Selasa, 17 September 2013

MENGADOPSI HERMENEUTIK DALAM KAJIAN ISLAM

Pada suatu hari di tahun 1988 Jean Grondin, penulis buku "Introduction to Philosophical Hermeneutic" bertemu dengan Hans-Georg Gadamer (1900- ) di sebuah pub di Heidelberg Jerman. Jean meminta keterangan kepadanya tentang letak aspek universalitas hermeneutik. Setelah berfikir beberapa saat, Gadamer menjawab singkat setengah menyimpulkan:”Di dalam apa yang tersirat” (in the verbum interius). Jean tidak puas dan mendesak Gadamer menjelaskan lebih lanjut. “Universalitas”, kata Gadamer menjelaskan, “terkandung dalam makna yang tersirat (inner speech), sebab seseorang tidak dapat mengatakan semuanya. Seseorang itu tidak dapat mengekspresikan segala sesuatu yang ada dalam otaknya. Ini saya pelajari dari konsep Tentang Trinitas St.Augustine.” Jean masih belum puas dengan jawaban Gadamer. Apa hubungan verbum interius dengan pemahaman? Setelah beberapa bulan ia baru mendapat sedikit pencerahan, khususnya setelah membaca buku Gadamer Truth and Method. Ia faham bahwa ucapan selalu tertinggal dari apa yang akan dan harus dikatakan. Seseorang dapat memahami apa yang diucapkan orang lain hanya ketika ia memahaminya dari sesuatu yang tersirat atau tersembunyi disebalik kata-kata itu. Tapi dimana aspek universalitasnya? Masih kabur. Ia lalu meminta Gadamer menulis kata pengantar pada bukunya itu. Di dalam kata pengantarnya itu Gadamer menulis begini: Istilah hermeneutik merujuk kepada sejarah yang panjang dan masih banyak yang perlu dipelajari untuk hari ini. Jadi universalitas (hermeneutik) pun masih merupakan tantangan, bukan dalam konteks pandangan filsafat tapi sebagai tugas filsafat. ….Ketika era metafisika mulai berakhir, dan klaim sains modern dalam memonopoli ilmu pengetahuan berkurang secara otomatis, maka sebagai suatu upaya awal (starting point) untuk mengembangkan suatu universalitas yang murni kita dapat melihat konsep kuno ini (maksudnya hermeneutic pen.). Namun, di zaman Romantis (antara 1775-1830 pen.), hermeneutik berkembang hingga kesuatu titik yang meliputi teori tentang sains kemanusiaan secara menyeluruh. Jadi ia tidak hanya meliputi jurisprudensi dan teologi, tapi juga filologi dan semua disiplin terkait. (hal X) Dalam pernyataan Gadamer diatas ada tiga hal yang patut dicatat. Pertama universalitas hermeneutik sebagai metode masih merupakan tantangan. Kedua, hermeneutik muncul dari suatu milleu ilmiah (scientific environment) yang mulai meninggalkan pemikiran metafisis. Ketiga, hermeneutik yang berasal dari Yunani dan diadopsi para teolog Kristen sebagai Tafsir Bible itu berkembang menjadi teori sains kemanusiaan. Dari ketiga hal tersebut diatas hanya yang kedua dan ketiga yang akan dibahas dalam tulisan ini. Sebab kedua faktor ini merefleksikan sesuatu yang lebih besar dari sekedar sebuah teori, yaitu bahwa dibalik perkembangan hermeneutik adalah pandangan hidup (worldview). Werner menyebutkan tiga milieu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutik sebagai suatu metode, konsep atau teori interpretasi dalam tradisi intelektual Barat. Pertama milleu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milieu masyarakat Yahudi dan Kristen yang berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi kitab mereka. Ketiga milieu masyarakat Eropah di zaman Pencerahan (Enlightenment) yang memperluas skop pemikiran hermeneutik keluar konteks keagamaan. (Werner G.Jeanrond, Theological Hermeneutic, Development and Siginificance, Macmillan, London, 1991, hal.12-13). Ketiga fase perkembangan hermeneutik ini tidak hanya menunjukkan adanya pergulatan pemikiran tapi perubahan pandangan hidup masyarakat yang terlibat langsung ataupun yang tidak. Mengapa pandangan hidup? Mengapa kita perlu melihat hermeneutik dalam konteks pandangan hidup? Sebab setiap ilmu, konsep atau teori, termasuk hermeneutik, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan pandangan hidup. Pandangan hidup suatu masyarakat adalah cara pandang mereka terhadap alam dan kehidupan yang terbentuk dan dipengaruhi oleh konsep-konsep yang mengitarinya. Dalam konteks Islam al-Attas mendefinisikan worldview sebagai pandangan Islam terhadap wujud (ru’yatal-Islam li al-wujud). Karena wujud Tuhan adalah wujud yang mutlak maka konsep Tuhan sangat sentral