Senin, 05 Maret 2012

Metode Tafsir Bibel

Semua orang mengakui bahwa kitab suci adalah firman Tuhan. Sebagaimana juga mengakui bahwa kitab suci itu mengajarkan kebahagiaan rohani yang hakiki dan menunjukkan jalan keselamatan. Namun, ternyata perilaku manusia menunjukkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan hal itu. Jika dicari sebabnya akan ditemukan bahwa hal itu karena masyarakat umum sama sekali tidak berusaha untuk hidup sesuai dengan aturan­aturan kitab suci. Kita semua tahu bahwa hampir semua orang telah mengganti firman Allah dengan bidah-bidah mereka sendiri. Sebagaimana juga tahu bahwa mereka telah memeras semua tenaganya atas nama agama untuk memaksa orang lain agar berpikir seperti dirinya.

Dapat dikatakan, kita semua melihat mayoritas imam (robi; hakham) sibuk mencari jalan untuk mengekstrak bidah-bidah pribadi dan kesimpulan-kesimpulan serampangan mereka dari kitab suci dengan cara menakwilkannya secara paksa kemudian meligitimasinya dengan kedaulatan Tuhan. Mereka tidak akan begitu perhatian dan begitu berani dalam masalah lain sebagaimana perhatian dan keberaniannya dalam menafsirkan kitab suci yang berarti juga menafsirkan pikiran Roh Kudus itu. Satu-satunya hal yang mereka takutkan dari perbuatan mereka ini adalah adanya orang lain yang menunjukkan bahwa perbuatan itu salah, dan setelah itu akan melihat musuh-musuh mereka meruntuhkan kekuasaan mereka, sedang mereka sendiri menjadi bahan hinaan orang lain. Inilah satu-satunya hal yang mereka takutkan. Mereka sama sekali tidak takut jika ternyata menyandangkan ajaran akidah batil kepada Roh Kudus secara salah atau menyimpang dari jalan keselamatan.

Sebenarnya, jika semua orang jujur dalam kesaksian mereka terhadap kebenaran kitab suci, niscaya mereka akan mempunyai cara hidup yang berbeda sama sekali. Jiwa mereka tidak akan bergoncang, tidak akan bertikai dengan penuh kebencian seperti ini, tidak pula dikuasai oleh keinginan yang membabi-buta dalam menafsirkan kitab suci dan menyingkapkan bidah-bidah dalam agama, bahkan tidak akan berani mempercayai suatu pendapat yang tidak diakui oleh kitab suci dengan betul-betul jelas sebagai salah satu akidah. Lalu, akhirnya para penoda masalah-masalah sakral yang terbiasa mengubah kitab suci di bagian sana­sini pun akan berhenti melakukan kejahatan seperti ini dan tidak meletakkan tangan-tangan kotor mereka di atas kitab suci itu. Hanya ambisi kejahatanlah yang menjadikan agama untuk membela bidah-bidah manusia. Bukan ketaatan kepada Roh Kudus. Bahkan ambisi itu pula yang menjadikan agama sebagai alat untuk menebarkan segala jenis perpecahan dan kebencian antar manusia. Padahal seharusnya menyebarkan kebaikan. Yang lebih naif lagi, semua kejahatan ini dilakukan di balik kedok semangat beragama dan iman yang menyala-nyala.

Selain kejahatan-kejahatan itu masih ada lagi khurafat atau takhayul yang menganjurkan untuk menghina hukum alam dan akal serta menganjurkan untuk menghormati hal-hal yang bertentangan dengan keduanya. Dari sini, tidak mengherankan -jika untuk menambah rasa hormat kepada kitab suci itu- orang-orang berusaha memberikan kepadanya suatu penafsiran yang sejauh mungkin bisa nampak bertentangan dengan akal itu sendiri. Oleh karena itu, ada banyak orang yang memimpikan adanya rahasia sangat dalam yang disembunyikan oleh kitab suci. Akibatnya, mereka memeras daya upaya untuk mereka-reka maksud dari rahasia-rahasia itu. Mereka mengabaikan yang jelas-jelas bisa tercapai demi mencari hal-hal yang tidak bisa dicapai. Lalu, semua bidah yang mereka ciptakan saat mengigau itu pun mereka sandangkan kepada Roh Kudus kemudian mereka pertahankan dengan segala kekuatan dan semangat yang mereka punyai.

Seperti itulah biasanya kondisi manusia. Sesuatu yang mereka peroleh dari nalar murni akan dia bela dengar nalar dan akal pula. Sedangkan keyakinan-keyakinan yang diberikan oleh emosi dia bela dengan emosi pula.

Untuk keluar dari petak umpet ini sekaligus membebaskan pikiran kita dari penilaian masa lalu (stock of mind) para teolog, juga agar kita dengan tanpa sadar tidak mempercayai bidah-bidah manusia seolah ajaran Tuhan, kita harus membicarakan metode yang benar untuk menafsirkan kitab suci. Selain itu, demi mencapai maksud ini, pengetahuan kita tentang kitab suci itu juga harus jelas. Mengapa? Karena, selama tidak mengetahuinya secara jelas, kita tidak akan bisa mengetahui sesuatu yang meyakinkan tentang ajaran-ajaran kitab suci atau Roh Kudus.

Untuk menyingkat pembicaraan, metode ini akan paparkan secara ringkas seperti berikut ini. Pertama, metode ini tidak berbeda sama sekali dengan metode yang kita anut dalam menafsirkan alam/materi. Sebaliknya kedua metode itu sama persis dari segala seginya. Untuk itu, sebagaimana metode penafsiran alam/materi yang secara prinsipil berdiri di atas dasar pengamatan benda, pengumpulan data yang meyakinkan dan terakhir pada definisi benda-benda itu, maka dalam menafsirkan kitab suci kita juga harus mencari pengetahuan historis yang tepat. Setelah mendapatkannya, yakni mendapatkan data­data yang meyakinkan, kita bisa mengetahui kerangka pikiran penulis kitab suci itu. Atas dasar ini, jika ternyata kita tidak menemukan data yang bisa dipakai untuk menafsirkan kitab suci dan menjelaskan kandungannya selain yang diambil dari kitab suci itu sendiri dan sejarah kritisnya, setiap orang dari kita bisa meneruskan kajiannya tanpa harus takut salah. Dia juga bisa menciptakan gambaran tentang sesuatu yang berada di luar daya pemahaman kita dengan derajat keyakinan yang sama dengan keyakinan yang ada pada segala sesuatu yang kita ketahui dengan nalar murni.

Untuk membuktikan bahwa cara ini bukan sekadar meyakinkan. Tetapi lebih dari itu, merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan sekaligus sejalan dengan metode penafsiran alam/materi, kita harus menyebutkan bahwa kitab suci dalam banyak kesempatan, membahas masalah­masalah yang tidak bisa disimpulkan dari data-data yang kita dapatkan melalui nalar murni. Masalah-masalah itu adalah kisah-kisah dan masalah-masalah wahyu yang menempati bagian terbesar dari kitab suci. Kisah-kisah itu secara umum berisi mukjizat-mukjizat atau riwayat-riwayat yang menceritakan kejadian-kejadian yang tidak lazim terjadi di alam, tetapi tetap sesuai dengan pemahaman dan pola pikir para penutur yang membukukan kitab suci itu. Sedang masalah-masalah wahyu telah beradaptasi dengan pendapat-pendapat para nabi dan melampaui batas-batas pemahaman manusia biasa. Untuk itu, kita harus mengambil semua informasi tentang semua hal ini -hampir seluruh isi kitab suci- dari kitab suci itu sendiri. Sama halnya dengan informasi tentang alam/materi yang kita ambil dari alam/materi itu sendiri. Adapun segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran-ajaran etika yang ada dalam kitab suci, meskipun kebenarannya bisa dibuktikan dengar pikiran-pikiran yang populer, kita tetap tidak bisa membuktikan dengan pikiran-pikiran itu bahwa kitab suci memang benar-benar memuatnya. Seperti tadi, masalah ini juga tidak bisa dibuktikan kecuali dengan kitab suci itu sendiri. Sekali pun kita ingin membuktikan kesucian kitab suci tanpa bergantung kepada penilaian masa lalu, kita harus membuktikan dengan kitab suci itu sendiri bahwa dia benar-benar mengajarkan kebenaran etik. Cara ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kesuciannya. Hal ini karena kepercayaan kita kepada nabi pertama-tama bergantung pada tabiatnya yang menyukai keadilan dan kebaikan. Dengan demikian kita harus membuktikan tabiat itu dulu sebelum mempercayai mereka. Selain itu, mukjizat juga tidak mampu membuktikan kesucian Tuhan1). Setelah ini, tidak perlu menyebutkan lagi bahwa nabi pembohong juga bisa membuat mukjizat. Maka dari itu kita harus menyimpulkan kesucian kitab suci dari seruannya kepada keutamaan saja. Dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan kitab suci itu sendiri. Jika belum terlaksana maka kepercayaan kita terhadap kesuciannya bersandar pada penilaian masa lalu (stock of mind) dalam arti yang sebenarnya. Demikianlah, semua pengetahuan kita tentang kitab suci harus bersumber dari kitab suci itu sendiri.

