KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah
menurunkan Nabi Muhammad SAW. untuk umatnya di dunia ini sebagai petunjuk
untuk menggapai kehidupan di dunia ini menuju kehidupan abadi. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang,
yakni dengan tersiarnya agama Islam.
Dengan Hidayah, Rahmat dan Anugrah Allah SWT., makalah Studi Al-Quran ini dapat diselesaikan. Kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung atas
terselesaikannya makalah ini dan juga sangat mengharapkan kepada semua pihak
untuk memberi saran perbaikan makalah ini, karena makalah ini masih jauh akan
kesempurnaan. Adapun harapan kami,
semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at kepada kita semua, Amin.
Surabaya, 14 September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................... ii
A. Pengumpulan
Al-Qur’an di Masa Utsman bin Affan 5
1.
Munculnya
Ide Pengumpulan Al-Qur’an............. 6
2.
Pembentukan
Panitia Pengumpulan Al-Qur’an... 6
3.
Pengumpulan
Al-Qur’an..................................... 7
4.
Pola
Penulisan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan dalam Mushaf Usmani................................................................ 15
B.
Perbaikan
Al-Qur’an di Masa Sesudah Utsman bin Affan 15
C.
Gaya
Tulisan Al-Qur’an........................................... 19
1.
Gaya
Kufi........................................................... 19
2.
Gaya
Naskhi....................................................... 19
D.
Macam-Macam
Mushaf........................................... 19
1.
Mushaf
Mesir...................................................... 19
2.
Mushaf
Najaf...................................................... 19
3.
Mushaf
di Makam Suci Imam Ridha................... 20
4.
Mushaf
Koleksi Topkapu Sarayi......................... 21
E.
Percetakan
Al-Qur’an............................................... 21
BAB
III KESIMPULAN……..................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam masa
pemerintahan Ustman bin Affan, terdapat beberapa masalah pelik yang harus
segera dituntaskan, termasuk diantaranya pencatatan ulang al-Qur’an untuk kedua
kalinya. Meluasnya wilayah di bawah pimpinan Khalifah Umar sebelumnya memberi
peluang kepada para sahabat untuk berbondong-bondong mendatangi daerah
penaklukan untuk memgajarkan Islam dan membaca al-Qur’an. Ataupun banyak diutus
seorang pengajar ke daerah baru di wilayah Islam baik ketika di bawah pimpinan
Khalifah Umar maupun di bawah pemerintahan Ustman bin Affan.
Ada akibat lain
yang ditimbulkan dari pengajaran baik oleh sebagian sahabat maupun pengajar
lainnya, yaitu berbedanya cara membaca al-Qur’an, sehingga pada akhirnya ejekan
itu semakin meruncing dan tidak jarang saling mengkafirkan satu sama lainnya.
Akibatnya sering terjadi perselihan antara murid seseorang dengan murid lainnya
karena masing-masing berbeda dalam membaca al-Qur’an.
Sebenarnya para
sahabat sendiri yang melihat langsung Nabi baik cara membacanya maupun menyaksikan
wahyu, sudah biasa dan mengerti bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf
(tujuh macam qira’ah) dan mereka menegerti bahwa semuanya bersumber dari ajaran
Nabi sendiri, Sehingga tidak ada perselisihan diantara mereka mengenai
keragaman bacaan al-Qur’an ini.
Namun ketika
meluasnya daerah Islam, diantaranya ditaklukannya Armenis dan Azerbijan (Asia
Tengah), dan mulainya bangsa Ajam (non Arab) memeluk Islam.
Timbulah masalah baru, bahwa mereka adalah generasi yang tidak pernah bertemu
dengan Nabi. Dan ketika mereka belajar al-Qur’an mereka menganggap bahwa bacaan
al-Qur’an itu hanya satu. Akibatnya ketika mereka menemui bacaan berbeda selain
dari yang mereka pelajari, timbulah perbedaan pendapat. Karena masing-masing
pihak menganggap bahwa bacaanya lah yang paling benar. Tidak jarang mereka
saling mengkafirkan dan tidak sedikit berujung pada pertengkaran.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarbelakangi pengumpulan
al-Qur’an di masa Utsman bin Affan r.a.?
2. Bagaimana cara pengumpulan al-Qur’an
di masa Utsman bin Affan r.a.?
3. Bagaimana perkembangan al-Qur’an di
masa sesudah Utsman bin Affan?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui dan memahami pengumpulan
al-Qur’an di masa Utsman bin Affan r.a.
2. Untuk mengetahui dan memahami
perkembangan al-Qur’an di masa sesudah Utsman bin Affan
3. Melengkapi tugas wajib individu
matakuliah Studi al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengumpulan
Al-Qur’an di Masa Utsman bin Affan
Masa
pemerintahan Ustman bin Affan adalah yang terpanjang dari semua khalifah di
zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin yaitu 12 tahun. Sejarahwan membagi
masa pemerintahan Utsman bin Affan menjadi dua periode, enam tahun pertama
merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir adalah merupakan
masa pemerintahan yang buruk. Enam tahun pertama pada pemerintahan, Beliau
melanjutkan sukses pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan
Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak
terus dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang
terencana secara cermat dan simultan di semua front.
Pada masa
kekhalifahan Abu Bakar ash-Shidiq, terjadi perang yang dipimpin oleh Kholid bin
Walid untuk memerangi Musailamah al-Kadzab yang mengaku bahwa dirinya adalah Nabi.
Peperangan yang terjadi di Yamamah itu menggugurkan 700 sahabat penghafal al-Qur’an.
Melihat hal ini, Umar bin Khathab meminta kepada Abu Bakar ash-Shidiq agar al-Qur’an
dikumpulkan karena khawatir al-Qur’an akan hilang dengan gugurnya para
penghafal al-Qur’an.[1] Atas
usulan dari Umar bin Kathab itulah, maka Abu Bakar ash-Shidiq memerintahkan Zaid
bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an. Karena beliau adalah orang yang
pintar, dipercaya keagamaannya, dan salah seorang penulis wahyu di masa
Rasulullah. Zaid bin Tsabit dalam tugasnya dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Ali bin
Abi Thalib dan Utsman bin Affan.[2]
Dari berbagai
riwayat menyebutkan bahwa penyimpanan shuhuf-shuhuf itu dipegang oleh khalifah,
namun setelah khalifah Umar bin Khathab wafat, shuhuf-shuhuf itu tidak disimpan
oleh Utsman sebagai khalifah berikutnya, tetapi dipegang oleh Hafshah. Karena
beliau adalah istri Rasul dan anak khalifah Umar, beliau juga sosok yang pandai
membaca dan menulis. Penyebaran Islam bertambah luas dan para qurra’ pun
tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari
qira’at dari para qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan al-Qur’an
yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan huruf pada saat al-Qur’an
diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau disuatu medan
peperangan, sebagian mereka merasa heran akan adanya perbedaan qira’at ini.
