JATUH BANGUNNYA PERADABAN
Ditulis oleh Adian Husaini (cuman men-Share ilmunya beliau)
Rasulullah saw
bersabda: “Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah
kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi
munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling
mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.”
"Hampir tiba suatu masa dimana
berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan
mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada
hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari
itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih
di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati
musuh-musuh kamu, dan Allah akan
menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah
al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan
takut mati." (HR Abu Dawud).
Al-Quran dan Kehancuran Peradaban
Beberapa ayat
al-Quran memberikan penjelasan tentang kehancuran suatu bangsa. Penjelasan
al-Quran ini sangatlah penting untuk menjadi pelajaran, khususnya bagi kaum
Muslimin, agar mereka tidak mengulang kembali tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh umat terdahulu, yang dapat menghancurkan peradaban mereka.
Allah SWT berfirman:
“Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman
dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan
bumi. Tetapi mereka
mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan
mereka sendiri” (QS Al A’raf:96)
Maka apabila
mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS al-An’am:44).
Dan jika Kami
hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami
terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS
al-Isra’:16)
Ayat-ayat dalam
al-Quran yang menjelaskan tentang kehancuran suatu negeri itu bercerita, bahwa
kehancuran suatu kaum berhubungan dengan hal-hal: (1) sikap kaum yang melupakan
peringatan Allah SWT, sehingga mereka lupa diri dan hidupnya dihabiskan untuk
sekedar mencari kesenangan demi kesenangan (hedonisme). Hal ini juga disebutkan dalam al-Quran surat
at-Taubah ayat 24. (2) tindakan
elite-elite atau pembesar masyarakat yang melupakan Allah SWT dan membuat
kerusakan di muka bumi. Apabila di dalam suatu peradaban sudah tampak dominan
adanya para pembesar, tokoh masyarakat, orang-orang kaya yang bergaya hidup
mewah, atau sesiapa saja yang bermewah-mewah dalam hidupnya, maka itu pertanda
kehancuran peradaban itu sudah dekat.
Akan tetapi, dari
kedua hal tersebut, inti dari kehancuran peradaban atau bangsa, adalah
kehancuran iman dan kehancuran akhlak. Apabila iman kepada Allah SWT sudah
rusak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap
aturan-aturan Allah SWT. Rasulullah saw berkata:
“Apabila
perzinahan dan riba sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah
menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri.” (HR
Thabrani dan al-Hakim).
Dalam sejarah manusia, berbagai kehancuran
peradaban di muka bumi sudah begitu banyak terjadi. Dan Allah SWT menganjurkan
kaum Muslimin agar mengambil pelajaran (hikmah) dari peristiwa-peristiwa
sejarah tersebut. “Maka berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
hasilnya orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul Allah SWT) (QS an-Nahl:36)
Sebagai misal, Kaum ‘Ad, telah dihancurkan
oleh Allah SWT karena berlaku takabbur dan merasa paling berkuasa dan paling
kuat. Mereka merasa tidak ada lagi yang dapat mengalahkan mereka, sehingga
mereka berkata: “Siapa yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” (QS
Fusshhilat:15). Begitu juga kehancuran yang menimpa Fir’aun, Namrudz, dan
sebagainya. Di masa Rasuullah saw, kaum Muslim yang jumlahnya sangat besar dan
berlipat-lipat dari pada kaum kuffar, hampir saja dikalahkan dalam Perang
Hunain (QS at-Taubah:25).
Sejarah juga mencatat, bagaimana Peradaban
Islam di Spanyol yang sangat agung dan sudah bertahan selama 800 tahun
(711-1492) dapat dihancurkan dan akhirnya kaum Muslimin dimusnahkan dari bumi
Spanyol. S.M. Imamuddin menyebutkan beberapa faktor penyebab kehancuran peradaban
Islam di Spanyol. Yang terpenting adalah adanya perpecahan dan kecemburuan
antar suku. Bahkan ada beberapa penguasa Muslim di Spanyol, seperti Ma’mun dari
Toledo dan
Dinasti Nasrid, mendapatkan kekuasaan dengan bantuan kekuatan Kristen untuk
menghancurkan kekuatan Muslim lainnya.1 Sejarah jatuhnya Palestina ke tangan
Zionis Yahudi juga boleh dijadikan pelajaran bagi kaum Muslimin. Bagaimana
suatu kaum Yahudi yang minoritas dari segi jumlah tetapi dapat mengalahkan kaum
Muslim yang sangat besar.
Kehancuran dan kejatuhan berbagai kaum,
negeri, bangsa, dan peradaban, inilah yang sepatutnya direnungkan secara
mendalam dan sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin, khususnya para ulama dan
cendekiawan Muslim di wilayah Peradaban Melayu. Apakah gejala-gejala kehancuran
suatu negeri atau peradaban seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan pernah
terjadi dalam sejarah manusia sudah ditemukan dalam wilayah peradaban Melayu?
Kalau gejala-gejala itu sudah ada, bagaimana cara menghindarkannya?