Terakhir, kitab suci sama dengan benda, tidak memberikan kepada kita definisi segala sesuatu yang dibahasnya. Atas dasar itu, sebagaimana kita harus menyimpulkan definisi-definisi benda-benda dari berbagai macam perilaku benda-benda itu, kita harus menyimpulkan definisi-definisi yang tidak diberikan oleh kitab suci itu dari berbagai riwayat yang kita dapatkan mengenai masalah yang sama. Jadi, kaedah umum yang kita pegang dalam menafsirkan kitab suci adalah bahwa kita tidak boleh menyandangkan kepadanya suatu ajaran sebelum melakukan penelitian sejarah, dan hasilnya menunjukkan bahwa ajaran itu memang benar-benar dikatakannya. Sekarang kita akan membahas masalah penelitian sejarah ini. Bagaimana seharusnya dan apa yang bisa kita ketahui darinya.

Harus diketahui karakter dan ciri-ciri bahasa yang dipakai untuk membukukan kitab suci dan yang biasa digunakan oleh para penulisnya. Dengan begitu kita bisa meneliti semua arti yang dimaksud oleh teks menurut pemakaian umum. Karena semua orang yang menulis kitab suci, baik perjanjian lama maupun baru itu berbangsa Ibrani tidak diragukan lagi bahwa mengetahui bahasa Ibrani adalah suatu keharusan. Bukan hanya untuk memahami Perjanjian Lama yang tertulis dalam bahasa ini tetapi juga untuk memahami kitab-kitab Perjanjian Baru. Kitab-kitab yang terakhir ini meskipun beredar dalam bahasa­bahasa lain tetapi masih penuh dengan ungkapan­ungkapan Ibrani yang jumlahnya banyak sekali.

Harus dikumpulkan ayat-ayat kitab tertentu kemudian diklasifikasikan menurut tema-tema pokok tertentu pula yang jumlahnya terbatas. Pengumpulan dan klasifikasi ini dimaksudkan agar kita dengan mudah menemukan semua ayat yang berkaitan dengan tema yang sama. Setelah selesai kita menginjak kepada langkah selanjutnya, yaitu mengumpulkan ayat-ayat mutasyabihat dan mujmal atau yang saling bertentangan satu sama lain. Yang dimaksud ayat mujmal di sini adalah ayat yang sulit dipahami menurut konteks kalimat, bukan ayat yang sulit dipahami menurut akal. Yang kita pertimbangkan di sini adalah arti teks kitab suci dan bukan hakikatnya. Bahkan, dalam rangka mencari arti kitab suci ini, pertama-tama kita harus berusaha agar pikiran kita tidak sibuk melakukan pembuktian-pembuktian berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan naluri (apalagi berdasarkan penilaian-penilaian masa lalu). Selanjutnya, agar tidak mencampuradukkan antara arti suatu ungkapan dengan hakikat sesuatu, kita harus menemukan arti kata itu berdasarkan pemakaian bahasa saja atau pembuktian-pembuktian yang bersandar pada kitab suci semata.
Agar lebih jelas, perbedaan ini akan dijelaskan dengan contoh. Ungkapan-ungkapan Musa seperti, "Allah api" atau "Allah cemburu" adalah sangat jelas jika dilihat dari sisi artinya dalam kalimat itu saja. Ungkapan-ungkapan seperti ini dimasukkan ke dalam kelompok ayat-ayat jelas (muhkam) padahal menurut akal sangat tak jelas. Jika makna harfiah suatu ayat bertentangan dengan cahaya naluri namun tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan asasi yang kita ambil dari kitab suci maka makna harfiah itu harus kita pertahankan. Sebaliknya, jika tafsiran harfiah dari kata-kata itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang kita ambil dari kitab suci maka harus dicari tafsiran lain yang bersifat metaforis, meskipun benar-benar sesuai dengan akal. Untuk mengetahui apakah Musa benar-benar meyakini bahwa Allah adalah api atau tidak, kita harus menyimpulkannya dari perkataan-perkataan lain yang pernah disampaikan oleh Musa, bukan dari kesesuaian dan pertentangannya dengan akal. Dari sini, karena Musa pernah menyebutkan dalam ayat­ayat lain dengan betul-betul jelas bahwa Allah tidak menyerupai benda-benda yang bisa dilihat, baik yang ada di bumi, di langit dan di air, kita harus memahami kata Musa tadi (Allah api, AIlah cemburu) secara metaforis. Meski begitu kita tidak boleh menyimpang dari makna harfiah terlalu jauh. Untuk itu pertama-tama kita harus meneliti apakah kata "Allah api" bisa mempunyai makna lain selain makna harfiah itu? Dengan kata lain apakah kata "Api" bisa dipakai untuk menyatakan hal lain selain api yang biasa kita lihat sehari-hari? Jika pemakaian kebahasaan tidak membolehkan pemberian makna lain, maka apa pun yang terjadi kita tidak boleh memberikan tafsiran lain kepada ungkapan itu, meskipun sangat bertentangan dengan akal. Sebaliknya, makna ini harus kita pakai sebagai dasar penafsiran ungkapan-ungkapan lain, meskipun ungkapan-ungkapan yang terrakir ini sesuai dengan akal. Jika pemakaian kebahasaan ternyata tetap tidak memberikan apa-apa, maka mustahil untuk memadukan ungkapan-ungkapan itu. Selanjutnya kita harus menangguhkan pernyataan kita terhadap semua ungkapan itu. Tetapi, karena kata "api" sendiri bisa berarti "murka" atau "cemburu" (lihat Ayub 31:12)2) maka dengan mudah kita bisa memadukan ungkapan­ungkapan Musa itu. Akhirnya, kita sampai kepada kesimpulan yang sah, yaitu bahwa ungkapan "Allah api" dan ungkapan "Allah cemburu" pada hakikatnya adalah satu ungkapan.
Masih ada satu hal lagi, yaitu Musa dengan terus terang mengatakan bahwa Allah cemburu, sedang dalam kesempatan lain dia tidak pernah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai emosi atau hawa nafsu. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Musa memang meyakini adanya sifat cemburu pada Zat Allah, atau paling tidak ingin menyerukan hal itu, meskipun menurut pendapat kita hal itu bertentangan dengan akal. Sebelum ini telah kita jelaskan, bahwa kita tidak boleh memadukan konsep kitab suci dengan ketentuan-ketentuan akal dan pikiran-pikiran kita yang sudah ada. Mengapa? Karena kita harus mengambil semua pengetahuan tentang kitab suci dari kitab suci itu saja.

