Senin, 12 Januari 2015

AL- QUR’AN PADA MASA UTSMAN BIN AFFAN DAN SESUDAHNYA



KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menurunkan Nabi Muhammad SAW. untuk umatnya di dunia ini sebagai petunjuk untuk menggapai kehidupan di dunia ini menuju kehidupan abadi. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang, yakni dengan tersiarnya agama Islam.
Dengan Hidayah, Rahmat dan Anugrah Allah SWT., makalah Studi Al-Quran  ini dapat diselesaikan. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung atas terselesaikannya makalah ini dan juga sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberi saran perbaikan makalah ini, karena makalah ini masih jauh akan kesempurnaan. Adapun harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at kepada kita semua, Amin.
 

Surabaya, 14  September 2014



Penulis
DAFTAR ISI
          Halaman
KATA PENGANTAR................................................................     i
DAFTAR ISI...............................................................................    ii   
C.   Tujuan Penulisan.....................................................    2
BAB II   PEMBAHASAN...........................................................    3
A.   Pengumpulan Al-Qur’an di Masa Utsman bin Affan    5
1.     Munculnya Ide Pengumpulan Al-Qur’an.............    6
2.     Pembentukan Panitia Pengumpulan Al-Qur’an...    6
3.     Pengumpulan Al-Qur’an.....................................    7
4.     Pola Penulisan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan dalam Mushaf Usmani................................................................ 15
B.   Perbaikan Al-Qur’an di Masa Sesudah Utsman bin Affan       15
C.   Gaya Tulisan Al-Qur’an........................................... 19
1.     Gaya Kufi........................................................... 19
2.     Gaya Naskhi....................................................... 19
D.   Macam-Macam Mushaf........................................... 19
1.     Mushaf Mesir...................................................... 19
2.     Mushaf Najaf...................................................... 19
3.     Mushaf di Makam Suci Imam Ridha................... 20
4.     Mushaf Koleksi Topkapu Sarayi......................... 21
E.    Percetakan Al-Qur’an............................................... 21
BAB III  KESIMPULAN……..................................................... 24

BAB I
PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang
Dalam masa pemerintahan Ustman bin Affan, terdapat beberapa masalah pelik yang harus segera dituntaskan, termasuk diantaranya pencatatan ulang al-Qur’an untuk kedua kalinya. Meluasnya wilayah di bawah pimpinan Khalifah Umar sebelumnya memberi peluang kepada para sahabat untuk berbondong-bondong mendatangi daerah penaklukan untuk memgajarkan Islam dan membaca al-Qur’an. Ataupun banyak diutus seorang pengajar ke daerah baru di wilayah Islam baik ketika di bawah pimpinan Khalifah Umar maupun di bawah pemerintahan Ustman bin Affan.
Ada akibat lain yang ditimbulkan dari pengajaran baik oleh sebagian sahabat maupun pengajar lainnya, yaitu berbedanya cara membaca al-Qur’an, sehingga pada akhirnya ejekan itu semakin meruncing dan tidak jarang saling mengkafirkan satu sama lainnya. Akibatnya sering terjadi perselihan antara murid seseorang dengan murid lainnya karena masing-masing berbeda dalam membaca al-Qur’an.
Sebenarnya para sahabat sendiri yang melihat langsung Nabi baik cara membacanya maupun menyaksikan wahyu, sudah biasa dan mengerti bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh macam qira’ah) dan mereka menegerti bahwa semuanya bersumber dari ajaran Nabi sendiri, Sehingga tidak ada perselisihan diantara mereka mengenai keragaman bacaan al-Qur’an ini.
Namun ketika meluasnya daerah Islam, diantaranya ditaklukannya Armenis dan Azerbijan (Asia Tengah), dan mulainya bangsa Ajam (non Arab) memeluk Islam. Timbulah masalah baru, bahwa mereka adalah generasi yang tidak pernah bertemu dengan Nabi. Dan ketika mereka belajar al-Qur’an mereka menganggap bahwa bacaan al-Qur’an itu hanya satu. Akibatnya ketika mereka menemui bacaan berbeda selain dari yang mereka pelajari, timbulah perbedaan pendapat. Karena masing-masing pihak menganggap bahwa bacaanya lah yang paling benar. Tidak jarang mereka saling mengkafirkan dan tidak sedikit berujung pada pertengkaran.

B.          Rumusan Masalah
1.  Apa yang melatarbelakangi pengumpulan al-Qur’an di masa Utsman bin Affan r.a.?
2.  Bagaimana cara pengumpulan al-Qur’an di masa Utsman bin Affan r.a.?
3.  Bagaimana perkembangan al-Qur’an di masa sesudah Utsman bin Affan?

C.          Tujuan Penulisan
1.  Untuk mengetahui dan memahami pengumpulan al-Qur’an di masa Utsman bin Affan r.a.
2.  Untuk mengetahui dan memahami perkembangan al-Qur’an di masa sesudah Utsman bin Affan
3.  Melengkapi tugas wajib individu matakuliah Studi al-Qur’an.
























