AKAR KONFLIK
KEMUNCULAN GERAKAN
KEAGAMAAN KALAM
- Latar Belakang
Tradisi ilmiah adalah adat atau kebiasaan untuk menjalani kehidupan dengan
moda-moda keilmuan yang ditandai dengan kegiatan-kegiatan ilmiah seperti
penerjemahan, diskusi, riset ilmiah, dan penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan
tradisi ilmiah Islam sendiri merupakan tradisi ilmiah yang ditandai dengan
kegiatan penerjemahan karya-karya ilmiah Islam klasik, diskusi keilmuan yang
ada dalam Islam, riset ilmiah, dan penyelenggaraan pendidikan Islam atau yang
sesuai dengan Islam.[1]
Philip K. Hitti dalam History of the
Arabs-nya, mengatakan bahwa kebangkitan intelektual Islam di penghujung
abad ke-7 M tidak lepas dari pengaruh asing seperti Yunani, India, Persia, dan
Suriah. Dari peradaban asing inilah bangsa Arab mulai mengembangkan diri dengan
membangun tradisi ilmiahnya. Terjemahan-terjemahan karya-karya filsafat Yunani,
naskah matematika dan astronomi dari India, dan ilmu kesenian kaligrafi dari
Persia mulai bermunculan dan mulai mengisi khazanah literatur Islam.[2]
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, Ilmu Kalam
(`Ilm al-Kalam) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini
termasuk rumpun Ilmu Ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok
agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga
ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi"
arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain,
seperti Fikih, (al-Ahwal al-Syakhsyiyah, perbandingan mazdhab,
jinayah-siyasah), Ushul Fiqh, Falsafah (Islam), Ulum al-Tafsir, Ulum al-Hadist,
teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada
persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam.[3]
Ilmu Kalam adalah disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan
menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Ilmu Kalam mengarahkan
pembahasannya kepada segi-segi hakekat aqidah fundamental yang dihadapi umat
Islam dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai
Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia
dalam agama Kristen, misalnya. Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen,
Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia. Berbagai persoalan umat ini menimbulkan
kontroversi sehingga memecah ke dalam berbagai golongan. Di antara persoalan
kalam yang terkenal adalah masalah sifat Tuhan, status al-Qur’an, penciptaan
dunia, kausalitas, takdir dan kehendak bebas.[4]
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman,
Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum
Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan
sebagai Ilmu Aqa'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul
[Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu
Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Kajian tentang
Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan.
Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas,
Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam
ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan
Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama.[5]
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu
Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri"
masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang
praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidani masalah-masalah peribadatan dan hukum
itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam.
Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup
terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau
sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal
ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita,
khususnya di pesantren-pesantren. Untuk pengajaran Ilmu Kalam, yaitu dimulai
dengan kitab 'Aqidat al-'Awam (Akidah Kaum Awam), diteruskan dengan Bud'u
al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama
Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena
dikarang oleh seorang bernama al-Sanusi).
Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau
sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun
klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar
terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang. Sama
halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh
beberapa abad setelah wafat Nabi Saw. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin Islam
lainnya, Ilmu Kalam sangat erat kaitannya dengan kekhalifahan dalam Islam.
Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa
pembunuhan khalifah 'Utsman Ibn 'Aff'an ra. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah
Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar),
sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan
agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan
paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan
penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik
tolak dari Fitnah Besar itu.
Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan".
Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan"
dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang
bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah
rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan
sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara
harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah
terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos
juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya
logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq
('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiq" berarti "logis".
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam
amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Hal ini bersama dengan
Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka
menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang
peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah
menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah
terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah
itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang
giat seperti Damaskus, Antokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun,
meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau
Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur
sebagai pusat Hellenisme Persia.
Berangkat dari sinilah makalah ini diangkat, sebagai upaya untuk
menjelaskan serta melakukan analisa kritis terhadap beberapa hal yang terkait
dengan sebab-sebab munculnya Ilmu Kalam dari sisi historis, mengingat
sebagaimana uraian di atas bahwa ilmu ini muncul beberapa abad setelah wafatnya
Nabi Saw. Jadi makalah ini lebih bersifat deskriptif analitis atas fenomena
atau peristiwa yang melatarbelakangi kemunculan Ilmu Kalam yang diawali dengan
kemunculan gerakan politik dan menimbulkan beberapa aliran politik. Sebelum
membahas masalah-masalah tersebut, dalam makalah ini akan dibahas secara
ringkas proses pengangkatan kedua khalifah sebelum kekhalifahan Utsman bin
Affan.
Karena penulis menganalisa bahwa inti persoalannya adalah pada masalah
kekuasaan, yaitu pengangkatan khalifah serta terbunuhnya khalifah yang sah
yaitu Utsman yang diakibatkan oleh adanya al Fitnah al Kubra yang
dilakukan oleh sekelompok orang atau oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh
karena itu penulis akan mencoba menganalisa serta memberikan interpretasi yang
didasarkan kepada beberapa referensi yang otoritatif semisal buku History of
Arabs karya Philip K.Hitti, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam karya Muh.
Abd. Karim, Islam dari Masa ke Masa karya Ahmad Amin, dan lain-lain.
