Minggu, 19 Oktober 2014

KHIYAR



KUMPULAN HADIS TENTANG KHIYAR
oleh: Retno Dewi Zulaikah (Maha Siswi Pasca Sarjana UINSA)

A.  Hadis-Hadis Tentang Khiyar
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ :« إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْحِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَ كَانَا جَمِيْعًا أَوْ يُخَيِّرْ أَحَدُهُمَا الاۤخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا الْاۤخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ.
Artinya:
Ibnu Umar ra. Menceritakan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Jika dua orang berjual beli, maka masing-masingnya berhak khiyar, selama belum berpisah dan masih bersama-sama, atau salah seorang mereka membolehkan khiyar atas yang seorang. Jika salah seorang mereka pada mulanya menentukan hak khiyar atas yang lain, lalu mereka berjual atas dasar itu, maka jual belinya berlangsung. Tapi, jika keduanya telah berpisah sesudah berjual beli dan tidak seorang pun dari mereka meninggalkan barang yang diperjual belikan itu di tempat berjual beli, maka berjual belinya berlangsung (jadi). 

وَعَنْ عَمْرِ وبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « الْبَائِعُ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ حَتَّى يَتَفَرَّقَا, إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَفْقَةَ خِيَارٍ, وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيْلَهُ » رُوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلاَّ ابْنَ مَاجَهْ, وَرَوَاهُ الدَّارَ قُطْنِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ الْجَارُوْدِ. وَفِي رِوَايَةٍ: « حَتَّى يَتَفَرَّقَا عَنْ مَكَانِهِمَا ».
Artinya:
Amar bin Syu’aib dan neneknya ra. menceritakan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Penjual dan pembeli sama berhak khiyar, sehingga keduanya berpisah, kecuali jika ada perjanjian boleh khiyar, dan tidak halal keduanya berpisah, karena takut akan terjadi iqalah (tuntutan diurungkan)”. Dalam riwayat lain, sebelum berpisah dari majlis atau tempat mereka mengadakan jual beli.

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: ذَكَرَ رَجُلٌ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُخْدَعُ فِي الْبُيُوْعِ, فَقَالَ: « إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لاَ خِلاَبَةَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Artinya:
Ibnu Umar ra. Menceritakan bahwa ada seorang laki-laki melaporkan kepada Rasulullah SAW. bahwa ia ditipu orang berjual-beli. Beliau menjawab: jika engkau berjual beli, maka ucapkanlah kepadanya “jangan menipu sedikit pun”.[1]

B.  Kesimpulan Dari Beberapa Hadis Di Atas
Pada hadis pertama dan kedua, memberikan kesimpulan apabila jika terjadi jual beli padahal pembeli dan penjual masih ditempat berjual beli, maka masih boleh melakukan khiyar dari masing-masing, yaitu jual belinya diurungkan atau dibatalkan. Jika dua calon penjual dan pembeli membicarakan hak khiyar dan kemudian terjadilah jual beli diantara mereka, maka jual beli itu terjadi sesuai dengan khiyar yang mereka buat atau ada dan tidak adanya khiyar. Dan  jika telah terjadi jual beli serta barang-barang sudah dibawa dari tempat jual beli, maka terjadilah jual beli antara mereka dan tidak ada khiyar lagi.
Pada hadis ketiga membahas tentang tidak diperbolehkannya tipu menipu saat melakukan jual-beli, karna apabila hal itu terjadi maka akan merugikan salah satu pihak. Dan Rasulullah telah menegaskan bahwa apabila bertransaksi jual-beli tidak diperbolehkan menipu.




C.  Konsep Khiyar
1.    Pengertian Khiyar
Kata al-Khiyar dalam bahasa Arab berarti pilihan. Pembahasan al-Khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud. Secara termonologi, para ulama fiqh telah mendefinisikan al-Khiyar, antara lain menurut Sayyid Sabiq:[2]
الخيارُ هُو طَلَبُ خَيْرُ الْلأَمْرَيْنِ مِنَ الاِمْضَاءِ أَوْ الاِلْغَاءِ.
Artinya:
Khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau meninggalkan (jual-beli).

Sedangkan menurut  wahbah al-Zuhaily mendifinisikan khiyar :       
اَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَا قِدِ الْحَقُّ فِى اِمْضَاءِ الْعَقْدَ اَوْ فَسْخِهِ اِنْ كَانَ الْخِيَاَرُ خِيَارُ شَرْطٌ اَوْ رُؤْسَةٍ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَنْ يَخْتَارَ اَحَدُ اْلبَيْعَيْنِ اِنْكِانَ اْلخِيَارُ خِيَارُ تَعْيِيْنٍ
Artinya :
Suatu keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang akad ) memiliki hak untuk memutuskan akadnya yakni menjadikan atau  membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat khiyar aib, khiyar ru’yah atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin.

Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknnya. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.[3]
Jadi hak khiyar itu ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu segi memang khiyar ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak yang melakukan transaksi, khiyar ini yaitu jalan terbaik.
2.    Syarat dan Rukun Khiyar
a.       Syarat-syarat khiyar dalam literature fiqh muamalah yaitu:
1)      Barang yang dikhiyarkan hendaknya jelas
2)      Barang yang dikhiyarkan hendaklah ditentukan harganya
3)      Pembeli harus melihat barang yang dikhiyarkan
b.      Rukun khiyar yaitu:
1)      Adanya penjual dan pembeli (pelaku khiyar)
2)      Adanya barang yang dikhiyarkan
3)      Adanya akad dalam pembayaran
4)      Shigat (lafadz akad yang jelas)
3.    Macam-Macam Khiyar
Macam-macam Khiyar dibagi dalam dua aspek yaitu bersumber dari kedua belah pihak yang berakad yaitu khiyar syarat dan khiyar ta’yin dan bersumber dari syara’ yaitu khiyar majlis, khiyar aib, dan khiyar ru’yah.
a.    Pengertian Khiyar Syarat
Menurut ulama fikih khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing – masing yang akad atau selain kedua belah pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan. Misalnya, seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama sehari atau tiga hari.[4] Khiyar disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak yang akad. Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad. Sabda Rasulullah Saw:
اَنْتَ بِاِلْخِيَاِرفِى كُلِّ سَلْعَةٍاِبْتَعْتَهَاثَلاَثٍ لَيَالٍ) رواه البيهقي)      
Artinya :
“Engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” ( Riwayat baihaqi dan Ibnu Majah).

Mengenai batasan khiyar syarat ada beberapa pendapat diantaranya :
1)   Imam Hanafi berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Karena menurut mereka waktu tiga hari itu cukup untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Dengan demikian jika melewati tiga hari, jual – beli tersebut batal. Akad tersebut akan tetap menjadi shahih jika tidak melewati batas tiga hari, akan tetapi jika melewati tiga hari maka akadnya menjadi tidak sah.
2)   Imam Syafi’i berpendapat khiyar yang melebihi tiga hari membatalkan jual-beli, sedangkan bila kurang dari tiga hari, hal itu adalah rukhsah (keringanan).
3)   Imam Hambali berpendapat khiyar itu diperbolehkan menurut kesepakatan orang yang berakad, baik sebentar maupun lama, sebab khiyar syarat sangat berkaitan dengan orang yang memberi syarat.
4)   Imam Maliki berpendapat bahwa khiyar syarat dibolehkan sesuai kebutuhan.
b.    Pengertian Khiyar Ta’yin
Khiyar Ta’yin yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Contoh pada pembelian keramik, ada yang berkualitas super dan sedang. Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan pakar keramik dan arsitek. Khiyar seperti ini, menurut ulama hanafiyah yaitu boleh, dengan alasan bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin dibolehkan.
Akan tetapi jumhur ulama fiqh tidak menerima keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan ulama hanafiyyah ini. Alasan mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang diperdagangkan harus jelas, baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Dalam persoalan khiyar ta’yin bahwa identitas barang yang akan dibeli belum jelas.
Ulama Hanafiyyah yang memperbolehkan khiyar ta’yin mengemukakan tiga syarat untuk sahnya khiyar ini, yaitu:[5]
1)   Pilihan dilakukan terhadap barang sejenis yang berbeda kualitas dan sifatnya.
2)   Barang itu berbeda sifat dan nilainya
3)   Tenggang waktu untuk khiyar ta’yin itu harus ditentukan, yaitu menurut Imam Abu Hanifah tidak boleh lebih dari tiga hari.
c.    Pengertian Khiyar Majelis
Khiyar majelis merupakan hak pilih bagi kedua belah pihak untuk yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam satu majelis akad (di ruang toko) dan belum berpisah badan. Artinya, transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan, atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli. Kadang-kadang terjadi, salah satu yang berakad tergesa-gesa dalam ijab atau kabul. Setelah itu, tampak adanya kepentingan yang menuntut dibatalkannya pelaksanaan akad. Karena itu, syariat mencarikan jalan baginya untuk ia dapat memperoleh hak yang mungkin hilang dengan tergesa-gesa tadi. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW>. bersabda:
الْبَيْعَانِ بِا لْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا, فَاِنْ صَدَّقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَّبَا مُحِقَّتْ بَرْكَةُ بَيْعِهِمَا (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: 
Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya benar dan jelas maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah keberkahan jual beli mereka. ( HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya. Di rumah yang kecil, dihitung sejak salah seorang keluar. Di rumah besar, sejak berpindahnya salah seorang daru tempat duduk kira-kira dua atau tiga langkah. Jka keduanya bangkit dan pergi bersama-sama maka pengertian berpisah belum ada.
Adapun pendapat ulama’ tentang khiyar majlis yaitu:
1)   Ulama Hanafiyah dan Malikiyah           
Golongan ini berpendapat akad dengan adanya ijab qabul ini menjadi sangat penting tidak bisa hanya dengan khiyar. Selain itu juga akad tidak akan sempurna kecuali dengan adanya keridaan, sedangkan keridhaan hanya dapat diketahui dengan ijab dan qabul.
2)   Ulama Syafi’iyah dan Hambali
Golongan ini berpendapat jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, mrnjadikan, atau saling berpikir selama kedua orang tersebut masih berada di tempat.
d.   Pengertian Khiyar Aib
Khiyar aib merupakan suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecatatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad, atau sesuatu yang mengurangi nilai yang dijual. Apabila (seseorang) membeli suatu komoditi dan ia menemukan cacat padanya, maka boleh memilih (khiyar), bisa jadi ia mengembalikannya dan mengambil harganya, atau menahannya dan mengambil tambalan cacat itu. Maka dinilai komoditi yang tanpa cacat, kemudian dinilai yang cacat dan ia mengambil perbedaan di antara keduanya. Dan jika keduanya berbeda pendapat di sisi siapa terjadinya cacat itu seperti pincang (bagi binatang), dan rusaknya makanan, maka ucapan (yang diterima adalah) ucapan penjual diserta sumpahnya, atau keduanya saling mengembalikan.[6]
Khiyar aib ini kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang diperjual-belikan dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar. Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak obyek jual beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang. Tetapi menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah seluruh cacat yang menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan daripadanya.[7]
e.    Pengertian Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah adalah hak memilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli sebelum diketahui dengan jelas barangnya dan belum dilihat. Khiyar ru’yah ini dilakukan ketika melihat barang tersebut. Menurut jumhur ulama yang terdiri dari hanabilah, hanafiyah, malikiyah, zahiriyah, mengatakan bahwa khiyar ru’yah disyariatkan oleh Islam. Sedangkan ulama syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar ru’yah tidak sah, karena jual beli barang yang gaib tidak sah, meskipun barang tersebut disebutkan sifatnya waktu sighat akad. Jual beli yang tidak diketahui barangnya, ulama syafi’iyah berpendapat akan mendatangkan unsur penipuan.
Jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar ru’yah, yaitu:
1)      Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika aqad berlangsung.
2)      Obyek aqad itu berupa materi, seperti tanah, rumah, dan kendaraan.
3)      Akad tersebut mempunyai alternatif untuk dibatalkan, seperti jual beli dan sewa menyewa.
Apabila ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka khiyar ru’yah tidak berlaku dan pembatalannya harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:[8]
1)      Hak khiyar masih berlaku bagi pembeli.
2)      Pembatalan itu tidak berakibat merugikan penjual, seperti pembatalan hanya dilakukan pada sebagian obyek yang dijual belikan.
3)      Pembatalan itu diketahui pihak penjual.
Menurut jumhur ulama, khiyar ru’yah berakhir apabila pembeli menunjukkan kerelaannya melangsungkan jual beli, baik melalui pernyataan maupun tindakan serta obyek yang dieprjualbelikan hilang atau terjadi penambahan cacat oleh kedua belah pihak. Terjadi penambahan materi obyek setelah dikuasai pembeli, seperti: tanah yang sudah dibeli, sudah dibangun rumah diatasnya. Dan orang yang berakad meninggal, mengenai hal ini terjadi khilafiyah anatara ulama, hanafiyah dan hanabilah menyatakan tidak boleh diwariskan, akan tetapi malikiyah menyatakan boleh untuk diwariskan.
4.    Batasan lamanya khiyar
Ada beberapa pendapat mengenai batasan lamanya khiyar, diantaranya adalah:
a.       Menurut Abu Hanifah dan Imam Syafi’I, batasan khiyar paling lama adalah tiga hari dan tidak boleh lebih dari itu.
b.      Menurut Imam Malik, lama atau tidaknya khiyar tergantung adanya kebutuhan dan tingkat nilai barang, barang-barang yang kurang berharga boleh tidak sampai sehari, sedangkan barang yang sangat berharga bisa lebih dari tiga hari.
c.       Menurut Imam Ahmad dan Abu Yusuf, panjang maupun pendeknya khiyar tergantung kesepkatan antara penjual dengan pembeli.