Penelitian historis ini harus mempertalikan kitab­kitab para nabi dengan semua situasi penyerta khusus yang masih tersimpan hingga kini. Yakni: riwayat hidup penulis kitab, karakternya, tujuan yang ingin dicapai, siapa dia, dalam kesempatan apa dan kapan dia menulis, untuk siapa dan menggunakan bahasa apa? Selain itu, penelitian tersebut juga harus membahas kondisi-kondisi khusus dari kitab tertentu. Bagaimana mula-mula dikodifikasikan, tangan­tangan siapa saja yang pernah memegangnya, ada berapa naskah yang berbeda dari bagian yang sama, siapa yang memutuskan untuk memasukkannya ke dalam kitab suci, dan terakhir bagaimana seluruh kitab kanonik itu dihimpun dalam satu kumpulan? Penelitian historis harus mencakup semua ini. Karena, untuk mengetahui bagian mana saja yang dianggap undang-undang dan mana saja yang dianggap ajaran-ajaran etika, kita harus mengetahui riwayat hidup para penulis, budi pekertinya dan tujuan yang ingin mereka capai. Di samping itu, kita juga akan lebih mudah memahami perkataan seseorang, jika kita mengetahui keahlian khusus dan pola pikirnya. Lalu, agar tidak mencampuradukkan antara ajaran-ajaran abadi dengan ajaran-ajaran temporal dan untuk kelompok masyarakat tertentu, kita juga harus mengetahui dalam momen apa, kapan, untuk siapa dan pada masa apa, semua ajarar itu ditulis. Terakhir kita harus mengetahui semua kondisi lain yang tersebut tadi agar tahu sejauh mana kita bisa berpegang pada otoritas setiap kitab. J uga agar tahu apakah di sana ada tangan-tangan jahil yang mengubah teks atau -jika tidak diubah- apakah ada sejumlah kesalahan yang menyusup ke dalamnya dan jika ada, apakah ada orang-orang yang cakap dan dapat dipercaya telah membenarkan kesalahan kesalahan itu. Kita harus mengetahui semuanya agar tidak berjalan seperti orang buta hingga gampang terjerumus dalam kesalahan. Juga agar tidak menerima sesuatu kecuali yang meyakinkan dan tidak mungkin dirasuki oleh keraguan.

Setelah dilakukan penelitian seperti inl dan telah diambil keputusan dengan tegas bahwa tidak akan diterima sesuatu yang tidak diteliti atau yang tidak bisa disimpulkan secara jelas bahwa hal itu betul-betul keyakinan para nabi, tibalah saatnya untuk mengkaji pikiran para nabi dan roh kudus. Namun, untuk menjalankan tugas ini dengan mengikuti metode dan aturan yang lazim, kita harus berjalan selayaknya beranjak dari pengamatan benda ke penafsirannya. Untuk itu, karena dalam mengkaji benda, yang pertama-tama kita perhatikan adalah menemukan hal-hal yang paling mencakup, yaitu hal-hal yang dipunyai oleh semua benda, seperti gerak dan diam, juga menemukan hukum-hukum yang selalu dipatuhi oleh semua benda itu, baru beralih ke hal-hal yang sedikit lebih khusus, demikian pula dalam membahas sejarah kitab suci. Pertama-tama kita harus mencari hal-hal yang paling umum, mencari asas atau dasar tempat kitab suci berpijak dan hal-hal yang dipesankan oleh semua nabi sebagai keyakinan abadi dan mempunyai manfaat yang besar bagi seluruh manusia. Hal-hal yang mereka pesankan itu adalah seperti bahwasanya Allah wajib Esa, Mahakuasa dengan kekuasaan mutlak, Dia semata yang harus disembah, melihat segala sesuatu, mencintai orang-orang yang menyembah-Nya dan mencintai tetangganya sebagaimana mencintai diri mereka sendiri. Ajaran-ajaran seperti ini ada di setiap tempat dalam kitab suci dalam kadar kejelasan dan keterusterangan yang maknanya tidak bisa diragukan oleh siapa pun. Adapun mengenai tabiat Allah dan bagaimana cara-Nya dalam melihat dan memelihara segala sesuatu, kitab suci tidak pernah mengatakan tentang hal itu secara terus terang, juga tidak pernah memberikan keyakinan abadi yang berkaitan dengan perkara ini dan perkara-perkara lain yang semisal. Sebaliknya, para nabi sendiri tidak satu kata dalam masalah-masalah ini. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk meyakini perkara-perkara itu sebagai keyakinan yang bersumber dari roh kudus, meskipun bisa dibahas secara lebih baik melalui cahaya naluri.

Demikianlah, jika kita telah mengetahui keyakikan mencakup yang diserukan oleh kitab suci ini dengan pengetahuan yang sebenarnya, kita berpindah ke ajaran-ajaran yang sedikit lebih khusus yang berkaitan dengan urusan kehidupan sehari-hari dan bersumber dari keyakin umum itu seperti parit-parit yang mengalir dari mata airnya. Yang dimaksud dari perkara-perkara itu adalah perbuatan-perbuatan baik yang tidak mungkin diwujudkan jika tidak ada kesempatan untuk itu. Semua ketakjelasan dan keraguan yang kita temukan dalam kitab suci mengenai perbuatan-perbuatan itu harus dijelaskan dan diberi batasan melalui konsep umum yang diseru oleh Alkitab. Jika timbul pertentangan, kita harus mengetahui dalam momen apa, kapan dan untuk siapa teks-teks yang saling bertentangan itu diltulis. Misalnya, ketika Almasih mengatakan, "Berbahagialah oranq yang berduka-cita (orang-orang yang menangis), karena mereka akan dihibur" kita tidak tahu dukacita atau tangis apa yang dia maksud. Tetapi setelah itu dia memberitahukan bahwa kita tidak boleh memperhatikan selain kerajaan Allah dan keadilan-Nya sebagai kebaikan tertinggi (lihat Matius 6:33).3) Dari sini kita tahu bahwa yang dimaksudkan oleh Almasih dengan orang-orang yang berdukacita dalam ayat di atas adalah orang-orang yang menangisi kerajaan dan keadilan Allah karena tidak dikenal oleh manusia. Hanya inilah yang membuat mereka menangis. Selanjutnya, menangisi kerajaan Allah juga berarti mencintai keadilan dan merendahkan berbagai macam kenikmatan dunia.

Sama halnya ketika dia mengatakan, "Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juqa kepadanya pipi kirimu!" Seandainya dia memerintahkan hal itu seperti seorang pembuat hukum yang ingin memberitahukan kehendaknya kepada para hakim berarti telah melenyapkan syariat Musa. Padahal dia sendiri dengan terus terang sudah .melarangnya (Matius 5:17).4) Oleh karena itu kita harus mencari untuk siapa, kepada siapa dan kapan dia mengatakan hal itu. Dalam hal ini yang mengatakannya tentu saja adalah Almasih yang tidak pernah membuat undang-undang selayaknya seorang legislator atau badan legislatif. Sebaliknya dia hanya menyampaikan ajaran­ajaran selayaknya seorang guru. Tujuannya bukan untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan lahir tetapi untuk memperbaiki jiwa atau batin seseorang. Ungkapan itu dia sampaikan kepada orang-orang yang tertindas, hidup di negara yang tidak mengenal keadilan sama sekali dan tampaknya sudah berada di ambang kehancuran. Di sisi lain ungkapan yang mirip dengan ungkapan Almasih yang dia sampaikan pada saat kota Yerusalem terancam hancur ini juga pernah disampaikan oleh Yeremia pada saat penghancuran kota itu untuk yang pertama kali. Dengan kata lain, Yeremia mengatakannya pada kesempatan yang hampir sama.5) Maka, selama para nabi memberikan ajaran-ajaran itu hanya pada waktu penindasan dan tidak pernah merumuskannya dalam bentuk undang-undang. Bahkan Musa yang tidak menulis pada zaman penindasan, sebaliknya tengah berusaha untuk mendirikan negara yang benar, dia memerintahkan untuk membalas mata dengan mata meskipun waktu itu adalah waktu balas dendam dan membenci tetangga. Dari sini tampak jelas dengan sejelas­jelasnya bahwa menurut prinsip-prinsip kitab suci itu sendiri ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Almasih dan Yeremia itu -maksudnya menerima kelaliman dan tidak melawan kejahatan- hanya berlaku pada saat orang-orang tidak menikmati keadilan dan sedang ditindas, bukan pada masyarakat yang sehat. Dengan demikian dalam masyarakat yang sehat dan menjaga keadilan, setiap orang -jika menginginkan keadilan- harus meminta kepada hakim agar menghukum orang yang berbuat aniaya kepadanya (lihat Imamat 5:1).6).Bukan untuk balas dendam (Imamat 19: 17,18).7) tetapi untuk membela keadilan dan undang­undang negara, juga agar para penjahat tidak sempat memetik buah kejahatan mereka.