Terkadang sebagian dari mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan
itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah.
Akan tetapi
keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru
yang tidak melihat Rasulullah, sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan
mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan
saling pertentangan bila terus tersiar, bahkan akan menimbulkan permusuhan dan
perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.[3]
Pada waktu
terjadi pertempuran sengit di Armenia dan Azerbeijan dari penduduk Irak. Dalam
kedua pertempuran ini Huzaifah bin al Yamaniy memperhatikan banyak terdapat
bentuk perbedaan dalam masalah qira’at. Sebagian orang ada yang salah dalam
membaca, disamping itu tiap-tiap orang berusaha sungguh-sungguh memperbaiki
bacaannya. Juga memperbaiki wakaf-wakafnya, dari perbedaan itu maka terjadilah
perbedaan dikalangan mereka. Di antara mereka itu timbul perbedaan pendapat.
Bagi para sahabat yang terkemuka malah ini menimbulkan kekhawatiran. Hal ini dengan
secara berangsur-angsur akan terjadi perubahan dan pertukaran nantinya.[4]
Bencana yang
terjadi di Yamamah itu telah menggetarkan hati untuk mengadakan perbaikan.
Bencana yang terjadi setelah meninggalnya Umar menggerakkan pula hati Usman
untuk memperbaikinya. Sepulangnya Huzaifah al Yamaniy dari perang Armenia dan
Azerbaijan dia menghadap khalifah Utsman untuk mengatakan tentang
kekhawatirannya tentang perbedaan umat Islam dalam hal membaca al-Qur’an.
Katanya kepada khalifah, “Bagaimana pendapat tuan dari hal umat yang
berbeda-beda membaca al-Qur’an? ”.[5]
1. Munculnya
Ide Pengumpulan Al-Qur’an
Semakin
meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman membuat perbedaan yang cukup
mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar. Latar belakang pengumpulan al-Qur'an
di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan
faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman
telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di
setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka.
Penduduk Syam
membaca al-Qur'an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti
bacaan Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa
al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk
bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan
sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda
pendapat dalam bacaan.[6]
Diriwayatkan
dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: “Pada masa pemerintahan Utsman
guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga
menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan
bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar
sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada
Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku
berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti
lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Karena latar
belakang dari kejadian tersebut, Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan
kebenaran pandangannya ia berpendapat untuk melakukan tindakan prefentip
menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit
sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sababat yang
terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah
(perpecahan) dan perselisihan.
Sebagai
khalifah yang ketiga Utsman tidak lagi menginginkan adanya variasi tersebut dan
memerintahkan dituliskannya sebuah versi tunggal dalam bentuk bahasa Quraisy,
dan Utsman menyerahkan tugas baru ini kepada Zaid bin Tsabit untuk memimpin
pembakuan al-Qur’an dalam satu bahasa agar keragaman dialek tidak menjadi sebab
disharmonisnya dalam komunitas muslim.[7]
Mereka semua
sependapat agar Amirul Mu'minin menyalin dan memperbanyak mushhaf kemudian
mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar
orang-orang membakar mushhaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang
membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan al-Qur'an.
2. Pembentukan
Panitia Pengumpulan Al-Qur’an
Sahabat Utsman
melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat
orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut
adalab Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman
Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid
Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Adapun Pelaksanaan gagasan yang
mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah.[8] Utsman
berkata kepada mereka yaitu:
إِذَا اخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَ زَيْدٌ بْنُ ثَابِتٍ فِى
شَيْءٍ مِنَ الْقُرْاۤنِ فَاكْتُبُوْهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ, فَإِنَّهُ إِنَّمَا
نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ.
Artinya:
“Bila kamu berselisih pendapat
dengan Zaid bin Tsabit tentag sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah dengan
logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”[9]
Tugas panitia
ini adalah membukukan al-Qur’an, yakni menyalin lembaran-lembaran tersebut
menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman menasihatkan supaya:[10]
a.
Mengambil
pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an.
b. Kalau
ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan) maka haruslah dituliskan
menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek
mereka.
Maka
dikerjakanlah oleh panitia sebagai yang ditugaskan kepada mereka, dan setelah
tugas itu selesai, maka lembaran-lembaran al-Qur’an yang dipinjam dari Hafshah
itu dikembalikan kepadanya. Selanjutnya Utsman mengirim ke setiap wilayah
mushhaf baru tersebut dan memerintahkan
agar semua al-Qur’an atau mushhaf lainnya dibakar. Zaid berkata: “ketika kami
menyalin mushhaf saya teringat akan satu ayat dari surat al-Ahzab yang pernah
aku dengar dibacakan oleh Rasulullah, maka kami mencarinya dan kami dapatkan
pada Khuzaimah bin Sabit al-Anshari, ayat itu adalah:[11]
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ
صَدَقُوْا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
Artinya:
“Di antara orang-orang mukmin itu
ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”
3. Pengumpulan
Al-Qur’an
Dengan
ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka hal itu merupakan
sebuah langkah konkret untuk mengatasi kenyataan pahit yang terjadi. Apabila
masa-masa dua khalifah sebelumnya, “Mushaf Abu Bakar” hanya disimpan di rumah,
maka Ustman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu.