dalam Islam. Karena sentralitas kepercayaan terhadap Tuhan ini maka dalam pandangan hidup suatu masyarakat atau peradaban manapun ia memiliki konsekuensi konseptualnya. Masyarakat atau bangsa yang percaya pada adanya Tuhan akan memiliki pandangan hidup berbeda dari yang tidak percaya pada Tuhan. Menurut Thomas Wall Tuhan adalah: the most important element in any worldview. …if we are consistent, we will also believe that the source of moral values is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that there is a higher reality – the supernatural world. (Thomas F Wall, Thinking Critically about Philosophical Problem, A modern introduction, Wadworth, 2001, hal. 60) Implikasi pernyataan Thomas jelas bahwa bagi masyarakat yang tidak percaya pada Tuhan nilai moralitas adalah kesepakatan manusia (human convention), yang standarnya adalah kebiasaan, adat, norma atau sekedar kepantasan. Demikian pula dalam melihat realitas, masyarakat yang tidak percaya Tuhan hanya akan memahami fakta-fakta yang bersifat empiris yang dapat diindera atau dapat difahami oleh akal sebagai kebenaran. Bagi mereka kekuatan disebalik realitas empiris tidak riel dan tidak dapat difahami dan dibuktikan kebenarannya meskipun sejatinya akal dapat melakukannya. Dalam konteks Islam al-Attas dengan tegas menyatakan bahwa elemen-elemen pandangan hidupnya terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaanNya, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan dsb. Bahkan elemen-elemen ini tidak hanya berpengaruh terhadap konsep moral dan ilmu, tapi juga menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. (Untuk lebih jelasnya lihat S.M.N, al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, ix). Pandangan ini lebih detail lagi dijelaskan oleh Proif. Alparslan dalam konteks peradaban. Pandangan hidup setiap peradaban merupakan kumpulan dari konsep-konsep yang dalam konteks keilmuan berkembang menjadi tradisi ilmiah (scientific tradition). Tadisi ilmiah pada gilirannya menghasilkan berbagai disiplin ilmu, seperti yang kita lihat sekarang, termasuk teori atau konsep heremeneutik. Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Disinilah sejatinya yang menentukan bahwa ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial) itu tidak netral. Oleh karena setiap kosep dalam suatu peradaban selalu diwarnai oleh pandangan hidup masing-masing Alparslan menegaskan bahwa suatu peradaban tidak dapat begitu saja mengimport suatu konsep kecuali setelah melalui apa yang disebut “borrowing process” atau modifikasi konseptual. Alparslan Acikgence, Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur, ISTAC 1996, 29) Jika modifikasi konsep itu melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigm Shift) tidak dapat dielakkan lagi. Dari perspektif pandangan hidup (worldview) inilah hermeneutik sebagai suatu ilmu interpretasi akan dikaji. Untuk itu sebaiknya kita lihat bagaimana milieu masyarakat dimana teori hermeneutik berkembang. Milleu dimaksud adalah masyarakat ilmiah (scientific society) yang dengan pandangan hidupnya (worldview) mereka menghasilkan konsep keilmuan (scientific conceptual scheme). Dengan menggunakan data tentang milllieu yang mengitari perkembangan hermeneutik seperti yang dikemukakan oleh Werner diatas kita dapat mengambarkan pengaruh pandangan hidup terhadap perkembangan hermeneutik dalam dua fase yaitu: pertama dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen dan kedua dari teologi Kristen yang problematik kepada gerakan rasionalisasi dan filsafat. Keduanya akan disorot dalam konteks pemahaman diseputar teks kitab suci. Dari mitologi ke teologi Sudah umum diketahui bahwa di Yunani pemikiran teologi mereka tidak berdasarkan pada suatu agama tertentu, tapi pada spekulasi yang dipengaruhi oleh dunia mitologi mereka. Aristotle sendiri mengatakan bahwa Tuhan yang dijuluki Unomoved Mover itu satu secara absolute, tapi jumlahnya ada 55. (Metaphysic, Book Lambda 1074a12). Konsep Tuhan dalam kebudayaan Yunani, khususnya Aristotle dan Neo-Platonisme merupakan produk dari pandangan hidup mereka dan membawa implikasi terhadap konsep penciptaan, realitas, moralitas dan lain-lain. Ketika para cendekiawan Muslim (ulama) mentransmisikan konsep-konsep mereka nampak usaha-usaha untuk memodifikasi