Semua ini betul-betul sejalan dengan cahaya natural. Sebetulnya masih bisa diberikan berbagai contoh lain mengenai hal ini, tetapi kami melihat bahwa yang disampaikan saat ini sudah cukup untuk memaparkan pikiran kami dan menjelaskan manfaatnya. Dan memang inilah tujuannya saat ini. Hanya saja sampai kini kita baru mejelaskan kemungkinan mempelajari teks-teks kitab suci yang berkenaan dengan urusan-urusan kehidupan. Mempelajari kitab suci dari topik ini adalah mudah. Para penulis kitab suci tidak banyak berbeda. Lain halnya dengan topik-topik lain yang sudah masuk dalam ruang pemikiran teoritis saja. Untuk sampai kepadanya sulit. Jalannya pun sempit. Para nabi tidak sepakat dalam masalah-masalah semacam itu. Penuturan-penuturan mereka tampak disiapkan sejauh mungkin bisa sesuai dengan penilaian masa lalu. Untuk itu kita tidak boleh memahami perkataan seorang nabi dari perkataan nabi lain yang lebih jelas, kecuali jika telah terbukti secara betul­betul jelas bahwa pandangan kedua nabi itu sama.
Sekarang akan dipaparkan secara ringkas bagaimana dalam keadaan yang seperti ini pikiran para nabi juga bisa dipahami melalui sejarah kritis kitab suci. Dalam hal ini kita harus mulai dari elemen-elemen yang pal ing umum, yaitu pertama-tama kita harus bertanya apa itu nabi, apa itu wahyu dan kandunqan utamanya dan apa itu mukjizat. Demikianlah kita telah memulai dengan hal-hal yang paling umum. Dari situ kita turun ke pembahasan yang sedikit lebih khusus yaitu pikiran-pikiran setiap nabi dan selanjutnya berturut-turut kita akan sampai kepada makna setiap wahyu yanq turun kepada seorang nabi, setiap penuturan dan setiap mukjizat. Sebelum ini sudah kita jelaskan dengan banyak contoh sikap hati-hati yang harus kita ambil untuk menghindari kemungkinan tercampurnya pikiran para nabi dengan pikiran para penutur dari satu sisi, serta pikiran roh kudus dan kenyataan yang sebenarnya dari sisi lain. Untuk itu kita tidak perlu menjelaskan lagi di sini. Tetapi ada satu hal yang harus kita perhatikan tentang makna wahyu, yaitu metode kita hanya mengajarkan bagaimana membahas hal-hal yang betul-betul dilihat dan didengar oleh para nabi, bukan hal-hal yang ingin mereka ungkapkan atau permisalkan dengan gambaran-gambaran inderawi. Hal-hal ini hanya bisa diduga-duga dan tidak bisa disimpulkan dari data data utama kitab suci.

Demikianlah kita telah memaparkan metode penafsiran kitab suci. Dalam waktu yang sama juga telah membuktikan bahwa metode itu adalah satu-satunya cara yang bisa digunakan. Dan ternyata juga merupakan cara yang meyakinkan untuk mengetahui maknanya yang hakiki. Kendati begitu kami tetap mengakui bahwa orang-orang yang mendengarkan perkataan atau penjelasan yang sebenarnya dari para nabi secara langsung, seperti yang diakui oleh Kaum Farisi, atau yang mempunyai paus yang maksum (tidak pernah salah) dalam menafsirkan kitab suci, seperti umat Katolik Roma ini mempunyai keyakinan yang lebih besar. Hanya saja, karena kita tidak bisa membuktikan kebenaran perkataan itu, juga tidak bisa membuktikan keabsahan otoritas paus, kita tidak bisa menjadikan keduanya sebagai landasan sama sekali. Bahkan umat Kristen generasi pertama mengingkari otoritas itu, sebagaimana sekte Yahudi terlama juga menolak tradisi ini.8) Jika kita memperhatikan jumlah tahun di mana orang-orang Farisi mentransmisikan dari imam-­imam mereka (belum yang lain), yaitu jumlah yang menyatakan bahwa tradisi ini bermula dari Nabi Musa kita mendapatkan kesalahan dalam hitungan, sebagaimana akan jelaskan dalam tempat lain. Atas dasar ini, kita harus meragukan tradisi ini sejauh mungkin. Sementara itu ada tradisi Yahudi lain menurut metodologi kita harus diduga terbebas dari pemalsuan. Tradisi itu adalah makna kata-­kata Ibrani karena kita dapatkan dari mereka. Jika tradisi pertama mengandung keraguan, makna kata-kata itu tidak bisa dirasuki oleh keraguan apa pun. Hal itu karena seseorang tidak bisa meraih keuntungan dari penggantiar makna kata, sementara itu sering kali mempunyai kepentingan dalam mengganti makna teks. Di samping itu, penggantian pertama juga sangat sulit. Orang yang ingin mengganti makna suatu kata dalam suatu bahasa dia harus menjelaskan semua orang yang menulis dalam bahasa ini dan semua orang yang menggunakan kata ini dalam maknanya yang turun-temurun sesuai dengan pola pikir dan wawasan masing-masing mereka. Atau jika tidak, maka dia harus membuktikan kepalsuan mereka dengan sangat hati hati. Selain itu, bahasa juga terus tersimpan di kalangan orang awam dan kalangan ulama, sementara para ulama saja yang menyimpan makna teks-teks kitab suci itu. Dengan demikian kita bisa membayangkan dengan mudah kemungkinan para ulama untuk mengganti atau menyelewengkan makna teks dalam buku langka yang hanya ada pada mereka. Sementara itu mereka tidak mungkin mengubah makna kata. Masih ada satu hal lagi, yaitu jika seseorang ingin mengubah makna suatu kata yang sudah biasa dia pakai, tidak akan mudah baginya untuk mematuhi makna baru itu dalam semua perkataan dan tulisan selanjutnya. Karena alasan itu semua, kita yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak akan mungkin terdetik dalam benak seseorang untuk mengubah bahasa, sementara itu sangat sering terjadi distorsi pemikiran penulis dengan cara mengubah atau menyalahtafsirkan teks.

Jadi, selama metode kita -yang bertumpu pada kaedah yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang kitab suci itu harus diambil dari kitab suci itu sendiri- adalah metode satu-satunya dan memang benar, kita tidak boleh menggantungkan harapan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak diberikan oleh metode itu kepada metode lain demi mendapatkan pengetahuan menyeluruh tentang kitab suci.

Selanjutnya, kesulitan apa saja yang menghadang metode ini atau apa saja kekurangannya hingga bisa memberikan pengetahuan yang menyeluruh dan meyakinkan? Pertanyaan inilah yang akan kita jawab sekarang.

