Senin, 10 Maret 2014

AKAR KONFLIK KEMUNCULAN GERAKAN KEAGAMAAN KALAM



AKAR KONFLIK
KEMUNCULAN GERAKAN KEAGAMAAN KALAM

  1. Latar Belakang
Tradisi ilmiah adalah adat atau kebiasaan untuk menjalani kehidupan dengan moda-moda keilmuan yang ditandai dengan kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penerjemahan, diskusi, riset ilmiah, dan penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan tradisi ilmiah Islam sendiri merupakan tradisi ilmiah yang ditandai dengan kegiatan penerjemahan karya-karya ilmiah Islam klasik, diskusi keilmuan yang ada dalam Islam, riset ilmiah, dan penyelenggaraan pendidikan Islam atau yang sesuai dengan Islam.[1]
 Philip K. Hitti dalam History of the Arabs-nya, mengatakan bahwa kebangkitan intelektual Islam di penghujung abad ke-7 M tidak lepas dari pengaruh asing seperti Yunani, India, Persia, dan Suriah. Dari peradaban asing inilah bangsa Arab mulai mengembangkan diri dengan membangun tradisi ilmiahnya. Terjemahan-terjemahan karya-karya filsafat Yunani, naskah matematika dan astronomi dari India, dan ilmu kesenian kaligrafi dari Persia mulai bermunculan dan mulai mengisi khazanah literatur Islam.[2]
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, Ilmu Kalam (`Ilm al-Kalam) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun Ilmu Ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti Fikih, (al-Ahwal al-Syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), Ushul Fiqh, Falsafah (Islam), Ulum al-Tafsir, Ulum al-Hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam.[3]
Ilmu Kalam adalah disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi hakekat aqidah fundamental yang dihadapi umat Islam dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia. Berbagai persoalan umat ini menimbulkan kontroversi sehingga memecah ke dalam berbagai golongan. Di antara persoalan kalam yang terkenal adalah masalah sifat Tuhan, status al-Qur’an, penciptaan dunia, kausalitas, takdir dan kehendak bebas.[4]
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman, Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqa'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama.[5]
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidani masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren. Untuk pengajaran Ilmu Kalam, yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awam (Akidah Kaum Awam), diteruskan dengan Bud'u al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seorang bernama al-Sanusi).
Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang. Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi Saw. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat kaitannya dengan kekhalifahan dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan khalifah 'Utsman Ibn 'Aff'an ra. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiq" berarti "logis".
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Hal ini bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal  orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Antokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Berangkat dari sinilah makalah ini diangkat, sebagai upaya untuk menjelaskan serta melakukan analisa kritis terhadap beberapa hal yang terkait dengan sebab-sebab munculnya Ilmu Kalam dari sisi historis, mengingat sebagaimana uraian di atas bahwa ilmu ini muncul beberapa abad setelah wafatnya Nabi Saw. Jadi makalah ini lebih bersifat deskriptif analitis atas fenomena atau peristiwa yang melatarbelakangi kemunculan Ilmu Kalam yang diawali dengan kemunculan gerakan politik dan menimbulkan beberapa aliran politik. Sebelum membahas masalah-masalah tersebut, dalam makalah ini akan dibahas secara ringkas proses pengangkatan kedua khalifah sebelum kekhalifahan Utsman bin Affan.
Karena penulis menganalisa bahwa inti persoalannya adalah pada masalah kekuasaan, yaitu pengangkatan khalifah serta terbunuhnya khalifah yang sah yaitu Utsman yang diakibatkan oleh adanya al Fitnah al Kubra yang dilakukan oleh sekelompok orang atau oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu penulis akan mencoba menganalisa serta memberikan interpretasi yang didasarkan kepada beberapa referensi yang otoritatif semisal buku History of Arabs karya Philip K.Hitti, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam karya Muh. Abd. Karim, Islam dari Masa ke Masa karya Ahmad Amin, dan lain-lain.
B.  Pra Kekhalifahan Utsman bin Affan
            Pada hari itu merupakan peristiwa yang menggemparkan dan menyedihkan bagi kaum Muslimin setelah mendengar bahwa Rasulullah Saw. telah berpulang ke rahmatullah. Adalah sahabat Umar bin Khattab ra. ketika mendengar peristiwa itu, ia tidak percaya kalau Rasul telah tiada, ia mengatakan kalau Rasul Saw. tidak wafat, tetapi sedang pergi menemui Rabbnya sebagaimana Musa bin Imran dan beliau tidak akan mati sampai orang-orang munafik punah. Hingga datanglah Abu Bakar menemui orang-orang seraya berkata, “Wahai manusia ! Barangsiapa di antara kalian menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal dan barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak mati.[6] Allah berfirman,
              ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad) ? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’. (Q.S Ali Imran [3] : 144)