BAB II
PEMBAHASAN
A.         Pengumpulan Al-Qur’an di Masa Utsman bin Affan
Masa pemerintahan Ustman bin Affan adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin yaitu 12 tahun. Sejarahwan membagi masa pemerintahan Utsman bin Affan menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir adalah merupakan masa pemerintahan yang buruk. Enam tahun pertama pada pemerintahan, Beliau melanjutkan sukses pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencana secara cermat dan simultan di semua front.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shidiq, terjadi perang yang dipimpin oleh Kholid bin Walid untuk memerangi Musailamah al-Kadzab yang mengaku bahwa dirinya adalah Nabi. Peperangan yang terjadi di Yamamah itu menggugurkan 700 sahabat penghafal al-Qur’an. Melihat hal ini, Umar bin Khathab meminta kepada Abu Bakar ash-Shidiq agar al-Qur’an dikumpulkan karena khawatir al-Qur’an akan hilang dengan gugurnya para penghafal al-Qur’an.[1] Atas usulan dari Umar bin Kathab itulah, maka Abu Bakar ash-Shidiq memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an. Karena beliau adalah orang yang pintar, dipercaya keagamaannya, dan salah seorang penulis wahyu di masa Rasulullah. Zaid bin Tsabit dalam tugasnya dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.[2]
Dari berbagai riwayat menyebutkan bahwa penyimpanan shuhuf-shuhuf itu dipegang oleh khalifah, namun setelah khalifah Umar bin Khathab wafat, shuhuf-shuhuf itu tidak disimpan oleh Utsman sebagai khalifah berikutnya, tetapi dipegang oleh Hafshah. Karena beliau adalah istri Rasul dan anak khalifah Umar, beliau juga sosok yang pandai membaca dan menulis. Penyebaran Islam bertambah luas dan para qurra’ pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qira’at dari para qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan huruf pada saat al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan adanya perbedaan qira’at ini. Terkadang sebagian dari mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah.
Akan tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah, sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan saling pertentangan bila terus tersiar, bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.[3]
Pada waktu terjadi pertempuran sengit di Armenia dan Azerbeijan dari penduduk Irak. Dalam kedua pertempuran ini Huzaifah bin al Yamaniy memperhatikan banyak terdapat bentuk perbedaan dalam masalah qira’at. Sebagian orang ada yang salah dalam membaca, disamping itu tiap-tiap orang berusaha sungguh-sungguh memperbaiki bacaannya. Juga memperbaiki wakaf-wakafnya, dari perbedaan itu maka terjadilah perbedaan dikalangan mereka. Di antara mereka itu timbul perbedaan pendapat. Bagi para sahabat yang terkemuka malah ini menimbulkan kekhawatiran. Hal ini dengan secara berangsur-angsur akan terjadi perubahan dan pertukaran nantinya.[4]
Bencana yang terjadi di Yamamah itu telah menggetarkan hati untuk mengadakan perbaikan. Bencana yang terjadi setelah meninggalnya Umar menggerakkan pula hati Usman untuk memperbaikinya. Sepulangnya Huzaifah al Yamaniy dari perang Armenia dan Azerbaijan dia menghadap khalifah Utsman untuk mengatakan tentang kekhawatirannya tentang perbedaan umat Islam dalam hal membaca al-Qur’an. Katanya kepada khalifah, “Bagaimana pendapat tuan dari hal umat yang berbeda-beda membaca al-Qur’an? ”.[5]

1. Munculnya Ide Pengumpulan Al-Qur’an
Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar. Latar belakang pengumpulan al-Qur'an di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka.
Penduduk Syam membaca al-Qur'an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.[6]
Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: “Pada masa pemerintahan Utsman guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Karena latar belakang dari kejadian tersebut, Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya ia berpendapat untuk melakukan tindakan prefentip menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan.
Sebagai khalifah yang ketiga Utsman tidak lagi menginginkan adanya variasi tersebut dan memerintahkan dituliskannya sebuah versi tunggal dalam bentuk bahasa Quraisy, dan Utsman menyerahkan tugas baru ini kepada Zaid bin Tsabit untuk memimpin pembakuan al-Qur’an dalam satu bahasa agar keragaman dialek tidak menjadi sebab disharmonisnya dalam komunitas muslim.[7]
Mereka semua sependapat agar Amirul Mu'minin menyalin dan memperbanyak mushhaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushhaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan al-Qur'an.

2. Pembentukan Panitia Pengumpulan Al-Qur’an
Sahabat Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut adalab Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Adapun Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah.[8] Utsman berkata kepada mereka yaitu:
إِذَا اخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَ زَيْدٌ بْنُ ثَابِتٍ فِى شَيْءٍ مِنَ الْقُرْاۤنِ فَاكْتُبُوْهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ, فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ.



Artinya:
“Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentag sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”[9]
Tugas panitia ini adalah membukukan al-Qur’an, yakni menyalin lembaran-lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman menasihatkan supaya:[10]
a.   Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an.
b.  Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan) maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Maka dikerjakanlah oleh panitia sebagai yang ditugaskan kepada mereka, dan setelah tugas itu selesai, maka lembaran-lembaran al-Qur’an yang dipinjam dari Hafshah itu dikembalikan kepadanya. Selanjutnya Utsman mengirim ke setiap wilayah mushhaf baru tersebut  dan memerintahkan agar semua al-Qur’an atau mushhaf lainnya dibakar. Zaid berkata: “ketika kami menyalin mushhaf saya teringat akan satu ayat dari surat al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah, maka kami mencarinya dan kami dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Anshari, ayat itu adalah:[11]

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
Artinya:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”

3. Pengumpulan Al-Qur’an
Dengan ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka hal itu merupakan sebuah langkah konkret untuk mengatasi kenyataan pahit yang terjadi. Apabila masa-masa dua khalifah sebelumnya, “Mushaf Abu Bakar” hanya disimpan di rumah, maka Ustman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu.
Langkah Utsman memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan Mushaf Abu Bakar sekaligus menyatukan bacaan. Alasannya yaitu karena Utsman tetap menyertakan Zaid bin Tsabit di dalam panitia. Zaid yang sejak zaman Rasulullah dan Abu Bakar terlibat langsung dalam penulisan dan penghimpunan al-Qur’an, dapat dipastikan di dalam panitia ini lebih banyak bereperan ketimbang tiga anggota panitia lainnya. Sehingga kemungkinan terjadinya perubahan, penambahan atau hilangnya kalimat tertentu dapat ditekan sampai pada titik nol dan keaslian al-Qur’an tetap terjamin.[12]
Zaid pun juga mengumpulkan bahan al-Qur’an yang terdapat pada daun kering, dan hafalan para sahabat Rasulullah. Caranya adalah dia mendengarkan dari orang-orang yang hafal, kemudian dicocokkannya dengan yang telah dituliskan pada bahan-bahan tersebut. Dia tidak mencukupkan dari sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokkan kepada yang ditulis. [13]
Dia hanya menerima catatan yang mempunya dua syahid, yaitu dua saksi. Cara itu lebih menjamin daripada hanya hafalan belaka. Disamping itu Zaid sendiri termasuk orang yang hafal al-Qur’an. Ketentuan dua saksi ini ditetapkan berdasarkan keputusan Khalifah Abu Bakar, dalam pesannya kepada Zaid bin Tsabit dan Umar, Abu Bakar mengatakan:

اُقْعُدَا عَلَى بَابِ المَسْجِيْدِ. فَمَنْ جَاءَ كُمَا بِشَاهِدَيْنِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ فَاكْتُبَاهُ
Artinya:
“Duduklah kalian dipintu masjid. Siapa saja yang datanag kepada kalian membawa catatan al-Qur’an dengan dua saksi maka catatlah”.[14]
Menurut tokoh hadis yang dimaksud dua saksi atau syahidain disini tidak harus keduanya dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu itu, sudah diterima ayatmnya apabila ayat yang disodorkan kepada tim didukung oleh dua hafalan dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.pengertian Ibnu Hajar tentang syahidain ini sedikit berbeda, yaitu catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu seorang sahabat sudah dapat diterima bila memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu memang ditulis di hadapan Rasulullah.[15]
Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan “Al-Mushhaf”, dan panitia ditulis lima buah al-Mushhaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula masing-masing Mushhaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri dinamai dengan “Mushhaf Al-Imam”.[16]
Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Ia khawatir kalau mushhaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu beredar. Padahal pada mushhaf-mushhaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur’an. Karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan Kalam Allah.
Utsman mengatakan kepada mereka: “Bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy”. Utsman meminta kepada Hafshah binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushhaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafshah mengabulkannya.
Umar bin Shabba meriwayatkan melalui Sawwar bin Shabib: saya masuk ke kelompok kecil untuk bertemu dengan Ibn az-Zubair, lalu saya menanyakan kepadanya kenapa Utsman memusnahkan semua naskah kuno al-Qur’an?. Dia menjawab “pada zaman pemerintahan Umar ada pembual bicarayang telah mendekati khalifah memberitahukan kepadanya bahwa orang-orang telah berbeda dalam membaca al-Qur’an. Umar menyelesaikan masalah ini dengan mengumpulkan semua salinan naskah al-Qur’an dan menyamakan bacaan mereka, tetapi menderita yang sangat fatal akibat tikaman manut sebelum beliau dapat melakukan upaya lebih lanjut. Pada zaman pemerintahan Utsman, orang yang sama datang untuk mengingatkannya masalah yang sama dimana kemudian Utsman memerintahkan untuk membuat mushhaf tersendiri. Lalu dia mengutus saya menemui bekas istri Nabi Muhammad SAW, Aisah, agar mengambil kertas kulit (suhuf) yang Nabi Muhammad SAW. sendiri telah mendiktekan keseluruhan al-Qur’an. Mushhaf yang dikumpulkan secara independen kemudian dibandingkan dengan suhuf ini, dan setelah melakukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang ada, kemudian ia menyuruh agar semua salinan naskah al-Qur’an itu dimusnahkan.
Walaupun riwayat ini dianggap lemah menurut ukuran pada ahli hadis, tapi ada gunanya dalam menyebutkan riwayat ini yang menerangkan pengambilan suhuf yang ada dibawah pengawasan atau penjagaan Aisah. Riwayat dibawah ini bagaimanapun menguatkan riwayat-riwayat sebelumnya. Ibn Shabba meriwayatkan dari Harun bin Umar, yang mengaitkan bahwa: “Ketika Utsman hendak membuat salinan (naskah) resmi, dia meminta Aisah agar mengirimkannya kepada kertas kulit (suhuf) yang dibacakan oleh Nabi Muhammad yang disimpan dirumahnya. Kemudian dia menyuruh Zaid bin Tsabit membetulkan sebagaimana mestinya, pada waktu itu beliau merasa sibuk dan ingin mencurahkan waktunya mengurus masyarakat dan membuat ketentuan hukum sesame mereka”.[17]
Maka dari mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum muslimin di seluruh pelosok menyalin al-Qur’an itu. Adapun kelainan bacaan, sampai sekarang masih ada karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi terus dipakai oleh kaum muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis di masa Utsman itu.
Dengan demikian keistimewaan pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman itu adalah:[18]
a.   Adanya penyerdahanaan dialek dari tujuh dialek menjadi satu dialek. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: Utsman mengumpulkan manusia diatas satu dialek dari yang semula tujuh dialek, yang oleh Rasul telah dimutlakkan sebagai bacaan umatnya, ketika hal itu masih merupakan maslahah.
b.  Mengembalikan bacaan yang telah dihapus. Utsman bermaksud menyatukan mushhaf umat. Bacaanya tidak ada yang dihapus, ditulis dengan bentuk yang kokoh, dan mewajibkan umat membaca dan menghafalnya, (karena) dikhawatirkan masuknya kerusakan dan kesamaran pada generasi selanjutnya.
c.   Peringkasan terhadap apa yang ditetapkan pada pemeriksaan terakhir dan membuang selain hal tersebut. Sesungguhnya Ibnu Daudi telah meriwayatkan tentang mushaf-mushaf dari Muhd bin Sairi, dari Kutsair bin Aflah: Ketika Utsman menginginkan agar mushhaf-mushhaf ditulis, ia mengumpilkan dua belas orang dari golongan Anshar dan Quraisy. Diantara mereka terdapat Ubay bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Rawi berkata:  “Lalu mereka diutus keruangan dirumah umar dan dibawalah (mushhafnya). Saat itu Utsman mengadakan perjanjian dengan mereka, yakni apa bila diantara mereka berselisih dalam sesuatu, maka ia harus mengakhirkannya.” Muhd berkata: “Lalu ku katakan kepada orang-orang banyak tersebut, diantara mereka ada yang menulis (wahyu). Apakah kalian mengerti kenapa mereka mengakhirkannya?” ia mejawab: ”Tidak”. Muhd berkata: “Aku mengira, mereka mengakhirkannya karena terjadi perselisihan. Sedangkan yang lain melihat orang berselisih, padahal diantara mereka ada yang menulis tentang perjanjian lalu mereka menulis atas dasar perkataan orang itu.
d.  Peringkasan terhadap bacaan-bacaan yang telah kuat dan dikenal dari Rasulullah dan pembatalan hal-hal yang belum kuat.
e.   Susunan ayat dan surat sama seperti yang dikenal (saat ini).
Utsman memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang memenuhi persyaratan berikut:
a.   Harus mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b.  Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
c.   Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushhaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushhaf Utsman.
d.  Sistem penulisan yang digunakan mushhaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz al-Qur’an ketika turun.
e.   Semua yang bukan termasuk al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushhaf sebagian sahabat dimana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushhaf, atau penjelasan nasikh-mansukh.
Mushhaf Abu Bakar setelah dipinjam dan disalin, Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Mushhaf itu tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Dalam buku Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dr. Shubhiy Shalih yang mengutip keterangannya dari Kitab Al-Mashhahif  karya Ibnu Abi Daud, menurunkan riwayat sebagai berikut: ”Marwan telah berusaha mengambilnya (mushhaf) dari tangannya (Hafshah) untuk kemudian membakarnya. Tetapi ia (Hafshah) tidak mau menyerahkannya sampai ketika ia wafat, Marwan mengambil mushhaf tersebut dan membakarnya”.
Bila dianalisis baik keengganan Hafshah menyerahkan mushhaf maupun Marwan yang bersikeras meminta mushhaf yang ada pada mushhaf, maka hal itu dapat dimengerti. Hafshah enggan menyerahkan Mushhaf Abu Bakar yang ia terima dari ayahnya yaitu Umar, karena ia tahu mushhaf itulah yang disalin oleh Utsman untuk disebarluaskan ke beberapa daerah. Sementara Marwan berkeinginan agar masyarakat hanya mengenal satu mushhaf. Dan Marwan tahu bahwa penulisan Mushhaf Utsman atau Mushhaf Utsmaniy dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu tetapi memperhatikan qira’at-qira’at yang dibenarkan Rasulullah.
Kaum muslimin sepakat bahwa seluruh mushhaf yang dibagikan Utsman ke berbagai penjuru negeri, berapapun jumlahnya adalah mushhaf yang sama dan mencakup semua isi al-Qur’an, yang diterima dari Nabi Muhammad. Musshaf tersebut berisi 114 surat, naskah tersebut tidak memiliki titik dan syakal (harokat), dan tidak pula memiliki tanda-tanda lain yang kita kenal dimasa ini. Bahkan menurut pendapat yang populer, ia tidak pula memiliki nama-nama surat dan bagian-bagian yang memisahkannya satu sama lain.
Kendati nasib semua mushhaf tersebut tidak diketahui secara pasti, namun Ibn Katsir pernah melihat mushhaf Utsmaniy yang ada di Syam. Ibn Katsir mengatakan sebagai berikut : adapun mushhaf Utsmaniyah yang diakui sebagai Mushhaf Imam maka yang termasyhur sekarang ini adalah yang terdapat di Syam dan tersimpan di Masjid Jami’ Damaskus. Dulu mushhaf tersebut disimpan di kota Thibriyyah, kemudian dipindahkan ke Damaskus pada akhir tahun 518 H. sungguh saya telah menyaksikan sendiri kitab agung dan mulia dengan tulisan tangan yang indah, jelas dan kuat, yang menggunakan tinta yang tahan luntur, dan ditulis di atas lembaran-lembaran yang saya duga adalah kulit unta.[19] 
Perlu diketahui bahwa sebelum masa Utsman, telah terjadi perselisihan mengenai bacaan al-Qur’an, baik di daerah-daerah maupun di Madinah, setiap guru mempunyai bacaan tersendiri sehinggah anak-anak yang menerima pelajaran pun menjadi berselisih. Perselisihan ini berlanjut hingga masa Utsman kemudian disampaikanlah kasus itu oleh Hudzayfah kepada Utsman. Karena itulah ia sangat khawatir, kemudian menyampaikan amanatnya didepan jamaah sebagai berikut: “Kamu sekalian yang dekat dengan sayapun berselisih mengenai bacaan al-Qur’an dan salah bacaan, apalagi orang-orang yang berada di daerah-daerah. Saya yakin, mereka lebih hebat perselisihannya dan lebih besar kesalahannya dalam membaca al-Qur’an. Untuk itulah wahai sahabat-sahabat Muhammad tulislah sebuah Imam untuk manusia”.
Karena itulah mushhaf Utsman dinamakan Al-Imam, Utsman telah mengirimkan naskah mushhaf ini ke beberapa daerah dan memerintahkan agar membakar semua mushhaf selain mushhaf Utsman. Ibn Fadhli al ‘Umariy dalam kitabnya Masaliku I’Abrar ketika menerangkan sifat masjid Damaskus, berkata: ”Disebelah kirinya terdapat mushhaf Utsmaniy yang ditulis Amirul Mu’minin. Mushhaf Utsmaniy ini berada di masjid Damaskus pada masa al ‘Umary hingga abad 8 H. Para peneliti peninggalan bangsa Arab menegaskan, mushhaf inilah yang dipelihara di perpustakaan Leningrad, kemudian dipindahkan ke Inggris dan tetap disana hingga sekarang.[20]
Pembakuan teks al-Qur’an pada masa Utsman dapat diberi penanggalan pada suatu saat antara 650 hingga wafatnya Utsman pada 656. Masa ini merupakan titik utama dalam apa yang biasanya disebut sebagai pembentukan naskah resmi al-Qur’an. Bagaimanapun bentuk al-Qur’an sebelumnya, sudah jelas bahwa kitab yang di tangan kita sekarang merupakan al-Qur’an Utsmaniy. Organisasi yang di bentuk Utsman menentukan apa-apa yang mesti dimasukkan dan apa yang mesti dikeluarkan, organisasi mengatur nomor dan susunan surat, serta kerangka konsonantal (bentuk teks ketika titik-titik huruf tertentu dihilangkan). Jika kita berpendapat bahwa pemeliharaan setiap bagian terkecil dari wahyu (asli) merupakan suatu syarat mutlak, maka Zaid harus dikukuhkan karena telah menghasilkan suatu karya yang sangat mengagumkan.[21]
Periode Khulafaur-Rasyidin diakhiri dengan sebuah tragedi. Keluarga Utsman mempertahankan kekuasannya atas masyarakat melalui suatu keturunan Utsman yang bernama Muawiyah, sementara Ali  sebagai menantu Nabi dan sahabat Nabi terkemuka,  juga menginginkan posisi sebagai khalifah. Persaingan dalam merebut kekuasaan tersebut akhirnya mengakibatkan peperangan antara kedua belah pihak dan Muawiyah berhasil merebut kekuasaan tersebut, meskipun dia tidak pernah mengalahkan Ali secara total. Akan tetapi secara politik, masyaarakat mengalami perpecahan, dan lahirlah dua kelompok Islam.[22]


