KAJIAN HISTORIS ANTARA TRADISI ILMU ISLAM DAN
BARAT
قال النبي (ص) : من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين ( متفق عليه )
Rasulullah Saw. bersabda : “Barangsiapa yang Allah kehendaki dalam diri
seseorang kebaikan, maka Allah akan beri pemahaman terhadap urusan agamanya” .
A.
Pendahuluan
Tidak ada satu peradaban yang
bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu, baik itu peradaban kuno
maupun peradaban modern. Mengapa tradisi ilmu?, sebab manusia memiliki
kemampuan untuk berfikir dan rasa ingin mengetahui akan sesuatu di luar
dirinya. Setiap manusia akan dihadapkan pada pertanyaan filosofis yang
menyangkut eksistensi dan realitas alam semesta termasuk diri manusia itu
sendiri sebagai bagian dari kosmologis. Pertanyaan itu adalah dari mana
manusia berasal?, untuk apa manusia diciptakan?, dan akan kemana manusia
mengakhiri hidupnya?. Ketiga pertanyaan inilah kemudian memunculkan
aliran-aliran filsafat besar dunia yang mana satu dengan yang lainnya berusaha
memberikan jawaban tentang Hakekat Manusia, Alam Semesta dan Tuhan.
Dalam Islam ' Mengetahui tidak
mustahil '. Dengan kata lain
mengetahui menjadi mungkin. Karena itu, untuk mengetahui jawaban dari ketiga
pertanyaan itu menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Setiap manusia normal,
dengan segala potensi yang ada padanya, sesungguhnya dan pada hakekatnya dapat
mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah). Tidak seperti yang
diklaim oleh kaum sophis (as sufasta’iyah), relativis (al ’indiyah),
skeptis (al ’inadiyah), dan agnostis (al laadriyah), bahwa manusia
tidak mampu mencapai suatu kebenaran yang hakiki. Dalam hal ini Imam An Nasafi
menjelaskan bahwa حقائق الأشياء ثابتة , والعلم بها متحققة
, خلافا للسفسطعية Maksudnya, hakikat (quiditas/esensi)
segala sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah
(segalanya bisa diketahui dengan jelas).[1]
Makalah ini akan mencoba untuk
mengurai serta membandingkan tradisi keilmuan Islam dalam aspek historisnya
yang berawal dari Nuzulul Wahyi kepada Muhammad Rasulullah Saw, dengan
konsep awalnya bahwa mengetahui tidak mustahil. Dengan kata lain memperoleh
ilmu pengetahuan, bahkan mencapai hakikat kebenaran dari segala sesuatu itu
menjadi mungkin, sebab tradisi ilmu Islam berbasis kepada wahyu. Adapun sebagai
perbandingan adalah tradisi keilmuan Barat. Sebab melihat Barat tidak cukup
hanya melihat kemajuan Barat sebagai sebuah peradaban modern yang begitu saja
hadir pada saat ini, namun kemajuan Barat juga tidak terlepas dari tradisi ilmu,
yakni budaya Barat.
Yang akan dibandingkan dalam
makalah ini adalah tradisi keilmuan Islam dan Barat dari aspek historisnya yang
berpengaruh kepada konsep ilmu dari keduanya dengan pendekatan analisa peradaban dan studi pustaka,
yaitu latarbelakang pertumbuhan dan perkembangan tradisi dari keduanya Islam -
Barat. Pengalaman sosio-historis- religius Islam dan Barat akan
lebih banyak diurai dalam makalah ini. Untuk memberikan gambaran secara nyata
akan kedua tradisi keilmuan tersebut, penulis di sini akan menghadirkan suatu
data historis-empiris, yakni tradisi keilmuan Jepang sebagai bagian dari
produk Barat modern. Sebab Jepang memiliki pengalaman tradisi keilmuan yang
hampir mirip dengan tradisi keilmuan Islam pada awal kebangkitannya.