Pertama, ada kesulitan besar yang timbul karena metode ini menuntut pengetahuan yang sempurna tentang bahasa Ibrani. Mana pengetahuan kita tentang bahasa itu? Para ahli bahasa Ibrani terdahulu sama sekali tidak meninggalkan sesuatu yang berkaitan dengan dasar-dasar dan kaedah-kaedah yang melandasi bahasa ini. Atau paling tidak semua dasar dan kaedah yang mereka tinggalkan itu sudah tiada pada kita lagi. Tidak ada kamus, tidak pula buku tata bahasa atau retorika. Umat Yahudi benar-benar telah kehilangan sesuatu yang bisa membuat mereka terhormat dan bangga kecuali beberapa cuil bahasa dan sastra mereka saja. Hal ini tidaklah mengherankan jika kita memperhatikan banyaknya bencana dan penindasan yang menimpa umat itu. Misalnya, nama buah-buahan, burung, ikan dan banyak nama lain banyak hilang ditelan waktu. Arti kata benda dan verba yang kita temukan dalam Taurat pun juga banyak yang hilang, atau paling tidak dipersilihkan. Arti-arti itu perlu kita ketahui. Demikian juga dengan struktur-struktur khusus yang ada dalam bahasa ini. Tapi ng hampir seluruh ungkapan dan struktur khusus yang digunakan oleh orang-orang Ibrani itu telah dicabut dari ingatan manusia. Oleh karena itu kita tidak bisa, dengan seenak hati, mencari arti setiap kata menurut pemakaian yang berlaku dalam bahasa ini. Sebaliknya, kita banyak mendapatkan ungkapan yang dirangkai dari kata­kata yang betul-betul terkenal, tetapi artinya sangat kabur, tidak bisa diketahui sama sekali. Selanjutnya, selain pengetahuan yang sempurna mengenai bahasa Ibrani itu tidak bisa dicapai, struktur dan karakter bahasa itu juga menimbulkan masalah tersendiri. Di dalamnya banyak sekali kata yang ambigu hingga membuat kita mustahil untuk menemukan suatu jalan yang bisa menentukan arti teks-teks kitab suci secara pasti. Di samping sebab-sebab umum yang dipunyai oleh semua bahasa, bahasa Ibrani mempunyai sebab-sebab khusus yang menimbulkan banyak kata yang artinya tidak jelas itu. kira sebab-sebab itu perlu kita sebutkan di sini.

Pertama, kerancuan dan ketakjelasan arti teks dalam Taurat itu seringkali timbul dari digantinya huruf dalam kata dengan huruf lain yang mempunyai makhraj (artikulasi) yang sama. Orang-orang Ibrani membagi huruf­huruf abjad mereka ke dalam lima kelompok makhraj, sesuai dengan lima organ mulut yang digunakan untuk mengucapkannya, yaitu: dua bibir, lidah, gigi, tenggorokan dan pangkal tenggorokan. Misalnya, huruf (ahlef, Arab: alif), (jimel Arab: jim), (ayen, Arab: 'ain), (heh, Arab: ha') dinamai huruf-huruf tenggorokan. Seringkali salah satu dari huruf-huruf itu dipakai untuk mengganti yang lain seolah tidak ada bedanya. Paling tidak menurut yang kita tahu. Atas dasar ini kata (a-I) yang berarti "ke" dipakai untuk mengganti kata (`a-I) yang berarti di atas. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu seringkali ada sebuah kalimat yang tersusun dari kata-kata yang tak jelas artinya atau malah sekadar suara tanpa arti.

Sebab kedua dari ketakjelasan arti itu adalah banyaknya arti dari satu kata penghubung atau kata keterangan. Misalnya huruf (vav, Arab: waw) bisa dipakai untuk menghubungkan sekaligus memisahkan dua kata. Dengan demikian bisa berarti: dan, karena, meski begitu atau ketika itu...demikian seterusnya.

Ada sebab ketiga yang menimbulkan banyak ketakjelasan arti itu, yaitu bahwasanya verba dalam bahasa Ibrani tidak mempunyai bentuk yang menerangkan masa sekarang, masa lalu masih berlangsung, masa lalu sudah lewat dan masa-masa lain yang biasa terdapat dalam bahasa-bahasa lain. Sebetulnya ada kaedah-kaedah yang disimpulkan dari dasar-dasar bahasa ini yang bisa mengganti keterangan waktu dan bentuk-bentuk yang kurang dengan mudah. Bahkan mempunyai muatan retorika yang tinggi. Tapi ng para penulis terdahulu mengabaikannya sama sekali. Mereka pun memakai verba untuk masa depan untuk menunjukkan masa lalu dan masa kini tanpa pembedaan. Sebaliknya mereka juga menggunakan verba masa lalu untuk masa depan. Akhirnya kata dan ungkapan yang tak jelas artinya itu pun timbul dalam jumlah yang banyak sekali.

Selain tiga sebab ini, masih ada dua sebab lagi yang lebih penting. Pertama, orang-orang Ibrani tidak mempunyai huruf yang berfungsi sebagai hidup. Kedua, mereka tidak terbiasa memenggal perkataan tertulis mereka atau menekankan suatu arti dengan tanda baca. Tidak diragukan lagi bahwa dua kelemahan ini bisa ditutupi dengan pembubuhan titik dan harakat.9) Hanya saja kita tidak boleh mempercayai dua sarana ini, karena yang membuat dan menggunakannya adalah ahli bahasa yang datang jauh kemudian.10) Dengan demikian otoritas mereka tidak ada nilainya sama sekali. Adapun para pendahulu menulis tanpa titik (maksudnya tanpa huruf hidup atau harakat). Banyak bukti yang menyatakan bahwa titik-titik itu dibuat pada masa yang jauh kemudian. Yaitu ketika orang-orang sudah membutuhkan penafsiran Taurat. Dengan demikian, titik-titik yang ada sekarang, demikian juga dengan harakat tidak lain kecuali tafsir-tafsir baru yang tidak boleh kita percayai begitu saja dan tidak memiliki otoritas yang melebihi tafsiran-tafsiran lain. Yang tidak mengetahui hal ini tidak akan tahu kenapa kita harus memaafkan penulis Surat I
Ada kesulitan fain dalam metode ini, timbul dari keharusan tersedianya pengetahuan historis tentang situasi khusus yang menyertai kitab tertentu. Pengetahuan semacam ini biasanya tidak tersedia bagi kita. Bahkan sebenarnya kita sama sekali tidak tahu siapa yang menulis kitab-kitab itu. Atau kalau ingin lebih halus, kita tidak tahu siapa saja orang-orang yang menulisnya atau paling tidak, kita meragukan mereka, sebagaimana akan jelaskan nanti. Dari sisi lain, kita tidak tahu dalam kesempatan apa dan kapan kitab-kitab yang tidak diketahui penulis yang sebenarnya itu ditulis. Kita juga tidak tahu tangan siapa saja yang pernah dihinggapi dan dari siapa datangnya manuskrip-manuskrip asli yang terdiri dari beberapa versi bacaan yang berbeda, kemudian akhirnya kita juga tidak tahu jika di sana ada banyak versi bacaan lain yang berasal dari manuskrip-manuskrip yang berasal dari sumber lain. Di bagian lain dari buku ini telah jelaskan pentingnya semua situasi ini dan sengaja tidak ingin membahasnya lagi disini. Jika kita membaca sebuah buku yang berisi hal - hal yang tidak bisa dipercaya atau tidak bisa diketahui, atau membaca sebuah buku yang mengandung kata-kata yang sangat tidak jelas, akan sia-sia jika kita mencari maksudnya tanpa mengetahui penulisnya, waktu dan momen penulisannya. Kita tidak akan pernah tahu hal- hal- yang dimaksud atau yang mungkin dia maksud oleh penulis tanpa mengetahui semua situasi itu. Sebaliknya, jika kita mengetahui semua itu secara mendetail, kita akan menyusun pikiran kita sedemikian rupa, hingga terberbas dari semua penilaian masa lalu, yakni kita tidak akan memberikan kepada penulis kitab atau orang yang dituju oleh penulisan itu, lebih atau kurang dari yang semestinya. Di samping itu, kita tidak membayangkan adanya suatu tujuan selain yang mungkin diletakkan oleh penulis di depan kedua matanya. kira, ini sudah jelas bagi semua orang. Seringkali kita membaca beberapa cerita yang sangat mirip dalam beberapa buku yang berbeda. Meski begitu penilaian kita terhadap cerita-cerita itu sangat berbeda akibat pandangan kita yang berbeda tentang penulisnya. Di sini teringat pernah membaca dalam sebuah buku yang menceritakan seorang laki-laki bernama Orlando Furioso.13) Dia mempunyai kebiasaan mengendarai seekor naga berp dua yang terbang di angkasa dan melayang ke semua daerah yang dia kehendaki. Seorang diri, dia juga terbiasa memangsa manusia dan raksasa dalam jumlah besar. Cerita ini adalah jenis cerita fiksi yang tidak bisa dipahami oleh akal dari sisi mana pun. Meski begitu, jumlahnya sangat banyak. Dalam salah satu buku Ovid juga pernah membaca cerita yang mirip sekali dengan Persee.14) Cerita ketiga adalah cerita yang tersebut dalam kitab Hakim­Hakim tentang Simson (Samson). Dengan sendirian dan tanpa senjata, dia mampu membunuh seribu orang,15) juga cerita dalam kitab Raja-Raja tentang Elia yang terbang ke angkasa dan sampai di langit dengan mengendarai kuda dan kereta dari api.16) Cerita-cerita ini sangat mirip. Meski begitu penilaian kita terhadap masing-masing cerita itu sangat berbeda. Penulis pertama hanya bermaksud menuturkan kejadian-kejadian fiktif, yang kedua mempunyai tujuan politis, sedang yang ketiga bertujuan memaparkan hal-hal yang sakral. Satu-satunya alasan yana membuat kita meyakini hal ini adalah pandangan yang kita ciptakan terhadap para penulis itu. Sampai di sini kita telah membuktikan bahwa mengenal para penulis masalah masalah yang tidak jelas atau tidak masuk akal itu mutlak diperlukan, terutama untuk menafsirkan tulisan-tulisa mereka. Karena alasan-alasan ini juga, kita tidak bisa memilih versi bacaan yang betul dari berbagai macam versi dari sebuah teks yang mengandung cerita-cerita tak jelas kecuali dari pengetahuan kita tentang sumber manuskrip- manuskrip asli yang memuat versi-versi bacaan itu. Itu pun jika tidak ada versi bacaan lain dalam manuskrip- manuskrip lain yang ditulis oleh para penulis yang memiliki otoritas lebih tinggi.