4. Pola Penulisan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan dalam Mushaf Usmani
Terdapat beberapa pola penulisan al-Qur’an dalam mushaf Usmani, seperti dikukuhkan Ahmad Adil Kamal dalam ‘Ulum Al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah bahasa Arab, yaitu:[23]
a.   Al-khadfu (الحَذْ فُ), yaitu berupa pengurangan huruf seperti pengurangan huruf waw  pada al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 11 dan alif  pada Al-Qur’an surat al-Maidah atat 41.
b.  Az-ziyadah ( الزِّيَادَةُ), yaitu penambahan huruf seperti yang terjadi pada al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 23 dan penambahan ya pada al-Qur’an surat ar-Rum ayat 8.
c.   Al-Badlu (الْبَدْ لُ), yaitu berupa penggantian suatu huruf dengan huruf lain, seperti mengganti alif  dengan huruf waw  pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 dan 276.
d.  Al-washlu (الْوَصْلُ) dan al-fashlu (الْفَصْلُ), yaitu meenggabungkan suatu lafal lain yang lazimnya dipisahkan, dan sebaliknya. Seperti menggabungkan lafal an (أَنْ) dengan lan (لَنْ) dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 3 sengan surat al-Kahdi ayat 48.
e.   Ma>fi>hi qira>ata>ni (مَافِيْهِ قِرَاتَانِ), yaitu menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki versi qiraat berbeda. Dalam hal ini, bila memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama maka pola penulisannya sama dalam setiap mushaf Usmani. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Fatihah ayat 4 dan surat al-Baqarah ayat 9. Lafal (مَلِكِ) dapat dibaca ma>liki (مَا لِكِ) dan bisa pula dibaca maliki (مَلِكِ).
šcqããÏ»sƒä ©!$# tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä $tBur šcqããyøƒs HwÎ) öNßg|¡àÿRr& $tBur tbráãèô±o ÇÒÈ     
Lafal (يَخْدَعُوْنَ) dalam ayat diatas dapat dibaca yukha>di’u>na (يُوْخَادِعُوْنَ) dan bisa pula dibaca yakhda’u>na (يَخْدَعُوْنَ).