B. Tradisi Ilmu Islam
Pada 1400 tahun atau 14 abad
yang lampau, telah lahir seorang Maha Guru, guru dari sekalian manusia,
yang membawa manusia dari lembah kegelapan, kenistaan menuju suatu puncak
kegemilangan yang penuh dengan cahaya keridhaan. Adalah Muhammad bin Abdillah
dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban
kala itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi
sekaligus Rasul. Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu
bukanlah tugas yang ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas
itu adalah menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh ummat manusia di
penjuru dunia.
Dalam waktu ± 23 tahun,
setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan sepanjang dakwah risalah,
Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan di mana siapa saja
yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan
lahirnya sebuah kota yaitu Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan.
Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara (state)
atau peradaban (civilization).
Menurut Ibnu Khaldun, wujud
suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting antara lain
1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, 2)
kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan 3)
kesanggupan berjuang untuk hidup.[2]
Ketiga elemen tersebut telah mewujud di Madinah kala itu. Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut
Madinah sudah bisa dikatan sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah
kebangkitan Peradaban Islam berawal dan berkembang.
Peradaban Islam di mulai
dengan tradisi ilmu atau tafaqquh fid din secara terus menerus. Mulai
dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. proses interaksi dan ideasi antar
individu dan masyarakat senantiasa didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu
tidak hanya dalam pikiran semata akan tetapi mewujud dalam sebuah aktifitas,
baik berupa amal infiradi maupun amal jama’i. Dari sinilah lahir
komunitas ilmiah yang mana oleh sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.[3]
Di lembaga pendidikan pertama
inilah kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi dikaji dalam kegiatan belajar
mengajar yang efektif.[4]
Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada
wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat
disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat
merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan
Barat (the cradle of western civilization).[5]
Hasil dari kegiatan ini
memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist Nabi, seperti Abu
Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn Mas’ud dan
lain-lain. Ribuan hadist telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.[6]
Kegiatan pengkajian wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi
berikutnya dalam bentuk lain.
Tidak lebih dari dua abad
lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai bidang studi
keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al Hanafiyah (w.81
H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih (w. 110,114
H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w. 148/765),
Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al
Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.[7]
Islam adalah sebuah peradaban
yang memadukan aspek dunia dan aspek akhirat, aspek jiwa dan aspek raga. Ia
bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang
meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan
tradisi ilmu pada masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan
mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuan yang dzalim dan jahat harus
dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas
diragukan kebenarannya. Sebab ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang
ditunjukkan oleh sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, ’Utsman, Ali (radhiyallahu
’anhum) dan lain-lain.[8]
Ilmu dalam Islam mengantarkan
seseorang untuk mengenal Allah Swt. Untuk mengenal-Nya manusia memerlukan
sarana-sarana yang menuju kepada pengenalan dzat-Nya yang Maha Abadi. Salah
satunya adalah beriman kepada Rasulullah Saw sebagai Nabi dan Utusan-Nya.
Karena tanpanya manusia tidak mampu meraih pengetahuan akan Allah. Meskipun
manusia dilengkapi dengan potensi akal, namun dalam hal mengenal Tuhan ia
membutuhkan petunjuk, sebab akal tidak dapat menjangkau hal yang metafisik. Maka,
Allah melalui lisan Rasul-Nya memberikan petunjuk seperangkat tatacara untuk
sampai kepada-Nya. Jadi ilmu dalam Islam senantiasa berdimensi Iman dan Ihsan.
Ilmu dalam Islam berpijak kepada wahyu Allah Swt sebagai sumber ilmu yang absolute.
Tradisi keilmuan tersebut
kemudian berlanjut dari generasi ke generasi, dari abad ke abad dan mengalami
puncak perkembangan dan keemasannya antara abad ke-7 M sampai pada abad ke-12
M. Pada saat itu telah lahir intelektual-intelektual muslim di bidang sains dan
teknologi, seperti Al Khawarizmi, ’Bapak Matematika’ Muslim (w. 780 M) yang
namanya dikenal di dunia Barat dengan Algorizm, Ibnu Sina ’Bapak Kedokteran
Muslim’ yang dikenal dengan sebutan Aviecena. Ibnu Sina sebelum meninggal telah
menulis kitab sejumlah kurang lebih 276 karya. Karyanya yang sangat monumental al
Qonun fi al Tibb telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin di Toledo,
Spanyol pada abad ke-12. Buku ini juga telah dijadikan rujukan utama di
universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17.[9]
C. Tradisi Ilmu Barat
Barat sebagai ikon peradaban
modern saat ini tidak bisa hanya dipahami atau dilihat sebagai suatu peradaban
yang begitu saja hadir menjadi peradaban yang mapan. Akan tetapi, peradaban
Barat memiliki pengalaman masa lalu yang sangat berpengaruh pada karakter dari
peradaban Barat itu sendiri. Salah satunya adalah pengalaman beragama
masyarakat Barat. Ini juga salah satu unsur kuat yang membedakan karakter dari
peradaban Barat dengan perdaban lainnya.
Banyak ilmuwan merumuskan
bahwa agama merupakan unsur pokok dalam suatu peradaban. Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang
menentukan karakteristik suatu peradaban. Sebab itu, Bernard Lewis, menyebut
peradaban Barat dengan sebutan”Christian Civilization”, dengan unsur utama
agama Kristen. Samuel P. Huntington juga menulis bahwa agama adalah unsur utama
karakter peradaban. Menurut Christopher Dawson, semua agama besar dunia menjadi
elemen utama dari peradaban besar.[10]
Pada bagian ini akan diurai
akar kebudayaan Barat yang bermula pada abad pertengahan Eropa. Abad ini
merupakan masa paling kelam dalam periode sejarah Eropa. Sebab itu, mereka
menamakan masa ini dengan The Dark Age (Abad Kegelapan). Ini sangat
berbeda sekali dengan kondisi ummat Islam pada abad pertengahan. Pada saat itu
mereka mengalami suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang sophistecated di
segala bidang.
Abad pertengahan dimulai sejak
abad II Masehi, yaitu sejak Kaisar Konstantin Agung masuk Kristen dan
menyatakannya sebagai agama resmi Imperium Romawi.[11]
Sejak masa ini, Eropa berada di bawah tekanan dan penindasan yang dilakukan
oleh penguasa gereja dan negara. Sejak masa ini pula, kebebasan dikekang dan
akal dibelenggu sehingga ilmu pengetahuan tidak memperoleh kemajuan.[12]
Keadaan Eropa pada abad
pertengahan sungguh dalam kondisi yang terbelakang. Dr. Muhammad Sayyid Al
Wakil menukil perkataan seorang penulis Amerika yang menggambarkan keadaan
Eropa pada masa itu, ”Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa
terlihat gelap gulita. Di
sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat
kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa sangat
kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa
tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap
istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi
dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya
sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah.[13]
Setelah adanya sentuhan dengan Dunia Islam melalui konflik-konflik
bersenjata, seperti dalam Perang Salib, maupun melalui cara-cara damai seperti
di Andalusia, Eropa mulai tertarik dengan Islam. Pada Perang Salib orang-orang
Kristen mendapati hal-hal yang baru di Levant dan teknik-teknik yang tidak
dikenal di Barat. Oleh karena itu, ketika terjadi gencatan senjata, mereka
memanfaatkan kesempatan untuk mempelajari teknik-teknik baru di bidang
pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan
orang-orang Muslim.[14]
Persentuhan Eropa dengan Peradaban Islam telah
memberikan pengaruh luar biasa terhadapa kehidupan mereka. Pengaruh terpenting
yang diambil Eropa dari pergaulannya dengan ummat Islam adalah semangat untuk
hidup yang dibentangkan oleh peradaban dan ilmu Islam. Keterpengaruhan Eropa
pada peradaban Islam itu bersifat menyeluruh. Hampir tidak ada satu sisi pun
dari berbagai sisi kehidupan Eropa yang tidak terpengaruh oleh peradaban Islam.[15]
Al Qardhawi menulis bahwa metode, sekolah, universitas, ulama , dan buku
menjadi pengaruh serta penggerak kebangkitan Eropa.[16]
Hamid Fahmi Zarkasyi
menjelaskan dalam bukunya bahwa hakekat dari peradaban Barat Modern adalah
periode sejarah peradaban Barat yang persisnya terjadi saat kebangkitan
masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada periode pencerahan, abad industri
dan abad ilmu pengetahuan. Periode ini didahului oleh zaman yang disebut dengan
Zaman Penterjemahan (Translation Age) khususnya penterjemahan
karya-karya Muslim dalam bidang sains (1050-1150) dari bahasa Arab ke dalam
bahasa Latin. Sebab itu, Eugene Myers dengan tegas menyimpulkan bahwa salah
satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah penterjemahan karya-karya
cendekiawan Muslim.[17]
Pada abad XV muncul gerakan renaissance,
yaitu gerakan pencerahan atau diartikan sebagai gerakan kelahiran kembali (rebirth)
sebagai manusia yang serba baru. Pada abad pertengahan ini Barat telah berhasil
keluar dari Abad Kegelapan (Dark Ages) dan mengembangkan suatu pandangan
hidup baru (new worldview) yang mengantarkan mereka kepada abad
pencerahan.[18]
Gerakan ini pada akhirnya menghancurkan otoritas gereja. Setelah adanya perjanjian
Westphalia Agreement pada tahun 1648 maka kekuasan dan otoritas paus
dalam hal ini gereja jatuh. Sehingga akhirnya kekuasaan diserahkan kepada negara
masing-masing. Maka lahirlah Nation State yang pada perjalanannya
menjadi awal dari pemisahan negara dan agama yang kemudian melahirkan sekularisme.[19]
Dari sinilah
kemudian ilmu yang berkembang di Barat menjadi jauh dari nilai-nilai agama.
Mereka mengatakan bahwa ilmu bebas nilai (free value). Ilmu bersifat
universal yang tidak ada kaitannya dengan persoalan trancendent. Ilmu
bisa dimiliki oleh siapa saja, di mana saja dan untuk apa saja, meskipun
bertentangan dengan nilai agama atau norma. Oleh karena itu, ilmu di Barat jauh
dari moralitas. Ilmu di Barat hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan
metafisik. Sebab sumber ilmu di Barat
bertumpu pada panca indera dan akal (rasio) semata.
Sebab itulah
epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka,
atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan
lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti
yang disimpulkan oleh Al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran,
apalagi hakekat kebenaran itu sendiri.[20]
Yang kemudian memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang skeptis dan atheis seperti Rene
Descartes (1596 – 1650), David Hume (1711 - 1776), Immanuel Kant (1724 - 1804),
dan lain-lain. Menurut Kant, metafisika adalah hanya ilusi transenden belaka (a
transcendental illussion).
Sebagai
sebuah pruduk Barat, penulis akan menambahkan suatu tradisi keilmuan Jepang.
Ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran lebih jelas akan letak perbedaan dan
persamaan tradisi ilmu Islam dan tradisi ilmu di luar Islam, yaitu Jepang. Menurut
sejarah Jepang, sejak tahun 660 SM Jepang adalah sebuah kerajaan feodal yang
dipimpin oleh Kaisar yang memerintah secara turun-temurun. Selama puluhan abad,
Jepang hanya mengalami sedikit saja perubahan struktur sosialnya. Sehingga
Jepang tidak banyak diketahui dunia luar, karena selain sebagai negara
kepulauan, secara geografis, Jepang terisolir dari Asia daratan dan juga
seluruh dunia. Budaya yang amat tertutup menyebabkan sepenuhnya terasing
(terisolasi) dari arus sejarah dunia. Hal ini mengakibatkan Jepang mulai
mengalami kemunduran.[21]
Namun,
keadaan ini mulai berubah ketika Mutsuhito (1852-1912) yang dikenal sebagai
Meiji, mereformasi Jepang secara mendasar. Jepang kemudian berubah dari sebuah
masyarakat yang tertutup menjadi suatu bangsa yang amat bersemangat untuk
menjalin kerja sama dan berhubungan dengan pihak lain serta berusaha menyamai
dunia luar yang lebih unggul terlebih dahulu. Sejak saat itu Kaisar menyuruh tunas-tunas muda
Jepang yang cerdas untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Hasilnya, Jepang
mengalami kemajuan yang pesat dalam segala bidang. Dalam waktu kurang dari
setengah abad, Jepang sudah menyusul dan berhasil menyetarakan kemajuan
teknologinya dengan negara-negara Eropa.[22]
Ada
beberapa faktor penyebab mengapa Jepang berhasil melakukan modernisasinya,
yakni : Pertama, Jepang sadar bahwa di sekelilingnya terdapat
kekuatan-kekuatan besar yang mengancam Jepang. Sehingga Jepang harus menjadi
kuat baik secara militer maupun ilmu pengetahuan. Selain itu, adanya perasaan
bahwa mereka adalah satu bangsa (Jepang adalah negara yang homogen suku
bangsanya). Kedua, Kaisar menjadi faktor penting dalam proses
modernisasi. Di Jepang, posisi Kaisar sangat dihormati karena ia dianggap
sebagai titisan Dewa Matahari sehingga apabila Kaisar mengatakan harus menimba
ilmu di luar negeri maka prosesnya akan mudah karena orang Jepang pasti akan
melaksanakan perintah Kaisar tersebut.[23]
Faktor yang tidak kalah
pentingnya adalah faktor pendidikan. Di mana, ketika terjadi proses Restorasi
Meiji, tingkat melek huruf orang Jepang tinggi. Sehingga ketika Jepang akan
masuk proses industrialisasi mereka sudah mempunyai sumber daya manusia yang
terampil dan terdidik. Sebelum Restorasi Meiji, pendidikan di Jepang berdasarkan
sistem masyarakat feodal yaitu pendidikan untuk samurai, petani, tukang,
pedagang serta rakyat jelata. Kegiatan itu dilaksanakan di kuil dengan
bimbingan para pendeta Budha yang disebut dengan Terakoya ( sekolah kuil ).[24]
Setelah Restorasi Meiji,
sistem pendidikan berubah yaitu dengan cara mulai menerjemahkan dan menerbitkan
pelbagai macam buku tentang ilmu pengetahuan, filsafat maupun sastra. Para
pemuda banyak yang dikirim ke luar negeri untuk belajar dan mencari ilmu bagi
kemajuan bangsa Jepang agar tidak kalah dengan bangsa lain. Kegiatan Jepang
dalam rangka memajukan bangsanya telah memberikan hasil yang signifikan.
Korelasi antara kemajuan pendidikan Jepang dan Industrinya benar-benar
terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi
negara industri utama di Asia yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat
lain seperti Inggris ataupun Perancis.[25]
Meskipun kebangkitan Jepang diawali
dengan tradisi ilmu, namun dapat dikatakan bahwa Jepang adalah suatu negara
budaya yang pada awalnya budaya ilmu belum begitu nampak kuat dalam kebudayaan
Jepang, sebab di sini dapat dilihat kuatnya pengaruh tradisi ilmu asing
terhadap kebudayaan Jepang serta pendidikan yang masih ekslusif dikalangan
masyarakat yang disebabkan sistem feodal pada saat itu. Artinya tidak sepenuhnya keilmuan tersebut
dibangun di dalam konsep-konsep kebudayaan Jepang. Meskipun Jepang mampu
mempertahankan nilai-nilai leluhur mereka. Jepang dapat dikatakan negara yang
telah berhasil menyerap, memahami, serta mengamalkan ilmu yang mereka peroleh dari
Barat untuk faedah hidup mereka tanpa menghilangkan aspek-aspek tradisi. Jepang
telah mampu menampilkan teknologi modern dengan wajah baru yang lebih progres.
D. Kesimpulan
Terdapat sebuah kaidah yang
menyatakan bahwa ’selain adanya perbedaan, juga terdapat persamaan dan
sebaliknya selain adanya persamaan, terdapat perbedaan’ (الممايزة غيرما به المشاركة ,
المشاركة غيرما به الممايزة). Meskipun Islam dan Barat
keduanya adalah peradaban yang sama-sama dibangun dengan ilmu, akan tetapi
konsep ilmu dalam Islam berbeda dengan konsep ilmu dalam tradisi Barat.
