu untuk diperhatikan. Hijrah ini merupakan awal penolakan Islam
terhadap budaya bangsa Arab saat itu. Semuanya terangkum dalam gerakan-gerakan
yang meninggalkan jejak berakar dan pengaruh yang jauh tikamannya dalam bidang
politik dan agama, tidak saja dalam masa ini sendiri, bahkan melompat jauh ke
masa Amawiyah dan masa Abbasiyah.[25]
Lebih
dari itu kehadiran al-Qur’an yang mengiringi gerak dakwah Nabi beserta
sahabatnya telah mampu merubah akhlak dan sikap hidup umat Islam. Dalam hal
ini, pengaruhnya sangat terasa, karena orang Islam sejak kecil dibebankan untuk
membaca dan mempelajari al-Qur’an yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran
keagamaan dan keduniaan, asas perundang-undangan dalam segala bidang kehidupan,
dasar-dasar hukum yang mengatur pergaulan sehari-hari termasuk pergaulan
kekeluargaan, bakan sampai-sampai kepada urusan makanan, minuman, pakaian,
tidur dan mandi yang mana semua itu dapat digali dalam al-Qur’an. Semua itu
mewujud dalam tulisan-tulisa, karangan-karangan, syair-syair mereka; filsafat, at-thib
(kedokteran), aljabar, atau pun ilmu-ilmu eksakta serta bahasa lainnya.[26]
G. Perjanjian
Hudaibiyah
Setelah
cukup lama melancarkan dakwah dan membela diri dari berbagai bentuk penindasan
dan tindakan semena-mena orang-orang kafir Quraisy kini mulai tampak
sinyal-sinyal kemenangan dakwah dan keberhasilan perjuangan sebelumnya.
Berbagai upaya pun mulai disusun utamanya dalam rangka mendapatkan pengakuan
hak terhadap orang-orang Muslim dalam melaksanakan ibadah di Masjid al-Haram,
yang selama ini selalu mendapat rintangan dari orang-orang musyrik.
Perjanjian
Hudaibiyah ini merupakan jalur alternatif yang ditempuh oleh pihak Quraisy
setelah merasa lelah dan ragu akan kemenangan jika mereka memerangi Nabi
Muhammad Saw. Padahal kedatangan Nabi beserta para sahabatnya saat itu tidak
lain adalah dalam rangka menunaikan ibadah ihram. Sampai-sampai untuk
mengantisipasi hal terburuk yang akan terjadi pada kaum Muslim Nabipun meminta
bai’at dari para sahabatnya. Tidak terkecuali Usman bin Affan yang baru muncul
setelah agak lama di tahan pihak Quraisy. Inilah bai’at Ridhwan yang karenanya Allah menurunkan
ayatnya.[27]
Menyadari
posisinya yang cukup rawan Qurasiy pun mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan
perundingan. Suhail ini adalah orang yang selalu di utus untuk melakukan
perundingan dan jika Quraisy menghendaki perjanjian. Pada akhirnya kedua belah
pihak menyepakati klaususl-klausul perjanjian sebagai berikut[28] :
1. Rasulullah Saw harus pulang pada tahun ini, dan
tidak boleh memasuki Makkah kecuali tahun depan bersama orang-orang Muslim. Mereka
diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Makkah dan hanya boleh membawa
senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara
pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apapun.
2. Gencatan senjata di antara kedua belah pihak
selama sepuluh tahun, sehingga semua orang merasa aman dan sebagaian tidak
boleh memerangi sebagian yang lain.
3. Barangsiapa yang ingin bergabung dengan pihak
Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin
bergabung dengan pihak Qurasiy dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya.
Kabilah mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu
menjadi bagian dari pihak tersebut. Sehingga penyerangan yang ditujukan kepada
kabilah tertentu, dianggap sebagai penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan
dengannya.
4. Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad
tanpa izin walinya (melarikan diri darinya), maka dia tidak boleh dikembalikan
kepadanya.