Kesulitan terakhir dalam menafsirkan kitab dengan metode ini adalah bahwasanya kita tidak memiliki kitab-kitab itu dalam bahasa aslinya, yakni dalam bahasa penulisnya. Menurut pendapat yang berlaku, Injil Matius demikian juga dengan Surat Kepada Orang Ibrani telah ditulis dalam bahasa Ibrani. Namun naskah aslinya telah hilang. Selain itu juga ada tanda tanya mengenai bahasa yang dipakai dalam menuliskan Kitab Ayub. Dalam penjelasan-penjelasannya, Ibnu Ezra (Aben Ezra) memastikan bahwa kitab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dari bahasa lain. Dan inilah sebab ketakjelasan maksudnya. Selanjutnya tidak perlu lagi membicarakan kitab-kitab apokripa karena otoritasnya yang lebih rendah.

Sampai di sini telah dipaparkan semua kesulitan yang timbul dalam metode penafsiran kitab suci dengan penelitian historis terhadap data-data sejarah yang berkaitan dengannya. Kesulitan-kesulitan itu dianggap sangat serius. Oleh sebab itu, tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa banyak sekali teks kitab suci yang tidak kita pahami maksudnya atau kita pahami, tetapi secara global dan tidak mengandung unsur keyakinan. Namun demikian, ingin mengulangi kata-kata bahwa yang bisa dilakukan oleh kesulitan-kesulitan itu adalah menghalangi kita dalam memahami pikiran para nabi tentang hal-hal yang hanya bisa kita bayangkan dan tidak bisa kita ketahui. Berbeda dengan hal-hal yang bisa kita ketahui dengan akal dan bisa kita buat gambarannya dengan mudah. Yang demikian ini, karena hal-hal yang menurut wujudnya bisa diketahui dengan mudah, pengungkapannya tidak akan sulit hingga tidak bisa dipahami. Ada peribahasa yang mengatakan: Satu kata sudah cukup untuk orang yang paham. Atas dasar ini, sangat mudah menjelaskan kata­kata Euclides kepada semua orang. Dalam bahasa apa pun. Yang ditulis hanya sedikit, selain itu juga sangat masuk akal. Untuk mengetahui idenya dan memahami arti yang sesungguhnya, seseorang tidak perlu mengetahui secara sempurna bahasa yang dia pakai untuk menulis. Cukup tahu sekadarnya saja, tidak lebih dari pengetahuan anak-anak. Di samping itu, juga tidak ada gunanya mengetahui riwayat hidup penulis, tujuan yang ingin dia capai, kebiasaan-­kebiasaannya, bahasa yang dia pakai untuk menulis, untuk siapa dia menulis, kapan menulis, kondisi-kondisi yang meliputi buku itu, nasibnya, versi-versi yang ada dan siapa saja yang memutuskan untuk menghimpunnya. Semua yang dikatakan mengenai Euclides ini juga berlaku bagi semua orang yang menulis dalam masalah-masalah yang bisa dipahami berdasarkan wujudnya. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa dengan hal-hal yang bisa kita capai dari pengetahuan historis terhadap kitab suci itu, kita bisa mengetahui konsep kitab suci mengenai ajaran-ajarar etika. Ajaran-ajaran itu bisa kita ketahui dengan pasti. Hal ini karena ajaran-ajaran yang berkenaan dengan takwa yang sebenarnya diungkapkan dengan kata-kata yang paling banyak beredar karena sangat populer dimasyarakat, sangat sedikit dan mudah dipahami. Disamping itu, berhubung keselamatan yang hakiki dan kebahagiaan rohani berada di dalam ketenangan jiwa sedang ketenangan yang hakiki tidak bisa didapatkan kecuali dari hal-hal yang kita ketahui dengan sanga terang, sepertinya kita akan bisa mengetahui secara pasti konsep kitab suci yang berkenaan dengan masalah-masalah pokok dan inti dari keselamatan dan kebahagiaan rohani. Dengan demikian kita tidak perlu mengkhawatirkan masalah-masalah lain. Hal ini, karena seringkali kita tidak bisa memahaminya dengan akal dan nalar, maka sebaiknya kita anggap saja hal-hal itu lebih pantas dimasukkan ke dalam bab hal-hal aneh daripada hal-hal yang bermanfaat.

Sampai di sini sepertinya sudah menjelaskan metode yang benar dalam menafsirkan kitab suci, juga sudah menjelaskan dengan cukup cara untuk memroses masalah ini. Selanjutnya, tidak ada keraguan lagi pada diri bahwa saat ini setiap orang sudah tahu bahwa metode ini tidak memerlukan cahaya selain cahaya naluri. Hal itu karena karakter dan sifat inti dari cahaya ini terbatas pada pembahasan hal-hal yang tak jelas kemudian memecahkannya berdasarkan kesimpulan yang sah dari hal-hal yang sudah diketahui atau hal-hal yang didata sebagai hal-hal yang diketahui. Metode kita memang tidak menuntut sesuatu yang lebih dari ini. Selanjutnya, kita mengakui bahwa metode ini tidak cukup untuk menjelaskan semua yang dikandung oleh Taurat. Tetapi hal itu tidak disebabkan oleh kekurangan yang ada dalam metode, tetapi karena jalan benar dan lurus yang diserunya belum pernah diikuti dan dilalui oleh orang, sehingga dengan perjalanan waktu menjadi terjal, kasar dan hampir tidak bisa dilewati. kira sudah menjelaskan hal itu dengan cukup pada saat menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ada.