Yang jelas, jatuh bangunnya suatu peradaban, pada dasarnya tergantung
pada kondisi manusia-manusia dalam peradaban itu sendiri. Kekalahan dan
kehancuran suatu peradaban adalah disebabkan oleh tindakan mereka sendiri, yang
menciptakan ”kondisi layak kalah” (al-qabiliyyah lil-hazimah). Allah SWT
menegaskan:
”Yang demikian itu karena Allah sekali-kali
tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum,
sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS
al-Anfal:53).
Kebangkitan Islam: Belajar dari Kasus Perang Salib
Belum lama
ini buku Hakadza Zhahara Jīlu Shalahuddin wa Hakadza ’Ādat al-Quds karya Dr.
Majid Irsan al-Kilani diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.2 Buku ini menarik,
terutama dari sudut pandang kebangkitan sebuah peradaban. Penerjemah buku ini,
yang merupakan alumni Universitas Islam Madinah, menceritakan, bahwa dosen
pembimbing mereka, Dr. Ghazi bin Ghazi al-Muthairi, adalah yang mengenalkan dan
meminta mereka membaca buku ini.
Buku ini menceritakan
bagaimana kaum Muslimin mampu bangkit dari keterpurukan selama sekitar 50
tahun. Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan
Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zanki, ayah Nur al-Din
Zanki. Dua tahun sesudah itu, Zanki wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur
al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan
melawan pasukan Salib dan pada 549/1154
ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad,
dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan
Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam
yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 3
Tahun 1095 Perang
Salib dimulai. Tahun 1099, Jerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib. Meskipun
memiliki negara dan pemimpin (khalifah), umat Islam berada dalam kondisi yang
sangat terpuruk. Sekitar 88 tahun kemudian tampillah pahlawan Islam terkenal,
Shalahuddin al-Ayyubi, yang berhasil membebaskan kembali al-Aqsha dari
kekuasaan pasukan Salib, pada tahun 1187. Buku ini memaparkan data-data, bahwa
Shalahudin bukanlah pemain tunggal yang ”turun dari langit”. Tetapi, dia adalah
produk sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat.
Dua ulama besar yang disebut berjasa besar dalam menyiapkan generasi baru itu
adalah Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani.
Menurut Dr. Majid Irsan al-Kilani,
dalam melakukan upaya perubahan umat yang mendasar, al-Ghazali lebih
menfokuskan pada upaya mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima
kekalahan. Di sinilah, al-Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat
dan berusaha mengatasinya, ketimbang menuding-nuding musuh. Menurut al-Ghazali, masalah yang
paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum Muslim yang berkaitan
dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali tidak menolak perubahan pada aspek
politik dan militer, tetapi yang dia tekankan adalah perubahan yang lebih
mendasar, yaitu perubahan pemikiran, akhlak,
dan perubahan diri manusia itu sendiri. Untuk itu, al-Ghazali melakukan
perubahan dimulai dari dirinya sendiri dahulu, kemudian baru mengubah orang
lain. Kata penulis buku ini:
”Al-Ghazali lebih
menfokuskan usahanya untuk membersihkan masyarakat muslim dari berbagai
penyakit yang menggerogotinya dari dalam dan pentingnya mempersiapkan kaum
Muslim agar mampu mengemban risalah Islam kembali sehingga dakwah Islam
merambah seluruh pelosok bumi dan pilar-pilar iman dan kedamaian dapat tegak
dengan kokoh.” 4
Melalui
kitab-kitab yang ditulisnya setelah merenungkan kondisi umat secara mendalam,
al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa yang harus dibenahi pertama dari umat
adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Oleh sebab itu, kitabnya yang terkenal
dia beri nama Ihya’ Ulumuddin. Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa
Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad
melawan musuh dalam bentuk ’qital’ dengan baik. Karya-karya al-Ghazali dalam
soal jihad menekankan pentingnya
mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi
jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang
seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara komprehensif;
secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menekankan
pentingnya masalah ilmu dan akhlak. Ia membuka Kitabnya itu dengan “Kitabul
Ilmi” dan sangat menekankan pentingnya aktivitas ’amar ma’ruf nahi munkar’.
Aktivitas “amal ma’ruf dan nahi munkar”, kata al-Ghazali, adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Ia
adalah sesuatu yang penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para
nabi. Jika aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar’
hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan
tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan binasa. Begitu juga umat secara keseluruhan. 5
Aktivitas
al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai
pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang
tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada
umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa
diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau
ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat
mendasar. Tentu, tahap kebangkitan dan pembenahan jiwa ini tidak dapat
dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari
pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang
benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman
yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar?
Rasulullah saw
bersabda: “Termasuk diantara perkara yang
aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam
kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan
Ibn Hibban).
Jadi, dalam perjuangan umat,
diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap problematika yang dihadapi
oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik,
keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan secara proporsional dan adil.
Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu juga yang kurang penting. Di
situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, dengan makna “Menghidupkan
kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah
ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia
sangat menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannya
sesuai dengan proporsinya.