Ketika mendengar ayat yang dibaca Abu Bakar tersebut, orang-orang serentak ikut membacanya. Sementara Umar ra. berkata,”Demi Allah, setelah kudengar Abu Bakar membaca ayat tersebut, aku merasa tidak berdaya, kedua kakiku lemas sehingga aku duduk ke tanah karena aku mendengar dia membacakan bahwa Nabi Saw. telah meninggal dunia.[7] Setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar ditunjuk sebagai penerus Nabi melalui pemilihan. Peristiwa ini berlangsung di Tsaqifah bani Sa’idah.
 Menjelang wafatnya, Abu Bakar meminta pendapat sejumlah sahabat generasi pertama yang tergolong ahli syura. Mereka seluruhnya sepakat untuk mewasiatkan khalifah sesudahnya kepada Umar bin Khattab ra., At-Thabari, Ibnu Jauzi, dan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Abu Bakar ra. khawatir kaum Muslimin berselisih pendapat sepeninggal beliau kemudian tidak memperoleh kata sepakat. Karenanya ia mengajak mereka –ketika sakitnya semakin berat- agar mencari khalifah sepeninggalnya.[8] Dari sini, kita mengetahui, bahwa khilafah Umar berlangsung berdasarkan masyurah dhimniyah (syura implisit) yang termasuk ke dalam kesepakatan sahabat dalam menyetujui orang yang dipilih Abu Bakar untuk mereka.
Khalifah kedua Umar bin Khattab (634-644) dinobatkan sebagai khalifah pertama yang sekaligus memangku jabatan panglima tertinggi pasukan Islam, dengan gelar khusus Amir al-Mu’minin (panglima orang-orang beriman). Menjelang wafatnya, Umar diriwayatkan telah membentuk sebuah dewan formatur yang beranggotakan enam orang antara lain Ali bin Abi Thalib, ‘Ustman bin ‘Affan, Zubayr bin al-‘Awwam, Thalhah bin ‘Abdullah, Sa’id bin Abi Waqqash, dan ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, dengan ketentuan bahwa anaknya tidak boleh dipilih sebagai penggantinya. Pembentukan dewan yang disebut sebagai al-Syura ini, yang meliputi para sahabat tertua dan terkemuka.[9]
Alasannya membentuk tim tersebut, bahwa ia tidak sebaik Abu Bakar yang bisa menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Akan tetapi ia juga tidak sebaik Nabi Muhammad untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka diambil jalan tengah yaitu dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah menentukan pengganti dirinya. Ketika ditanya para sahabat, mengapa Umar ambil jalan tengah ? Tidak membiarkan atau menunjuk penggantinya seperti Nabi membiarkan kepada rakyat sedang Abu Bakar menunjuk langsung penggantinya ? Umar berkata sebagai berikut;[10]
…kalau aku mengangkat penggantiku, telah ada orang yang lebih baik dari yang memilih pengganti dan kalau aku biarkan menurut kehendak rakyat, maka telah ada pula orang yang lebih baik dari pada aku membiarkannya…[11]

Setelah melakukan voting, pemungutan suara dalam tim tersebut, maka terpilihlah Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah, pengganti Umar. Dalam sejarah Islam itulah panitia pemilihan khalifah pertama kali.




C. Kekhalifahan ‘Utsman bin Affan
            Utsman bin Affan bin Abi ‘Ash bin Umayyah bin Abdu Syams merupakan salah satu sahabat Nabi yang berasal dari keluarga yang terpandang. Ia dikenal sebagai seorang  pedagang yang dermawan dan murah hati. Utsman masuk Islam berkat upaya Abu Bakar pada masa awal dakwah Islam dan merupakan salah seorang di antara sepuluh orang yang pertama kali masuk Islam, bahkan satu di antara sepuluh orang yang akan dijamin masuk surga dari Rasulullah. Utsman memiliki dua sifat utama yang berbeda dengan sahabat-sahabatnya yang lain yaitu pemalu dan pemurah. Berkenaan dengan sifat malunya itu sampai-sampai Nabi Saw. malu padanya dan bersabda dalam hadits riwayat Muslim, “Tidakkah engkau malu pada seorang lelaki di mana malaikat pun sangat malu padanya”. Sedangkan sifat pemurahnya melebihi orang-orang dari kalangan Quraisy selainnya.[12]
            Utsman menikah dengan dua orang putri Nabi, yaitu Raqayyah dan Ummi Kaltsum, karenanya, ia dijuluki Dzun Nurain. Ia mengikuti semua perjalanan Nabi serta pernah diutus Nabi kepada orang-orang Quraisy pada tahun ke 6 H/627 M untuk memberitahukan kepada penduduk Makkah bahwa Nabi datang untuk menunaikan umrah saja. Nabi dan kaum Muslimin berhenti di Hudaibiyyah dekat Mekkah. Pada Perang Tabuk tatkala pasukan Islam berada dalam kesulitan yang sangat ia menyumbangkan 950 unta, 50 kuda, dan datang kepada Nabi dengan membawa 1.000 dinar. Maka melihat perbuatan itu, Nabi bersabda, “Tidak ada yang membahayakan Utsman apa pun yang akan ia lakukan setelah ini”. Saat Nabi meninggal, beliau dalam keadaan sangat cinta kepada Utsman. Sementara pada masa pemerintahan Abu Bakar ia dianggap sebagai orang kedua setelah Umar bin Khattab. Adapun pada masa pemerintahan Umar ia diposisikan sebagai orang kedua setelah Umar.[13]
            Telah disebutkan, bahwa menjelang wafatnya Umar membuat tim formatur untuk memilih calon khalifah. Akhirnya Utsman bin Affan (644-656 M) terpilih menjadi Khalifah III dari al Khulafa ar Rasyidin, pengganti Umar. Dalam sebuah riwayat menyebutkan, bahwa Abdurrahman bin ‘Auf sebagai ketua tim pelaksana pemilihan khalifah, pasca wafatnya Umar, berkata kepada Utsman di suatu tempat sebagai berikut;[14]
             “Jika saya tidak membayarmu (Utsman), maka siapa yang kau usulkan ? Ia berkata, “Ali”. Kemudian Abdurrahman berkata kepada Ali, jika saya tidak membai’atmu, maka siapa yang kau usulkan untuk dibai’at? Ia berkata, “Utsman”. Kemudian Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya, ternyata secara mayoritas memilih Utsman sebagai Khalifah”.[15]