konsep-konsep Yunani agar sesuai dengan Islam, atau menolak dan memberi alternatif lain, meskipun masih terdapat kekurangan. Metode hermeneutik yang sekarang ini berkembang dalam tradisi Barat tidak dapat dikaji dengan sempurna tanpa merujuk kepada asal usulnya dari Yunani. Sejatinya, hermeneutic secara etymologis, berasal dari nama dewa Hermes dalam mitologi Yunani yang diutus untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dalam tradisi Yunani “berkata” itu sendiri dianggap sebagai menginterpretasikan (hermeneuein) atau menterjemahkan, yaitu menterjemahkan pemikiran kedalam kata-kata. Pemikiran hermeneutic dalam tradisi Yunani sebenarnya hanya suatu kebutuhan kultural untuk menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik karya Homer. Tapi sebenarnya dibalik itu terdapat kepecayaan bahwa dalam perkataan manusia sekalipun mengandung inspirasi Tuhan (divine inspiration). Inilah barangkali sebabnya mengapa teolog Yahaudi dan Kristen merasa cocok memakai metode ini dalam memahami kitab “suci” mereka. Dari sini kemudian dikembangkan metode pemahaman teks-teks bermasalah dengan interpretasi ketatabahasaan (grammatical) dan interpretasi alegoris. Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun istilah hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos, Epinomis, dan Definitione. Dalam Politikos hermeneutike dianggap sebagai mempunyai fungsi sakral dan religius, sedangkan dalam Epinomis diasosiasikan dengan ramalan (mantike), tapi ramalan tidak menghasilkan kebenaran karena dicampur dengan kondisi kegilaan (mania) dan kurang kesadaran. Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutik artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi juga bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika. Sedangkan dalam Timaeus Plato menunjukkan kecenderungan pada tradisi Yunani. Baginya kebenaran hanya dapat difahami oleh “nabi”, yaitu mediator antara para dewa dengan manusia. Fungsi mediator inilah yang menghubungkan secara etymologis antara rumpun semantik hemeneus dan dewa perantara Hermes. Sebenarnya, dalam tradisi mitologi Yunani terdapat apa yang disebut otoritas pemahaman. Masalahnya siapa yang memiliki otoritas untuk memahami sesuatu yang bersifat divine dalam mitologi mereka. Masyaraskat Yunani menyelesaikan masalah ini dengan memperkenalkan rational logos sebagai alternatif dari sesuatu yang dainggap divine dalam mitologi mereka. Akibatnya, terjadilah krisis otoritas dikalangan penyair dalam memahami mitologi. Dari sini kemudian Stoicisme (300 SM) mengembangkan ilmu intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos. Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode allegoris. Metode itu kadang-kadang disebut typology, yang intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk seuatu diluar dirinya. Pemikiran Philo yang banyak dipengaruhi Plato ini sangat berpengaruh terhadap pemikir-pemikir Yahudi dan Kristen. Meskipun metode intepretasi seperti ini cenderung dianggap subyektif dan arbitrer serta banyak mengabaikan tuntutan teks, namun metode ini sangat terkenal sepanjang abad pertengahan. Dikalangan teolog Kristen terjadi pula proses transmisi pemikiran Yunani ini, namun mereka tidak seberani ulama-ulama Islam karena dibatasi oleh otoritas institusi gereja dan struktur teologi mereka. Dalam soal metode intepretasi mereka lebih mengutamakan metode alegoris Stoic yang telah dikembangkan Philo ketimbang Peri hermeneias (Latin: De Interpretatione) Aristotle (384-322 SM) yang lebih merupakan teori logika dan semantik. Pembela metode alegoris dari kalangan teolog Kristen adalah Origen (sekitar 185-254 M). Ia berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini. Teorinya tentang tiga lapis makna dalam Bible yang sangat terkenal itu dikembangkan oleh Johannes Cassianus (360-430 M) menjadi empat lapis makna yaitu: literal atau historis, alegoris, moral, dan anagogis (spiritual). Namun, metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Yang pertama berada dibawah pengaruh hermeneutik Plato sedangkah yang kedua berada dibawah bayang-bayang hermeneutik Aristotle. Perlu dicatat bahwa mengadopsi metode interpretasi asal Yunani ini bagi kalangan Kristen bukan tanpa masalah. Munculnya kelompok Gnosticism dan Marcionisme adalah akibat