Langkah Utsman
memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan Mushaf Abu Bakar sekaligus
menyatukan bacaan. Alasannya yaitu karena Utsman tetap menyertakan Zaid bin
Tsabit di dalam panitia. Zaid yang sejak zaman Rasulullah dan Abu Bakar
terlibat langsung dalam penulisan dan penghimpunan al-Qur’an, dapat dipastikan
di dalam panitia ini lebih banyak bereperan ketimbang tiga anggota panitia
lainnya. Sehingga kemungkinan terjadinya perubahan, penambahan atau hilangnya
kalimat tertentu dapat ditekan sampai pada titik nol dan keaslian al-Qur’an
tetap terjamin.[12]
Zaid pun juga
mengumpulkan bahan al-Qur’an yang terdapat pada daun kering, dan hafalan para
sahabat Rasulullah. Caranya adalah dia mendengarkan dari orang-orang yang
hafal, kemudian dicocokkannya dengan yang telah dituliskan pada bahan-bahan
tersebut. Dia tidak mencukupkan dari sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokkan
kepada yang ditulis. [13]
Dia hanya
menerima catatan yang mempunya dua syahid, yaitu dua saksi. Cara itu lebih
menjamin daripada hanya hafalan belaka. Disamping itu Zaid sendiri termasuk
orang yang hafal al-Qur’an. Ketentuan dua saksi ini ditetapkan berdasarkan
keputusan Khalifah Abu Bakar, dalam pesannya kepada Zaid bin Tsabit dan Umar,
Abu Bakar mengatakan:
اُقْعُدَا عَلَى
بَابِ المَسْجِيْدِ. فَمَنْ جَاءَ كُمَا بِشَاهِدَيْنِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ كِتَابِ
اللهِ فَاكْتُبَاهُ
Artinya:
“Duduklah
kalian dipintu masjid. Siapa saja yang datanag kepada kalian membawa catatan al-Qur’an
dengan dua saksi maka catatlah”.[14]
Menurut tokoh
hadis yang dimaksud dua saksi atau syahidain disini tidak harus keduanya dalam
bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang
membawa ayat tertentu itu, sudah diterima ayatmnya apabila ayat yang disodorkan
kepada tim didukung oleh dua hafalan dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian
juga suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa
diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat
lainnya.pengertian Ibnu Hajar tentang syahidain ini sedikit berbeda, yaitu
catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu seorang sahabat sudah dapat
diterima bila memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu
memang ditulis di hadapan Rasulullah.[15]
Al-Qur’an yang
telah dibukukan itu dinamai dengan “Al-Mushhaf”, dan panitia ditulis lima buah
al-Mushhaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah,
agar di tempat-tempat itu disalin pula masing-masing Mushhaf itu, dan satu buah
ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri dinamai dengan “Mushhaf Al-Imam”.[16]
Sesudah itu
Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an
yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Ia khawatir kalau mushhaf yang bukan
salinan “Panitia Empat” itu beredar. Padahal pada mushhaf-mushhaf yang
peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur’an. Karena
merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga
beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan Kalam Allah.
Utsman
mengatakan kepada mereka: “Bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang
bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena al-Qur'an diturunkan
dengan bahasa Quraisy”. Utsman meminta kepada Hafshah binti Umar agar ia sudi
menyerahkan mushhaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah
dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan
dikembalikan lagi, Hafshah mengabulkannya.
Umar bin Shabba
meriwayatkan melalui Sawwar bin Shabib: saya masuk ke kelompok kecil untuk
bertemu dengan Ibn az-Zubair, lalu saya menanyakan kepadanya kenapa Utsman
memusnahkan semua naskah kuno al-Qur’an?. Dia menjawab “pada zaman pemerintahan
Umar ada pembual bicarayang telah mendekati khalifah memberitahukan kepadanya
bahwa orang-orang telah berbeda dalam membaca al-Qur’an. Umar menyelesaikan
masalah ini dengan mengumpulkan semua salinan naskah al-Qur’an dan menyamakan
bacaan mereka, tetapi menderita yang sangat fatal akibat tikaman manut sebelum
beliau dapat melakukan upaya lebih lanjut. Pada zaman pemerintahan Utsman,
orang yang sama datang untuk mengingatkannya masalah yang sama dimana kemudian
Utsman memerintahkan untuk membuat mushhaf tersendiri. Lalu dia mengutus saya
menemui bekas istri Nabi Muhammad SAW, Aisah, agar mengambil kertas kulit
(suhuf) yang Nabi Muhammad SAW. sendiri telah mendiktekan keseluruhan al-Qur’an.
Mushhaf yang dikumpulkan secara independen kemudian dibandingkan dengan suhuf
ini, dan setelah melakukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang ada,
kemudian ia menyuruh agar semua salinan naskah al-Qur’an itu dimusnahkan.
Walaupun
riwayat ini dianggap lemah menurut ukuran pada ahli hadis, tapi ada gunanya
dalam menyebutkan riwayat ini yang menerangkan pengambilan suhuf yang ada
dibawah pengawasan atau penjagaan Aisah. Riwayat dibawah ini bagaimanapun
menguatkan riwayat-riwayat sebelumnya. Ibn Shabba meriwayatkan dari Harun bin
Umar, yang mengaitkan bahwa: “Ketika Utsman hendak membuat salinan (naskah)
resmi, dia meminta Aisah agar mengirimkannya kepada kertas kulit (suhuf) yang
dibacakan oleh Nabi Muhammad yang disimpan dirumahnya. Kemudian dia menyuruh
Zaid bin Tsabit membetulkan sebagaimana mestinya, pada waktu itu beliau merasa
sibuk dan ingin mencurahkan waktunya mengurus masyarakat dan membuat ketentuan
hukum sesame mereka”.[17]
Maka dari mushhaf
yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum muslimin di seluruh pelosok menyalin al-Qur’an
itu. Adapun kelainan bacaan, sampai sekarang masih ada karena bacaan-bacaan
yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi terus dipakai oleh kaum muslimin dan
bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf
yang ditulis di masa Utsman itu.
Dengan demikian
keistimewaan pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman itu adalah:[18]
a.
Adanya
penyerdahanaan dialek dari tujuh dialek menjadi satu dialek. Ibnu Qayyim al-Jauziyah
berkata: Utsman mengumpulkan manusia diatas satu dialek dari yang semula tujuh
dialek, yang oleh Rasul telah dimutlakkan sebagai bacaan umatnya, ketika hal
itu masih merupakan maslahah.
b. Mengembalikan
bacaan yang telah dihapus. Utsman bermaksud menyatukan mushhaf umat. Bacaanya
tidak ada yang dihapus, ditulis dengan bentuk yang kokoh, dan mewajibkan umat
membaca dan menghafalnya, (karena) dikhawatirkan masuknya kerusakan dan
kesamaran pada generasi selanjutnya.
c.
Peringkasan
terhadap apa yang ditetapkan pada pemeriksaan terakhir dan membuang selain hal
tersebut. Sesungguhnya Ibnu Daudi telah meriwayatkan tentang mushaf-mushaf dari
Muhd bin Sairi, dari Kutsair bin Aflah: Ketika Utsman menginginkan agar mushhaf-mushhaf
ditulis, ia mengumpilkan dua belas orang dari golongan Anshar dan Quraisy.