B. Pra
Kekhalifahan Utsman bin Affan
Pada hari itu merupakan peristiwa yang menggemparkan dan menyedihkan bagi
kaum Muslimin setelah mendengar bahwa Rasulullah Saw. telah berpulang ke rahmatullah.
Adalah sahabat Umar bin Khattab ra. ketika mendengar peristiwa itu, ia tidak
percaya kalau Rasul telah tiada, ia mengatakan kalau Rasul Saw. tidak wafat, tetapi
sedang pergi menemui Rabbnya sebagaimana Musa bin Imran dan beliau tidak
akan mati sampai orang-orang munafik punah. Hingga datanglah Abu Bakar menemui
orang-orang seraya berkata, “Wahai manusia ! Barangsiapa di antara kalian
menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal dan
barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak
mati.[6]
Allah berfirman,
‘Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang (murtad) ? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur’. (Q.S Ali Imran [3] : 144)
Ketika
mendengar ayat yang dibaca Abu Bakar tersebut, orang-orang serentak ikut
membacanya. Sementara Umar ra. berkata,”Demi Allah, setelah kudengar Abu Bakar
membaca ayat tersebut, aku merasa tidak berdaya, kedua kakiku lemas sehingga
aku duduk ke tanah karena aku mendengar dia membacakan bahwa Nabi Saw. telah
meninggal dunia.[7]
Setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar ditunjuk sebagai penerus Nabi melalui
pemilihan. Peristiwa ini berlangsung di Tsaqifah bani Sa’idah.
Menjelang wafatnya, Abu Bakar meminta pendapat
sejumlah sahabat generasi pertama yang tergolong ahli syura. Mereka
seluruhnya sepakat untuk mewasiatkan khalifah sesudahnya kepada Umar bin
Khattab ra., At-Thabari, Ibnu Jauzi, dan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Abu
Bakar ra. khawatir kaum Muslimin berselisih pendapat sepeninggal beliau
kemudian tidak memperoleh kata sepakat. Karenanya ia mengajak mereka –ketika
sakitnya semakin berat- agar mencari khalifah sepeninggalnya.[8]
Dari sini, kita mengetahui, bahwa khilafah Umar berlangsung berdasarkan masyurah
dhimniyah (syura implisit) yang termasuk ke dalam kesepakatan
sahabat dalam menyetujui orang yang dipilih Abu Bakar untuk mereka.
Khalifah
kedua Umar bin Khattab (634-644) dinobatkan sebagai khalifah pertama yang
sekaligus memangku jabatan panglima tertinggi pasukan Islam, dengan gelar
khusus Amir al-Mu’minin (panglima orang-orang beriman). Menjelang
wafatnya, Umar diriwayatkan telah membentuk sebuah dewan formatur yang beranggotakan
enam orang antara lain Ali bin Abi Thalib, ‘Ustman bin ‘Affan, Zubayr bin
al-‘Awwam, Thalhah bin ‘Abdullah, Sa’id bin Abi Waqqash, dan ‘Abd al-Rahman bin
‘Auf, dengan ketentuan bahwa anaknya tidak boleh dipilih sebagai penggantinya.
Pembentukan dewan yang disebut sebagai al-Syura ini, yang meliputi para
sahabat tertua dan terkemuka.[9]
Alasannya
membentuk tim tersebut, bahwa ia tidak sebaik Abu Bakar yang bisa menunjuk
seseorang sebagai penggantinya. Akan tetapi ia juga tidak sebaik Nabi Muhammad
untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka diambil jalan tengah
yaitu dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah menentukan pengganti
dirinya. Ketika ditanya para sahabat, mengapa Umar ambil jalan tengah ? Tidak
membiarkan atau menunjuk penggantinya seperti Nabi membiarkan kepada rakyat
sedang Abu Bakar menunjuk langsung penggantinya ? Umar berkata sebagai berikut;[10]
…kalau aku mengangkat penggantiku, telah ada orang yang lebih baik dari
yang memilih pengganti dan kalau aku biarkan menurut kehendak rakyat, maka
telah ada pula orang yang lebih baik dari pada aku membiarkannya…[11]
Setelah
melakukan voting, pemungutan suara dalam tim tersebut, maka terpilihlah Utsman
bin ‘Affan sebagai khalifah, pengganti Umar. Dalam sejarah Islam itulah panitia
pemilihan khalifah pertama kali.
C. Kekhalifahan ‘Utsman bin Affan
Utsman bin Affan bin Abi ‘Ash bin
Umayyah bin Abdu Syams merupakan salah satu sahabat Nabi yang berasal dari
keluarga yang terpandang. Ia dikenal sebagai seorang pedagang yang dermawan dan murah hati. Utsman
masuk Islam berkat upaya Abu Bakar pada masa awal dakwah Islam dan merupakan
salah seorang di antara sepuluh orang yang pertama kali masuk Islam, bahkan
satu di antara sepuluh orang yang akan dijamin masuk surga dari Rasulullah.
Utsman memiliki dua sifat utama yang berbeda dengan sahabat-sahabatnya yang
lain yaitu pemalu dan pemurah. Berkenaan dengan sifat malunya itu sampai-sampai
Nabi Saw. malu padanya dan bersabda dalam hadits riwayat Muslim, “Tidakkah
engkau malu pada seorang lelaki di mana malaikat pun sangat malu padanya”.