Inilah
gencatan senjata yang dikukuhkan di Hudaibiyah. Dengan mencermati butir-butir
perjanjian yang termaktub itu tidak dapat diragukan bahwa langkah ini merupakan
kemenangan yang amat besar bagi kaum Muslimin. Sebab sudah sekian lama pihak
Quraisy tidak mau mengakui sedikit pun keberadaan orang-orang Muslim, dan
bahkan mereka hendak memberantas hingga ke akar-akarnya. Mereka menantikan
babak akhir dari perjalanan orang-orang Muslim. Sekalipun hanya mengukuhkan
perjanjian, namun ini sudah bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap kekuatan
orang-orang Muslim, di samping orang-orang Quraisy merasa tidak sanggup lagi
mengahadapi kaum Muslimin.
Kandungan
klausul ketiga menunjukkan bahwa pihak Quraisy lupa terhadap kedudukannya
sebagai pemegang roda kehidupan dunia dan kepemimpinan agama. Mereka tidak lagi
mempedulikan hal ini. Yang mereka pikirkan kini adalah keselamatan diri mereka
sendiri. Kalau pun semua manusia dan orang-orang selain Arab mau masuk Islam,
maka mereka tidak lagi mempedulikannya dan mereka tidak akan ikut campur, dalam
bentuk apa pun. Bukankah sebenarnya hal ini merupakan kegagalan yang telak bagi
pihak Quraisy, dan sebaliknya merupakan kemenangan yang nyata bagi pihak
orang-orang Muslim.
Perjanjian
Hudaibiyah mengundang para tokoh Quraisy untuk bersyahadat. Mereka adalah Amr
bin al-Ash, Khalid bin al-Walid dan Utsman bin Thalhah. Setelah mereka menemui
Nabi Saw, mereka menuturkan bahwa “Makkah telah menyerahkan jantung hatinya
kepada kita.”[29]
H. Madinah Cikal
Bakal Peradaban Islam
Secara geografis Madinah adalah
kota ketiga yang termasuk pada kawasan tandus yang populer dengan sebutan Hijaz
setelah Thaif dan Makkah yang di sana telah lama berdomisili bangsa Arab dan
Yahudi. Di mana Yahudi memang lebih banyak dijumpai di Madinah dan sekitarnya.
Sebenarnya kedua bangsa ini berasal dari satu rumpun bangsa, yaitu ras Semit
yang berpangkal dari Nabi Ibrahim melalui dua putranya, Ishaq dan Ismail.
Bangsa Arab melalui Ismail dan Yahudi dari Ishaq.[30]
Secara sosiologis berarti Madinah bersifat
heterogen dimana di dalamnya terdapat dua kebudayaan dan tradisi yang pasti berbeda.
Sekalipun terdapat orang-orang Arab yang memeluk agama Yahudi dan ada di antara
mereka yang terikat hubungan perkawinan, tapi sikap dan pola hidup suku-suku
Yahudi yang terdiri dari lebih duapuluh suku itu secara umum berbeda dari
orang-orang Arab.[31]
Islam mulai dikenal oleh penduduk Yastrib kala itu
dipelopori oleh salah seorang penduduknya yakni Ilyas bin Mu’adz (dari suku
Aus) yang waktu itu mengunjungi Makkah pada musim haji. Kemudian dilanjutkan
tahun-tahun berikutnya oleh beberapa orang Arab Madinah dari suku Khazraj
datang ke Makkah pada musim haji juga. Rombongan kedua ini telah memberikan
titik terang bagi dakwah Islam. Mereka yang sebelumnya tidak mengenal Nabi
langsung menyatakan keimanannya seraya berkata bahwa “Kami telah meninggalkan
golongan kami, tidak ada lagi suku yang saling membunuh dan saling mengancam.