B.          Perbaikan Al-Qur’an di Masa Sesudah Utsman bin Affan
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca, seperti titik dan syakal karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu, tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata. Ketika bahasa Arab mulai mendapat pengaruh dari luar karena bercampur dengan bahasa lainnya, maka para penguasa mulai melakukan perbaikan-perbaikan yang membantu cara baca yang benar. Perlunya pembubuhan tanda baca dalam penulisan al-Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad bin Samiyah menjadi Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (40-60H). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum muslim dalam membaca al-Qur’an.[24]
Sebagai contoh, kesalahan dalam membaca firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 3 yang berbunyi:
¨br& ©!$# Öäü̍t/ z`ÏiB tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#   ¼ã&è!qßuur
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas dari orang-orang musyrik.
Terhadap ayat di atas, ada di antara kamu kaum muslimin waktu itu yang membaca sebagai berikut:
¨br& ©!$# Öäü̍t/ z`ÏiB tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#   وَرَسُولِهِ
Dengan dibaca demikian maka ayat tersebut berarti: Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan rasul-Nya. Melihat kenyataan seoerti itu, Ziyah bin Saiyah meminta Abu Aswad Al-Duali (w. 69 H/638 M) untuk memberi syakal. Ia memberi tanda fathah atau tanda bunyi (a) dengan membubuhkan satu titik di atas huruf, tanda kasrah atau tanda bunyi (i) dengan membubuhkan satu titik di bawah huruf, tanda dammah atau tanda bunyi (u) dengan membubuhkan satu titik terletak di antara bagian-bagian huruf, sementara tanda sukun atau tanda bunyi konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara tidak membubuhkan apa-apa pada huruf yang bersangkutan.
Tanda baca Abu Aswad tersebut disempurnakan lagi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H) dengan perantara Gubernur Hajjaj bin Yusuf, diperintahkan supaya masing-masing huruf al-Qur’an yang serupa diberi tanda secukupnya, sebagai contoh huruf “ba”, “ta”, “tsa” dan lain sebagainya, dengan tujuan agar tidak timbul kekeliruan dalam bacaan. Maka oleh Nashar bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar, yang kedua-duanya itu murid Abu Aswad, direncanakan tanda-tanda untuk membedakan satu persatunya huruf dari ayat-ayat al-Qur’an seperti huruf “ba” diberi tanda titik satu bawah, huruf “ta” diberi tanda titik dua di atas, huruf “tsa” diberi tanda titik tiga di atas dan demikianlah seterusnya. Sebagaimana yang ada sekarang ini. Dan di adakan pula tanda titik di awal dan akhir tiap-tiap ayat.
Pada tahun 162 H karena banyak kekeliruan orang dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an, seperti bacaan yang mestinya panjang dibaca pendek, yang harus dibaca syiddah tidak dibaca syiddah dan lain sebagainya, karena tanda baris yang telah ada belum begitu mencukupi maka oleh Imam Kalil bin Ahmad di kota Bashrah, direncanakan pula tanda yang lebih terang. Yakni oleh beliau diadakan lagi tanda baris (harakat), tanda harus dibaca panjang, tanda harus dibaca tebal, tanda harus dibaca mati dan demikianlah seterusnya, sebagaimana tanda yang terpakai hingga sekarang.
Adapun tulisan ayat-ayat al-Qur’an yang ada sekarang ini, bukan lagi dari tulisan ”Kufi”, karena tulisan yang model kufi itu dari satu masa ke masa yang lain telah diperbagus dan diperbaiki, sehingga di masa seorang wazir dari pemerintahan Abbasiyah, yaitu al Wasir Ibnu Muqlab di Baghdad pada tahun 272 H. Beliau ini yang mengatur dan membentuk tulisan ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini. Tentang membagi al-Qur’an menjadi 30 juz, dan pada tiap-tiap juz diadakan tanda nishfu (separuh), dan pada tiap-tiap nishfu diadakan tanda rubu’ (seperempat), itu adalah dari inisiatif Gubernur Hajjaj bin Yusuf tersebut.[25] Demikian singkatnya riwayat huruf dan tulisan al-Qur’an dan pembagian juz-juznya seperti yang ada sekarang ini, yang semuanya ini untuk menjaga kesucian al-Qur’an, dan juga untuk memudahkan cara membacanya.



