KUMPULAN
HADIS TENTANG KHIYAR
oleh: Retno Dewi Zulaikah (Maha Siswi Pasca Sarjana UINSA)
A. Hadis-Hadis Tentang Khiyar
عَنْ
اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَمَ قَالَ :«
إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْحِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا وَ كَانَا جَمِيْعًا أَوْ يُخَيِّرْ أَحَدُهُمَا الاۤخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَ
أَحَدُهُمَا الْاۤخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ, وَإِنْ
تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ
فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ
لِمُسْلِمٍ.
Artinya:
Ibnu Umar ra. Menceritakan bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda, “Jika dua orang berjual beli, maka masing-masingnya
berhak khiyar, selama belum berpisah dan masih bersama-sama, atau salah seorang
mereka membolehkan khiyar atas yang seorang. Jika salah seorang mereka pada
mulanya menentukan hak khiyar atas yang lain, lalu mereka berjual atas dasar
itu, maka jual belinya berlangsung. Tapi, jika keduanya telah berpisah sesudah
berjual beli dan tidak seorang pun dari mereka meninggalkan barang yang
diperjual belikan itu di tempat berjual beli, maka berjual belinya berlangsung
(jadi).
وَعَنْ
عَمْرِ وبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «
الْبَائِعُ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ حَتَّى يَتَفَرَّقَا, إِلاَّ أَنْ
تَكُوْنَ صَفْقَةَ خِيَارٍ, وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ أَنْ
يَسْتَقِيْلَهُ » رُوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلاَّ ابْنَ مَاجَهْ, وَرَوَاهُ الدَّارَ
قُطْنِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ الْجَارُوْدِ. وَفِي
رِوَايَةٍ: «
حَتَّى يَتَفَرَّقَا عَنْ مَكَانِهِمَا ».
Artinya:
Amar bin Syu’aib dan neneknya ra.
menceritakan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Penjual dan pembeli sama berhak khiyar,
sehingga keduanya berpisah, kecuali jika ada perjanjian boleh khiyar, dan tidak
halal keduanya berpisah, karena takut akan terjadi iqalah (tuntutan
diurungkan)”. Dalam riwayat lain, sebelum berpisah dari majlis atau tempat
mereka mengadakan jual beli.
وَعَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: ذَكَرَ
رَجُلٌ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُخْدَعُ فِي الْبُيُوْعِ, فَقَالَ: «
إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لاَ خِلاَبَةَ »
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Artinya:
Ibnu
Umar ra. Menceritakan bahwa ada seorang laki-laki melaporkan kepada Rasulullah
SAW. bahwa ia ditipu orang berjual-beli. Beliau menjawab: jika engkau berjual
beli, maka ucapkanlah kepadanya “jangan menipu sedikit pun”.[1]
B. Kesimpulan Dari Beberapa Hadis Di Atas
Pada hadis pertama dan kedua,
memberikan kesimpulan apabila jika terjadi jual beli padahal pembeli dan
penjual masih ditempat berjual beli, maka masih boleh melakukan khiyar dari
masing-masing, yaitu jual belinya diurungkan atau dibatalkan. Jika dua calon
penjual dan pembeli membicarakan hak khiyar dan kemudian terjadilah jual beli
diantara mereka, maka jual beli itu terjadi sesuai dengan khiyar yang mereka
buat atau ada dan tidak adanya khiyar. Dan jika telah
terjadi jual beli serta barang-barang sudah dibawa dari tempat jual beli, maka
terjadilah jual beli antara mereka dan tidak ada khiyar lagi.
Pada hadis ketiga
membahas tentang tidak diperbolehkannya tipu menipu saat melakukan jual-beli, karna
apabila hal itu terjadi maka akan merugikan salah satu pihak. Dan Rasulullah
telah menegaskan bahwa apabila bertransaksi jual-beli tidak diperbolehkan
menipu.
C. Konsep Khiyar
1. Pengertian Khiyar
Kata al-Khiyar
dalam bahasa Arab berarti pilihan. Pembahasan al-Khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut
transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu
hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi
beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud. Secara termonologi, para ulama
fiqh telah mendefinisikan al-Khiyar, antara lain menurut Sayyid
Sabiq:[2]
الخيارُ
هُو طَلَبُ خَيْرُ الْلأَمْرَيْنِ مِنَ الاِمْضَاءِ أَوْ الاِلْغَاءِ.
