Senin, 10 Maret 2014

MISTERI KEMENANGAN PERANG SALIB



MISTERI KEMENANGAN PERANG SALIB

A.    Pendahuluan
Salah satu peristiwa yang amat sangat traumatis di dalam sejarah perjalanan umat Islam sejak kemunculannya sampai kepada terbentuknya Peradaban Islam atau Imperium Islam adalah Perang Salib (the Crussades) yang terjadi antara tahun 1095-1291 M. Sebab dalam peperangan ini bertemunya dua kekuatan besar antara Timur dan Barat yang mana di antara keduanya mewakili identitas masing-masing. Yang tidak hanya sebatas pada bangsa, ras/etnis dan budaya, akan tetapi identitas agama atau sebagaimana yang diistilahkan Huntington yaitu terjadinya benturan peradaban (Clash of Civilization)[1].
Seorang penulis Barat berkata, “Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin”.[2]  
Perang atas nama agama ini pada dasarnya perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan bahwa kaum Kristen Eropa (kaum frank/al-ifranj)[3] yang datang ke dunia Islam tidak semuanya membawa misi untuk berperang, namun banyak di antara mereka yang menuntut ilmu dari orang-orang muslim. Dampak dari perang ini yang nantinya membawa perubahan alam berfikir orang-orang Eropa yang dikenal dengan masa pencerahan (Renaissance)[4].

B.     Sebab Terjadinya Perang Salib
Carole Hillenbrand mencatat dalam bukunya ”bahwa pertemuan pertama bangsa Eropa dengan Islam terjadi akibat kebijakan-kebijakan negara muslim baru, yang terbentuk setelah wafatnya Nabi Saw. pada 632 M. Satu abad kemudian, wilayah ekspansi Islam (kaum muslimin) telah mencapai barisan pegunungan di antara Perancis dan Spanyol dan menaklukkan wilayah-wilayah yang membentang dari India utara hingga Perancis selatan. Dua ratus tahun berikutnya, perimbangan kekuasaan antara Eropa dan dunia Islam secara meyakinkan masih berada di tangan kaum muslim, yang menikmati pertumbuhan ekonomi besar-besaran dan mengalami perkembangan kebudayaan yang luar biasa.  Dari tahun 750 dan seterusnya, wilayah Dinasti Abbasiyah dibentuk oleh pemerintahan dan kebudayaan Persia-Islam dan semakin bertambah dengan dukungan militer dari budak-budak Turki yang menjadi tentara yang berpusat di Baghdad.[5] Ia menambahkan, pada abad ke-10 dan 11, perpecahan politik menimpa Dinasti ’Abbasiyah terus menerus. Sehingga kondisi tersebut mendukung munculnya gerakan bangsa-bangsa Eropa di Mediterania timur dan menjadi awal kebangkitan kekuasaan Kristen di Spanyol dan......”.
Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil menyimpulkan terhadap apa yang telah dipaparkan Carole Hillenbrand akan sebab terjadinya Perang Salib, yang antara lain; Pertama, perasaan keagamaan yang kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walau dosa setinggi langit. Kedua, perlakuan kasar orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen. Negeri Islam selain Dinasti Saljuk memperlakukan orang-orang Kristen sesuai dengan semangat toleransi Islam. Mereka izinkan menunaikan ibadah di gereja-gereja suci mereka di Baitul Maqdis. Di lain pihak, orang-orang Saljuk bersikap keras terhadap mereka karena orang-orang Saljuk belum lama memeluk agama Islam. Ketiga, ambisi pribadi Sri Paus. Ambisi Paus untuk menyatukan dunia Kristen ke dalam satu negara religius yang langsung dipimpinnya dan mengusir kaum Muslimin dari Baitul Maqdis.[6]
 Senada dengan apa yang telah ditambahkan Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil di akhir penjelasannya akan kebencian dan kedengkian orang-orang Kristen Eropa terhadap kaum Muslimin, Prof. Leopold Weiss[7] menambahkan bahwa ”kemurkaan bangsa Eropa telah tersebar luas seiring dengan kemajuan zaman. Kemudian kebencian berubah menjadi kebiasaan. Kebencian ini akhirnya menumbuhkan perasaan kebangsaan setiap kali disebutkan kata Muslim......”.
Allah Swt. telah menjelaskan akan watak kaum Kristen dalam firman-Nya surat Ali Imran (3) ayat 118 yang berbunyi ”Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka adalah lebih besar”. 
            Seiring dengan kebencian dan kedengkian serta munculnya gerakan-gerakan orang-orang Eropa Kristen, kondisi dunia Islam dan kaum Muslimin telah menciptakan mentalitas layak terbelakang dan kalah (al-qabiliyyah li at takhalluf wa al hazimah) di mana saat itu sebagaimana yang ditulis oleh Majid ’Irsan al Kilani dalam bukunya bahwa di dalam tubuh umat Islam telah terjadi perpecahan pemikiran Islam dan perselisihan antar mazhab, perpecahan dan penyimpangan tasawuf, ancaman pemikiran kebatinan serta ancaman filsafat dan para filsuf. Hal ini berdampak kepada rusaknya aspek ekonomi, aspek sosial, perpecahan politik dan pertentangan Sunni-Syi’ah yang pada akhirnya lemahnya dunia Islam dalam menghadapi serangan-serangan kaum salib Eropa.[8]



C.    Analisa Kemenangan Kaum Muslimin
Setelah memahami uraian singkat di atas akan sebab terjadinya Perang Salib dan kondisi dunia Islam pasca penyerangan orang-orang Eropa Kristen, berikut ini akan disajikan beberapa penjelasan singkat sebab kemenangan kaum Muslimin dalam melawan pasukan salib Kristen.
Tokoh legendaris Islam dalam melakukan perlawanan sengit terhadap pasukan salib dengan merebut kembali daerah-daerah kaum Muslimin yang telah dikuasai mereka, termasuk kota suci Baitul Maqdis adalah Salahuddin al-Ayyubi pendiri Dinasti Ayyubiyah. Dalam uraian ini tidak akan banyak dijelaskan biografi sang legendaris. Akan tetapi lebih difokuskan pada sosok Salahuddin al-Ayyubi tersebut sebagai individu atau pelaku sejarah.
Pertanyaan yang muncul akan kepahlawanannya yaitu Apakah Shalahuddin al-Ayyubi merupakan fenomena individu, sosok yang brillian dan mukjizat yang lahir secara tiba-tiba di tengah panggung peristiwa dunia Islam dan terbebas dari faktor-faktor kelemahan manusiawi ? atau sebaliknya, ia hanya bagian dari generasi zamannya dan buah yang dipetik dari sekian langkah permulaan dan perubahan yang dilakukan oleh masyarakat pada masa itu. Perubahan yang meliputi seluruh lapisan umat dan kemudian melahirkan sumber daya manusia brillian (jenius) yang bersifat kolektif dan menyiapkannya untuk keluar dari krisis yang menghimpit, sementara Shalahuddin tidak lebih dari juru bicara resmi yang diangkat oleh generasi tersebut untuk mewakilinya ?.
            Tidak ada suatu peradaban yang bangkit tanpa ditopang dan didukung oleh tradisi ilmu atau komunitas ilmiah yang mengkaji ilmu secara dinamis dan berkesinambungan.[9] Sebab Ilmulah yang melahirkan  generasi yang loyal terhadap bangsa dan negerinya. Bangsa dan negeri yang memiliki pandangan hidup dan prinsip hidup yang teguh dan kokoh baik yang bersandar pada agama atau tidak, Islam atupun non Islam.
            Generasi Shalahuddin merupakan generasi yang dilahirkan pada zamannya oleh orang-orang yang memiliki prinsip dan keyakinan tinggi akan kemenangan hidup mereka dari tangan-tangan kaum penindas. Para Ulamalah yang dengan kekuatan tulisan, lisan serta seluruh potensi fikir dan dzikir mereka mampu membangkitkan dan menumbuhkan ribuan generasi pada masa dan tempat yang sama dengan tujuan yang satu dan hati yang bulat serta tekad yang kuat yang dibangun di atas keimanan yang menghujam dengan berbekalkan ketaqwaan dan hanya berharap keridhaan ilahi, telah mampu mengukir sejarah gemilang yang hadir di ruang dan waktu kita saat ini. Inilah yang dikatakan bahwa apabila jaringan interaksi sosial suatu umat terbentuk atas dasar loyalitas kepada pemikiran risalah yang dianut dan dijadikan landasan hidup, maka setiap individu masyarakat akan terlindungi dan terhormat, baik selama masih hidup maupun setelah mati.[10]
            Rasulullah saw bersabda: “Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.”
            Kondisi umat Islam di masa kejatuhan Baitul Maqdis ke tangan orang-orang salib tidak kurang dari apa yang disabdakan Rasulullah Saw. Umat Islam kala itu mengalami keterpurukan atau degradasi iman dan moral. Para pemimpin yang hedonis dan tidak amanah dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya.     
           
D.    Kesimpulan





  


[1]Istilah tersebut menjadi judul bukunya, Samuel P. Huntington, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York : Touchtone Books, 1996)
[2]http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=237
[3]Carole Hillenbrand, Perang Salib Sudut Pandang Islam, cet.II.(Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2005),41
[4]Bagi Barat, Perang Salib merupakan bagian dari evolusi Eropa barat abad pertengahan. Arti pentingnya telah lama diakui dan dipelajari oleh banyak generasi para ilmuwan Barat. 
[5]Hillenbrand, Carole.Op.Cit.hal.20-21
[6]Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern,cet.IV. (Jakarta : Pustaka Kautsar, 2000),hal. 165-166 
[7]Muhammad Asad terlahir sebagai Leopold Weiss pada tahun 1900 di kota Lemberg, Ukraina. Tahun 1926, berkat kesan mendalam dari hasil pengembaraannya di negara-negara Islam Timur Tengah (terekam dalam salah satunya bukunya "Road to Mecca") ia memeluk Islam. Ia lantas mengatakan mengenai Islam :" Dalam pandangan saya, Islam terlihat seperti sebuah hasil arsitektur yang sempurna. Semua elemen didalamnya secara harmonis dalam saling melengkapi dan mendukung; tidak ada yang berlebihan dan tidak ada yang kurang; hasilnya adalah sebuah struktur dengan keseimbangan sempurna dan komposisi yang kuat." Ia mengembara dan menyaksikan dengan kepala sendiri beberapa pergerakan pembebasan yang muncul pada awal abad 20 untuk membebaskan daerah Islam dari kaum kolonial.
[8]Majid ‘Irsan al-Kilani, Hakadza Zhahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al Quds, (Saudi Arabiya : Ad-Dar As-Su’udiyyah, 1985).hal.13-61
[9]Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam Kembali. Diktat Mata Kuliah Worldview Islam. Disampaikan dalam seminar kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).hal.1
[10]Majid ‘Irsan Al Kilani, Misteri Masa Kelam Islam Dan Kemenangan Perang Salib. (Bekasi : Kalam Aulia Mediatama,2007).hal.8

0 komentar:

Posting Komentar