Rabu, 29 Januari 2014

ILMU ASAS MEMBANGUN PERADABAN (Ilmu, Ulama, dan Peradaban)

Ilmu Sebagai Asas Membangun Peradaban Islam (Ilmu, Ulama, dan Peradaban) Filsafat sebagai kerangka dasar untuk berfikir memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu, dengan filsafat manusia dibawa menuju kearah berfikir sistematis, kritis, radikal dan mendalam ketika memahami sesuatu, filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat bisa dijumpai pandangan pandangan tentang apa saja, kemudian mendiskusikannya, menguji kebenarannya, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Berbicara mengenai ilmu maka tidak akan lepas dari filsafat, semua ilmu baik ilmu alam, ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistemologi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses memperoleh pengetahuan. Di dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan, di dalam al Qur’an kata al-ilm dan kata kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali. Hadist juga menyatakan wajib dalam mencari ilmu. Namun kenyataan di kehidupan kita, masih banyak umat Islam yang lalai dalam mencari ilmu sehingga apa yang terjadi sekarang sangat memprihatinkan, keterbelakangan umat Islam dan kemundurannya tidak lepas dari kurangnya semangat dalam mencari ilmu, jika melihat sejarah, umat Islam maju karena ilmu, peradaban Islam tumbuh berkembang dengan pesat dengan ilmu, jadi bisa dikatakan bahwa ilmu adalah asas pencerahan dalam membangun peradaban Islam. Upaya membangun atau mencerahkan peradaban umat Islam sudah seringkali di dengar dan dikumandangkan, namun yang harus dipahami bahwa peradaban dibangun oleh pandangan hidup suatu masyarakat, yang tercermin dalam cara pandang mereka terhadap segala sesuatu, cara pandang ini berakar dari pada ilmu pengetahuan, khususnya tentang manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu pandangan hidup juga menentukan sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap alam semesta. Pandangan hidup ini juga memberikan kekuatan moral yang menjadi motor bagi akal dan aksi. Jadi, ilmu adalah akar peradaban dan peradaban adalah buah dari ilmu pengetahuan. Maka dari itu, membangun peradaban sejatinya adalah membentuk manusia yang berilmu pengetahuan alias manusia beradab. Kalaulah disepakati bahwa peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan. Karena ilmu dalam Islam adalah prasyarat untuk menguasai dunia, akhirat, dan dunia akhirat sekaligus, maka adalah wajar jika sebab kemunduran umat Islam adalah karena krisis ilmu. Sehubungan dengan itu kurang diperhitungkannya ummat Islam dalam percaturan dunia, dan pudar wibawa para ulama dan intelektual muslim di hadapan umatnya menimbulkan tanda tanya besar, jika kita menengok masa kejayaan dan era kemajuan yang telah dicapai pada masa lalu. Dewasa ini kenangan itu hanya tinggal kenangan manis yang mungkin sulit untuk terulang kembali jika tidak menjauhkan lamunan dan khayalan yang menina bobokan kita dari kesadaran dan realitas yang sebenarnya. Kengan manis itu hanya akan terulang kembali jika kita mau mengintropeksi diri dan menyadari kesalahan yang telah kita perbuat untuk mencari dan menemukan akar penyebabnya. Seringkali kita menyalahkan dan mengkambingkan umat lain atas kemunduran dan kemujudan ini, tanpa kita mau menyalahkan diri kita sendiri. Sebagaiman hal ini disinyalir oleh seorang cendikiawan muslim DR. Mahmus Syaltut, dimana beliau berkata “Islam itu dirintangi dan oleh orang-orang Islam itu sendiri.” Kita terlalu asyik hanyut dalam kenangan manis masa lalu tanpa menjadikannya sebagai cermin dan cambuk untuk meraih kesuksesan di masa sekarang dan masa yang akan datang, bahkan bukan hanya kesuksesan yang bersifat duniawi semata melainkan juga kesuksesan yang bersifat ukhrawi. Seandainya kita mau mengkaji dan meneliti secara seksama, maka sumber kemunduran dan kemujudan ini berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu agama secara khusus. Sebagaimana hal ini disinyalir oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dalam salah satu haditsnya,”Barang siapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya dengan ilmu, barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka hendaknya dengan ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dengan ilmu.” Sungguh dalam makna hadits tersebut, sehingga karena penghayatannya yang mendalam dan pengalamannya yang penuh keikhlasan, tidaklah aneh kalau kaum muslimin pada masa dahulu mampu meraih berbagai kesuksesan dan kejayaan di muka bumi ini. Kenyataan yang kita saksikan dewasa ini menjadi bukti yang nyata dan saksi bisu dari kekurangan kita dalam penguasaan ilmu pengetahuan, sehingga dalam kehidupan ini kita tak ubahnya bagaikan orang buta yang berjalan di kegelapan atau orang yang lumpuh yang menyaksikan keramaian, dimana kita berjalan dengan meraba dan tertatih, sementara orang lain berjalan sambil berlari bahkan memakai kendaraan. Kemuduran ini diperparah dengan lunturnya dan hilangnya kewibawaan para ulama dan para ilmuan muslim dewasa ini di hadapan ummatnya, sehingga ummat kehilangan panutan yang mendapat menjadi suri tauladan dalam mengejawantahkan ajaran ilahi dan risalah kenabian. Sumber penyebabnya adalah tercabutnya Nur (cahaya) Ilahi dari lubuk hati mereka, sehingga ilmu yang mereka miliki semata-mata hanya sebagai hiasan bibir yang tidak membias pada perilaku. Ilmu mereka tidak membuahkan perasaan takut kepada Allah dan amal sholeh. Padahal contoh dalam bentuk amal perbuatan jauh lebih baik daripada sebatas ucapan, sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya. Demikian juga hal itu telah ditegaskan oleh Allah SWT. Dalam firman-Nya,”Sesungguhnya yang takut kepada Allah Diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(Qs. Al-Fathir: 28). Ulama sebagai pelanjut risalah, sangat penting perannya dalam membawa umat kearah kehidupan yang diridhoi Allah, maka untuk mengenali siapa yang pantas dikatakan sebagai orang yang memiliki ilmu kita bisa melihat ungkapan dari Al khalil bin Ahmad, bahwa orang itu terbagi menjadi empat karakter. Pertama, orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu, dialah orang alim, maka bertanyalah (belajarlah) kepadanya. Kedua, orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Inilah orang yang lupa. Maka ingatkanlah ia. Ketiga, orang yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang minta bimbingan, maka bimbinglah ia. Keempat, orang yang tidak tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, inilah orang bodoh. Maka jangan bergaul dengannya). Dari sini jelaslah bahwa seorang dikatakan ulama adalah orang yang memiliki ilmu dan mengamalkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib bahwa,”innamal alim man amila bima alima”. Ini dimaksudkan adalah tujuan daripada ilmu adalah untuk diamalkan, dan amal itu sendiri harus dilandasi oleh ilmu. Melihat hal ini tidak mengherankan jika dalam perjalanannya kontribusi ulama dalam membangun peradaban Islam sangat ditentukan oleh aktifitasnya dalam mencari ilmu, dan bisa dikatakan hal ini sangat menentukan sekali, sebagaimana telah dilakukan oleh para ulama zaman dahulu, jadi, ilmu adalah akar peradaban dan diperlukan orang untuk menjalankannya yaitu ulama, sehingga ilmu yang mereka miliki akan menghasilkan sebuah peradaban Islam yang agung. Wallahu a’lam bissawab

0 komentar:

Posting Komentar