Al-Ghazali dan
para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat
Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan
menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat,
adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad saw memberi
amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka
lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw
mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya
orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw:
Bahwasanya Allah
SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah
menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan
para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya.
Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu
pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).
Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati
sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan
ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama
su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama
sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah. Karena
itulah, kerusakan dalam bidang keilmuan harus mendapatkan perhatian dari umat
Islam. Apalagi jika kerusakan ilmu itu terjadi di jajaran lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang diharapkan menjadi pusat perkaderan ulama dan pemimpin
umat. 6
Penutup
Dari hasil kajiannya terhadap
gerakan kebangkitan umat di era Perang Salib, Dr. al-Kilani menyimpulkan, bahwa
yang pertama kali harus dilakukan adalah perubahan dalam diri manusia itu
sendiri. ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi yang ada pada satu
kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS ar-Ra’d:11).
Nabi saw juga menyatakan: ”Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat
segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh. Namun, jika
ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, itu adalah qalb.”
(HR Muslim). Era kejayaan dan kekuatan
sepanjang sejarah Islam tercipta ketika terjadi kombinasi dua unsur, yaitu
unsur keikhlasan dalam niat dan kemauan serta unsur ketepatan dalam pemikiran
dan perbuatan. 7
Jika strategi ini direfleksikan
dalam perjuangan umat Islam Indonesia, maka sudah saatnya umat Islam Indonesia
melakukan introspeksi terhadap kondisi pemikiran dan moralitas internal mereka,
terutama para elite dan lembaga-lembaga perjuangannya. Harus dilakukan evaluasi
total terhadap kondisi internal umat Islam, khususnya mendiagnosa penyakit yang
sangat membahayakan umat dan telah menghancurkan umat terdahulu, yaitu sikap
hubbud dunya, fanatisme kelompok, dan kerusakan ilmu. Introspeksi dan koreksi
internal ini jauh lebih penting dilakukan dibandingkan meneliti kondisi faktor
eksternal, sehingga ’kondisi layak terbelakang dan kalah’ (al-qabiliyyah
lit-takhalluf wa al-hazimah) bisa dihilangkan.
Kita bisa melakukan evaluasi
internal, apakah para elite dan lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah
menerapkan profesionalitas dalam pendidikan mereka? 8 Apakah tradisi ilmu dalam
Islam sudah berkembang di kalangan para profesor, dosen-dosen, dan guru-guru
bidang keislaman? Apakah konsep ilmu dalam Islam sudah diterapkan di
lembaga-lembaga pendidikan Islam? 9 Apakah para pelajar mencari ilmu untuk
mencari dunia atau untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah? Apakah budaya
kerja keras dan sikap ’zuhud’ terhadap dunia sudah diterapkan para elite umat?
Apakah ashabiyah (fanatisme kelompok) masih mewarnai aktivitas umat? Pada tataran keilmuan, bisa diteliti, apakah
sudah tersedia buku-buku yang mengajarkan Islam secara benar dan bermutu tinggi
pada setiap bidang keilmuan?
Semua ini
membutuhkan kerja yang berkualitas, kerja keras, kesabaran, ketekunan,
kerjasama berbagai potensi umat, dan
waktu yang panjang. Karena itu,
disamping berbicara tentang bagaimana membangun masa depan Indonesia yang ideal,
yang penting dilakukan adalah bagaimana membenahi kondisi internal umat Islam
dan lembaga-lembaga dakwahnya, agar menjadi sosok-sosok dan lembaga yang bisa
diteladani oleh umat manusia.
Jadi, tugas umat
Islam bukan hanya menunggu datangnya pemimpin yang akan mengangkat mereka dari
keterpurukan. Umat Islam dituntut untuk bekerja keras dalam upaya membangun
satu generasi baru yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas
’Salahuddin al-Ayyubi’. Dan ini tidak mungkin terwujud, kecuali jika umat Islam Indonesia – terutama
lembaga-lembaga dakwah dan pendidikannya – amat sangat serius untuk membenahi
konsep ilmu dan para ulama atau cendekiawannya. Dari sinilah diharapkan lahir
satu generasi baru yang tangguh (khaira ummah): berilmu tinggi dan beraklak mulia,
yang mampu membawa panji-panji Islam ke seluruh penjuru dunia.
Jika generasi
baru itu telah lahir, maka akan lahirlah sebuah peradaban baru, sebagaimana
pernah terjadi di masa-masa lalu. Wallahu a’lam.
(Depok, 16 November 2007)
1 S.M. Imamuddin, A Political History of
Muslim Spain,
(Pakistan: S.M. Shahabuddin,1969), 321-323.
2 Judul dalam bahasa Indonesia adalah
Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan
Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat
dan Merebut Palestina (diterjemahkan oleh Asep Sobari Lc dan Amaluddin,
Lc, MA). (Bekasi: Kalam Aulia Mediatama, 2007).
0 komentar:
Posting Komentar