5.    Implementasi Khiyar
Dalam undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dijelaskan bahwa, konsumen berhak untuk memilih dan mendapatkan kompensasi atau ganti rugi, atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya. Begitu pula dengan sebaliknya pedagang atau pelaku usaha dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk memberikan kompensasi, ganti rugi, dan penggantian apabila barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.[9]
Tapi peraturan pemerintah ini tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pedagang yang enggan melayani konsumen yang complain dan banyak kita temukan diberbagai toko-toko tulisan “barang yang sudah dibeli tidak bisa lagi dikembalikan”. Memang masih ada kita temukan dipasar, tapi hanya sedikit, tergantung pemahaman pedagang, dan ilmu yang ada padanya.













DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Kahar Mansyur, Juz I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung : PT. Al-Ma’arif
Dr. H. Abdul Rahman, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010
Rachmat Syafi’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Abd. Rahman.dkk..Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010


[1] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Kahar Mansyur, Juz I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 510
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif), 34
[3] Dr. H. Abdul Rahman,. Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), 98
[4] Rachmat Syafi’i, Fiqih Muamalah,(Bandung: Pustaka Setia, 2001), 104
[5] Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 132
[6] Abd. Rahman.dkk..Fiqh Muamalah,(Jakarta: Kencana, 2010), 100
[7] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 132
[8] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 138
[9] Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pasal 4 huruf  h.

0 komentar:

Posting Komentar