Sedangkan sifat pemurahnya melebihi orang-orang dari kalangan Quraisy
selainnya.[12]
Utsman menikah dengan dua orang
putri Nabi, yaitu Raqayyah dan Ummi Kaltsum, karenanya, ia dijuluki Dzun
Nurain. Ia mengikuti semua perjalanan Nabi serta pernah diutus Nabi kepada
orang-orang Quraisy pada tahun ke 6 H/627 M untuk memberitahukan kepada
penduduk Makkah bahwa Nabi datang untuk menunaikan umrah saja. Nabi dan kaum
Muslimin berhenti di Hudaibiyyah dekat Mekkah. Pada Perang Tabuk tatkala
pasukan Islam berada dalam kesulitan yang sangat ia menyumbangkan 950 unta, 50
kuda, dan datang kepada Nabi dengan membawa 1.000 dinar. Maka melihat perbuatan
itu, Nabi bersabda, “Tidak ada yang membahayakan Utsman apa pun yang akan ia
lakukan setelah ini”. Saat Nabi meninggal, beliau dalam keadaan sangat
cinta kepada Utsman. Sementara pada masa pemerintahan Abu Bakar ia dianggap
sebagai orang kedua setelah Umar bin Khattab. Adapun pada masa pemerintahan
Umar ia diposisikan sebagai orang kedua setelah Umar.[13]
Telah disebutkan, bahwa menjelang
wafatnya Umar membuat tim formatur untuk memilih calon khalifah. Akhirnya
Utsman bin Affan (644-656 M) terpilih menjadi Khalifah III dari al Khulafa ar
Rasyidin, pengganti Umar. Dalam sebuah riwayat menyebutkan, bahwa
Abdurrahman bin ‘Auf sebagai ketua tim pelaksana pemilihan khalifah, pasca
wafatnya Umar, berkata kepada Utsman di suatu tempat sebagai berikut;[14]
“Jika
saya tidak membayarmu (Utsman), maka siapa yang kau usulkan ? Ia berkata,
“Ali”. Kemudian Abdurrahman berkata kepada Ali, jika saya tidak membai’atmu,
maka siapa yang kau usulkan untuk dibai’at? Ia berkata, “Utsman”. Kemudian
Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya, ternyata secara
mayoritas memilih Utsman sebagai Khalifah”.[15]
Memperhatikan percakapan dari dua
sahabat tersebut, maka tampaklah bahwa sesungguhnya Utsman dan Ali tidak
ambisius menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk
menetukan khalifah secara musyawarah. Fakta penting inilah yang sering
dikaburkan oleh sebagian sejarawan, yang lebih melihat bahwa antara kedua
menantu Nabi tersebut terjadi permusuhan. Dalam beberapa literatur sejarah ada
yang menyebutkan bahwa Utsman dan Ali memiliki ambisi dan ada yang beranggapan
telah terjadi konspirasi untuk menelikung Ali secara politik sejak dibentuknya
tim formatur. Ini dikarenakan bahwa sejak awal Allah dan Rasul-Nya telah
mengangkat Ali sebagai satu-satunya penerus yang sah, tetapi tiga khalifah
sebelumnya telah mencuri kekhalifahannya. Ini anggapan kaum legitimis, yaitu
kaum yang terdiri dari Ahlu an Nash dan Ahlu at Ta’yin (pengikut
ketentuan dan ketetapan Tuhan) yang mendukung Ali.[16]
Sebagai catatan , pemerintahan Utsman
dibagi dalam dua periode, yaitu Periode Kemajuan dan Periode Kemunduran.
Pembagian ini hanya untuk memberikan catatan terhadap peristiwa yang terjadi
pada masa pemerintahannya, sehingga dapat dipahami posisi Utsman kala itu. Ini
juga untuk menepis beberapa anggapan sejarawan yang menyatakan Utsman sebagai
biang terjadinya Fitnah Kubra. Adapun Periode Kemajuan pemerintahan Utsman
membawa kemajuan luar biasa, sebagaimana yang dicatat oleh Muhammad Abd. Karim
dalam bukunya yang menyatakan bahwa berkat jasa para panglimanya yang ahli dan
berkualitas, di mana peta Islam sangat luas dan bendera Islam berkibar dari
perbatasan Aljazair di al Maghrib, di Utara sampai ke Aleppo dan
sebagian Asia Kecil, di Timur Laut sampai ke Transoxiana, dan di Timur seluruh
Persia, bahkan sampai di perbatasan Balucistan serta Kabul, dan Ghazni.
Selain
itu, ia berhasil membentuk armada laut dengan kapalanya yang kokoh dan menghalau serangan-serangan di Laut Tengah
yang dilancarkan oleh tentara Byzantium dengan kemenangan pertama kali di laut
dalam sejarah Islam. Namun sebaliknya, pada masa Periode II kekuasaannya
identik dengan kemunduran dengan huru-hara dan kekacauan yang luar biasa sampai
ia wafat. Periode Kemunduran dari pemerintahannya ini banyak para sejarawan
yang mencatat diakibatkan oleh tindakan Utsman sendiri.[17]
Ahmad
Amin dalam bukunya “Islam Dari Masa Ke Masa”[18]
menjelaskan bahwa Khalifah Utsman bin Affan selama enam tahun pertama dari masa
kekhalifahannya menempuh kebijaksanaan yang adil dan lunak. Akan tetapi, enam
tahun berikutnya dalam usianya yang semakin lanjut, ia tunduk kepada kaum
kerabatnya, yaitu orang-orang Bani Umayyah. Ia menyerahkan roda pemerintahannya
kepada Hakam bin Marwan, dan Hakamlah yang mengangkat pejabat tinggi dan
penguasa negara. Hampir senada dengan keterangan Ahmad Amin, Maduddi dan Philip
Hitti menilai bahwa Utsman melakukan Nepotisme. Ia mengangkat sanak saudaranya
dalam jabatan-jabatan strategis yang paling besar dan paling banyak menyebabkan
suku-suku dan kabilah-kabilah lainnya merasakan pahitnya tindakan Utsman
tersebut.[19]
Dalam
bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Muhammad Abd. Karim
menyebutkan beberapa fakta tindakan yang dilakukan oleh Utsman pada akhir masa
pemerintahannya yang selanjutnya menjadi protes bala api yang nyalanya sangat tinggi.
Antara lain pemecatan para pejabat negara dan para panglima era Umar dan hampir
semuanya dipecat oleh Utsman, kemudian mengangkat dari keluarga sendiri yang
tidak mampu dan tidak cakap sebagai pengganti mereka. Adapun para pejabat
negara semasa Utsman yang berasal dari familinya dan keluarga dekat, di antaranya
adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam, satu suku dan keluarga dekat
Utsman. Oleh karena itu, Utsman diklaim
bahwa ia telah ber-KKN.[20]
Selanjutnya
di Basrah yang semula dikepalai oleh Abu Musa al Asy’ari, diganti dengan sepupu
Utsman, Abdullah bin Amir. Sementara di Kufah Sa’ad bin Waqqas diganti dengan
Walid bin Uqbah, saudara tiri Utsman. Kemudian Sa’id bin ‘Ash, diangkat
pada posisi tersebut juga saudara sepupu
Utsman yang kasar dan memihak kepada kepentingan keluarga dan Arab (Umayyah),
di mana rakyat protes karena ia menciptakan jurang antara Arab dan non Arab
menghasilkan banyak rakyat pribumi menjadi kehilangan tanah dan mata pencarian.
Di Mesir Amar bin ‘Ash diganti dengan saudara susuan Utsman yaitu Abdullah bin
Sa’ad bin Abi Sarah. Tidak hanya itu, kasus lain pada masalah pembagian ghanimah
(harta rampasan perang), Abdullah diberikan al khumus (1/5) secara cuma-cuma
dan menjual sisa al mal al ghanimah dengan harga murah kepada saudara sepupu
dan ipar Utsman yaitu Marwan bin Hakam. Ia juga diangkat sebagai sekretaris
negara yang dituduh memalsukan surat khalifah yang menyebabkan akhirnya
khalifah terbunuh di tangan para pembangkang.[21]
Muhammad
Abd. Karim menambahkan, perlu diketahui, bahwa terbunuhnya Utsman merupakan
akibat dari tuduhan yang menyebutnya berlaku nepotis. Para sejarawan
mengemukakan sebab-sebabnya sebagai berikut; Pertama, menyalahgunakan
uang negara yang diberikan kepada keluarga. Kedua, pengangkatan para
kepala daerah dari keluarga Utsman.[22]
Kebijakan Utsman yang diterapkan pada masa akhir kepemimpinannya ini, sejarah
menyebutnya dengan Periode Kemunduran, di mana sejarah masa akhir
pemerintahannya tercatat dengan tinta hitam yang memberikan kesan dan persepsi
negatif kepada hampir seluruh umat Islam kepada salah seorang sahabat Nabi yang
dicintainya.[23]
Akibat
dari tindakan Utsman itu, para sahabat banyak yang melakukan kritik
terhadapnya, bahkan mereka meminta untuk mundur. Di antara sahabat senior yang
melakukan protes terhadapnya antara lain Ali bin Abi Thalib, Zubair, Thalhah
dan lain-lain. Mereka mengkhawatirkan akan berakibat timbulnya hal-hal yang
dapat memecah belah kaum Muslimin sehingga dimanfaatkan oleh orang atau
sekelompok orang yang menginginkan persatuan umat Islam melemah. Namun, apa
yang dikhawatirkan itu terjadi juga dengan ditandai meletusnya “Tragedi
Sab’iyyin” yang berkedok agama. Padahal sebenarnya gerakan tersebut adalah
gerakan pembangkangan politik yang bertujuan mengkudeta, merusak citra
khalifah, menimbulkan chaos (kekacauan) dalam tubuh Islam, memecah belah suara
serta menggoyang persatuan kaum Muslimin.[24]
Karena
desakan serta permintaan yang dilakukan oleh para sahabat senior lain tidak
digubris, sebaliknya malah khalifah melakukan pemecatan terhadap beberapa
sahabat senior yang diangkat pada masa pemerintahan Umar sebagaimana yang
dijelaskan di atas, maka pada akhir pemerintahannya banyak terjadi huru-hara
baik yang bermotif agama maupun yang bermotif politik. Sehingga sulit untuk
membedakan antara motif agama dan motif politik. Maka di sini penulis mencoba
untuk mengelompokkan sebab-sebab konflik politik untuk mendapatkan analisa yang
akurat. Adapun huru-hara tersebut terjadi disebabkan karena;
a.
Pemecatan Amr ibn al-Ash dari jabatannya sebagai gubernur yang mengambil
hati rakyat dengan memungut pajak sesedikit mungkin membuat situasi menjadi
kacau antara Mesir Selatan dimana Abdullah sebagai amil yang memungut pajak dua
kali lipat daripada Mesir Utara, kebijakan ini telah menimbulkan keresahan di
kalangan rakyat Nubia. Karena adanya persoalan kebijakan pertanahan yang
memancing rakyat tidak suka terhadap kepala daerah yang akhirnya mereka yang berada
di Kufah, Basrah dan Mesir datang ke Madinah untuk protes terhadap kelakuan
para kepala daerah yang tidak memihak kepada pribumi, contohnya Sa'id yang
menomorsatukan orang Arab Quraisy dari pada pribumi.[25]
b.
Propaganda Yahudi Abdullah bin Saba’ untuk memusuhi Utsman dan mendukung
Ali seperti dicatat dalam Syarah Ibnu Abi al-Hadid jilid I hal.425 sebagai
berikut: Dia (Ibn Saba’) berdiri dihadapan Ali saat sedang berkhutbah, dan
mengatakan kepada Ali, ”Kamu adalah Kamu”, lalu Ali menjawab, ”Siapakah Kamu !
Siapakah aku?” Ibnu Saba’ lalu mengatakan, ”Kamu adalah Allah”. Amirulmu’minin
telah memerintahkan, setelah mendengarkan ungkapan tersebut, untuk membunuhnya.
Namun setelah dimaafkannya…Ali ibn Abi Talib cukup hanya dengan membuangnya ke
Madain[26].
Saat rakyat kehilangan mata pencaharian akibat dikuasainya tanah-tanah
produktif diluar Arab oleh orang Arab, mereka datang ke Madinah pada musim Haji
untuk menuntut keadilan, khalifah memerintahkan mereka pulang kedaerahnya dan
akan diterima oleh gubernur dengan baik, disinilah Ibn Saba mengacaukan
situasi. Ditemukannya surat yang intinya “perintah khalifah kepada para amir
setibanya mereka ke daerah masing-masing (terutama Basrah, Kufah dan Mesir),
bunuhlah mereka[27].
Khalifah membantah bahwa surat ini berasal dari Marwan sekretaris Negara,
bahkan khalifah tidak mau memenuhi tuntutan untuk menyerahkan Marwan sekaligus
meletakkan jabatan khalifah, akibatnya khalifah dibunuh.
c.
Propaganda kotor yang dilancarkan oleh Walid setelah dipecat oleh Khalifah
d.
Khalifah kurang memanfaatkan tentara yang kala itu cukup handal, justru
dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba.
e.
Dibuangnya Abu Dzar al-Ghifari oleh Bakhs ke Madinah yang kemudian dibuang
ke Rabaza daerah gurun pasir, karena ia menyarankan agar orang kaya
mengeluarkan zakat dan ini dinilai berbau politik, beliau meninggal dalam
keadaan lapar. Perlakuan pembela kaum miskin inilah menimbulkan kemarahan
rakyat
f.
Usia Khalifah yang sudah lanjut (wafat usia 82 tahun) menyebabkan beliau
tidak mampu mengatasi situasi pada saat timbulnya kekacauan. Khalifah terbunuh
oleh pembangkang yang sudah kehilangan mata pencarian (tanah produktif), mereka
inilah orang Arab pada masa Khalifah Umar dilarang menguasainya, dan mengadakan
transaksi jual beli antara Arab dan Pribumi. Menurut M. Abdul Karim penyebab
khalifah dibunuh adalah disamping usia beliau yang sudah lanjut juga karena
persoalan ekonomi yang menjadi sumber pembunuhan khalifah. Kebijakan ekonomi
Khalifah Utsman tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang diterapkan
Khalifah Umar setelah penaklukan ibu kota Persia, Madain dimana tentara Islam
memperoleh kemenangan yang gemilang dan memperoleh ghanimah yang melimpah
menyebabkan orang Arab ingin menguasai tanah-tanah subur disana juga
tanah-tanah produktif di Kufah, Basrah, Mesir dll. Atas persetujuan Majlis
Syura dimana para anggotanya pernah walk out dari sidang yang sangat penting sebanyak
dua kali dan tidak sependapat dengan pendapat Umar (karena kebijakan Nabi,
tentara akan mendapat 4/5 al-Ghanimah menjadi hak mereka dan sisa al-Khumus
menjadi hak Nabi, menjadi milik Negara. Dan adanya larangan transaksi jual beli
tanah oleh orang Arab di luar Arab, dekrit ini ditetapkan dengan beberapa
pertimbangan, jika tentara menguasai tanah di luar Arab. Beberapa pertimbangan
tersebut adalah :
§
Mutu tentara akan menurun karena mereka tidak bersemangat untuk latihan
perang melainkan sibuk untuk mengurusi sawah.
§
Produksi akan menurun, akibat tanah dikelola tidak professional.
§
Kas negara akan kehilangan pendapatan sebanyak 80%
§
Karena dikuasainya tanah produktif oleh orang Arab, rakyat kehilangan mata
pencarian dan menjadi penganggur, mengakibatkan akan mudah berontak terhadap
pemerintah,[28]
akhirnya pada sidang ketiga anggota majlis menyetujuinya, kemudian dikenal
dengan Kebijaksanaan Pertanahan Umar dan inilah faktor utama mengapa Khalifah Usman terbunuh.
Dari uraian singkat di atas dapat diambil
sebuah kesimpulan akan hal-hal yang menjadi akar konflik atau latar belakang
historis kemunculan gerakan politik yang mana Al-Wakil dalam bukunya
menyebutkan dengan istilah “Tragedi Sab’iyyin” yang kemudian menjadi
cikal bakal kemunculan Ilmu Kalam. Dalam hal ini penulis merinci beberapa hal
sebagai berikut;
2)
Kebutuhan generasi lanjut muslim (yang tidak menyaksikan pewahyuan seperti
generasi sahabat) akan penataan dan kategorisasi ajaran, dan argumentasi
teologis yang lebih rasional.
3)
Pertemuan dengan pemeluk-pemeluk Yahudi, Nasrani, Sabean dan Zoroaster yang
mempertanyakan klaim-klaim teologi Islam dan ini membutuhkan jawaban yang
memuaskan sebelum mereka kemudian masuk Islam.
D. Kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib
Pada
hari keenam pasca terbunuhnya Utsman, Ali bin Abi Thalib ra terpilih menjadi
Khalifah, walaupun sebelumnya menolak dan mereferensikan agar kaum muslimin
memilih Thalhah dan Zubair.
Persoalan
pertama yang dihadapi adalah Thalhah dan Zubair yang mewakili Mekah yang
memiliki pengikut di Hijaz dan Iraq yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali.
Ummul Mukminin ‘Aisyah ra tidak mencegah, namun justru membantu para
pemberontak/ pembunuh Utsman dan bergabung dengan mereka menentang Ali ra di
Basrah. Di luar Basrah 9 Desember 656 Ali berperang dan mengalahkan pasukan
gabungan dalam pertempuran yang dikenal sebagai Perang Jamal/Unta. Sahabat Thalhah
dan Zubair terbunuh, dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, sementara Aisyah ra
kalah perang dan tertangkap Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ra ke
Madinah[29]
Khalifah
Ali memecat para Gubernur yang sewenang-wenang yang diangkat oleh Utsman,
termasuk Mu’awiyah di Syam, karena dianggap sebagai provokator yang menuntut
Ali agar turun dari jabatan politik yang baru di dudukinya. Ali menarik tanah
yang dihadiahkan Utsman kepada pendukungnya dan hasil tanah tersebut diserahkan
ke kas Negara. Di samping itu Ali berusaha mengembalikan pemerintahan Islam
seperti masa Umar[30]
Selain itu ‘Aisyah, bersama Thalhah dan Zubair meminta Ali segera mencari dan
menghukum para pembunuh Utsman. Kondisi kacau tersebut mengakibatkan perang
saudara yaitu perang Jamal, Siffin dan Nahrawan, akhirnya Ali memindahkan ibu
kota dari Madinah ke Kufah (Januari 657M), dikarenakan para pengikut Ali yang
terbanyak di Kufah.
Pada
saat drama perang Shiffin (26 juli 657 M) yang mempertemukan kekuatan Mu’awiyah
dan Ali tejadi perang urat saraf atau adu taktik dan kelicikan. Atas usulan Amr
ibn al-Ash, Mu’awiyah menawarkan perdamaian dengan mengangkat al-Qur’an,
akhirnya perang berhenti. Peristiwa ini disebut peristiwa tahkim (arbitrase).
Kelompok Ali yang menentang kebijakannya untuk berhenti perang disebut Khawarij
di bawah pimpinan Abdullah ibn Wahab al-Rasybi sebanyak 12.000 orang dan
mereka berkumpul di Harura. Selanjutnya, mereka membuat anggaran dasar dan
menyatakan diri sebagai kekuatan politik di luar Ali dan Mu’awiyah. Dua
tahun kemudian, di Dumatul Jandal
bertemu antara pihak Ali dan Mu’awiyah masing-masing berjumlah 400 orang dan
diketuai Abu Musa al-Asy’ari dan Amr ibn al-Ash.akhirnya tahkim gagal, mulai
saat itu pula kelompok Ali banyak yang keluar dan bergabung dengan Khawarij
yang sudah lahir sebelumnya,[31]
bagi Khawarij ada dua hal penting yang menjadi pandangannya, politik dan
keagamaan.
Di bidang politik Khawarij memiliki pemahamaan seorang
khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat, baik dari bangsa Arab atau ‘Ajam
(non Arab). Mereka berusaha mengeliminir keutamaan Arab atas non Arab, bahkan
sebagian mereka berpendapat bahwa orang ‘ajam lebih baik dari bangsa Arab,
menurut Khawarij seorang perempuan boleh memegang kekuasaan, jika memang mampu
menyelenggarakan roda pemerintahan dan memenuhi kriteria sebagai seorang kepala
Negara. Dengan demikian apa yang terjadi antara Ali dan Muawiyah merupakan
sebuah kesalahan karena keduanya tidak berangkat dari pemilihan oleh rakyat,
selain itu, Khawarij juga meyakini bahwa khalifah tidak diperlukan, namun cukup
dengan badan khusus sebagai penyelenggara pemerintahan[32]
Dalam pandangan keagamaannya jika seorang muslim tidak
menjalankan shalat, maka ia wajib dibunuh dan jika seseorang yang meninggal
dunia tanpa taubat terlebih dahulu, maka ia akan masuk neraka selamanya, dengan
demikian, tanpa amal sholeh, maka seseorang sama halnya dengan kafir. Seseorang
yang tidak bersih hati nuraninya, maka ia termasuk murtad dan masuk neraka
selamanya. Sikap mereka terhadap umat Islam selain golongan Khawarij keras dan
tegas tetapi terhadap non muslim (Yahudi dan Nasrani) mereka bersikap lunak.
Mereka beranggapan bahwa Ali, Amr dan Muawiyah adalah kafir, karena atas ulah
mereka banyak menewaskan kaum muslimin, mereka juga menolak surah Yusuf menjadi
bagian dari al-Qur’an, karena surah ini terlalu menjelaskan hal-hal keduniaan,
cinta[33]
Perkembangan selanjutnya, kelompok Khawarij banyak
melakukan huru-hara pada masa pemerintahan Ali. Kelompok ini berhadapan dengan
pasukan Ali di nahrwan sebanyak 65.000 orang,
peristiwa ini menewaskan 30.000 orang khawarij, mereka beranggapan bahwa
peristiwa tersebut sepadan dengan peristiwa yang terjadi di Karbala semasa
Yazid ibn Mu’awiyah. Sebagian yang tewas adalah Bani Tamim dari Kufah. Pada
akhirnya kemarahan kelompok Khawarij dan Abdurrahman ibn Muljam menyebabkan
Khalifah Ali terbunuh saat sedang memasuki masjid untuk shalat pada tanggal 24
Januari 661 M[34]
Pengikut Ali disebut Syi’ah Ali (Pengikut Ali) yang kita
kenal dengan kelompok Syi’ah, mereka tidak mengakui kekhalifahan sebelum Ali
ra. Bagi Syiah Imam adalah seseorang yang ma’shum, yang diucapkannya adalah
ucapan Tuhan. Kalimat syahadat ditambah dengan kalimat Ali Kalifatullah.
Kelompok syi’ah al-Ghurabiah percaya bahwa wahyu sebenarnya diturunkan Allah
kepada Ali ra, namun Jibril keliru. Dalam al-Qur’an ayat-ayat yang memihak
Syiah disembunyikan kaum Sunni. Ijma’ dan Qiyas tidak diperlukan karena al-Qur’an
dan Hadits yang diriwayatkan kaum Syi’ah berkedudukan di atas semua ilmu.
Salah satu tuduhan terhadap kaum Sunni bahwa kaum Sunni
menyembunyikan hadits-hadits yang menyatakan bahwa Ali ra adalah Khalifah
sesudah Nabi. Syi’ah menjadi kekuatan politik semenjak peristiwa Karbala
tanggal 10 Oktober 680 M. setelah wafatnya Ali, orang-orang Kufah mengakui
Hasan ibn Ali sebagai khalifah. Namun ia tidak pandai berperang, di bawah
pimpinan Qaisy 12.000 orang dikirim untuk melawan Mu’awiyah. Karena Qaisy
meninggal dalam peperangan, maka sisa pasukan tersebut justru berbalik
menyerang Hasan. Pada akhirnya Hasan menyerah dan mengakui supermasi Mu’awiyah
sebagai khalifah dengan syarat yaitu; dari kas provinsi Kufah dan satu distrik
di Persia menjadi hak Hasan. Mu’awiyah tidak diperkenankan mencaci maki Ali
dalam shalat. Dengan demikian Mu’awiyah memasuki Kufah sebagai pemenang,
mulailah ia membentuk emperium baru, dinasti Umayyah.[35]
E. Kesimpulan
Uraian singkat di atas sedikit memberikan gambaran bahwa
akar konflik kemunculan gerakan kalam tidak terlepas dari masalah internal kaum
Muslimin yang berawal dari persoalan politik (pemerintahan) atau pengangkatan
khalifah pasca wafatnya Rasulullah Saw. Selain itu, terbentangnya wilayah kaum
Muslimin sebagai sebuah empirium yang kuat dan tangguh menyebabkan terjadinya
akulturasi budaya, peradaban dan pemikiran, sehingga dari sini kaum Muslimin
dituntut untuk senantiasa tetap menjaga dan melestarikan keyakinannya yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Saw agar dapat survive dalam menghadapi
berbagai benturan kebudayaan bahkan peradaban.
Berawal
dari al Fitnah al Kubra yang melanda kaum Muslimin melahirkan sebuah
solusi-solusi baik berupa pemikiran politik, maupun pemikiran keagamaan semisal
Ilmu Kalam untuk merespon berbagai kemungkinan yang akan dihadapi kaum Muslimin
pada masa selanjutnya. Meskipun kelahiran Kalam berawal dari sebuah peristiwa
yang kurang sedap di dalam lembaran sejarah Islam, akan tetapi Ilmu Kalam pada
masa-masa berikutnya dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk menghadapi
serangan-serangan logika Yunani dan sebagainya untuk mempertahankan serta
menjelaskan konsep ketuhanan dalam ajaran Islam kepada agama-agama di luar Islam
atau orang-orang yang telah beragama.
Tidak
hanya pada masa lalu, pada masa saat ini beberapa konsep pemikiran kalam dapat
memberikan kontribusi kepada khazanah intelektual Muslim kontemporer sebagai
sebuah alat atau metode yang bisa digunakan untuk menepis pemikiran-pemikiran
yang dapat menimbulkan sikap keragu-raguan, bahkan kemurtadan yang dikenal
dengan ghazwul fikr (perang pemikiran). Karena Ilmu Kalam mengkaji
persoalan-persoalan fundamental dalam agama serta bagaimana memahamkannya
secara rasional kepada generasi berikutnya, walaupun dengan sebuah proses
dialektika yang amat sangat akut sebelum kemudian menjadi sebuah ilmu yang
definitif atau final menuju sebuah titik kesempurnaan. Akan tetapi yang menjadi
pertanyaan bagi penulis di sini, apakah rumusan atau konsep-konsep dalam ilmu
kalam itu sudah final atau definitif ? sehingga tidak diperlukan lagi sebuah
penggalian sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, Asy’ariyah,
dan lain-lain. Inilah yang harus kita rumuskan saat ini untuk mengantarkan
Islam kembali sebagai sebuah peradaban agung. Wallahu A’lamu bi ash Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pemikiran dan Peradaban, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003
al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah, Jakarta :
Rabbani Press, 2007
K. Hitti, Philip, History of The Arabs, Jakarta :
Serambi,cet.II,2005
Abd. Karim, Muhammad, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
Yogyakarta : Pustaka,2007
Al Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,
Jakarta : Media Eka Sarana, 2007
Amin, Ahmad, Islam Dari Masa Ke Masa, Bandung : Rosda Karya, 1991
Sayyid Al-Wakil, Muhammad, Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah Hingga
Imperialisme Modern, Jakarta : Pustaka Kautsar, Cet.V,2005
[2]Ibid,-
[3]Ibid,-
[4]Tim Penyusun, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam. Pemikiran dan Peradaban, ( Jakarta : PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2003),hal.117
[6]Muhammad Sa’id
Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, (Jakarta : Rabbani Press,
2007),hal.505
[7]Ibid.hal.505.
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan lainnya, sebagaimana Bukhari juga
meriwayatkannya dengan sedikit perbedaan lafal.
[8]Ibid.hal.534
[9]Philip K. Hitti, History
of The Arabs, (Jakarta : Serambi,cet.II,2005),hal.223
[10]Muhammad Abd.
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta :
Pustaka,2007),hal.88
[11] Ibid,hal.-
[12]Ahmad Al Usairy, Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta : Media Eka Sarana,
2007),hal.165
[13]Ibid,hal.166
[14]Muhammad Abd.Karim,
Op Cit.hal.90
[15]Ibid,hal.-
[16]Philip Hitti, Op
Cit.hal, 223
[17]Muhammad Abd.
Karim, Op Cit.hal 9. sebagaimana yang telah dinukil dari Maududi dan
Philip Hitti.
[18]Ahmad Amin, Islam
Dari Masa Ke Masa, (Bandung : Rosda Karya, 1991),hal.87
[20]Ibid,91
[21]Ibid,96
[22]Ibid,97
[23]Ibid,98
[24]Muhammad
Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah Hingga Imperialisme
Modern, (Jakarta : Pustaka Kautsar, Cet.V,2005),hal.27
[25]M. Abdul
Karim hal 97-98 mengutip dari William
Muir.1892.The Caliphate: Its Rice, Decline and Fall hal 116-117 & M. Reza
Karim.I.1972.Arab Jatir Itihas hal139-141
[26]M.Abdul Karim
hal 103 mengutip dari M. Dhiauddin Rais. 2001.Teori Politik Islam, hal 29
[27]M. Abdul
Karim hal 103 mengutip dari Rahman.1977 hal 63
[28]M.Abdul
Karim hal.101 mengutip dari Husaini.1949. hal 41-42
[29]M.Abdul
Karim hal 106-107 mengutip dari Hitti.2005. hal 223-224
[30]M. Abdul
Karim hal 107 mengutip dari Hasan.1989.62
[31]M. Abdul
Karim hal 107 mengutip dari Karim,1972,2:148-151
[32]M. Abdul
Karim hal 108 mengutip dari Rahman, 1977:67-68
[33]M. Abdul
Karim hal 108 mengutip dari Alam,1969:250-253
[34]M. Abdul
Karim hal.108-109
[35] M. Abdul
Karim hal.109-110
0 komentar:
Posting Komentar