yang nyata. Dari pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch ini St.Augustine of Hippo (354-430 M), teolog dan filosof Kristen yang banyak dipengaruhi oleh pandangan filsafat neo-Platonisme, mengambil jalan tengah. Ia memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol) untuk dapat mengotrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu simple. Namun untuk itu ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis yang telah tersurat dalam teks Bible sendiri. Metode hermeneutic St.Augustine yang berpengaruh hingga zaman modern itu kemudian terdistorsi oleh kepentingan gereja. Vincent of Lerins (…- 450M) tokohnya yang mewakili gereja mengarahkan pembacaan teks menjadi lebih formalistis dan cenderung kepada pemahaman Kristen ortodoks. Di samping itu terdapat pula tren yang mencoba memisahkan antara intepretasinya Bible dengan spekulasi teologis, sesuatu yang oleh St.Augustine sengaja disatukan. Perkembangan lebih lanjut dalam pemikiran hermeneutik dalam teologi Kristen terjadi pada abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh penemuan karya-karya Aristotle pada abad ke dua belas berimplikasi terhadap pengaruh filsafat Aristotle dalam pemikiran teologisnya. Karyanya Summa Theologia dianggap sebagai karya teologi paling sistimatis di abad pertengahan. Dalam karyanya itu ia mengatakan bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan pemahaman literal adalah sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog. (Thomas Aquinas, “Summa Theolgiae”, terj. Robert M.Grant & David Tracy, dalam A Short History of Interpretation of the Bible, edisi ke 2, Pliadelpia: Fortress, 1984, 88ff). Alternative pemikiran teologis yang tertuang dalam magnum opus nya itu dimaksudkan untuk menghadirkan pemikiran teologis yang tersusun memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris. Namun kecenderunganya terhadap filsafat telah mengakibatkan terpisahnya pemikiran teologis dari interpretasi Bible. Bahkan pemikiran teologi mereka yang terpisah dari teks Bible itu dianggap ajaran yang sakral (sacra doctrina) karena mereka mengklaim sebagai representasi dari kitab yang sakral (sacra scriptura). Padahal teks-teks Bible yang ada itu dieksploitir untuk menjustifikasi premis-premis teologi mereka yang telah banyak dipengaruhi pemikiran spekulatif filsafat. Tren diatas oleh Werner dianggap sebagai the emerging humanist interpretation theory dan ini tidak lepas dari faktor jiwa pendidikan humanisme yang mulai berkembang di Barat dan yang diterima oleh para pendeta waktu itu. (lihat Werner, Theological Hermeneutic, 30). Jika hermeneutik St.Augustine masih berkaitan dengan gereja, teori interpretasi humanistis ini justru bertentangan dengan realitas spiritual yang dipegang oleh gereja. Tren ini mewarnai pemikiran teologi Kristen di akhir abad ke lima belas dan awal abad ke enam belas. Meskipun tren ini tejadi menjelang timbulnya gerakan Reformasi Protestan di Eropah pada abad ke enam belas dan bahkan terpisah, namun pengaruh tren ini terhadap gerakan reformasi dalam intepretasi Bible cukup kuat. Pada mulanya sikap para reformer seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) dan lain-lain lebih cenderung mengarah pada penilaian terhadap aspek-aspek mana dalam tradisi dan kehidupan kerohanian Kristen yang tidak sesuai dengan kepercayaan Kristen sehingga perlu direformasi. Sementara mereka berpegang baca bacaan Bible yang telah dikembangkan oleh teolog pendahulu mereka, para reformis mulai melepaskan otoritas pemahaman Bible dari insitutsi gereja. Bagi mereka Bible telah cukup mengkomunikasikan kata-kata Tuhan, pemahaman lebih dari apa yang ada dalam teks tidak diperlukan bagi keimanan dalam Kristen. Para reformis bahkan seperti mengatakan bahwa Bible dapat menginterpretasikan dirinya (self-interpreting). Mereka berpegang pada prinsip Sola Scriptura, karena mereka yakin bahwa pengarang Bible adalah Roh Kudus (Holy Spirit), meskipun mereka mengakui akal masih diperlukan untuk memahami teks. Namun, pada perkembangan berikutnya pengaruh teori hermeneutika humanis terhadap para tokoh reformis nampak jelas. Sementara mereka berupaya mencari benang merah antara keimanan dan Bible, mereka sepakat bahwa interpretasi kritis terhadap kitab Bible sudah saatnya diperlukan. Bible kemudian dianggap hanya sebagai asas untuk meninjau kembali secara terus menerus keimanan Kristen, tapi ia bukan sumber yang dapat digali untuk membangun sistim kepercayaan yang permanen. Sebagai respon terhadap reformasi kaum Protestan, teolog Katholik Roma berkumpul di Konsili Trent (1545-1563) untuk mendukung teori 2 sumber keimanan dan teologi Kristen yakni Bible dan tradisi Kristen. Dengan ini mereka menolak prinsip Sola Scriptura, bahwa Bible saja telah merupakan petunjuk yang cukup jelas untuk memahami Tuhan. (PD POINT INI ORTODOKSI KRSITEN TIDK DPT DIBANDINGKAN DENGAN ISLAM. GOLONGAN SALAF KEMBALI KEPADA QUR’AN SEMENTARA GOL.KHALAF LEBIH MENGGUNAKAN AKAL). Dalam kelompok reformis sendiri terdapat dua tren: yang pertama adalah mereka yang percaya bahwa teks Bible itu didektekan oleh Roh Kudus secara verbatim dan berpegang pada pendapat infalibilitas Bible. Kelompok ini dianggap Protestan ortodoks. Yang kedua adalah mereka yang menuntut agar setiap penganut Kristen diberi kebebasan untuk memahami Bible secara kritis. Tapi sejauh itu baik Protestan maupun Katholik masih tidak siap menerima perkembangan sains yang bisa mengundang keraguan terhadap Bible, seperti pembahasan tentang penciptaan dalam the Book of Genesis. Baik Lutheran, maupun Reformer lainnya serta Katholik Roma ortodoks sepakat untuk menentang pandangan hidup ilmiah dan rasional (scientific and rational worldview) yang mulai muncul saat itu. Penolakan terhadap penemuan Kepler dan Galelio yang menonjol dikalangan teolog waktu itu menunjukkan konfrontasi kepercayaan Kristen terhadap sains alam. Sejatiya, dalam konteks pembahasan ini, pandangan hidup Kristen yang doktriner itu berkonfrontasi dengan pandangan hidup Barat yang sangat percaya pada kekuatan akal manusia. Dari teologi ke filsafat Perkembangan pemikiran hermeneutic yang lebih sistimatis patut dicatat bahwa karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus exponendarum Sacrarum litterarum, terbit pada tahun 1654 merupakan bel pertama untuk pemakaian hermeneutik sebagai the art of interpretation. Disitu hermeneutik sudah mulai dibedakan dari exegesis sebagai metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya diperluas kepada non-Biblical literature. (Richard E.Palmer Hermeneutik Evanston:Northwestern University Press, 1969, 34). Sejak terbitnya buku karya J.C.Dannheucer tidak hanya timbul pemahaman hermeneutik yang meloncat keluar konteks Bible, tapi bahkan mulai timbul pandangan bahwa intepretasi teks Bible tidak bisa dibedakan dari interpretasi teks-teks lain. Jadi selain teks Bible itu sendiri secara tekstual bermasalah, mereka sendiri sudah meletakkan Bible sebagai bukan kitab suci yang sakral lagi. Benedictus de Spinoza (1632-1677) dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus theologico-politicus (Risalah tentang teologi-politik) menyatakan bahwa “standar eksegesis untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua”. Gereja Reformasi mengkritik keras buku ini dan kemudian menghentikan peredarannya. Meskipun demikian perlahan-lahan gagasan untuk memakai hermeneutik sebagai ilmu yang berkaitan dengan tehnik atau alat penafsiran (exgesis) Kitab Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin ilmu interpretasi terpaksa diterima. (Rudolf Bultmann, Essays, Philosophical and Theological,London, SCM Press, 1955, 235). Memang tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutik dari teologi ke filsafat sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan pada abad ke enam belas. Tanda ini bertambah jelas pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad berikutnya. Pernyataan Spinoza sudah merupakan bukti kuat tergesernya peran teologis dalam hermeneutika. Di saat itu masyarakat Eropah sudah cenderung kepada penggunaan akal dan tidak lagi percaya pada agama dan otoritas tradisional. Cita-cita terwujudnya masyarakat liberal, sekuler dan demokratis mulai muncul perlahan-lahan. Peran Universitas Halle penting bagi derasnya arus pemikiran Enlightenment ini. Beberapa filosof dan teolog terkenal, seperti Christian Wolff (1679-1754), Siegmund J Baumgarten (1706-1757), Johann S Semler (1725-1791) adalah dosen di universitas ini. Kuliah-kuliah serta tulisan-tulisan mereka jelas menunjukkan semangat penggunaan akal yang berlebihan dan protes terhadap otoritas yang bertentangan dengan akal. Dalam soal hermeneutik Semler misalnya melontarkan gagasan tranformasi radikal dari hermeneutik teologis, artinya interpretasi Bible berdasarkan seperangkat doktrin harus sudah ditinggalkan dan bacaan bersifat dogmatik harus berakhir yang tinggal adalah bacaan kritis. Tapi Semer masih berpegang bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks seperti yang difahami pengarangnya. Untuk itu ia menolak pemahaman synchronistic a la Protestan Ortodoks dan mengetrapkan bacaan diachronic, yaitu bacaan yang mengungkap pengertian historis dan literal (sensus litteralis historicus) teks Bible itu sendiri. Ia kemudian memperkenalkan dua aturan penting bagi teori interpretasi kritis: 1) penafsir Bible haru menyadari jarak historis antara dirinya dan teks Bible 2) Hermeneutic Bible harus menghormati aturan universal dalam menginterpretasi teks. Apa yang patut dicatat dari pergeseran diskursus hermeneutik dari teologi ke filsafat adalah perubahan fungsi hermeneutika dari teori memahami teks Bible secara rasional menjadi pemahaman segala teks selain Bible. Hermeneutik yang memang tidak berasal dari luar tradisi keagamaan Kristen kini telah keluar kembali. Faktor yang lebih dominan dan bertanggung jawab dalam perkembangan ini adalah perubahan pandangan hidup masyarakat Barat khususnya di zaman Pencerahan. Friedriech Ast (1778-1841) seorang pakar filololgi dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements of Grammar, Hermeneutic and Criticism) membagi pemahaman terhadap teks menjadi 3 tingkatan: pemahaman histories, yakni pemahaman berdasarkan pada perbandingan teks dengan teks yang lain; pemahaman ketata-bahasaan, yaitu merujuk kepada pemahaman makna kata pada teks; dan pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk kepada semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis. Disini konteksnya nampak sekali bukan kitab Bible. Hermeneutik selanjutnya berkembang dari sekedar pengantar ilmu interpretasi kepada metodologi pemahaman. Tentang hermeneutika sebagai metodologi filsafat akan kita bahas sebentar lagi. Meskipun hermeneutika berkembang menjadi metodologi filsafat namun dalam pemikiran keagamaan Kristen ia terus diupayakan berkembang. Problem yang diangkat disini adalah bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bible dan bagaimana menterjemahkan realitas tersebut kedalam bahasa yang difahami oleh manusia modern. Persoalannya berkaitan dengan pencarian sifat dan bentuk pemahaman serta cara terjadinya. Adanya gap antara bahasa modern dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis Bible berfikir tentang diri mereka dan cara berfikir masyarakat Kristen modern memang tidak dapat dipungkiri. Dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hal ini tercermin dari pernyataan Duane bahwa “Problem yang mereka (penulis Bible) kemukakan kebanyakan bukan problem kita, dan cara-cara berfikir mereka tidak dapat kita produksi kembali begitu saja pada hari ini. Karena itu dunia Bible umumnya asing bagi kita, dan bahasanya sulit difahami” (Duane A. Priebe, “Communicating the Text Today”, Dialog, vol. 7,hal.266.) Pertanyaan hermeneutik yang timbul adalah bagaimana kejadian dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi manusia tanpa menghilangkan esensi pesannya. Bagi mereka repetisi atau reproduksi frase-frase dalam Bible hanya akan membuat pesan-pesan Bible menjadi tidak relevan. Disini hermeneutik dalam pengertian tradisional dan exegesis teologi yang dikenal dalam sejarah Bible tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang memadahi untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan secara valid pesan-pesan Bible. Memang dalam sejarah teologi Kristen, problem penafsiran ini tidak saja selalu ada dan bahkan dialami langsung oleh para teolog, tapi problem itu tidak pernah di bahas dalam suatu tema atau obyek riset yang independen kecuali sekarang ini. Akhirnya hermeneutik berubah pengertiannya menjadi bukan lagi metodologi interpretasi, tapi metodologi memahami dan obyek yang difahami tidak lagi teks. Hermeneutika sebagai filsafat Titik perubahan makna hermeneutik menjadi suatu metodologi filsafat ditandai oleh datangnya Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834). Ia lahir di Breslau. Setelah tamat kuliah di Universitas Halle dan kemudian menjadi Pendeta dan Teolog di Berlin yang meminati bidang filsafat. Filsafatnya tergolong sebagai idealis absolute. Kepercayaannya kepada agama sama seperti Kant, bahwa beragama tidak bisa diartikan sebagai usaha mencapai ilmu transcendent, sebab ilmu seperti ini adalah tidak mungkin. Pandangan hidup Barat lebih banyak menguasai pemikirannya, sementara pandangan hidup Kristennya mulai tidak nampak. Meskipun sebagai pendeta ia masih membahas penafsiran teks Bible, tapi sebagai filosof ia melintasi pembahasan tentang interpretasi menjadi pertanyaan universal: bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi? Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof Jerman pertama yang memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika, sebab sejak ia menjadi dosen di Halle (1805) hingga matinya ia hanya memusatkan pada kajian hermeneutika. Karena itu ia dianggap sebagai Bapak hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal. Karena ia telah membawa hermeneutika kedalam diskursus filsafat, maka kredit poin bagi Schleiermacher yang utama adalah analisisnya tentang “understanding”. Baginya “setiap aktifitas memahami adalah kebalikan dari kegiatan berbicara, artinya bahwa pemikiran yang mendasari perkataan harus masuk kedalam ruang kesadaran” (Schleiermacher, Hermeneutik und Kritik, ed. M.Fank, 1975, 76). Premis yang mendasari pernyataan ini adalah bahwa “semua perkataan tergantung pada pemikiran sebelumnya”. Memahami sesuatu, oleh karena itu, melibatkan pelacakan niat dibalik perkataan itu atau niat yang mendorong timbulnya pernyataan itu. Apa yang dicari disini adalah pemikiran yang akan dieskpresikan oleh pembicara, apa yang hendak difahami oleh penafsir adalah makna perkataan orang lain. Jadi yang menjadi obyek pemahaman disini sejatinya adalah bahasa. Selanjutnya, Schleiermacher melihat bahasa dalam dua sisi: pertama sisi ketata-bahasaan (grammatical side of interpretation) dan kedua sisi teknis penafsiran. Sisi pertama berarti bahwa ungkapan apapun yang dapat difahami menunjukkan keseluruhan penggunaan masyarakat bahasa itu. Oleh sebab itu dalam kegiatan interpretasi sisi pertama ini berfungsi untuk menjelaskan suatu pernyataan dengan merujuk kepada keseluruhan konteks dalam batas-batas kebahasaan. Sisi kedua berati bahwa pernyataan bukan saja sarana bagi bahasa yang bersifat supra-individual tapi merupakan manifestasi dari akal individual. Sebab tidak semua orang bermaksud sama dengan kata-kata yang sama. Karena sifatnya yang individual ini maka ia menamakan sisi kedua ini sebagai sisi psikologis. Jadi ketata-bahasaan dan teknis (psikologis) adalah dua bentuk hermeneutik universal yang digagas Schleiermacher. Dari bentuk kedua ini Schleiermacher lalu mengembangkan apa yang ia sebut intuitive understanding yang secara operasionalnya merupakan suatu kerja rekonstruksi. Artinya hermeneutik bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Tujuan pemahaman bukanlah makna yang diperoleh dari dalam materi subyek, tapi lebih merupakan makna yang muncul dalam pandangan pengarang yang telah direkostruksi tersebut. Jadi dalam teori Schleiermacher agar interpreter dapat memperoleh pamahaman murni ia harus meletakkan dirinya sejajar dengan pengarang. Sudah tentu metode ini merupakan proses subyektif dan intuitif yang ekstrim yang secara tidak langsung merupakan penolakan terhadap bahasa yang merupakan elemen penentu dalam interpretasi yang selama ini difahami orang. Sebagai teori filsafat metode ini tidak lagi layak diaplikasikan kedalam pemahaman kitab-kitab keagamaan, lebih-lebih al-Qur’an. Gagasan Schleiermacher dilanjutkan oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911). Ia adalah filosof, kritikus sastra, sejarawan serta pakar metodologi ilmu-ilmu social asal Jerman. Baginya hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang di susun dalam bentuk tulisan”. (Bultmann, Essays, hal. 234). Tidak seperti Schleiermacher, Dilthey menekanan pada kejadian dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup yang telah dijalani. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada banyak sisi psikologis Schleiermacher. Seperti disebutkan diatas metode ini hanyalah metodologi filsafat yang tidak layak lagi ditrapkan untuk pemahaman dalam menafsirkan teks-teks al-Qur’an. Sebab untuk meletakkan diri penafsir sejajar dengan pengarang atau memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang adalah mustahil sedangkan pengarang dalam koteks al-Qur’an adalah Tuhan. Ricoeur (1913- ) seorang Kristen Protestant kelahiran Perancis yang menjadi tawanan perang dunia kedua di Jerman. Keterlibatannya dengan filsafat fenomenologi di Perancis membuat gebrakannya dalam bidang hermeneutik dianggap sebagai pemersatu filsafat Eropa dan Anglo-Amerika. Dalam teori interpretasinya Ricoeur mencoba mencari integrasi dialektis dari dikhotomi Dilthey yaitu penjelasan (erklaren) dan pemahaman tentang eksistensi (verstehen). Ricoeur berangkat dari perbedaan yang fundamental antara paradigma penafsiran teks tertulis (discourse) dan percakapan (dialogue). Teks berbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghasilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif di ekpressikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai penafsrian yang dapat diterima menjadi mungkin Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worlview) pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. (P. Ricoeur, ``The Model of Text: Meaningful Action Considered as Text,'' Social Research 38, 529-62 (1971). Berarti, hermeneutick Ricoeur mencoba mengkombinasikan dua macam hermeneutik: yang pertama pemahaman eksistensial yang mengarah kepada penjelasan, yang kedua penjelasan yang mengarah kepada pemahaman terhadap eksistensi. Untuk yang pertama terkaan yang bersifat subyektif dapat dibernarkan secara obyektif. Disini pemahaman berkaitan dengan suatu proses pembentukan hypothesa yang berdasarkan analogi, metafora dan mekanisme lain untuk tujuan devinasi (devinasi adalah seni meramalkan masa depan dengan jalan supranatural). Jadi banyak cara untuk membentuk hypothesa agar dapat memperoleh interpretasi yang mungkin. Disini validasi terhadap hypothesa tersebut dilakukan melalui argumentasi rasional dan debat dengan berdasarkan model argumentasi hukum yang berbeda dari verifikasi yang hanya mengandalkan bukti-bukti logis. (E.D. Hirsch Jr., Validity in Interpretation, Yale University Press, New Haven, l967). Untuk yang kedua Ricoeur membedakan dua pendapat tentang fungsi referensi dalam teks: pendekatan subyektif dan alternatif strukturalis. Pendekatan subyektif akan membangun suatu pandangan tersendiri yang berada dibalik atau diluar teks dan berangkat dari pandangan hidup penafsir sebagai pra-pemahaman. Meskipun pandangan hidup penafsir tersebut dapat secara gradual mendekati pandangan hidup penulis dengan semakin banyak teks yang ditafsirkan, namun subyektifitas penafsir tidak dapat dihilangkan sama sekali. Untuk mengatasi ini Ricoeur melirik pendekatan para strukturalis yaitu dengan menunda (suspend) penggunaan pandangan dibalik teks dan memusatkan pada kaitan-kaitan yang terdapat antara bagian-bagian dalam teks. Dengan menunda pandangan itu dan memusatkan pada bagian-bagain dalam teks, metode strukturalis berusaha menangkap subyektifitas pengarang dan penafsir, dan menjanjikan obyektifias. diantaranya oleh Schleiermacher (1768-1834), kemudian dikembangkan Dilthey (1833-1911) menjadi asas untuk membedakan sains kemanusiaan dan sains alam. Gadamer dan Ricoeur kemudian mengembangkannya kedalam milieu aliran filsafat fenomenologi. Catatan: 1. Gnosticism adalah aliran dalam Kristen yang mengasimilasikan elemen kepercayaan Kristen dengan konsep pagan Yunani, demiurge. Aliran yang muncul pada abad kedua Masehi dan terus hidup hingga abad pertengahan ini berhasil menafsirkan teks Bible dengan tafsirnya sendiri. Teks-teks yang dihasilkan aliran ini pada abad keempat Masehi telah ditemukan di Mesir.2. Humanisme adalah gerakan yang terpisah dari Rennaisance yang dalam pengertian religius berarti kepercayaan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk melakukan hal-hal yang penting bagi manusia. Tapi gerakan ini akhirnya cenerung anti gerakan sosial dan politik keagamaan. Pada abad ke 20 istilah ini dipakai secara pejoratif oleh postmodernis yang dalam bidang filsafat merujuk kepada Startre. Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, 1996, hal.178.

0 komentar:

Posting Komentar