Mudah-mudahan Tuhan akan menyatukan mereka melaluimu. Biarkan kami pergi kepada
mereka untuk mengajak mereka masuk ke dalam agamamu ini, dan jika Tuhan
menyatukan mereka di dalamnya, maka tidak ada orang yang lebih baik
daripadamu.” Sejak saat itulah Islam ramai dibicarakan masyarakat Arab Yastrib.[32]
Selanjutnya kaum Aus dan Khazraj mengirim delegasi
pada dua musim haji berturut-turut untuk menjumpai Nabi. Delegasi terakhir
berjumlah sekitar 72 orang, yang disusul dengan sebuah pertemuan rahasia di
malam hari di bukit Aqabah yang terletak di luar kota Makkah. Pertemuan itu
melahirkan sebuah ikrar yang dikenal dengan ikrar Aqabah, yang berbunyi[33]
:
Demi Allah, kami akan membela Engkau ya Rasul,
seperti halnya kami membela istri dan anak kami sendiri. Sesungguhnya kami
adalah putra-putra pahlawan yang selalu siap mempergunakan senjata. Demikianlah
ikrar kami ya Junjungan.
Paska ikrar tersebut akhirnya Nabi dan Abu Bakar
pun bergegas untuk hijrah menuju Yastrib yang pada saat itu kemudian dinyatakan
berdirinya Daulah Islamiyah. Yastrib pun mengalami perubahan drastis. Kota yang
dulu disebut Yastrib kini berubah menjadi Madinah (tempat din diamalkan).
Permusuhan dan pertikaian yang terjadi sepanjang sejarah Yastrib kini diganti
dengan semangat ukhuwah Islamiyah. Nabi mempersaudarakan semua umat Islam yang
berbeda-beda suku tersebut. Sejak saat itulah konsep kesetaraan mulai dikenal
dan mewujud dalam kota Madinah. Standar kemuliaan seseorang bukan lagi berdasar
pada keturunan dan fisik tetapi pada seberapa besar ketaqwaan seseorang kepada
Allah SWT.
Sebagaimana yang dicatat oleh A. Hasjmy bahwa pada
tanggal 12 Rabi’ul Awal, tahun pertama Hijriyah, Rasul tiba di Quba dan terus
mendirikan masjid yang pertama dalam Islam. Tanggal 16 Agustus, awal tahun
pertama Hijriyah, Rasul dan para sahabatnya yang berjumlah lebih kurang seratus
orang menuju Yatsrib, kebetulan harinya hari jum’at. Di tengah jalan pada suatu
tempat yang bernama perkampungan Lembah Bani Salim, Rasu mendapat perintah
untuk mendirikan shalat Jum’at, sebagai suatu isyarat sudah waktunya memproklamirkan berdirinya Daulah Islamiyah.
Dalam khutbah Jum’at pertamanya itu, sebagai proklamasi berdirinya Negara
Islam, Rasul telah menetapkan dasar negara yaitu Takwa. Yang artinya harus
berjalan di atas garis Allah, yang antaranya politik negara berdasarkan atas al Adalah al Insaniyah
(perikemanusiaan), asy Syura
(demokrasi), al Wahdah al Islamiyah (persatuan
Islam), al Ukhuwah al Islamiyah
(persaudaraan Islam).[34]
Setelah Nabi hijrah ke Yatsrib, maka kota tersebut dijadikan
pusat jamaah kaum Muslimin, dan selanjutnya menjadi ibukota Negara Islam yang
segera didirikan oleh Nabi, dengan dirubah namanya menjadi Madinah al Munawwarah. Di tengah kota Nabi mendirikan sebuah masjid
sebagai pusat ibadah dan kebudayaan, bahkan dijadikan markas besar Negara Islam
yang mana Nabi telah meletakkan dasar-dasarnya yang kuat, antaranya yaitu Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan Islam.
Nabi mempersaudarakan antara semua kaum Muslimin yang berbeda-beda suku dan
bangsa, yang berlainan-lainan warna kulit dan rupa, al Wahdatu al Islamiyah
menggantikan al Wahdah al Qoumiyah, sehingga dengan demikian semua mereka
menjadi bersaudara sederajat. Demikianlah, bahwa sesungguhnya “Agama Islam” menjadi pengikat
satu-satunya antara pemerintah dengan rakyat, dan antara pribadi-pribadi
rakyat.[35]
G. Kesimpulan
Dari uraian
singkat di atas tentang Sirah Nabi Muhammad Saw. serta perubahan sosial yang
dilakukan secara evolutif dan revolusioner telah memberikan sebuah transformasi
nilai terhadap makna-makna kehidupan sosial pada saat itu. Yang mana makna
tersebut terproyeksikan dalam sebuah tatanan masyarakat yang dahulunya
jahiliyah, terbelakang, bahkan beberapa ahli sejarah mengatakan masyarakat yang
tidak pernah diperhitungkan akan progresivitasnya dalam konteks kompetisi
peradaban dengan perdaban lain saat itu, peradaban Persia dan Romawi.
Namun sebaliknya, sejarah berbicara berbeda bahwa
bangsa Arab yang berada di antara dua imperium besar tersebut dalam waktu
relatif singkat telah mampu memainkan serta menentukan arah kebijakan kehidupan
dengan hadirnya seorang sosok agung yakni Rasulullah Muhammad Saw. sebagai
utusan dengan membawa risalah langit untuk memperbaki kebijakan-kebijakan yang
menyangkut hajat hidup manusia sebagai agama rahmatan lil alamin. Dalam waktu ± 23 tahun Rasulullah dengan
berbekal kesalehan, keta’atan sebagai wujud keyakinan dan keimanan yang kokoh
kepada dzat pencipta Allah Swt. serta bimbingan ilahiyah langsung dari Allah,
telah mampu menghantarkan umat manusia
ke martabat yang paling mulya sebagai manusia yang berakal.
Untuk itu perlu kiranya generasi masa kini dan akan
datang haruslah mampu memaknai sejarah perjalanana Rasul dalam melakukan
rekyasa sosial sebagai format baru dalam transformasi nilai ke arah peradaban
yang lebih baik. Sejarah tidak boleh dilupakan begitu saja, karena sejarah
adalah merupakan dialektika nilai, siapa yang memaknai maka seperti itu pulalah
sejarah dimaknai. Dengan harapan munculnya generasi baru untuk mewujudkan suatu
tatanan dunia yang berperadaban dan berkeadaban Islam.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang 1995.
Al-Mubarakfury,
Syaikh Shafiyyur Rahman, Sirah Nabawiyah, alih bahasa Kathur Suhardi, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar 2007.
M.
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta
: Pustaka Book Publisher, 2007.
K.
Hitti, Philip, History of The Arabs, Jakarta : Serambi, cet.II,
2006.
Sa’id
Ramadhan al-Buthy, Muhammad, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah
Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rsulullah SAW , Alih bahasa Aunur Rofiq,
Shaleh Tamdidi Jakarta : Robbani Press 1999.
Pulungan,
J. Suyuthi, Prinsip-prinsip Pemerintahan
dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
[1] Kronologi
kehidupan Nabi Muhammad dari sejak lahir hingga proses penerimaan wahyu dari
wahyu pertama hingga wahyu yang ke lima yakni surat al-Fatihah menjadi
manhaj dakwah Hidayatullah dalam menjalankan misi dakwahya. Ini yang
selanjutnya dikenal dengan istilah Sistimatika Nuzulnya Wahyu. Lihat Manshur
Salbu dalam bukunya Ustadz Abdullah Said Pokok-pokok pikiran, kiprah dan
perjuangannya.
[3] Nashrani saat itu
setidaknya terbagi pada tiga mazhab, 1) Mazhab Yaaqibah, yang meyakini bahwa
Isa Al-Masih adalah Allah yang berarti Allah dan manusia bersatu dalam diri
Al-Masih. 2) Mazhab Nasathirah, berkeyakinan bahwa dalam diri Al-Masih terdapat
dua tabiat, pertama tabiat ketuhanan dan kedua tabiat kemanusiaan. 3) Mazhab
Mulkaniyah. Lihat A. Hasjmy dalam Sejarah Kebudayaan Islam : 11
[4] A. Hasjmy Sejarah
Kebudayaan Islam (Jakarta : Bulan Bintang 1995) 11
[5] Ibid, 14
[6] Ibid,
[7] Syaikh
Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury Sirah Nabawiyah alih bahasa Kathur
Suhardi (Jakarta
: Pustaka al-Kautsar 2007) 25
[8] Inilah kondisi dholal
yang dimaksudkan Allah dalam firmannya pada Q.S. 2 : 198
[9] Syaikh Shafiyyur Rahman
al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, alih bahasa Kathur Suhardi. (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar 2007) 62
[10] Ibid, 64
[11] Philip K. Hitti, History
of The Arabs, ( Jakarta
: Serambi, cet.II, 2006),hal.-
[12] M. Abdul Karim Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta
: Pustaka Book Publisher 2007) 50
[13] Ibid, 58
[14] Ibid, 61
[15]Bani Hasyim (Hasyimiyah)
dinisbatkan kepada kakeknya, Hasyim bin Abdu Manaf yang nama aslinya adalah
Amru. Dipanggil Hasyim karena suka meremukkan roti. Dia juga yang membuka jalur
perjalanan dagang bagi orang-orang Quraisy. Hasyim memiliki anak yang bernama
Abdul Muththalib (dengan nama syaibah, karena ada rambut putih/uban di
kepalanya) dari istrinya yang bernama Salma. Lebih lanjutnya lihat Syaikh
Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury, Sirah
Nabawiyah, (Jakarta
: Pustaka Kautsar, 2007)hal.68
[16] Muhammad Sa’id Ramadhan
al-Buthy Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam
di Masa Rsulullah SAW Alih bahasa Aunur Rofiq, Shaleh Tamdidi (Jakarta :
Robbani Press 1999) 31
[17] Ibid,
[18] M. Abdul Karim Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka
Book Publisher, 2007), hal. 64
[19]Berbagai cara mereka
lakukan untuk menghentikan dakwah Nabi dan salah satunya adalah menghasud Abu
Thalib sang paman agar berkenan menghentikan perilaku kemenakannya yang banyak
menghina tuhan-tuhan mereka. Dan masih banyak lagi cara-cara licik yang mereka
gencarkan untuk menghentikan dakwah. Lihat karya Syaikh Shafiyyurrahman
al-Mubarakfury dalam Sirah Nabawiyah hal 114 - 125
[20] Muhammad Sa’id Ramadhan
al-Buthy Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam
di Masa Rsulullah SAW Alih bahasa Aunur Rofiq, Shaleh Tamdidi (Jakarta :
Robbani Press 1999) 70
[21] A. Hasjmy Sejarah
Kebudayaan Islam (Jakarta : Bulan Bintang 1995) 27
[22] Ibid, 28
[23] Syaikh Shafiyyurrahman
al-Mubarakfury Sirah Nabawiyah Alih bahasa : Kathur Suhardi (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar 2007) 126 - 127
[24] Q.S. 18 : 16
[25] A. Hasjmy Sejarah
Kebudayaan Islam (Jakarta : Bulan Bintang 1995) 57
[26] Ibid, 41
[27] Al-Fath : 18
[28] Syaikh Shafiyyurrahman
al-Mubarakfury Sirah Nabawiyah Alih bahasa : Kathur Suhardi (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar 2007) 444-445
[29] Syaikh Shafiyyurrahman
al-Mubarakfury Sirah Nabawiyah Alih bahasa : Kathur Suhardi (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2007) 454
[30]J. Suyuthi Pulungan Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam
Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada 1996) 26
[31] Ibid, 29
[32] Ibid, 51
[33] A. Hasjmy, Sejarah
Kebudayaan Islam (Jakarta : Bulan Bintang 1995) 49
[34] Ibid,hal.50-51
[35]Ibid,-
0 komentar:
Posting Komentar