Diantara mereka terdapat Ubay bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Rawi berkata: “Lalu mereka diutus keruangan dirumah umar
dan dibawalah (mushhafnya). Saat itu Utsman mengadakan perjanjian dengan
mereka, yakni apa bila diantara mereka berselisih dalam sesuatu, maka ia harus
mengakhirkannya.” Muhd berkata: “Lalu ku katakan kepada orang-orang banyak
tersebut, diantara mereka ada yang menulis (wahyu). Apakah kalian mengerti
kenapa mereka mengakhirkannya?” ia mejawab: ”Tidak”. Muhd berkata: “Aku mengira,
mereka mengakhirkannya karena terjadi perselisihan. Sedangkan yang lain melihat
orang berselisih, padahal diantara mereka ada yang menulis tentang perjanjian
lalu mereka menulis atas dasar perkataan orang itu.
d. Peringkasan
terhadap bacaan-bacaan yang telah kuat dan dikenal dari Rasulullah dan
pembatalan hal-hal yang belum kuat.
e.
Susunan ayat
dan surat sama seperti yang dikenal (saat ini).
Utsman
memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang memenuhi
persyaratan berikut:
a.
Harus
mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b. Mengabaikan
ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di
hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
c.
Kronologi surat
dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushhaf Abu Bakar
yang susunan suratnya berbeda dengan mushhaf Utsman.
d. Sistem
penulisan yang digunakan mushhaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai
dengan lafadz-lafadz al-Qur’an ketika turun.
e.
Semua yang
bukan termasuk al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushhaf sebagian
sahabat dimana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushhaf, atau penjelasan
nasikh-mansukh.
Mushhaf
Abu Bakar setelah dipinjam dan disalin, Utsman mengembalikannya kepada Hafshah.
Mushhaf itu tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Dalam buku Mabahits fi
‘Ulum Al-Qur’an, Dr. Shubhiy Shalih yang mengutip keterangannya dari Kitab Al-Mashhahif
karya Ibnu Abi Daud, menurunkan riwayat
sebagai berikut: ”Marwan telah berusaha mengambilnya (mushhaf) dari tangannya
(Hafshah) untuk kemudian membakarnya. Tetapi ia (Hafshah) tidak mau
menyerahkannya sampai ketika ia wafat, Marwan mengambil mushhaf tersebut dan
membakarnya”.
Bila
dianalisis baik keengganan Hafshah menyerahkan mushhaf maupun Marwan yang
bersikeras meminta mushhaf yang ada pada mushhaf, maka hal itu dapat
dimengerti. Hafshah enggan menyerahkan Mushhaf Abu Bakar yang ia terima dari
ayahnya yaitu Umar, karena ia tahu mushhaf itulah yang disalin oleh Utsman
untuk disebarluaskan ke beberapa daerah. Sementara Marwan berkeinginan agar
masyarakat hanya mengenal satu mushhaf. Dan Marwan tahu bahwa penulisan Mushhaf
Utsman atau Mushhaf Utsmaniy dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah
tertentu tetapi memperhatikan qira’at-qira’at yang dibenarkan Rasulullah.
Kaum
muslimin sepakat bahwa seluruh mushhaf yang dibagikan Utsman ke berbagai
penjuru negeri, berapapun jumlahnya adalah mushhaf yang sama dan mencakup semua
isi al-Qur’an, yang diterima dari Nabi Muhammad. Musshaf tersebut berisi 114
surat, naskah tersebut tidak memiliki titik dan syakal (harokat), dan tidak
pula memiliki tanda-tanda lain yang kita kenal dimasa ini. Bahkan menurut
pendapat yang populer, ia tidak pula memiliki nama-nama surat dan bagian-bagian
yang memisahkannya satu sama lain.
Kendati
nasib semua mushhaf tersebut tidak diketahui secara pasti, namun Ibn Katsir
pernah melihat mushhaf Utsmaniy yang ada di Syam. Ibn Katsir mengatakan sebagai
berikut : adapun mushhaf Utsmaniyah yang diakui sebagai Mushhaf Imam maka yang
termasyhur sekarang ini adalah yang terdapat di Syam dan tersimpan di Masjid
Jami’ Damaskus. Dulu mushhaf tersebut disimpan di kota Thibriyyah, kemudian
dipindahkan ke Damaskus pada akhir tahun 518 H. sungguh saya telah menyaksikan
sendiri kitab agung dan mulia dengan tulisan tangan yang indah, jelas dan kuat,
yang menggunakan tinta yang tahan luntur, dan ditulis di atas lembaran-lembaran
yang saya duga adalah kulit unta.[19]
Perlu
diketahui bahwa sebelum masa Utsman, telah terjadi perselisihan mengenai bacaan
al-Qur’an, baik di daerah-daerah maupun di Madinah, setiap guru mempunyai
bacaan tersendiri sehinggah anak-anak yang menerima pelajaran pun menjadi
berselisih. Perselisihan ini berlanjut hingga masa Utsman kemudian disampaikanlah
kasus itu oleh Hudzayfah kepada Utsman. Karena itulah ia sangat khawatir, kemudian
menyampaikan amanatnya didepan jamaah sebagai berikut: “Kamu sekalian yang
dekat dengan sayapun berselisih mengenai bacaan al-Qur’an dan salah bacaan,
apalagi orang-orang yang berada di daerah-daerah. Saya yakin, mereka lebih
hebat perselisihannya dan lebih besar kesalahannya dalam membaca al-Qur’an.
Untuk itulah wahai sahabat-sahabat Muhammad tulislah sebuah Imam untuk
manusia”.
Karena
itulah mushhaf Utsman dinamakan Al-Imam, Utsman telah mengirimkan naskah
mushhaf ini ke beberapa daerah dan memerintahkan agar membakar semua mushhaf
selain mushhaf Utsman. Ibn Fadhli al ‘Umariy dalam kitabnya Masaliku I’Abrar
ketika menerangkan sifat masjid Damaskus, berkata: ”Disebelah kirinya terdapat
mushhaf Utsmaniy yang ditulis Amirul Mu’minin. Mushhaf Utsmaniy ini berada di
masjid Damaskus pada masa al ‘Umary hingga abad 8 H. Para peneliti peninggalan
bangsa Arab menegaskan, mushhaf inilah yang dipelihara di perpustakaan
Leningrad, kemudian dipindahkan ke Inggris dan tetap disana hingga sekarang.[20]
Pembakuan
teks al-Qur’an pada masa Utsman dapat diberi penanggalan pada suatu saat antara
650 hingga wafatnya Utsman pada 656. Masa ini merupakan titik utama dalam apa
yang biasanya disebut sebagai pembentukan naskah resmi al-Qur’an. Bagaimanapun
bentuk al-Qur’an sebelumnya, sudah jelas bahwa kitab yang di tangan kita
sekarang merupakan al-Qur’an Utsmaniy. Organisasi yang di bentuk Utsman
menentukan apa-apa yang mesti dimasukkan dan apa yang mesti dikeluarkan,
organisasi mengatur nomor dan susunan surat, serta kerangka konsonantal (bentuk
teks ketika titik-titik huruf tertentu dihilangkan). Jika kita berpendapat
bahwa pemeliharaan setiap bagian terkecil dari wahyu (asli) merupakan suatu syarat
mutlak, maka Zaid harus dikukuhkan karena telah menghasilkan suatu karya yang
sangat mengagumkan.[21]
Periode
Khulafaur-Rasyidin diakhiri dengan sebuah tragedi. Keluarga Utsman
mempertahankan kekuasannya atas masyarakat melalui suatu keturunan Utsman yang
bernama Muawiyah, sementara Ali sebagai
menantu Nabi dan sahabat Nabi terkemuka,
juga menginginkan posisi sebagai khalifah. Persaingan dalam merebut
kekuasaan tersebut akhirnya mengakibatkan peperangan antara kedua belah pihak
dan Muawiyah berhasil merebut kekuasaan tersebut, meskipun dia tidak pernah
mengalahkan Ali secara total. Akan tetapi secara politik, masyaarakat mengalami
perpecahan, dan lahirlah dua kelompok Islam.[22]
4. Pola
Penulisan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan dalam Mushaf Usmani
Terdapat
beberapa pola penulisan al-Qur’an dalam mushaf Usmani, seperti dikukuhkan Ahmad
Adil Kamal dalam ‘Ulum Al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah bahasa
Arab, yaitu:[23]
a.
Al-khadfu (الحَذْ
فُ), yaitu berupa pengurangan huruf seperti pengurangan huruf waw pada al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 11 dan alif
pada Al-Qur’an surat al-Maidah atat
41.
b. Az-ziyadah (
الزِّيَادَةُ), yaitu penambahan huruf seperti yang terjadi pada al-Qur’an
surat al-Kahfi ayat 23 dan penambahan ya pada al-Qur’an surat ar-Rum
ayat 8.
c.
Al-Badlu (الْبَدْ
لُ), yaitu berupa penggantian suatu huruf dengan huruf lain,
seperti mengganti alif dengan
huruf waw pada al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 43 dan 276.
d. Al-washlu
(الْوَصْلُ)
dan al-fashlu (الْفَصْلُ), yaitu meenggabungkan suatu lafal
lain yang lazimnya dipisahkan, dan sebaliknya. Seperti menggabungkan lafal an
(أَنْ)
dengan lan (لَنْ) dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 3
sengan surat al-Kahdi ayat 48.
e.
Ma>fi>hi
qira>ata>ni (مَافِيْهِ
قِرَاتَانِ), yaitu menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki versi
qiraat berbeda. Dalam hal ini, bila memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan
yang sama maka pola penulisannya sama dalam setiap mushaf Usmani. Sebagai
contoh dapat dilihat dalam surat al-Fatihah ayat 4 dan surat al-Baqarah ayat 9.
Lafal (مَلِكِ) dapat dibaca ma>liki (مَا
لِكِ) dan bisa pula dibaca maliki (مَلِكِ).
cqããÏ»sä
©!$#
tûïÏ%©!$#ur
(#qãZtB#uä
$tBur
cqããyøs
HwÎ)
öNßg|¡àÿRr&
$tBur
tbráãèô±o
ÇÒÈ
Lafal
(يَخْدَعُوْنَ)
dalam ayat diatas dapat dibaca yukha>di’u>na (يُوْخَادِعُوْنَ)
dan bisa pula dibaca yakhda’u>na (يَخْدَعُوْنَ).
B.
Perbaikan
Al-Qur’an di Masa Sesudah Utsman bin Affan
Mushaf
Usmani tidak memakai tanda baca, seperti titik dan syakal karena semata-mata
didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak
memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal
sekarang ini. Pada masa itu, tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar,
hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan
kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata. Ketika bahasa Arab mulai
mendapat pengaruh dari luar karena bercampur dengan bahasa lainnya, maka para
penguasa mulai melakukan perbaikan-perbaikan yang membantu cara baca yang
benar. Perlunya pembubuhan tanda baca dalam penulisan al-Qur’an mulai dirasakan
ketika Ziyad bin Samiyah menjadi Gubernur Basrah pada masa pemerintahan
Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (40-60H). Ia melihat telah terjadi kesalahan
di kalangan kaum muslim dalam membaca al-Qur’an.[24]
Sebagai
contoh, kesalahan dalam membaca firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 3 yang
berbunyi:
¨br&
©!$#
ÖäüÌt/
z`ÏiB
tûüÏ.Îô³ßJø9$#
¼ã&è!qßuur
Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas dari orang-orang musyrik.
Terhadap
ayat di atas, ada di antara kamu kaum muslimin waktu itu yang membaca sebagai
berikut:
¨br&
©!$#
ÖäüÌt/
z`ÏiB
tûüÏ.Îô³ßJø9$#
وَرَسُولِهِ
Dengan
dibaca demikian maka ayat tersebut berarti: Sesungguhnya Allah berlepas diri
dari orang-orang musyrikin dan rasul-Nya. Melihat kenyataan seoerti itu,
Ziyah bin Saiyah meminta Abu Aswad Al-Duali (w. 69 H/638 M) untuk memberi
syakal. Ia memberi tanda fathah atau tanda bunyi (a) dengan membubuhkan
satu titik di atas huruf, tanda kasrah atau tanda bunyi (i) dengan
membubuhkan satu titik di bawah huruf, tanda dammah atau tanda bunyi (u)
dengan membubuhkan satu titik terletak di antara bagian-bagian huruf, sementara
tanda sukun atau tanda bunyi konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara
tidak membubuhkan apa-apa pada huruf yang bersangkutan.
Tanda
baca Abu Aswad tersebut disempurnakan lagi pada masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan (65-86 H) dengan perantara Gubernur Hajjaj bin Yusuf, diperintahkan
supaya masing-masing huruf al-Qur’an yang serupa diberi tanda secukupnya,
sebagai contoh huruf “ba”, “ta”, “tsa” dan lain sebagainya, dengan tujuan agar
tidak timbul kekeliruan dalam bacaan. Maka oleh Nashar bin Ashim dan Yahya bin
Ya’mar, yang kedua-duanya itu murid Abu Aswad, direncanakan tanda-tanda untuk
membedakan satu persatunya huruf dari ayat-ayat al-Qur’an seperti huruf “ba”
diberi tanda titik satu bawah, huruf “ta” diberi tanda titik dua di atas, huruf
“tsa” diberi tanda titik tiga di atas dan demikianlah seterusnya. Sebagaimana
yang ada sekarang ini. Dan di adakan pula tanda titik di awal dan akhir
tiap-tiap ayat.
Pada
tahun 162 H karena banyak kekeliruan orang dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an,
seperti bacaan yang mestinya panjang dibaca pendek, yang harus dibaca syiddah
tidak dibaca syiddah dan lain sebagainya, karena tanda baris yang telah
ada belum begitu mencukupi maka oleh Imam Kalil bin Ahmad di kota Bashrah,
direncanakan pula tanda yang lebih terang. Yakni oleh beliau diadakan lagi
tanda baris (harakat), tanda harus dibaca panjang, tanda harus dibaca tebal,
tanda harus dibaca mati dan demikianlah seterusnya, sebagaimana tanda yang
terpakai hingga sekarang.
Adapun
tulisan ayat-ayat al-Qur’an yang ada sekarang ini, bukan lagi dari tulisan ”Kufi”,
karena tulisan yang model kufi itu dari satu masa ke masa yang lain telah
diperbagus dan diperbaiki, sehingga di masa seorang wazir dari pemerintahan
Abbasiyah, yaitu al Wasir Ibnu Muqlab di Baghdad pada tahun 272 H. Beliau ini
yang mengatur dan membentuk tulisan ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada
sekarang ini. Tentang membagi al-Qur’an menjadi 30 juz, dan pada tiap-tiap juz
diadakan tanda nishfu (separuh), dan pada tiap-tiap nishfu diadakan
tanda rubu’ (seperempat), itu adalah dari inisiatif Gubernur Hajjaj bin
Yusuf tersebut.[25]
Demikian singkatnya riwayat huruf dan tulisan al-Qur’an dan pembagian
juz-juznya seperti yang ada sekarang ini, yang semuanya ini untuk menjaga
kesucian al-Qur’an, dan juga untuk memudahkan cara membacanya.
C.
Gaya Tulisan
Al-Qur’an
1. Gaya
Kufi
Tak
ada keraguan bahwa al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW., sahabat, dan tabi’in
ditulis dalam gaya Kufi. Rifal Ka’bah menyebut gaya ini merupakan variasi gaya
Hiran (khas kota Herat/Hirah), yang datang ke Hijaz dari Irak pada masa sekitar
awal ketika menteri dan para sahabat Nabi belajar membaca dan menulis gaya
tersebut kepada Rabi, seorang ulama terkemuka pada masa itu. Menurut Issa J.
Boullata, gaya tulisan kufi berasal dari tulisan Nabataen dan jenis huruf yang
ada di Syria sebelum hijriah karena, baik dalam tulisan kufi maupun Suriah,
huruf alif tidak akan ditulis bila muncul dalam pertengahan kata.
Sebagai contoh kata kita>b, rahma>n, dan isma>i>l ditulis
tanpa alif antara ta dan ba,
min, dan nun serta mim dan ‘ain.
Namun
demikian, gaya tulisan selain kufi ada juga di Hijaz pada masa Nabi, yakni
tulisan nabataen yang darinya nanti berkembang gaya tulisan naskhi. Tulisan nabataen
memang lebih mudah, lebih biasa digunakan kecuali oleh orang-orang Arabia.
Malik asy-Syuara bahkan mengamati dalam Sabshinasi bahwa yang dapat dilihat
dari kumpulan hadis-hadis adalah bahwa gaya tulisan Islam sejak semula adalah
tulisan nabataen yang disebut an-Naskhi dan al-Miris. Tulisan
nabataen telah datang ke Hijaz dari Huran (kota Suriah kuno), tetapi pada
praktiknya al-Qur’an biasanya ditulis dengan gaya kufi untuk beberapa abad
lamanya. Beberapa orang bahkan mengkalim bahwa adanya tulisan al-Qur’an dalam
gaya selain kufi adalah tidak tepat karena al-Qur’an sejak semula ditulis dalam
gaya tersebut. Dan mereka menganggap setiap perubahan bentuk tulisan tersebut
adalah bid’ah.[26]
2. Gaya
Naskhi
Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan seni dalam Islam, khususnya pada masa
Abbasiyah, karakter tulisan juga mengalami perkembangan. Serangkaian untuk seni
kaligrafi. Dan para pakar pun muncul dalam bidang seni kaligrafi. Tulisan gaya
naskhi lantas mendapat perhatian serius, pasalnya gaya tulisan naskhi lebih
sederhana ketimbang gaya kufi sehingga mendapat perhatian, baik dari para ahli
kaligrafi maupun masyarakat kebanyakan. Sekelompok ahli kaligrafi bahkan member
perhatian khusus pada perbaikan tulisan gaya naskhi, misalnya Muhammad bin Ali
bin Husain bin Muqlah (272-328 H). Ibnu Muqlah diyakini sebagai penemu tulisan
gaya naskhi.
Pada
masa ini, al-Qur’an pun mulai dituliskan dalam gaya Naskhi ini masih bisa
dijumpai di Astanah-ye Quds-e Radhawi dan al-Qur’an yang di pelihara di Dar
al-Kutub kairo, di perpustakaan Jamaat al-Qarwiyyin di Fas, dan di perpustakaan
museum Topkapi Istanbul.[27]
D.
Macam-macam
Mushaf
Adapun
berikut adalah macam-macam dari mushaf kuno yang masih disimpan keberadaannya,
macam-macamnya yaitu: [28]
1. Mushaf
Mesir
Al-Maqrizi
menyebutkan dalam Khutbah al-Mishr tentang al-Qur’an yang ditulis Ali yang ada
di perpustakaan Khalifah Fatimiyah di Kairo. Mushhaf ini pada mulanya diamankan
dalam peti perak di Masjid Agung Kuno Mesir ketika Ma’mun Batha’ihi, menteri
Khalifah Fatimiyah Billah, memerintahkan untuk membuat peti emas untuk
al-Qur’an. Saat ini al-Qur’an yang dinisbahkan kepada Ali berada dalam koleksi
makam suci al-Husayn di Kairo. Namun agaknya yang ini tidak sama dengan yang
berada di Masjid Agung Kuno Mesir dan yang selanjutnya dipindahkan dari situ.
2. Mushaf
Najaf
Sayyid
Jamal al- Din Dawud al-Hasani, yang terkenal sebagai Ibn Inabah menyebutkan
dalam ‘Umdah al-Thalib tentang al-Qur’an
yang berada dalam koleksi makam suci Ali di Najaf. Ia menyebutkan naskah lain al-Qur’an
yang ditulis Ali yang pernah dilihat di makam suci ‘Ubayd Allah ibn Ali. Setiap
hubungan antara kedua al-Qur’an ini serta kaitan mereka dengan sebuah naskah
yang lain di Mesir membutuhkan penyelidikan lebih jauh.
Bahkan
sekarang ada sebuah al-Qur’an dalam koleksi makam suci Ali di Najaf yang oleh beberapa
ulama diyakini sebagai al-Qur’an yang disebutkan oleh pengarang buku Umdah al-Thalib adalah mungkin bahwa
mushhaf dimakam ‘Ubayd Allah Ibn Ali pernah membat beberapa bagian dari al-Qur’an
Najaf.
Sayyid
Ahmad al-Husayni al-Asykawari dalam
Fihrist khizanat al-Rawdhat al-Haydariyah, dengan mengutip Mawsu’ad al- Muqadddasah (Bab yang
membahas tentang Najaf), menulis bahwa pada tahun 755 H/1354 M makam suci Ali
terbakar api sehingga banyak barang langka koleksi tempat suci yang hilang,
termasuk al-Qur’an yang ditulis oleh Ali dalam tiga jilid.
Pada
catatan pinggir (Hasyiyah) manuskrip ‘Umdah al-Thalib yang ada diperpustakaan
Astanah-e Quds-q Radhawi, terdapat catatan berharga yang ditulis oleh ahli
perpustakaan Nasabah bernama Husayn, yang mencakup penjelasan mengenai mushaf
Najaf. Catatan yang senada berbunyi: “Mushhaf
yang dilihat oleh Sayyid al-Najib (Ibn Inabah al-Hasani Nasabah,
pengarang ‘Umdah al-Thalib) di Najaf
masih ada dalam koleksi Najaf. Namun demikian sebagaian besar dari mushhaf itu
terbakar dan hanya satu jilid saja yang tersisa. Dan itupun tanpa catatan
pinggir karena semua catatan pinggir bersama-sama dengan sebagian naskah musnah
dimakan api.
3. Mushaf
di Makam Suci Imam Ridha
Selain
dari al-Qur’an yang tersimpan pada peti mayat batu (dhari’) di makam Ali di Najaf, ada lagi dua buah mushhaf al-Qur’an
dalam koleksi makam suci Imam Ridha di Masyhad yang juga dinisbahkan kepada
Imam Ali. Yang pertama bernomor enam dan tersimpan di perpustakaan. Tertulis
catatan dalam tulisan kufi pada kulit rusa: “katabah Ali ibn Abi Thalib ditulis oleh Ali Ibn Abi Thalib. Pada
halaman pertama terdapat persembahan dari Syah ‘Abbas, rasa Shafawi, yang
ditulis oleh Syaikh al-Baha’I berikut tanda tangannya dan tahun seribu delapan
Hijriyah. Disitu, Syaikh al-Baha’I menyebutkannya sebagai tulisan Ali.
Al-Qur’an dalam enam puluh delapan halaman foto ini mengandung bagian Kitab
Suci mulai surat Hud hingga akhir surat al-Kahfi.
Mushaf
al-Qur’an kedua bernomor satu. Bagian catatan pinggirnya hilang dan
ayat-ayatnya juga hilang diantara halaman-halaman tertentu. Sebagai contoh
antara folio tiga puluh tiga dan tiga puluh empat hampir tujuh puluh sembilan ayat
hilang. Al-Qur’an ini telah ditulis pada kulit rusa dan mempunyai tiga ratus
satu lembar folio yang memuat seluruh al-Qur’an. Al-Qur’an ini disumbangkan
oleh Syah ‘Abbas pada tahun 1009 H/1600 M ke makam suci.
4. Mushaf
Koleksi Topkapi Sarayi
Dua
mushaf lagi berada di Turki yang dinisbahkan kepada Ali. Keduanya disimpan di
perpustakaan al-Amanah (yang saat ini bagian perpustakaan Topkapi Sarayi). Mushaf
yang pertama bernomor perpustakaan Al-Amanah (nomor dua). Mikro filmnya
dinomori delapan belas, disimpan di Ma’had al-Makhthuthat al-‘Arabiyyah, Kairo.
Mushhaf yang kedua bernomor dua puluh Sembilan dan mikro filmnya dinomori empat
belas, disimpan di Ma’had al-Makhthuthat al-‘Arabiyyah, Kairo.
Dari kesemua ijtihad para sahabat termasuk Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, dan Utsman bin ‘Affan adalah benar. Karena
mereka adalah para sahabat yang hidup bersama Rasulullah SAW., mereka
menyaksikan langsung apa yang disampaikan Rasulullah, baik berupa ajaran
tentang wahyu (al-Qur’an) maupun hadits.[29]
Sehingga ijtihad mereka tetap disandarkan kepada ajaran Rasulullah SAW. yang bersifat tauqifi.
E.Percetakan
Al-Qur’an
Al-Qur’an
pertama kali dicetak di Hamburg, Jerman pada tahun 1113 H. salah satu mushaf
hasil cetakan pertama ini konon terdapat di Dar al-Kutub al-Arabiyah, Mesir.
Sementara itu di Turki, al-Qur’an dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1129
H, kemudian menyusul Iran pada tahun 1248
H. pada tahun 1342 H di Mesir dicetak al-Qur’an dengan rasm serta huruf
seperti yang kita kenal saat ini. Mushaf tersebut ditulis sesuai dengan qiraat
Hafsh yang telah dijadikan pegangan seluruh kaum muslim berdasarkan ijma’.
Mushaf tersebut dicetak ulang jutaan eksemplar setiap tahunnya.
Di
Madinah saat ini terdapat percetakan al-Qur’an yang diklaim terbesar di dunia.
Percetakan itu mulai dibangun oleh Raja Fahd pada 2 November 1982. Pada Oktober
1984 mulailah al-Qur’an diproduksi di sini. Hingga saat ini produksi al-Qur’an
dengan berbagai ukuran mencapai sekitar 12 juta eksemplar per tahun. Percetakan
ini menempati area seluas 1.250 meter persegi, berada di ujung jalan arah barat
Madinah menuju Tabuk. Selain gedung percetakan, di kompleks percetakan itu juga
ada gudang, masjid, show room produksi sekaligus toko tempat penjualan, asrama
untuk karyawan, klinik, dan perpustakaan.
Percetakan
ini tak hanya mencetak al-Qur’an dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab,
tetapi juga dalam berbagai bahasa terjemahan. Paling tidak saat ini sudah
diterbitkan al-Qur’an dan terjemahannya dalam 50 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Dalam pengantar al-Qur’an berbahasa Indonesia yang dicetak dalam percetakan ini
disebutkan, ” Dengan ini Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan
Irsyad Kerajaan Saudi Arabia yang menaungi Mujtama’ Malik Fahd Li Thiba’at
al-Mushaf asy-Syarif (Kompleks Percetakan Al-Qur’an al-Karim Kepunyaan Raja
Fahd) di Madinah al-Munawwaroh menyampaikan rasa gembira dan penghargaan kepada
mujtama’ atas dicetaknya al-Qur’an al-Karim ini dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Kami memohon kepada Allah agar upaya tersebut member manfaat
kepada seluruh umat Islam, dan semoga Allah membalas Khadim al-Haramain
asy-Syarifain al-Malik Fahd bin Abd al-Aziz as-Saud dengan sebaik-baik balasan
atas pengorbanannya yang mulia dalam upaya melancarkan tersebarnya kitab Allah
yang mulia ini. Hanya Allah lah sumber kesuksesan.”
Al-Qur’an
yang dicetak di percetakan itu dibagikan secara gratis ke seluruh dunia,
seperti melalui masjid-masjid. Demikian juga kepada para jamaah haji, mereka
mendapat al-Qur’an secara gratis pada waktu hendak menaiki pesawat terbang
untuk kembali ke Negara masing-masing.[30]
Skema al-Qur’an Pada Masa Utsman&
Sesudahnya
BAB III
KESIMPULAN
1. Penghimpunan
al-Qur’an seluruhnya secara resmi dilaksakan pada zaman khalifah Abu Bakar ash-Siddiq
(wafat 13 H/643 M) dan digandakan kemudian disebarluaskan dengan tujuan
keseragaman bacaan pada zaman khalifah Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M).
Jadi bukan sekedar menyalin mushaf Abu Bakar, melainkan sekaligus menyatukan
penulisan ayat-ayat yang diperselisihkan bacaannya di kalangan umat Islam ke
dalam bahasa Quraisy.
2. Tim
penulisan al-Qur’an yang dibentuk oleh khalifah Utsman itu, diketuai oleh Zaid
bin Tsabit yang beranggotakan antara lain Abdullah bin Zubeir, Sa’id bin Ash
dan Abdurrahman bin Hisyam.
3. Al-Qur’an
yang telah dibukukan dinamai dengan “Al-Mushaf”, dan ditulis lima buah Al-Mushaf.
Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah, Kufah, dan Madinah.
4. Pada
masa pemerintahan Mu’awiyah, penyempurnaan al-Qur’an dilakukan oleh Imam Abu
Aswad yang diutus Ziyad bin Abihi, yaitu
Abu Aswad memberikan tanda harakat yang berupa titik-titik diatas huruf, atau
disebut juga pemberian titik I’rab.
5. Pada
masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dengan perantara Hajjaj bin Yusuf,
diperintahkan pula untuk menyempurnakan al-Qur’an yaitu dengan memberikan tanda
secukupnya pada huruf al-Qur’an yang serupa. Maka Nashar bin Ashim dan Yahya
bin Ya’mar yang kedua-duanya murid Abu Aswad membuat tanda tersebut untuk
membedakan satu persatunya huruf dari ayat-ayat al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin S, Zainal. Seluk Beluk Al-Qur’an,
Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Amal, Taufik Adnan. Pengantar Studi Qur’an,
Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
Amirul Hasan dan Muhammad Halabi. Ulumul
Al-Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Yogyakarta: Titian Illahi Press,
1997.
Arifin,
Tajul. Kajian Al-Qur’an di Indonesia, Bandung: Mizan,1996.
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul
Qur’an-Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992.
Ash-Shabunny, Muhammad Aly. Pengantar Studi
Al-Qur’an (At-Tibyan), Bandung: PT. Alma’arif, 1984.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah
Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, cet.VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Halimuddin. Pembahasan Ilmu Al-Qur'an,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Halimuddin.
Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992.
Haryono,
M. Yudhie. Nalar Al-Qur’an, Jakarta: Nalar, 2002.
K. H. Moenawar Kholil, Al-Qur’an dari Masa ke
Masa, Solo: Ramadhani, 1994.
Manna̅’ al-Qathha̅n, Maba̅hits Fi̅ ‘Ulu̅mil Qur’a̅n, Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000.
Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an,
Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Mudzakir AS. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
Jakarta: PT.Mitra Kerjaya Indonesia, 2009.
Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: CV.
Artha Rivera, 2008.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an:
Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Sohirin Solihi, dkk, Sejarah Teks Al-Qur’an dari
Wahyu SampaiKompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2005.
Wadji, Farid. Fenomena Al-Qur’an: Pemahaman Baru
Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, Bandung: PT. Marja, 2002.
Wahid, Saad Abdul. Pengenalan Sejarah Al-Qur’an,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
[1] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an/Tafsir,
cet.VIII,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 98.
[6] Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar
Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), (Bandung: PT. Alma’arif, 1984), 94.
[7] Farid Wadji, Fenomena Al-Qur’an : Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim,
(Bandung : PT. Marja, 2002), 41.
[12] Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul
Qur’an – Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1992), 75.
[17] Sohirin Solihi, dkk, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2005), 101-102.
[18]Amirul
Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul
Al-Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Titian Illahi Press,
1997), 124.
[19] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), 170-171.
[20] Saad Abdul Wahid, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995), 81.
[21]
Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Qur’an,
(Jakarta: CV.Rajawali, 1991), 67.
0 komentar:
Posting Komentar