C.          Gaya Tulisan Al-Qur’an

1. Gaya Kufi
Tak ada keraguan bahwa al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW., sahabat, dan tabi’in ditulis dalam gaya Kufi. Rifal Ka’bah menyebut gaya ini merupakan variasi gaya Hiran (khas kota Herat/Hirah), yang datang ke Hijaz dari Irak pada masa sekitar awal ketika menteri dan para sahabat Nabi belajar membaca dan menulis gaya tersebut kepada Rabi, seorang ulama terkemuka pada masa itu. Menurut Issa J. Boullata, gaya tulisan kufi berasal dari tulisan Nabataen dan jenis huruf yang ada di Syria sebelum hijriah karena, baik dalam tulisan kufi maupun Suriah, huruf alif tidak akan ditulis bila muncul dalam pertengahan kata. Sebagai contoh kata kita>b, rahma>n, dan isma>i>l ditulis tanpa alif  antara ta dan ba, min, dan nun serta mim dan ‘ain.
Namun demikian, gaya tulisan selain kufi ada juga di Hijaz pada masa Nabi, yakni tulisan nabataen yang darinya nanti berkembang gaya tulisan naskhi. Tulisan nabataen memang lebih mudah, lebih biasa digunakan kecuali oleh orang-orang Arabia. Malik asy-Syuara bahkan mengamati dalam Sabshinasi bahwa yang dapat dilihat dari kumpulan hadis-hadis adalah bahwa gaya tulisan Islam sejak semula adalah tulisan nabataen yang disebut an-Naskhi dan al-Miris. Tulisan nabataen telah datang ke Hijaz dari Huran (kota Suriah kuno), tetapi pada praktiknya al-Qur’an biasanya ditulis dengan gaya kufi untuk beberapa abad lamanya. Beberapa orang bahkan mengkalim bahwa adanya tulisan al-Qur’an dalam gaya selain kufi adalah tidak tepat karena al-Qur’an sejak semula ditulis dalam gaya tersebut. Dan mereka menganggap setiap perubahan bentuk tulisan tersebut adalah bid’ah.[26]

2. Gaya Naskhi
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan seni dalam Islam, khususnya pada masa Abbasiyah, karakter tulisan juga mengalami perkembangan. Serangkaian untuk seni kaligrafi. Dan para pakar pun muncul dalam bidang seni kaligrafi. Tulisan gaya naskhi lantas mendapat perhatian serius, pasalnya gaya tulisan naskhi lebih sederhana ketimbang gaya kufi sehingga mendapat perhatian, baik dari para ahli kaligrafi maupun masyarakat kebanyakan. Sekelompok ahli kaligrafi bahkan member perhatian khusus pada perbaikan tulisan gaya naskhi, misalnya Muhammad bin Ali bin Husain bin Muqlah (272-328 H). Ibnu Muqlah diyakini sebagai penemu tulisan gaya naskhi.
Pada masa ini, al-Qur’an pun mulai dituliskan dalam gaya Naskhi ini masih bisa dijumpai di Astanah-ye Quds-e Radhawi dan al-Qur’an yang di pelihara di Dar al-Kutub kairo, di perpustakaan Jamaat al-Qarwiyyin di Fas, dan di perpustakaan museum Topkapi Istanbul.[27]

D.         Macam-macam Mushaf
Adapun berikut adalah macam-macam dari mushaf kuno yang masih disimpan keberadaannya, macam-macamnya yaitu: [28]
1.  Mushaf Mesir
Al-Maqrizi menyebutkan dalam Khutbah al-Mishr  tentang al-Qur’an yang ditulis Ali yang ada di perpustakaan Khalifah Fatimiyah di Kairo. Mushhaf ini pada mulanya diamankan dalam peti perak di Masjid Agung Kuno Mesir ketika Ma’mun Batha’ihi, menteri Khalifah Fatimiyah Billah, memerintahkan untuk membuat peti emas untuk al-Qur’an. Saat ini al-Qur’an yang dinisbahkan kepada Ali berada dalam koleksi makam suci al-Husayn di Kairo. Namun agaknya yang ini tidak sama dengan yang berada di Masjid Agung Kuno Mesir dan yang selanjutnya dipindahkan dari situ.
2.  Mushaf Najaf
Sayyid Jamal al- Din Dawud al-Hasani, yang terkenal sebagai Ibn Inabah menyebutkan dalam ‘Umdah al-Thalib tentang al-Qur’an yang berada dalam koleksi makam suci Ali di Najaf. Ia menyebutkan naskah lain al-Qur’an yang ditulis Ali yang pernah dilihat di makam suci ‘Ubayd Allah ibn Ali. Setiap hubungan antara kedua al-Qur’an ini serta kaitan mereka dengan sebuah naskah yang lain di Mesir membutuhkan penyelidikan lebih jauh.
Bahkan sekarang ada sebuah al-Qur’an dalam koleksi makam suci Ali di Najaf yang oleh beberapa ulama diyakini sebagai al-Qur’an yang disebutkan oleh pengarang buku Umdah al-Thalib adalah mungkin bahwa mushhaf dimakam ‘Ubayd Allah Ibn Ali pernah membat beberapa bagian dari al-Qur’an Najaf.
Sayyid Ahmad al-Husayni al-Asykawari dalam Fihrist khizanat al-Rawdhat al-Haydariyah, dengan mengutip Mawsu’ad al- Muqadddasah (Bab yang membahas tentang Najaf), menulis bahwa pada tahun 755 H/1354 M makam suci Ali terbakar api sehingga banyak barang langka koleksi tempat suci yang hilang, termasuk al-Qur’an yang ditulis oleh Ali dalam tiga jilid.
Pada catatan pinggir (Hasyiyah) manuskrip ‘Umdah al-Thalib yang ada diperpustakaan Astanah-e Quds-q Radhawi, terdapat catatan berharga yang ditulis oleh ahli perpustakaan Nasabah bernama Husayn, yang mencakup penjelasan mengenai mushaf Najaf. Catatan yang senada berbunyi: “Mushhaf  yang dilihat oleh Sayyid al-Najib (Ibn Inabah al-Hasani Nasabah, pengarang ‘Umdah al-Thalib) di Najaf masih ada dalam koleksi Najaf. Namun demikian sebagaian besar dari mushhaf itu terbakar dan hanya satu jilid saja yang tersisa. Dan itupun tanpa catatan pinggir karena semua catatan pinggir bersama-sama dengan sebagian naskah musnah dimakan api.
3.  Mushaf di Makam Suci Imam Ridha
Selain dari al-Qur’an yang tersimpan pada peti mayat batu (dhari’) di makam Ali di Najaf, ada lagi dua buah mushhaf al-Qur’an dalam koleksi makam suci Imam Ridha di Masyhad yang juga dinisbahkan kepada Imam Ali. Yang pertama bernomor enam dan tersimpan di perpustakaan. Tertulis catatan dalam tulisan kufi pada kulit rusa: “katabah Ali ibn Abi Thalib ditulis oleh Ali Ibn Abi Thalib. Pada halaman pertama terdapat persembahan dari Syah ‘Abbas, rasa Shafawi, yang ditulis oleh Syaikh al-Baha’I berikut tanda tangannya dan tahun seribu delapan Hijriyah. Disitu, Syaikh al-Baha’I menyebutkannya sebagai tulisan Ali. Al-Qur’an dalam enam puluh delapan halaman foto ini mengandung bagian Kitab Suci mulai surat Hud hingga akhir surat al-Kahfi.
Mushaf al-Qur’an kedua bernomor satu. Bagian catatan pinggirnya hilang dan ayat-ayatnya juga hilang diantara halaman-halaman tertentu. Sebagai contoh antara folio tiga puluh tiga dan tiga puluh empat hampir tujuh puluh sembilan ayat hilang. Al-Qur’an ini telah ditulis pada kulit rusa dan mempunyai tiga ratus satu lembar folio yang memuat seluruh al-Qur’an. Al-Qur’an ini disumbangkan oleh Syah ‘Abbas pada tahun 1009 H/1600 M ke makam suci.
4.  Mushaf Koleksi Topkapi Sarayi
Dua mushaf lagi berada di Turki yang dinisbahkan kepada Ali. Keduanya disimpan di perpustakaan al-Amanah (yang saat ini bagian perpustakaan Topkapi Sarayi). Mushaf yang pertama bernomor perpustakaan Al-Amanah (nomor dua). Mikro filmnya dinomori delapan belas, disimpan di Ma’had al-Makhthuthat al-‘Arabiyyah, Kairo. Mushhaf yang kedua bernomor dua puluh Sembilan dan mikro filmnya dinomori empat belas, disimpan di Ma’had al-Makhthuthat al-‘Arabiyyah, Kairo.  
Dari kesemua ijtihad para sahabat termasuk Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, dan Utsman bin ‘Affan adalah benar. Karena mereka adalah para sahabat yang hidup bersama Rasulullah SAW., mereka menyaksikan langsung apa yang disampaikan Rasulullah, baik berupa ajaran tentang wahyu (al-Qur’an) maupun hadits.[29] Sehingga ijtihad mereka tetap disandarkan kepada ajaran Rasulullah SAW. yang bersifat tauqifi.
  
E.Percetakan Al-Qur’an
Al-Qur’an pertama kali dicetak di Hamburg, Jerman pada tahun 1113 H. salah satu mushaf hasil cetakan pertama ini konon terdapat di Dar al-Kutub al-Arabiyah, Mesir. Sementara itu di Turki, al-Qur’an dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1129 H, kemudian menyusul Iran pada tahun 1248  H. pada tahun 1342 H di Mesir dicetak al-Qur’an dengan rasm serta huruf seperti yang kita kenal saat ini. Mushaf tersebut ditulis sesuai dengan qiraat Hafsh yang telah dijadikan pegangan seluruh kaum muslim berdasarkan ijma’. Mushaf tersebut dicetak ulang jutaan eksemplar setiap tahunnya.
Di Madinah saat ini terdapat percetakan al-Qur’an yang diklaim terbesar di dunia. Percetakan itu mulai dibangun oleh Raja Fahd pada 2 November 1982. Pada Oktober 1984 mulailah al-Qur’an diproduksi di sini. Hingga saat ini produksi al-Qur’an dengan berbagai ukuran mencapai sekitar 12 juta eksemplar per tahun. Percetakan ini menempati area seluas 1.250 meter persegi, berada di ujung jalan arah barat Madinah menuju Tabuk. Selain gedung percetakan, di kompleks percetakan itu juga ada gudang, masjid, show room produksi sekaligus toko tempat penjualan, asrama untuk karyawan, klinik, dan perpustakaan.
Percetakan ini tak hanya mencetak al-Qur’an dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, tetapi juga dalam berbagai bahasa terjemahan. Paling tidak saat ini sudah diterbitkan al-Qur’an dan terjemahannya dalam 50 bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dalam pengantar al-Qur’an berbahasa Indonesia yang dicetak dalam percetakan ini disebutkan, ” Dengan ini Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia yang menaungi Mujtama’ Malik Fahd Li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif (Kompleks Percetakan Al-Qur’an al-Karim Kepunyaan Raja Fahd) di Madinah al-Munawwaroh menyampaikan rasa gembira dan penghargaan kepada mujtama’ atas dicetaknya al-Qur’an al-Karim ini dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kami memohon kepada Allah agar upaya tersebut member manfaat kepada seluruh umat Islam, dan semoga Allah membalas Khadim al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd bin Abd al-Aziz as-Saud dengan sebaik-baik balasan atas pengorbanannya yang mulia dalam upaya melancarkan tersebarnya kitab Allah yang mulia ini. Hanya Allah lah sumber kesuksesan.”
Al-Qur’an yang dicetak di percetakan itu dibagikan secara gratis ke seluruh dunia, seperti melalui masjid-masjid. Demikian juga kepada para jamaah haji, mereka mendapat al-Qur’an secara gratis pada waktu hendak menaiki pesawat terbang untuk kembali ke Negara masing-masing.[30] 





 Skema al-Qur’an Pada Masa Utsman& Sesudahnya
 





















BAB III
KESIMPULAN
1.  Penghimpunan al-Qur’an seluruhnya secara resmi dilaksakan pada zaman khalifah Abu Bakar ash-Siddiq (wafat 13 H/643 M) dan digandakan kemudian disebarluaskan dengan tujuan keseragaman bacaan pada zaman khalifah Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M). Jadi bukan sekedar menyalin mushaf Abu Bakar, melainkan sekaligus menyatukan penulisan ayat-ayat yang diperselisihkan bacaannya di kalangan umat Islam ke dalam bahasa Quraisy.
2.  Tim penulisan al-Qur’an yang dibentuk oleh khalifah Utsman itu, diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang beranggotakan antara lain Abdullah bin Zubeir, Sa’id bin Ash dan Abdurrahman bin Hisyam.
3.  Al-Qur’an yang telah dibukukan dinamai dengan “Al-Mushaf”, dan ditulis lima buah Al-Mushaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah, Kufah, dan Madinah.
4.  Pada masa pemerintahan Mu’awiyah, penyempurnaan al-Qur’an dilakukan oleh Imam Abu Aswad  yang diutus Ziyad bin Abihi, yaitu Abu Aswad memberikan tanda harakat yang berupa titik-titik diatas huruf, atau disebut juga pemberian titik I’rab.
5.  Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dengan perantara Hajjaj bin Yusuf, diperintahkan pula untuk menyempurnakan al-Qur’an yaitu dengan memberikan tanda secukupnya pada huruf al-Qur’an yang serupa. Maka Nashar bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar yang kedua-duanya murid Abu Aswad membuat tanda tersebut untuk membedakan satu persatunya huruf dari ayat-ayat al-Qur’an.




DAFTAR PUSTAKA
Abidin S, Zainal. Seluk Beluk Al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Amal, Taufik Adnan. Pengantar Studi Qur’an, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
Amirul Hasan dan Muhammad Halabi. Ulumul Al-Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997.
Arifin, Tajul. Kajian Al-Qur’an di Indonesia, Bandung: Mizan,1996.
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur’an-Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992.
Ash-Shabunny, Muhammad Aly. Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), Bandung: PT. Alma’arif, 1984.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, cet.VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Halimuddin. Pembahasan Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Halimuddin. Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992.
Haryono, M. Yudhie. Nalar Al-Qur’an, Jakarta: Nalar, 2002.
K. H. Moenawar Kholil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, Solo: Ramadhani, 1994.
Manna̅’ al-Qathha̅n, Maba̅hits Fi̅ ‘Ulu̅mil Qur’a̅n, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Mudzakir AS. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: PT.Mitra Kerjaya Indonesia, 2009.
Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Sohirin Solihi, dkk, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu SampaiKompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2005.
Wadji, Farid. Fenomena Al-Qur’an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, Bandung: PT. Marja, 2002.
Wahid, Saad Abdul. Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.


[1] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, cet.VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 98.
[2] Ibid, 100.
[3] Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT.Mitra Kerjaya Indonesia, 2009), 192.
[4] Halimuddin, S.H, Pembahasan Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, T.th), 46.
[5] Halimuddin, S.H, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992, T.th), 57.
[6] Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), (Bandung: PT. Alma’arif, 1984), 94. 
[7] Farid Wadji, Fenomena Al-Qur’an : Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, (Bandung : PT. Marja, 2002), 41.  
[8] Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), 95.
[9] Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 193.
[10] Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 35.
[11] Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 194.
[12] Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), 75. 
[13] Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 112.
[14] Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleksitas Al-Qur’an, 71.
[15] Ibid, 72.
[16] Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, 36.
[17] Sohirin Solihi, dkk, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi,  (Jakarta: Gema Insani, 2005), 101-102.
[18]Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Al-Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997), 124.
[19] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), 170-171. 
[20] Saad Abdul Wahid, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 81.
[21] Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Qur’an, (Jakarta: CV.Rajawali, 1991), 67.
[22] Tajul Arifin, M. A., Kajian Al-Qur’an di Indonesia, (Bandung: Mizan,1996),82
[23] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008), 188-190
[24] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an,192-194
[25] K. H. Moenawar Kholil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, (Solo: Ramadhani, 1994), 28
[26] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, 195-196
[27] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, 196-197
[28] M. Yudhie Haryono, Nalar Al-Qur’an, (Jakarta: Nalar, 2002), 21-24
[29] Manna̅’ al-Qathha̅n, Maba̅hits Fi̅ ‘Ulu̅mil Qur’a̅n, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), hal. 71.
[30] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, 198-199

0 komentar:

Posting Komentar