Sekarang, kita tinggal meneliti pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat kita. Ada orang yang menyangka bahwa cahaya natural tidak mampu menafsirkan kitab suci. Untuk itu harus ada cahaya yang melampaui batas alam. Adapun seperti apa cahaya yang harus ditambahkan kepada cahaya natural itu, mereka sendirilah yang harus menjelaskannya. pribadi hanya bisa menduga bahwa dengan pendapat itu, sebetulnya mereka - dengan menggunakan ungkapan yang lebih samar- ingin mengakui ketidak yakinan mereka terhadap makna hakiki dari banyak teks dalam kitab suci. Hal ini tampak dari tafsiran-tafsiran mereka yang sama sekali tidak mengandung sesuatu yang melampaui batas alam. Sebaliknya, tafsiran-tafsiran itu hanya dugaan-dugaan. Jika kita bandingkan dengan tafsiran-tafsiran orang-orang yang jelas-jelas mengaku hanya memiliki cahaya natural, kita akan mendapatkan kemiripan. Kedua-duanya adalah karya manusia. Kedua-duanya adalah hasil olah pikir. Adapun yang mereka katakan mengenai ketidak cukupan cahaya natural itu sudah pasti salah. Dari satu sisi, kesulitan-kesulitan dalam menafsirkan kitab suci itu - sebagaimana telah kita jelaskan sebelum ini- tidak timbul dari cahaya naluri, tetapi dari kelambanan -jika bukan kebrengsekan- orang-orang yang meremehkan pencarian pengetahuan historis kritis tentang kitab suci di waktu mereka mampu melakukan hal itu. Dari sisi lain, cahaya yang melampaui batas alam (yang memang diakui oleh semua orang kecuali orang-orang yang keliru) ini adalah anugerah yang hanya diberikan oleh Allah kepada kaum mukminin. Padahal yang biasa dinasihati oleh para nabi dan sahabat itu bukan hanya kaum mukminin, tetapi orang­orang kafir dan fasiq juga. Dengan demikian, dua kelompok terakhir ini juga harus mampu memahami pikiran para nabi dan sahabat. Jika tidak, maka para nabi dan sahabat seolah menasihati anak-anak kecil dan bukan orang dewasa yang sudah akil balig. Undang-undang Musa pun akan sia­sia karena hanya bisa dipahami oleh kaum mukminin yang sebenarnya tidak memerlukan undang-undang sama sekali. Jadi, menurut , mereka yang mencari cahaya yang melampaui batas alam untuk memahami pikiran para nabi dan sahabat itu tidak mempunyai cahaya natural dan dalam waktu yang sama, juga sangat jauh dari kemungkinan mendapatkan anugerah ilahi yang melampaui batas alam.

Ibnu Maimun mempunyai pendapat lain yang sangat berbeda. Dia berkeyakinan bahwa setiap teks dari kitab suci mempunyai banyak arti, bahkan banyak arti yang saling bertentangan. Kita semua tidak bisa mengetahui makna hakiki dari sebuah teks kecuali sebatas yang kita tahu - menurut tafsiran kita- bahwa teks itu tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan akal. Jika dia menafsirkan sebuah teks secara harfiah dan hasilnya bertentangan dengan akal, teks itu harus diberi tafsiran lain meskipun sebetulnya sudah sangat jelas. lnilah yang dia ungkapkan dengan sangat terang dalam fasal 25 jilid 2 dari bukunya Moreh Nebuchim 17) dengan kata-katanya:

"Ketauhilah bahwasanya kita tidak mau menerima konsep kelamaan (qidam) alam karena teks-teks dalam kitab suci tentang penciptaannya. Teks-teks ini tidak jauh berbeda dengan teks-teks yang menyatakan bahwasanya Allah adalah tubuh. Sementara itu tidak ada yang menghalangi kita untuk menakwilkan teks-teks yang menyatakan penciptaan. I
Bisa dibuktikan dengan jelas bahwa Allah itu bukan tubuh. Oleh karenanya semua teks yang arti harfiahnya bertentangan dengan maksud ini harus ditafsirkan. Lain halnya dengan akidah kelamaan alam. Akidah ini tidak mempunyai bukti yang kuat. Dengan demikian tidak perlu dilakukan penakwilan kitab suci secara serampangan agar sesuai dengan sebuah pendapat yang dangkal. Maksudnya pendapat yang membuat kita mempunyai alasan untuk memilih pendapat lain yang berlawanan dengannya.

Keyakinan bahwa Allah itu bukan tubuh tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat... sebaliknya keyakinan bahwa alam itu lama, seperti yang diyakini oleh Aritoteles telah merobohkan pondasi syariat."

Itulah kata-kata Ibnu Maimun yang menampakkan dengan jelas hal-hal yang telah kita katakan. Seandainya saja dia mempunyai dalil aqli atas kelamaan alam niscaya tidak akan segan-segan menakwilkan dan menafsirkan kitab suci secara serampangan hingga membuat akidah itu seolah berasal dari kitab suci itu. Ketika itu dia akan yakin seyakin-yakinnya bahwa kitab suci itu mengisyaratkan kelamaan alam, meskipun dalam hal itu dia berbeda dengan kitab suci. Jadi, dia tidak bisa mempercayai maksud yang sebenarnya dari kitab suci meskipun amat jelas selama terus meragukan hakikat yang dikatakan oleh kitab suci dan selama hakikat itu menurut pandangannya tidak bisa dibuktikan dengan dalil yang kuat. Di sini lain selama tidak ada dalil yang membuktikan hakikat ini kita tidak akan pernah tahu apakah kitab suci itu sejalan dengan akal atau bertentangan dengannya. Selanjutnya, kita juga tidak akan tahu apakah makna harfiah itu benar atau salah. Jika cara penafsiran ini benar, mengakui sepenuhnya bahwa kita semua memerlukan cahaya lain selain cahaya natural. Hal ini karena tidak semua kandungan kitab suci bisa dibuktikan dengan data-data yang kita dapatkan melalui cahaya naluri (seperti telah kita jelaskan sebelumnya). Dengan demikian, cahaya natural itu tidak mampu membuktikan segala sesuatu yang berhubungan dengan bagian terbesar dari kandungan kitab suci, selanjutnya juga tidak mampu membuktikan makna yang benar dari kitab suci dan ide-ide yang ada di dalamnya. Saat itu kita akan membutuhkan cahaya lain. Di samping itu, jika metode Ibnu Maimun ini benar, niscaya masyarakat awam yang biasanya tidak mengenal dalil-dalil dan tidak mampu menelaahnya tidak akan menerima apa pun yang berkaitan dengan kitab suci jika tidak berpegang kepada otoritas para filosof atau kesaksian-kesaksian mereka, tetapi sebelum itu dia harus menganggap para filosof terlindung dari kesalahan dalam menafsirkan kitab suci. Hal ini berarti telah muncul kekuasaan gereja baru, kependetaan baru dan sejenis kepausan. Suatu hal yang lebih banyak mengundang cemoohan orang awam daripada membangkitakan rasa hormat di dalam jiwa mereka. Memang benar, metode penafsiran kita juga memerlukan pengetahuan tentang bahasa Ibrani yang tidak bisa dipelajari oleh masyarakat awam. Namun demikian kritikan itu tidak bisa diajukan kepada kita. Kenapa? Karena umumnya orang Yahudi dan bukan Yahudi yang didakwahi oleh para nabi dan sahabat baik secara lisan maupun tulisan, memahami bahasa mereka dan dengan demikian juga memahami ide-ide mereka. Sementara itu mereka tidak mengetahui dalil-dalil hakikat ajaran-ajaran yang diserukan oleh para nabi dan sahabat itu. Padahal, menurut Ibnu Maimun, dalil-dalil itu harus mereka ketahui dulu jika ingin memahami ide para nabi. Jadi netode kita tidak mengharuskan masyarakat awam untuk bersandar pada kesaksian para ahli tafsir. Masyarakat awam yang maksud ini adalah mereka yang mengetahui bahasa para nabi dan sahabat. Sementara Ibnu Maimun tidak mengakui adanya orang awam yang mengetahui sebab-sebab segala sesuatu dan selanjutnya bisa memahami ide para nabi dengan itu. Adapun mengenai orang-orang awam yang ada pada zaman kita sekarang ini sudah kita jelaskan dalam bagian terdahulu bahwa mereka bisa mengetahui unsur ­unsur dasar dari keselamatan dengan mudah melalui bahasa apapun, meski tidak mengetahui dalil-dalil yang melandasinya. Dengan syarat unsur-unsur itu populer dan mudah diungkapkan dengan bahasa sehari-hari. Kepada pengetahuan inilah -bukan kepada kesaksian para ahli tafsir- orang awam bersandar. Sedangkan dalam masalah­masalah lainnya, nasib orang awam tidak lebih buruk daripada nasib para ulama. Bagaimana pun juga kita harus kembali membahas pandangan Ibnu Maimun. Pertama­tama dia menyangka bahwa para nabi sepakat satu sama lain dalam semua masalah, di samping itu, mereka adalah para filosof dan teolog besar yang mempunyai kemampuan untuk menyimpulkan karena mengetahui hakikat yang sebenarnya. Kedua dia menyangka bahwa maksud kitab suci tidak bisa dijelaskan dengan kitab suci itu sendiri. Hakikat segala sesuatu yang diserukannya tidak bisa dibuktikan dengan kitab suci itu sendiri. Kitab suci tidak membuktikan apa pun, tidak pula mengenalkan masalah­masalah yang dia bahas melalui definisi-definisi dan sebab­sebab pertama. Dengan demikian menurut pendapat Ibnu Maimun, maksud yang sebenarnya dari kitab suci itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa disimpulkan darinya. Dalam fasal ini tampaklah kesalahan penyimpulannya itu. Tadi kita telah kita jelaskan dengan pembuktian dan contoh bahwa makna kitab suci itu tidak bisa dijelaskan kecuali dengannya, tidak pula bisa disimpulkan kecuali darinya saja, meskipun kitab itu berbicara tentang hal-hal yang diketahui oleh cahaya natural. Terakhir, Ibnu Maimun menduga bahwa kita boleh menafsirkan dan menakwilkan kitab suci dengan cara yang dipaksakan, sesuai dengan penilaian penilaian masa lalu kita. Secara sengaja dia menolak arti harfiah dan menggantinya dengan arti lain meskipun arti harfiah itu adalah arti yang paling jelas dan paling mendekati akal. Pembolehan seperti ini tampak ekstrim dan sembrono didepan semua orang, di samping sangat bertentangan dengan hal-hal yang telah kita buktikan dalam fasal ini. Tetapi, biarlah kita menerima kebebasan luas ini, apakah yang dia lakukan? Dia tidak melakukan apa-apa. Kita tidak bisa mengetahui dengan akal masalah-masalah yang tidak bisa dibuktikan, padahal masalah-masalah itu adalah bagian terbesar dari kandungan kitab suci, sebagaimana juga tidak bisa dijelaskan dan ditafsirkan dengan metode Ibnu Maimun. Sebaliknya, dalam banyak kesempatan kita bisa menjelaskannya dengan metode kita dengan penuh rasa yakin sebagaimana telah kita jelaskan dengan dalil dan contoh. Mengenai hal-hal yang bisa diketahui menurut karakternya tanpa memeras tenaga, maksudnya bisa dicapai dengan mudah melalui konteksnya saja, sebagaimana telah kita jelaskan sebelum ini. Dengan demikian metode Ibnu Maimun tidak bermanfaat sama sekali. Di samping juga melenyapkan keyakinan terhadap makna yang sesungguhnya dari kitab suci. Padahal makna itu bisa dicapai oleh orang awam dengan menggunakan metode penafsiran lain. Jadi kita menolak metode Ibnu Maimun karena rusak, tidak bisa diterapkan dan tidak bermanfaat.