Secara historis, peradaban
Islam dibangun di atas ilmu yang berbasiskan wahyu. Ilmu di dalam Islam
berdimensi Iman. Ilmu dalam pikiran menguatkan keyakinan yang menghujam di
dalam hati. Tidak cukup berhenti pada pikiran dan hati saja, tapi haruslah
diwujudkan dalam bentuk perbuatan (amal). Sementara ilmu di Barat
berangkat dari ’meragukan segala sesuatu’(skeptik), bahkan merelatifkan
segala sesuatunya ’All is relative’. Jadi ilmu di Barat tidaklah
menghasilkan sebuah kepastian apalagi sebuah keyakinan. Sebab, di Barat ilmu
hanya sebatas pada pengalaman inderawi (visible) dan dapat dijangkau
oleh akal manusia (rasional), diluar itu bukan dikatakan ilmu
pengetahuan. Hal ini juga menunjukkan bahwa ilmu tidak bebas nilai (free
value), bahkan syarat dengan nilai karena ilmu adalah by product
dari suatu pandangan hidup suatu peradaban atau bangsa.
Seorang muslim menuntut ilmu
karena dorongan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq (معرفة الله),
sebab dengannya Ia disembah, dikenal, diharapkan dan dicintai. Berbeda di Barat
dan di Jepang, hanya dorongan untuk memuaskan nafsu kemanusiaannya di mana
manusia membutuhkan sandang, pangan, papan, peningkatan kesejahteraan dari
waktu ke waktu dan hasrat duniawi lainnya. Dapat dipahami bahwa Ilmu dalam
Islam bertujuan untuk ’Mengenal Allah Swt’. Hal ini juga yang membedakan
makna harapan, cinta, kehidupan, kemajuan, kebahagian dan lain-lain dalam Islam
dengan di Barat atau di Jepang. Wallahu A’lam bis Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Ilmiah, Islamia, Thn II No 5 April -
Juni 2005,hal.27
Fahmi Zarkasyi, Hamid, Membangun Peradaban
Islam Kembali, Makalah disampaikan dalam workshop pemikiran ideologis Forum
Ukhuwah Islamiyah daerah Istimewa Yogyakarta 15 April 2007
_____________, Liberalisasi Pemikiran Islam;
Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, Center for Islamic and Occidental Studies, ISID
Gontor-Ponorogo, 2008
Adian, Husaeni, Dari Tradisi Ilmu Ke Peradaban
Islam, Catatan untuk 5 Tahun INSIST. Dimuat dalam Catatan Akhir Pekan Di
www. Hidayatullah.com.
Armas, Adnin, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi
Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Disampaikan pada kuliah Universitas
Muhammadiyah Surakarta Tahun 2007.
_____________, Krisis Epistemologi Dan
Islamisasi Ilmu.Gontor Darus Salam: CIOS.2007
Fahrur Mu’is, dkk, Makalah : Sumbangan Islam
Terhadap Kebangkitan Peradaban Eropa, Seminar Kelas Matakuliah Sejarah
Pemikiran Dan Peradaban Islam, 2008.
Fitriciada, Idul, Diktat Matakuliah Filsafat Hukum,
disampaikan dalam seminar kelas tanggal 2 November 2008.
[1]Jurnal Islamia, Thn II No 5 April - Juni
2005,hal.27
[2]Zarkasyi,Hamid Fahmi, Membangun Peradaban Islam
Kembali, (Makalah disampaikan dalam workshop pemikiran ideologis Forum
Ukhuwah Islamiyah daerah Istimewa Yogyakarta 15 April 2007)hal. 7 adapun
penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di dalam Muqaddimah karya Ibnu
Khaldun. Ini dikutip dari edisi terjemahan berbahasa Inggris 3 jilid dengan
penerjemah Franz Rosental ‘The Muqaddimah : an Introduction to History’,
editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978)hal. 54-57.
[3]Zarkasyi,Hamid Fahmi,hal.7. dalam catatan kakinya
ia menambahkan bahwa Tujuan utama Ahlus Suffah adalah belajar dan mengamalkan
Islam, seperti shalat, membaca al Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama,
berzikir serta belajar menulis. Lulusan dari sekolah masyarakat (learning
society) ini juga menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadist-hadist
nabi. Dikutip dari Abu Daud al Sijistani, Sulaiman ibn al Asha’ath, (d. 275 H) al
Sunan, 2 jilid (Egypt, Mustafa al Babi al Halabi, 1371) 2/237; Ibnu Majah,
Muhammad ibn Yazid (d.273), al Sunan, dengan komentar dari Muhammad Fuad
Abdul Baqe, (Kairo : Dar Ihya’ al Kutub al ‘Arabiyah, 1953, jilid 2,hal.70).
[4]Zarkasyi,Hamid Fahmi,hal.7, Ia menambahkan bahwa
Mengenai jumlah peserta dalam komunitas ilmuan dan materi yang dikaji, lihat
Abu Nu’aim, Ahmad ibn Abdullah al Asbahani (d.430 A.H) Hilyatul Auliya’, 10
jilid, Mesir : al Sa’adah Press, 1357, 1/339,hal.341.
[5]Zarkasyi,Hamid Fahmi,hal.7.
[7]Zarkasyi,Hamid Fahmi,hal.8
[8]Husaeni, Adian, Dari Tradisi Ilmu Ke Peradaban
Islam, Catatan untuk 5 Tahun INSIST sebagai dimuat dalam Catatan Akhir
Pekan Di www. Hidayatullah.com
[9]Armas, Adnin, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi
Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Disampaikan pada kuliah Universitas
Muhammadiyah Surakarta Tahun 2007.
[10]Husaini, Adian, Diktat Matakuliah Pemikiran Dan
Peradaban Islam yang Disampaikan dalam seminar kelas di UMS 2007,hal.1
Penjelasan lebih lanjut lihat Samuel P. Huntington, Clash of Civilization and
the Remaking of World Order, (New York : Touchtone Books,1996),47; Bernard Lewis,
Islam and the West, (New York : Oxford Univeristy Press,1993).
[11]Mu’is, Fahrur, dkk, Makalah Sumbangan Islam
Terhadap Kebangkitan Peradaban Eropa,hal.1 bisa dilihat An Nadwi, Abul Hasan
Ali. 1988. Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta : Pustaka Jaya dan Penerbit
Djambatan.hal.239
[12] Mu’is, Fahrur, dkk,hal.1 dikutip dari
Suhamihardja, Agraha Suhandi.. Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak
Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Bandung : Fakultas Sastra Unpad. 2002.hal.3
dan 18
[13]Ibid.hal.2 dikutip dari Al Wakil, Muhammad Sayyid.
Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme Modern.
Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1988.hal.321
[14]Ibid.hal.2 dikutip dari Bammate, Haidar. Kontribusi
Intelektual Muslim Terhadap Peradaban Dunia. Jakarta : Darul Falah.
2000.hal.44 - 45
[15]Ibid.hal.5 dikutip dari Quthb, Muhammad.Perlukah
Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta : Gema Insani Press. 1995.hal.251
[16]Ibid.hal.5 dikutip dari Al Qardhawi,
Yusuf. Distorsi Sejarah
Islam. Jakarta : Pustaka
Al Kautsar,2005,hal.121
[17]Zarkasyi, Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran
Islam.(Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis),Center for
Islamic and Occidental Studies (CIOS).Ponorogo,2008,hal.5
[18] Zarkasyi, Hamid Fahmi Makalah : Akar
Kebudayaan Barat,hal.4
[19]Fitriciada, Aidul, Diktat Matakuliah
Filsafat Hukum, disampaikan dalam seminar kelas tanggal 2 November 2008.
[20]Armas, Adnin, Krisis Epistemologi Dan
Islamisasi Ilmu.Gontor Darus Salam: CIOS, 2007,hal.vii-viii
[21]http://santribuntet.wordpress.com/2007/05/15/jepang-modern-tradisi-tetap-bertahan/
[22]http://santribuntet.wordpress.com/2007/05/15/jepang-modern-tradisi-tetap-bertahan/
[23]http://chickenblue.blog.friendster.com/2007/08/japanesse-people/
0 komentar:
Posting Komentar