Artinya:
Khiyar
adalah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau meninggalkan
(jual-beli).
Sedangkan menurut wahbah
al-Zuhaily mendifinisikan
khiyar :
اَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَا قِدِ الْحَقُّ
فِى اِمْضَاءِ الْعَقْدَ اَوْ فَسْخِهِ اِنْ كَانَ الْخِيَاَرُ خِيَارُ شَرْطٌ
اَوْ رُؤْسَةٍ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَنْ يَخْتَارَ اَحَدُ اْلبَيْعَيْنِ اِنْكِانَ
اْلخِيَارُ خِيَارُ تَعْيِيْنٍ
Artinya :
Suatu keadaan yang menyebabkan aqid (orang
yang akad ) memiliki hak untuk memutuskan akadnya yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa
khiyar syarat khiyar aib, khiyar ru’yah atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin.
Hak
khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi
perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga
kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknnya.
Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli
dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan
terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.[3]
Jadi
hak khiyar itu ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan
timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu segi memang khiyar
ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, namun
dari segi kepuasan pihak yang melakukan transaksi, khiyar ini yaitu jalan
terbaik.
2.
Syarat dan Rukun Khiyar
a.
Syarat-syarat khiyar dalam literature fiqh muamalah
yaitu:
1)
Barang yang dikhiyarkan hendaknya jelas
2)
Barang yang dikhiyarkan hendaklah ditentukan harganya
3)
Pembeli harus melihat barang yang dikhiyarkan
b.
Rukun khiyar yaitu:
1)
Adanya penjual dan pembeli (pelaku khiyar)
2)
Adanya barang yang dikhiyarkan
3)
Adanya akad dalam pembayaran
4)
Shigat (lafadz akad yang jelas)
3.
Macam-Macam Khiyar
Macam-macam Khiyar dibagi dalam dua aspek yaitu bersumber dari
kedua belah pihak yang berakad yaitu khiyar syarat dan khiyar ta’yin dan bersumber dari syara’ yaitu khiyar majlis, khiyar
aib, dan khiyar ru’yah.
a. Pengertian
Khiyar Syarat
Menurut ulama fikih khiyar syarat adalah suatu keadaan yang
membolehkan salah seorang yang akad atau masing – masing yang akad atau selain
kedua belah pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad
selama waktu yang ditentukan. Misalnya, seorang pembeli berkata,” Saya beli
dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama
sehari atau tiga hari.[4] Khiyar disyariatkan antara
lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak yang akad. Khiyar
syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang
barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam,
terhitung dari waktu akad. Sabda Rasulullah Saw:
اَنْتَ بِاِلْخِيَاِرفِى
كُلِّ سَلْعَةٍاِبْتَعْتَهَاثَلاَثٍ لَيَالٍ)
رواه
البيهقي)
Artinya :
“Engkau
boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga
malam.” ( Riwayat baihaqi dan Ibnu Majah).
Mengenai batasan khiyar syarat ada beberapa pendapat diantaranya :
1)
Imam
Hanafi
berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak
lebih dari tiga hari. Karena menurut mereka waktu tiga hari itu cukup untuk
memenuhi kebutuhan seseorang. Dengan demikian jika melewati tiga hari, jual –
beli tersebut batal. Akad tersebut akan tetap menjadi shahih jika tidak
melewati batas tiga hari, akan tetapi jika melewati tiga hari maka akadnya
menjadi tidak sah.
2)
Imam Syafi’i berpendapat
khiyar yang melebihi tiga hari membatalkan jual-beli, sedangkan bila kurang
dari tiga hari, hal itu adalah rukhsah (keringanan).
3)
Imam
Hambali
berpendapat khiyar itu diperbolehkan menurut kesepakatan orang yang berakad,
baik sebentar maupun lama, sebab khiyar syarat sangat berkaitan dengan orang
yang memberi syarat.
4)
Imam
Maliki berpendapat bahwa khiyar
syarat dibolehkan sesuai kebutuhan.
b.
Pengertian Khiyar Ta’yin
Khiyar Ta’yin
yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas
dalam jual beli. Contoh pada pembelian keramik, ada yang berkualitas super dan sedang. Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui
secara pasti mana keramik yang super dan berkualitas sedang. Untuk menentukan
pilihan itu ia memerlukan pakar keramik dan arsitek. Khiyar seperti ini,
menurut ulama hanafiyah yaitu boleh, dengan alasan bahwa produk sejenis yang
berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti
oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak
tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka khiyar
ta’yin dibolehkan.
Akan tetapi jumhur ulama
fiqh tidak menerima keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan ulama hanafiyyah
ini. Alasan mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang
diperdagangkan harus jelas, baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Dalam
persoalan khiyar ta’yin bahwa identitas barang yang akan dibeli belum jelas.
Ulama Hanafiyyah yang
memperbolehkan khiyar ta’yin mengemukakan tiga syarat untuk sahnya khiyar ini,
yaitu:[5]
1)
Pilihan dilakukan terhadap
barang sejenis yang berbeda kualitas dan sifatnya.
2)
Barang itu berbeda sifat
dan nilainya
3)
Tenggang waktu untuk khiyar
ta’yin itu harus ditentukan, yaitu menurut Imam Abu Hanifah tidak boleh lebih
dari tiga hari.
c.
Pengertian Khiyar Majelis
Khiyar majelis merupakan hak pilih bagi
kedua belah pihak untuk yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya
masih berada dalam satu majelis akad (di ruang toko) dan belum berpisah badan.
Artinya, transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang
melaksanakan akad telah berpisah badan, atau salah seorang di antara mereka
telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli. Kadang-kadang
terjadi, salah satu yang berakad tergesa-gesa dalam ijab atau kabul. Setelah
itu, tampak adanya kepentingan yang menuntut dibatalkannya pelaksanaan akad.
Karena itu, syariat mencarikan jalan baginya untuk ia dapat memperoleh hak yang
mungkin hilang dengan tergesa-gesa tadi. Bukhari dan Muslim meriwayatkan,
bahwa Rasulullah SAW>. bersabda:
الْبَيْعَانِ
بِا لْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا, فَاِنْ صَدَّقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ
لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَّبَا مُحِقَّتْ بَرْكَةُ
بَيْعِهِمَا (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Dua
orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama belum berpisah.
Jika keduanya benar dan jelas maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka.
Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah keberkahan
jual beli mereka. ( HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya
bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah pihak ini mempunyai hak antara
melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam
kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya. Di
rumah yang kecil, dihitung sejak salah seorang keluar. Di rumah besar, sejak
berpindahnya salah seorang daru tempat duduk kira-kira dua atau tiga langkah.
Jka keduanya bangkit dan pergi bersama-sama maka pengertian berpisah belum ada.
Adapun pendapat ulama’ tentang khiyar
majlis yaitu:
1) Ulama Hanafiyah dan Malikiyah
Golongan ini berpendapat akad dengan adanya ijab qabul
ini menjadi sangat penting tidak bisa hanya dengan khiyar. Selain itu juga akad
tidak akan sempurna kecuali dengan adanya keridaan, sedangkan keridhaan hanya
dapat diketahui dengan ijab dan qabul.
2) Ulama Syafi’iyah dan Hambali
Golongan
ini berpendapat jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut
masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, mrnjadikan, atau saling berpikir
selama kedua orang tersebut masih berada di tempat.
d.