Mengenai tradisi yang berlaku di kalangan orang­orang Farisi sebagaimana telah kita sebutkan dalam bagian terdahulu tidak disepakati dalam disepakati di dalam kalangannya ini. Sedang otoritas Paus Roma masih memerlukan dasar hukum yang lebih kuat. Karena ini alasan ini juga menolaknya. Sebenarnya, jika ada orang yang bisa membuktikan kepada kita dengan kitab suci itu sendiri bahwa otoritas paus Roma berlandaskan dalil yang mempunyai kadar kekuatan yang sama dengan dalil otoritas imam-imam Yahudi masa lalu, keyakinan mengenai hal itu tidak akan tergoyahkan oleh kebrengsekan sebagian paus yang fasiq dan kafir. Di antara imam-imam Ibrani itu pun ada juga yang kafir dan fasiq. Kedudukan imam itu mereka capai dengan cara-cara jahat. Meski begitu berdasarkan pesan-pesan kitab suci mereka tetap memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan Alkitab (lihat Ulangan 17:11-12, 32:10 dan Maleakhi 2:8).18) Tetapi karena tidak ada dalil yang semacam ini, keraguan terhadap otoritas paus Roma pun tetap berlaku. Agar orang-orang tidak tertipu oleh sejenis robi kaum Ibrani ini, juga agar tidak berkeyakinan bahwa agama Katolik juga memerlukan seorang robi, kita harus menyebutkan bahwa syariat Musa adalah undang-undang umum sebuah negara. Dengan demikian memerlukan penguasa umum yang menjaganya. Jika setiap orang mempunyai kebebasan menafsirkan syariat sekehendak hati, negara itu tidak akan bertahan, sebaliknya akan pecah dan undang-undang umum itu akan menjadi undang-undang pribadi. Dalam kasus agama, urusannya sangat berbeda. Basis agama bukan amalan-amalan lahir, tetapi kesehatan jiwa. Dari situ dia tidak tunduk kepada undang-undang atau lembaga umum. Seorang manusia tidak bisa dipaksa dengan kekerasan atau undang-undang untuk mendapatkan kebahagiaan rohani. Yang diperlukan dalam masalah itu adalah nasihat-nasihat yang baik, pendidikan yang benar dan sebelum itu semua adalah hak penilaian yang bebas dan sehat. Dengan demikian, karena setiap orang memiliki hak mutlak dalam kebebasan berpikir, termasuk dalam masalah-masalah agama dan mustahil rasanya untuk mencabut hak ini dari seorang manusia, maka setiap orang mempunyai hak dan kekuasaan penuh untuk menilai agama. Setelah itu juga berhak menjelaskan dan menafsirkannya untuk dirinya sendiri. Sebetulnya, satu-satunya alasan yang mejadikan para hakim memiliki kekuasaan tertinggi dalam menafsirkan undang-undang yang berkenaan dengan aturan umum adalah karena ada keterkaitan dengan aturan umum itu sendiri. Karena alasan ini pula setiap orang mempunyai wewenang penuh dalam menafsirkan dan menilai agama karena termasuk dalam lingkup undang-undang pribadi. Atas dasar ini, jika imam umat Ibrani mendapatkan wewenang untuk menafsirkan undang-undang negara, kita sama sekali tidak boleh menyimpulkan bahwa paus Roma juga memiliki wewenang untuk menafsirkan agama. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Dari institusi robi bangsa Ibrani ini dengan mudah bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan penuh dalam urusan agama. Selain itu, kita juga bisa menarik kesimpulan dari keterangan terdahulu bahwa metode kita dalam menafsirkan kitab suci adalah lebih baik. Hal itu karena kekuasaan tertinggi dalam menafsirkan kitab suci berada pada setiap individu, maka tidak diperlukan landasan penafsiran lain kecuali cahaya natural yang dimiliki oleh semua orang. Tidak ada cahaya super natural (di atas alam) dan tidak pula ada kekuasaan luar. Jadi metode ini tidak boleh terlalu sulit hingga menjadi monopoli para filosof yang cerdas saja, tetapi juga harus bisa dipahami oleh tingkat kecerdasan dan kemampuan biasa yang dipunyai oleh semua orang. Pada bagian terdahulu sudah kita jelaskan bahwa metode kita seperti itu. Dan betul-betul terbukti bahwa kesulitan-kesulitan yang kita dapatkan itu timbul karena kesembronoan orang bukan karena metode itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar