Senin, 12 Januari 2015

DINASTI FATIMIYYAH



Oleh: Retno Dewi Zulaikah 
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menurunkan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya di dunia ini sebagai petunjuk untuk menggapai kehidupan di dunia ini menuju kehidupan abadi. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang, yakni dengan tersiarnya agama Islam.
Dengan Hidayah, Rahmat dan Anugrah Allah SWT., makalah Sejarah Peradaban Islam  ini dapat diselesaikan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung atas terselesaikannya makalah ini dan juga sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberi saran perbaikan makalah ini, karena makalah ini masih jauh akan kesempurnaan.
Adapun harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at kepada kita semua, Amin.
  


Surabaya, 16  September 2014

Penulis


DAFTAR ISI
            Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................      i
DAFTAR ISI.......................................................................................................     ii    
C.     Tujuan Penulisan.........................................................................     2

BAB II      PEMBAHASAN...............................................................................     3
A.    Sejarah Berdirinya Daulah Fatimiyah.........................................     3
1.   Ubaidillah Al-Mahdi...............................................................     5
2.   Al-Qa’im.................................................................................     6
3.   Al-Manshur..............................................................................     7
4.   Mu’iz Lidinillah......................................................................     8
5.   Al-Aziz....................................................................................     9
6.   Al-Hakim.................................................................................   10
7.   Az-Zahir..................................................................................   11
8.   Al-Mustansir............................................................................   11
9.   Al-Musta’li..............................................................................   12
B.     Perkembangan Peradaban Pada Masa Daulah Fatimiyah............   13
1.   Bidang Administrasi...............................................................   13
2.   Kondisi Sosial.........................................................................   14
3.   Kemajuan Ilmu Pengetahuan...................................................   15
4.   Kemajuan di Bidang Ekonomi................................................   16
5.   Bidang Kebudayaan dan Keagamaan......................................   17
C.     Kemunduran dan Akhir Daulah Fatimiyah.................................   18

BAB III     KESIMPULAN…….........................................................................   20
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum munculnya peradaban Islam telah dimulai sejak lahirnya agama itu sendiri kemudian mengalami perkembangan pada saat Daulah Umayyah berkuasa dan mencapai puncak kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah. Daulah Fatimiyah hadir pada abad kesepuluh, akhir masa Daulah Abbasiyah bersamaan dengan daulah-daulah kecil lainnya yang mulai melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiyah.
Daulah Fatimiyah merupakan salah satu Daulah Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati.
Ada kesulitan tersendiri dalam merekonstruksi Daulah Fatimiyah. Sumber-sumber sejarah yang tersedia tidak banyak memberikan data yang memadai. Prof Musrifah Sunanto misalnya, dalam buku yang berjudul Sejarah Islam Klasik menulis Daulah Fatimiyah dalam lima halaman saja. Bandingkan dengan Daulah Umayyah atau bahkan Daulah Abbasiyah yang ditulis dalam lebih dari 35 halaman. Bisa jadi ini karena Daulah Fatimiyah tidak banyak meninggalkan peradaban besar. Meskipun tidak banyak, ternyata masih ada beberapa sumber informasi yang mencoba menampilkan beberapa peninggalan peradaban Daulah Fatimiyah serta peradaban-peradaban yang ditinggalkannya.


B. Rumusan Masalah
1.    Kapan munculnya Daulah Fatimiyah?
2.    Bagaimana perkembangan peradaban pada masa Daulah Fatimiyah?
3.    Kapan runtuhnya Daulah Fatimiyah?

C. Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui kemunculan dari Daulah Fatimiyah.
2.    Untuk mengetahui perkembangan peradaban masa Daulah Fatimiyah.
3.    Untuk mengetahui kapan runtuhnya Daulah Fatimiyah.
4.    Melengkapi tugas wajib individu matakuliah Sejarah Peradaban Islam.




















BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Daulah Fatimiyah
Wilayah kekuasaan Daulah Fatimiyah (909 M-1171 M) meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Daulah Fatimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya Daulah Abbasiyah. Ubaidilillah Al-Mahdi mendirikan Daulah Fatimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Daulah Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan. Daulah Fatimiyah berakhir setelah al-Adid, khalifah terakhir Daulah Fatimiyah jatuh sakit. Shalahuddin al-Ayyubi, wazir Daulah Fatimiyah menggunakan kesempatan tersebut dengan mengakui kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mustahdi. Peninggalan dinasti ini meliputi Masjid al-Azhar yang sekarang terkenal dengan Universitas al-Azhar, bab al-Futuh (Benteng Futuh), dan Masjid al-Ahmar di Cairo, Mesir.[1]
Daulah ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah bin Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri daulah ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setalah Imam Ja’far ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedangkan sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail bin Muhammad al-Maktum sebagai Imam Syi’ah yang ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamakan dengan Syi’ah Ismailiyah, yaitu tidak menampakkan gerakannya secara jelas sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latarbelakang berdirinya Daulah Fatimiyah di Afrika dan kemudian berpindah di Mesir.
Sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat yaitu abdullah Al-Husain sebagai pemimpin Syi’ah Ismailiyah. Ia adalah orang Yaman asli, sampai dengan abad ke Sembilan ia mengklaim diri sebagai wakil al-Mahdi. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari kalangan Khitamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yaitu Ibrahim bin Muhammad, berusaha merekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah putranya dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imam Ismailiyah, yaitu Sa’id bin Husain as-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Sa’id mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunisia, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir, yaitu Ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar “Ubaidillah al-Mahdi”. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan Daulah Fatimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai Khalifah pertamanya.[2]
Obsesi yang tersirat dalam pendirian Daulah Fatimiyah yang terpenting adalah mencoba menguasai pusat dunia Islam: yaitu Mesir. Hal yang mendorong mereka untuk menguasai Mesir tersebut adalah faktor "Ekomomi" dan "Politik". Ditinjau dari faktor ekonomi, Mesir terletak di daerah yang alamnya sangat subur dan menjadi daerah lintas perdagangan yang strategis, yaitu perdagangan ke Hindia melalui laut Merah, ke Italia dan Laut Tengah Barat, ke kerajaan Bizantium.
Peta kekuasaan Daulah Fatimiyah

Menurut peta politik, Mesir terletak di wilayah yang strategis, daerah ini dekat dengan Syam, Palestina dan Hijaz yang juga merupakan wilayah Mesir sejak Dinasti Tulun. Bila Fatimiyah dapat menaklukkan Mesir berarti akan mudah baginya untuk menguasai Madinah sebagai pusat Islam masa lampau, serta kota Damaskus dan Bahgdad dua ibu kota ternama di zaman Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Dengan demikian maka nantinya Daulah Fatimiyah ini akan cepat termasyhur dan di kenal dunia. Adapun para penguasa Daulah Fatimiyah adalah sebagai berikut:
1.    Ubaidillah Al-Mahdi (909-934 M)
Al-Mahdi merupakan penguasa Fatimiyah yang cakap, dua tahun semenjak penobatannya ia menghukum mati pimpinan propagandanya yaitu Abu Abdullah al-Husain karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abul Abbas untuk melancarkan perebutan jabatan khalifah. Kemudian al-Mahdi melancarkan gerakan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang dari Mesir sampai dengan wilayah Fes di Maroko. Pada tahun 914 M, ia menduduki Alexandria. Kota-kota lainnya seperti Malta, Syiria, Sardinia, Corcisa, dan sejumlah kota lain jatuh didalam kekuasaannya.[3] Pada tahun 920 M, khalifah al-Mahdi mendirikan kota baru di pantai Tunisia dan menjadikannya sebagai ibu Kota Fatimiyah, kota ini dinamakan kota Mahdiniyah.
Al-Mahdi ingin menaklukan Spanyol dari kekuasaan Umayyah. Oleh karena itu, ia menerima hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Muhammad bin Hafsun, pimpinan pergerakan pemberontak di Spanyol. Namun, ambisinya ini belum berhasil sampai ia meninggal dunia pada tahun 934 M.
2.    Al-Qa’im (934-946 M)
Al-Mahdi digantikan oleh putranya yang tertua bernama Abul Qasim dan bergelar al-Qa’im. Ia meneruskan gerakan ekspansi yang telah dimulai ayahnya. Pada tahun 834 M, ia mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke daerah selatan pantai Prancis. Pasukan ini berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Mereka melancarkan pembunuhan, penyiksaan, pembakaran kapal-kapal, dan merampas budak-budak. Pada saat uang sama ia juga mengerahkan pasukannya ke Mesir, namun pasukan ini berhasil dikalahkan oleh Dinasti Ihsidiyah sehingga mereka terusir dari Alexandria. Di tengah kesuksesannya dalam ekspansi, al-Qa’im mendapat perlawanan dari kalangan Khawarij yang melancarkan pemberontakan di bawah pimpinan Abu Yazid Makad. Berkali-kali gerakan pemberontak ini mampu menahan serangan pasukan Fatimiyah dalam peperangan yang berlangsung hampir tujuh tahun.
Al-Qa’im merupakan prajurit pemberani, hampir setiap ekspedisi militer dipimpinnya secara langsung. Ia merupakan khalifah Fatimiyah pertama yang menguasai lautan Tengah. Al-Qa’im meninggal pada tahun 946 M, ketika itu sedang terjadi pemberontakan di Susa’ yang dipimpin oleh Abu Yazid. Al-Qa’im digantikan oleh putranya yang bernama al-Manshur.
3.    Al-Manshur (946-965 M)
Al-Manshur mulai memegang jabatan khalifah ketika ayahnya mengumumkan pengangkatan sebagai putra mahkota beberapa saat sebelum meninggal. Tak lama kemudian dia memerintahkan pengiriman kapal yang dipenuhi makanan dan peralatan peran ke Suez yang saat itu sedang dikepung oleh tentara Abu Yazid. Bantuan itu tiba di Suez dua hari sebelum kematian al-Qa’im. Sepekan setelah kematian ayahnya, al-Manshur mempersiapkan diri memimpin pertempuran menumpas Abu Yazid dan pasukannya di Suez melalui jalur darat. Namun Al-Manshur mengurungkan niatnya dan menunjuk Kabun sebagai penggantinya. Al-Manshur juga memerintahkan Ya’qub bin Ishaq menuju ke Suez melalui laut secara diam-diam. Dalam misi ini al-Manshur mampu mengusir Abu Yazid dan pasukannya dari Suez. Abu Yazid dapat lolos dan melarikan diri ke kota Qairuwan kemudian meneruskan perjalanan ke Kadiyah.
Pada akhir 974 M di puncak Gunung Kiyanah, Abu Yazid dan pasukannya dapat dikepung didalam kemahnya, dan menjelang malam hari seluruh perkemahan dibakar agar tidak seorangpun yang dapat lolos, dan Abu Yazid dapat lolos namun dapat ditangkap dalam keadaan penuh luka, akhirnya Abu Yazid meningggal ditengah perjalanan saat akan dibawa ke Afrika.
Setelah mampu mengembalikan stabilitas dalam negeri yang sempat hilang dibawah al-Qa’im, al-Manshur memindahkan ibu kota Fatimiyah dari Mahdiyah ke Manshuriyah, dari Manshuriyah al-Manshur berkonsentrasi mengalahkan dua kompetitornya di dunia Islam yaitu para khalifah Abbasiyah dan para amir Umayyah di Andalus. Al-Manshur juga berambisi menaklukkan para raja Nasrani termasuk Bizantium, namun sebelum semuanya terwujud al-Manshur meninggal.
4.    Mu’iz Lidinillah (965-975 M)
Ketika al-Manshur meninggal, putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad menggantikan kedudukannya sebagai khalifah dengan bergelar Mu’iz Lidinillah. Penobatan Mu’iz sebagai khalifah keempat menandai era baru Daulah Fatimiyah, banyak keberhasilan yang dicapainya. Pertama kali ia menerapkan untuk mengadakan peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaannya untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya Mu’iz menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh demi terciptanya keadilan dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan pemberontakan secara tuntas hingga mereka bersedia tunduk dalam kekuasaan Mu’iz. Mu’iz menempuh kebijakan damai terhadap para pimpinan dan gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada mereka yang menunjukkan loyalitasnya. Oleh karena itu, dalam tempo singkat masyarakat seluruh negeri mengenyam kehidupan yang damai dan makmur.
Penaklukan Mesir merupakan cita-cita terbesar gerakan ekspansi Mu’iz, ia telah lama menanti datangnya kesempatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Maka ketika Mesir dilanda kerusuhan serius pada tahun 968 M, Mu’iz segera memerintahkan Jauhar untuk mengerahkan menaklukkan Mesir. Pada tahun 969 M, Jauhar berhasil menduduki Fustat tanpa suatu perlawanan. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasan Dinasti Ihsidiyah di Mesir, dan Mesir memasuki era baru di bawah kekuasaan Daulah Fatimiyah. Jauhar segera membangun kota Fustat menjadi kota baru dengan nama Qahirah (Kairo). Semenjak tahun 973 M kota in dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan Daulah Fatimiyah. Selanjutnya Mu’iz mendirikan Masjid al-Azhar, masjid ini oleh Khalifah al-Aziz dijadikan sebagai pendidikan tinggi al-Azhar yang berkembang di masa sekarang ini bermula dari pendidikan tinggi ini.[4]
Khalifah Mu’iz meninggal pada tahun 975 M, ia merupakan khalifah yang terbesar, ia adalah pendiri Daulah Fatimiyah di Mesir. Kecakapannya sebagai negarawan terbukti oleh perubahan Fatimiyah sebagai dinasti kecil menjadi imperium besar. Menurut Sayid Amir Ali, ketenaran Mu’iz dalam bidang pendidikan dan pengetahuan sebanding dengan Khalifah al-Makmun, yang berhasil membawa kemakmuran dan kemajuan peradaban Afrika Utara. Mu’iz bukan saja orang yang berpendidikan tinggi tetapi pandai di bidang syair dan kesusastraan Arab, ia juga menguasai beberapa bahasa dan fasih berpidato.
5.    Al-Aziz (975-996 M)
Nama lengkapnya Abu Manshur Nizar al-Aziz. Ia berkuasa dari 975 hingga 996 M. Di bawah pemerintahannya, Daulah Fatimiyah mencapai kejayaannya. Al-Aziz tidak saja mampu menciptakan kemakmuran dan ketentraman namun menempatkan Daulah Fatimiyah sebagai kekhalifahan besar hingga mampu menenggelamkan nama besar Daulah Abbasiyah. Tak tanggung-tanggung, al-Aziz mengalokasikan dana dua juta Dinar guna membangun istananya untuk menyaingi istana Abbasiyah di Baghdad. Istana dibangun sangat megah dengan berbagai hiasan dan ornament yang sangat indah. Istana juga dilengkapi dengan air mancur yang dapat mendinginkan lingkungan istana. Karya terbesarnya adalah mengembangkan masjid al-Azhar menjadi universitas.
Usahanya yang tak kalah penting adalah membangun kerukunan antar umat beragama. Di samping memberikan kebebasan kepada warga Sunni menjalankan keyakinannya, al-Aziz juga memberikan kebebasan beragama kepada warga Nasrani. Al-Aziz juga membangun kanal-kanal guna mengairi tanah pertanian dan membangun jembatan guna memudahkan perpindahan barang dan orang. Usaha ini dimaksudkan untuk mengembangkan dan memajukan perekonomian Negara. Hubungan dagang dengan negeri-negeri lain juga dibangun. Masyarakat didorong menghasilkan produk industri dan seni yang kompetitif. Untuk menjadikan Mesir sebagai kota perdagangan dunia, dibangunlah pasar dengan 20.000 toko. Di hampir setiap sudut kota dibangun sejumlah pemandian umum guna menciptakan kebersihan dan keindahan kota.[5]
Al-Aziz juga dikenang dengan jasanya mereformasi sistem pemerintahan. Para wazir dibagi menjadi dua kelompok, yakni militer dan sipil. Militer bertanggung jawab terhadap keamanan istana, urusan tentara, perang, dan pengawal. Sedangkan sipil memimpin urusan hakim, ekonomi, urusan rumah tangga istana, keuangan dan ketua dakwah.
6.    Al-Hakim (996-1021 M)
Pada saat diangkat khalifah usianya baru menginjak 11 tahun sehingga kekuasaannya banyak dijalankan oleh para wazir. Al-Hakim memberikan kontribusi positif bagi kebesaran Daulah Fatimiyah. Dia membangun Dar al-Hikmah sebagai lembaga pengajaran dan pengembangan ilmu astronomi dan kedokteran. Al-Hakim juga membangun Dar al-Ilm, sebuah lembaga yang mengoleksi jutaan buku dalam berbagai disiplin ilmu. Tidak kurang dari 257 Dinar digelontorkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus, seorang astronom besar uang menemukan pendulum dan alar ukur waktu.
Namun al-Hakim juga dinilai sebagai Khalifah Fatimiyah yang memulai menghancurkan Daulah Fatimiyah dengan beberapa kebijakannya yang kejam dan tidak toleran. Ia membunuh beberapa wazirnya dan menghancurkan beberapa gereja Kristen. Bahkan kuburan suci umat Kristen juga ikut dihancurkan. Tidak berhenti sampai disitu, toleransi beragama yang sudah mulai berkembang dipupuskan dengan aturan yang membatasi, non-muslim hanya boleh menunggang keledai, non-muslim juga harus menandai dirinya dengan memakai jubah hitam serta mengenakan salib yang dikalungkan di leher untuk orang Nasrani dan tenggala berlonceng untuk orang Yahudi.
7.    Az-Zahir (1021-1036 M)
Al-Hakim digantikan oleh putranya yang bernama Abu Hasyim Ali dengan gelar Az-Zahir. Ia naik tahta pada usia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt al-Mulk. Sepeninggal bibinya, az-Zahir menjadi raja boneka di tangan menterinya. Pada masa pemerintahan ini rakyat menderita kekurangan bahan makanan dan harga barang tidak dapat terjangkau. Kondisi ini disebabkan terjadinya musibah banjir terus-menerus.
Peristiwa yang paling terkenang pada masa ini adalah penyelesaiain persengketaan keagamaan pada tahun 1025 M di mana tokoh-tokoh mazhab Malikiyah diusir dari Mesir. Sekalipun demikian, secara umum az-Zahir cukup toleran kepada kelompok Sunni. Ia bersedia membuat perjanjian dengan kaisar Romawi, yaitu Kaisar Constantine VIII. Sang kaisar  di izinkan membangun kembali gereja Yerusalem yang roboh akibat kerusuhan yang terjadi disana. Ia meninggal pada 1036 M, setelah memerintah selama 16 tahun.
8.    Al-Mustansir (1036-1095 M)
Az-Zahir digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar al-Mustansir, pemerintahannya selama 61 tahun dan merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Islam. Masa awal pemerintahannya berada sepenuhnya ditangan ibunya, lantaran ketika dinobatkan sebagai khalifah ia baru berusia tujuh tahun. Pada masa ini kekuasaan Fatimiyah mengalami kemunduran secara drastis. Beberapa kali perebutan jabatan perdana menteri turut memperlemah ketahanan imperium ini, disamping terjadinya sejumlah pemberontakan dan peperangan selama pemerintahan ini.[6]
Raja muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz bin Badis melemparkan penghinaan kepada Daulah Fatimiyah dengan tidak menyebut nama Khalifah Fatimiyah dalam khutbah Jum’atnya, melainkan ia menyebut nama khalifah Abbasiyah.
9.    Al-Musta’li (1095-1101 M)
Putra termuda al-Mustansir yang bergelar al-Musta’li menduduki tahta kekhalifahan sepeninggal sang ayah al-Mustansir. Nizar sebagai putra al-Mustansir yang tertua, menentang penobatan adiknya. Ia segera bangkit di Alexandria setelah memecat gubernur wilayah ini, namun satu tahun kemudian, ia dapat dipaksa menyerah.
Setelah al-Musta’li meninggal, anaknya yang masih muda bernama al-Amir Manshur dengan gelar al-Amir dinobatkan sebagai khalifah oleh al-Afzal. al-Afzal merupakan perdana menteri yang berkuasa secara absolut selama dua puluh tahun masa pemerintahan al-Amir. Berkat keluwesan dan keadilannya, Mesir menjadi cukup damai dan makmur.
Setelah al-Amir menjadi korban pembunuhan politik, kemenakannya al-Hafiz memproklamirkan diri sebagai khalifah. Pemerinyahan al-Hafiz ini diwarnai dengan perpecahan antar unsur kemiliteran. Anaknya Abu Manshur Ismail, dengan gelar az-Zafir, menggantikan kedudukannya setelah wafatnya al-Hafiz. Ia adalah pemuda 17 tahun yang tampan yang tidak peduli dengan urusan politik pemerintahan. Az-Zafir meninggal pada tahun 1154 M, terbunuh oleh Nasir Ibnu Abbas.
Anak az-Zafir yang masih kecil menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar al-Faiz. Ia meninggal dunia sebelum dewasa dan digantikan kemenakannya al-Azid. Sewaktu naik tahta, sang khalifah berusia 9 tahun. Ia merupakan Khalifah Daulah Fatimiyah yang ke empat belas dan mengakhiri masa pemerintahan Fatimiyah selama lebih kurang dua setengah abad. Al-Azid berjuang keras untuk menegakkan kedudukannya dari serangan raja Yerusalem yang pada waktu itu telah berada di gerbang Kota Cairo. Dalam keadaan yang kacau, datang Sultan Shalahuddin al-Ayubi, pejuang dalam perang salib. Sultan Shalahuddin menurunkan al-Azid dari khalifah Fatimiyah terakhir pada tahun 1171 M. Dengan demikian, Daulah Fatimiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi ini berakhir sudah.[7]

B. Perkembangan Peradaban pada Masa Daulah Fatimiyah
Sejak awal berdirinya Daulah Fatimiyah, para pemukanya telah mempunyai perencanaan untuk mencapai kejayaan. Kecemerlangan itu dicapai pada masa al- Aziz Khalifah Fatimiyah ke-5. Bila diamati dari perjalanan sejarahnya, khalifah-khalifah Fatimiyyah mempunyai beberapa keistimewaan di berbagai bidang, antara lain:[8]
1.    Bidang administrasi
Periode Daulah Fatimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir. Sebagian khalifah dinasti ini adalah pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir. Administrasi kepemerintahan Daulah Fatimiyah secara garis besar tidak berbeda dengan administrasi Daulah Abbasiyah, sekalipun pada masa ini muncul beberapa jabatan yang berbeda. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan dibawahnya.
Kementrian negara (wazir) terbagi menjadi dua kelompok: pertama adalah para ahli pedang dan kedua adalah para ahli pena. Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan serta pengawal pribadi sang khalifah. Sedang kelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementrian, yaitu:
a.    Hakim
b.    Pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Dar al-Hikmah
c.    Inspektur pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan
d.    Pejabat keuangan yang menangani segala urusan keuangan Negara
e.    Regu pembantu istana
f.     Petugas pembaca al-Qur’an
g.    Ahli pena, terdiri atas kelompok pegawai negeri, yaitu petugas penjaga dan juru tulis
2.    Kondisi sosial
Mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya khalifah al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang Kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah. Demikianlah semua ini menunjukkan kebijaksanaan penguasa Fatimiyah terhadap umat Kristiani.
Nasir al-Khusraw, salah seorang pengembara Ismailiyah berkebangsaan Persia, yang mengunjungi Mesir antara tahun 1046-1049 M, meninggalkan catatan tentang kehidupan kota Kairo, yaitu ibu kota Daulah Fatimiyah. Pada saat itu ia  mendapatkan kota Kairo sebagai kota makmur dan aman. Menurutnya, toko-toko perhiasan dan  pusat-pusat penukaran uang ditinggalkannya oleh pemiliknya begitu saja tanpa kunci, rakyat menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-jalan raya diterangi beragam lampu. Penjual toko menjual barang dengan harga jual yang telah diputuskan dan jika seseorang terbukti melanggar ketentuan harga jual akan dihukum dengan diarak di atas unta sepanjang jalan dengan diiringi bunyi-bunyian.
Daulah Fatimiyah berhasil dalam mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan peradaban yang berlainan semacam di dunia Timur. Hal ini sangat menarik perhatian karena sistem administrasinya yang sangat baik sekali, aktifitas artistik, luasnya toleransi, kejujuran pengadilan, dan terutama perlindungannya terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[9]
3.    Kemajuan ilmu pengetahuan
Sumbangan Daulah Fatimiyah dalam kemajuan ilmu pengetahuan tidak sebesar sumbangan Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol. Masa ini kurang produktif dalam menghasilkan karya tulis dan ulama besar kecuali dalam jumlah yang kecil, sekalipun banyak di antara khalifah dan para wazir menaruh perhatian dan penghormatan kepada para ilmuan dan pujangga. Ibnu Khilis merupakan salah seorang wazir Fatimiyah yang sangat memperdulikan pengajaran. Ia mendirikan lembaga pendidikan dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa Ibnu Khilis ini di dalam istana al-Aziz terdapat fisikawan besar bernama Muhammad at-Tamim. Al-Kindi sejarawan dan topographer terbesar hidup di Fustat dan meninggal di tahun 961 M. Pakar terbesar pada awal Fatimiyah adalah Qazdi an-Nu’man dan beberapa keturunannya yang menduduki jabatan qadhi dan keagamaan tertinggi selama 50 tahun semenjak penaklukkan Mesir sampai pada masa pemerintahan al-Hakim. Para qadhi ini tidak hanya pandai dalam bidang hukum, melainkan juga cakap dalam berbagai disiplin pendidikan tinggi. Diantara pegawai pemerintahan pada masa al-Hakim terdapat seorang Mesir yang terkaya dalam penulisan sejarah dan karya-karya lain tentang keIslaman, syair, dan astrologi.
Di antara para khalifah Fatimiyah adalah tokoh pendidikan dan orang yang berperadaban tinggi. al-Aziz termasuk diantara khalifah yang mahir dalam bidang syair dan mencintai kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung al-Azhar menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi. Kekayaan dan kemakmuran Daulah Fatimiyah dan besarnya perhatian para khalifahnya merupakan faktor pendorong para ilmuan untuk berpindah ke Kairo. Istana al-Hakim dihiasi dengan kehadiran Ali bin Yunus, pakar terbesar dalam bidang astronomi, dan Ibnu Ali al-Hasan bin al-Haitami, seorang fisikawan muslim terbesar dan ahli dibidang optik. Selain mereka berdua terdapat sejumlah sastrawan dan ilmuan yang berkarya di Istana Fatimiyah.[10]
Khalifah Fatimiyah mendirikan sejumlah sekolah dan perguruan, mendirikan perpustakaan umum dan lembaga ilmu pengetahuan. Dar al-Hikmah merupakan prakarsa terbesar untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sekalipun pada awalnya lembaga ini dimaksudkan sebagai sarana penyebaran dan pengembangan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Lembaga ini didirikan oleh khalifah al-Hakim pada tahun 1005 M. Al-Hakim juga besar minatnya dalam penelitian Astronomi. Oleh karena itu, ia mendirikan lembaga observasi di bukit al-Makattam. Lembaga observasi seperti ini juga didirikan di tempat lain.
4.      Kemajuan di Bidang Ekonomi
Kemajuan bidang ekonomi sangat nyata bagi rakyat Mesir di masa pemerintahan Fatimiyah, penghasilan utama mereka dari bidang pertanian karena tanahnya sangat subur-subur, bidang perdagangan dan perindustrian. Mesir merupakan negara agraris yang amat subur maka perhatian pemerintah disektor ini besar sekali, irigasi dibangun untuk mengalirkan air dari sungai Nil kelahan-lahan pertanian, endapan lumpur dari sungai Nil ini menyuburkan tanaman mereka. Penghasilan meraka kurma, gandum, kapas, gula dari tebu, bawang, dan lainnya. Mereka juga mengusulkan kayu yang digunakan untuk membangun dermaga dan kapal-kapal laut atau kapal dagang.
Perindustrian Mesir, menghasilkan tekstil, kain sutra, dan wol yang mereka eksport ke negara Eropa. Industri kerajinan Mesir menghasilkan karya yang bermutu seperti kiswah Kabah yang sulam dengan benang emas. Pembuatan Kristal dan keramik, mereka juga mendapatkan keuntungan dari hasil tambang besi, baja, dan tembaga.
Khalifah al-Muiz memprakarsai berdirinya pabrik tekstil yang memproduksi pakaian para pegawai pemerintah. Bidang perdagangan berkembang pesat dan mendapat dukungan dari pemerintah, tidak pernah ada hambatan dan kerusuhan dalam kehidupan mereka, maka para pedagang dari berbagai penjuru berdatangan ke daerah ini, jadilah Mesir sebagai sentral dagang. Pusat perdagangan itu kota Fustat di Kairo, Diniyat, dan Quas dan Iskandariah sebagai kota pelabuhan juga pusat perdagangan internasional. Yaqub bin Killis, membuat sistem pajak yang dijalankan Daulah Fatimiyah di zaman al-Muiz, hasil pajak di Fustat satu hari mencapai 50.000 sampai 120.000 dirham.
Dari Dimyat, Asymun diperoleh hasil pajak lebih dari 220 dirham per hari. Pada masa Wazir al-Hasan bin Ali al-Yazuri, hasil pajak yang diperolehnya kurang lebih 2.000.000 dinar per tahun. Dari Syam 1 juta dinar per tahun. Di bawah Fatimiyah, Mesir dan Kairo mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan Bahgdad.
5.    Bidang kebudayaan dan Keagamaan
Menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan agama walaupun yang dimaksud untuk mengembangkan ideologi mereka. Ada sebuah masjid yang yang kemudiannya menjadi universitas al-Azhar. Khalifah juga membiayai para fuqaha yang menyebarkan ilmu pengetahuan. Hal ini membuktikan bahwa khalifah mencintai ilmu dan suka pada kemajuan.
C. Kemunduran dan Akhir Daulah Fatimiyah
Setelah meninggal al-Aziz diganti oleh al-Hakim, yang banyak melakukan kerusakan, yaitu membunuh sejumlah menteri, merusak gereja suci di Palestina pada tahun 1009 M, yang menjadi salah satu memicu perang salib, dan ia mengaku sebagai inkarnasi Tuhan dan akhirnya ia mati dibunuh atas konspirasi Sitt al-Mulk dengan Muqattam. Setelah meninggal al-Hakim diganti oleh putranya Abu Hasan Ali al-Zhahir, dan ia meninggal karena sakit. Penggantinya adalah Abu Tamim Ma’ad al-Muntansir. Pada saat yang bersamaan, Palestina berontak dan Saljuk berhasil menguasai Asia Barat, Provinsi-provinsi di Afrika menolak membayar pajak dan mengatakan lepas dari Fatimiyah atas dukungan Daulah Bani Abbas. Tripoli dan Tunisia dikuasai oleh suku Hilal dan Sulaim, dan Sicilia dikuasai oleh bangsa Normandia.[11]
Keadaan Fatimiyah diperparah lagi oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga sungai Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al-Muntansir diganti oleh anaknya al-Musta’li, akan tetapi Nizar anak Abu Tamim Ma’ad al-Muntansir yang tertua melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh karena itu, Fatimiyah terpecah menjadi dua, yaitu Nizari dan Musta’li. Pada masa al-Musta’li pasukan salib melakukan serangan sehingga menguasai Antokia hingga Bait al-Maqdis. Setelah wafat, al-Musta’li diganti oleh al-Amir. Al-Amir meninggal karena dibunuh oleh kelompok Bathiniyah, dan diganti oleh al-Hafizh dan setelah meninggal dunia, al-Hafizh diganti oleh az-Zafir.
Karena tentara salib begitu tangguh, az-Zafir meminta bantuan kepada Nuruddin al-Zanki (Gubernur Suriah di bawah khalifah Abbasiyah Baghdad). Nuruddin al-Zanki mengirim pasukan di bawah pimpinan Syirkuh dan Shalahuddin al-Ayubi. Setelah berhasil mengalahkan pasukan salib, pasukan Nuruddin al-Zanki kembali ke Suriah. Akan tetapi, sepeninggal pasukan tersebut terdapat konflik internal, yaitu Syawar mengundang tentara salib ke Mesir karena ia ingin memperoleh jabatan wazir. Akhirnya, pasukan Nuruddin al-Zanki yang dipimpin oleh Syirkuh datang kembali ke Mesir. Syawar ditangkap dan kepalanya dipenggal atas perintah Daulah Fatimiyah. Syirkuh akhirnya diangkat menjadi wazir oleh Fatimiyah, tiga bulan kemudian Syirkuh wafat, dan diganti oleh kemenakannya yaitu Shalahuddin al-Ayubi. Pada tanggal 10 Muharram 1171 M, khalifah al-Adid wafat dan kekuasaannya berpindah ke tangan Shalahuddin al-Ayubi.














BAB III
KESIMPULAN

Daulah Fatimiyah merupakan penguasa negara yang besar berpusat di lembah Nil, Kairo. Kekhalifahan ini berkuasa selama lebih dari 200 tahun yaitu sejak tahun 909 sampai tahun 1171 M. Cikal bakal dari kekhalifahan Fatimiyah ini adalah Gerakan Bani Fatimiyah yang berasal dari kelompok Syi’ah Ismailiyah, mereka mengasingkan diri ke kota Salamah guna menyelamatkan diri dari pengejaran Bani Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah al-Ma'mun.
Pola pemerintahan yang dijalankan Fatimiyah mengikuti pola pemerintahan bani Abbasiyah di Bahgdad. Kepemimpinan dikonsentrasikan kepada Khalifah dan dibai'ah lewat upacara yang megah. Berbagai kemajuan diraih pada masa Daulah Fatimiyah ini, mulai dari kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan yang lainnya hingga dapat berdiri perguruan tinggi pertama di dunia yaitu Universitas al-Azhar yang bertempat di Kairo sampai sekarang.
Runtuhnya Daulah Fatimiyah ini berawal pada tahun 558 H/1163 M, yang mana panglima Asasuddin Syirkuh membawa Shalahuddin al-Ayyubi untuk menundukkan Daulah Fatimiyah di Mesir dan usahanya berhasil. Khalifah Daulah Fatimiyah yang terakhir, yaitu al-Adid dipaksa oleh Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, wazir besarnya Syawar merasa iri melihat kekuasan Syirkuh semakin besar. Dengan sembunyi-sembunyi Syawar pergi ke Bait al-Maqdis, meminta bantuan pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir.



DAFTAR PUSTAKA

Dr. Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Hasan Ibarahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Machfud Syaefusin, dkk., Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hooeve, 2005.
Prof. K. Ali, Sejarah Islam, Jakarta: Srigunting, 1997.
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2013.


[1] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hooeve, 2005), 389.
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 254
[3] Hasan Ibarahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), 299.
[4] K. Ali, Sejarah Islam, (Jakarta: Srigunting, 1997), 330
[5] Machfud Syaefusin, dkk., Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013),123.
[6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 261.
[7] K. Ali, Sejarah Islam, 338.
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 264-265.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 285
[10] K. Ali, Sejarah Islam, 341.
[11] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005),164-165

0 komentar:

Posting Komentar