Pengertian Khiyar Aib
Khiyar aib merupakan suatu keadaan yang membolehkan salah seorang
yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika
ditemukan aib (kecatatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar
yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad, atau sesuatu yang mengurangi nilai
yang dijual. Apabila (seseorang) membeli suatu komoditi dan ia menemukan cacat
padanya, maka boleh memilih (khiyar), bisa jadi ia mengembalikannya dan
mengambil harganya, atau menahannya dan mengambil tambalan cacat itu. Maka
dinilai komoditi yang tanpa cacat, kemudian dinilai yang cacat dan ia mengambil
perbedaan di antara keduanya. Dan jika keduanya berbeda pendapat di sisi siapa
terjadinya cacat itu seperti pincang (bagi binatang), dan rusaknya makanan,
maka ucapan (yang diterima adalah) ucapan penjual diserta sumpahnya, atau
keduanya saling mengembalikan.[6]
Khiyar aib ini kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak diketahuinya
cacat pada barang yang diperjual-belikan dan dapat diwarisi oleh ahli waris
pemilik hak khiyar. Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar,
menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak obyek
jual beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang. Tetapi
menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah seluruh cacat yang menyebabkan nilai
barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan daripadanya.[7]
e. Pengertian Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah
adalah hak memilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli sebelum
diketahui dengan jelas barangnya dan belum dilihat. Khiyar ru’yah ini dilakukan
ketika melihat barang tersebut. Menurut jumhur ulama yang terdiri dari
hanabilah, hanafiyah, malikiyah, zahiriyah, mengatakan bahwa khiyar ru’yah
disyariatkan oleh Islam. Sedangkan ulama syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar
ru’yah tidak sah, karena jual beli barang yang gaib tidak sah, meskipun
barang tersebut disebutkan sifatnya waktu sighat akad. Jual beli yang tidak
diketahui barangnya, ulama syafi’iyah berpendapat akan mendatangkan unsur penipuan.
Jumhur ulama
mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar ru’yah, yaitu:
1) Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika aqad
berlangsung.
2) Obyek aqad itu berupa materi, seperti tanah, rumah,
dan kendaraan.
3) Akad tersebut mempunyai alternatif untuk dibatalkan,
seperti jual beli dan sewa menyewa.
Apabila ketiga
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka khiyar ru’yah tidak berlaku dan
pembatalannya harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:[8]
1) Hak khiyar masih berlaku bagi pembeli.
2) Pembatalan itu tidak berakibat merugikan penjual,
seperti pembatalan hanya dilakukan pada sebagian obyek yang dijual belikan.
3) Pembatalan itu diketahui pihak penjual.
Menurut jumhur
ulama, khiyar ru’yah berakhir apabila pembeli menunjukkan kerelaannya
melangsungkan jual beli, baik melalui pernyataan maupun tindakan serta obyek yang
dieprjualbelikan hilang atau terjadi penambahan cacat oleh kedua belah pihak. Terjadi
penambahan materi obyek setelah dikuasai pembeli, seperti: tanah yang sudah
dibeli, sudah dibangun rumah diatasnya. Dan orang yang berakad meninggal,
mengenai hal ini terjadi khilafiyah anatara ulama, hanafiyah dan hanabilah
menyatakan tidak boleh diwariskan, akan tetapi malikiyah menyatakan boleh untuk
diwariskan.
4. Batasan lamanya khiyar
Ada beberapa
pendapat mengenai batasan lamanya khiyar, diantaranya adalah:
a. Menurut Abu Hanifah dan Imam Syafi’I, batasan khiyar
paling lama adalah tiga hari dan tidak boleh lebih dari itu.
b. Menurut Imam Malik, lama atau tidaknya khiyar
tergantung adanya kebutuhan dan tingkat nilai barang, barang-barang yang kurang
berharga boleh tidak sampai sehari, sedangkan barang yang sangat berharga bisa
lebih dari tiga hari.
c. Menurut Imam Ahmad dan Abu Yusuf, panjang maupun
pendeknya khiyar tergantung kesepkatan antara penjual dengan pembeli.
5. Implementasi Khiyar
Dalam undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen dijelaskan bahwa, konsumen berhak untuk memilih dan mendapatkan
kompensasi atau ganti rugi, atau penggantian apabila barang atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya. Begitu pula
dengan sebaliknya pedagang atau pelaku usaha dalam undang-undang ini ditegaskan
bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk memberikan kompensasi, ganti rugi,
dan penggantian apabila barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.[9]
Tapi peraturan
pemerintah ini tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya pedagang yang enggan melayani konsumen yang complain dan
banyak kita temukan diberbagai toko-toko tulisan “barang yang sudah dibeli
tidak bisa lagi dikembalikan”. Memang masih ada kita temukan dipasar, tapi
hanya sedikit, tergantung pemahaman pedagang, dan ilmu yang ada padanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulughul
Maram, Kahar Mansyur, Juz I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,
Bandung : PT. Al-Ma’arif
Dr. H. Abdul Rahman, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010
Rachmat Syafi’i, Fiqih
Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Nasrun Haroen, Fiqih
Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Abd. Rahman.dkk..Fiqh
Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010
0 komentar:
Posting Komentar