            Memperhatikan percakapan dari dua sahabat tersebut, maka tampaklah bahwa sesungguhnya Utsman dan Ali tidak ambisius menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk menetukan khalifah secara musyawarah. Fakta penting inilah yang sering dikaburkan oleh sebagian sejarawan, yang lebih melihat bahwa antara kedua menantu Nabi tersebut terjadi permusuhan. Dalam beberapa literatur sejarah ada yang menyebutkan bahwa Utsman dan Ali memiliki ambisi dan ada yang beranggapan telah terjadi konspirasi untuk menelikung Ali secara politik sejak dibentuknya tim formatur. Ini dikarenakan bahwa sejak awal Allah dan Rasul-Nya telah mengangkat Ali sebagai satu-satunya penerus yang sah, tetapi tiga khalifah sebelumnya telah mencuri kekhalifahannya. Ini anggapan kaum legitimis, yaitu kaum yang terdiri dari Ahlu an Nash dan Ahlu at Ta’yin (pengikut ketentuan dan ketetapan Tuhan) yang mendukung Ali.[16]
            Sebagai catatan , pemerintahan Utsman dibagi dalam dua periode, yaitu Periode Kemajuan dan Periode Kemunduran. Pembagian ini hanya untuk memberikan catatan terhadap peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahannya, sehingga dapat dipahami posisi Utsman kala itu. Ini juga untuk menepis beberapa anggapan sejarawan yang menyatakan Utsman sebagai biang terjadinya Fitnah Kubra. Adapun Periode Kemajuan pemerintahan Utsman membawa kemajuan luar biasa, sebagaimana yang dicatat oleh Muhammad Abd. Karim dalam bukunya yang menyatakan bahwa berkat jasa para panglimanya yang ahli dan berkualitas, di mana peta Islam sangat luas dan bendera Islam berkibar dari perbatasan Aljazair di al Maghrib, di Utara sampai ke Aleppo dan sebagian Asia Kecil, di Timur Laut sampai ke Transoxiana, dan di Timur seluruh Persia, bahkan sampai di perbatasan Balucistan serta Kabul, dan Ghazni.
Selain itu, ia berhasil membentuk armada laut dengan kapalanya yang kokoh dan  menghalau serangan-serangan di Laut Tengah yang dilancarkan oleh tentara Byzantium dengan kemenangan pertama kali di laut dalam sejarah Islam. Namun sebaliknya, pada masa Periode II kekuasaannya identik dengan kemunduran dengan huru-hara dan kekacauan yang luar biasa sampai ia wafat. Periode Kemunduran dari pemerintahannya ini banyak para sejarawan yang mencatat diakibatkan oleh tindakan Utsman sendiri.[17]
Ahmad Amin dalam bukunya “Islam Dari Masa Ke Masa”[18] menjelaskan bahwa Khalifah Utsman bin Affan selama enam tahun pertama dari masa kekhalifahannya menempuh kebijaksanaan yang adil dan lunak. Akan tetapi, enam tahun berikutnya dalam usianya yang semakin lanjut, ia tunduk kepada kaum kerabatnya, yaitu orang-orang Bani Umayyah. Ia menyerahkan roda pemerintahannya kepada Hakam bin Marwan, dan Hakamlah yang mengangkat pejabat tinggi dan penguasa negara. Hampir senada dengan keterangan Ahmad Amin, Maduddi dan Philip Hitti menilai bahwa Utsman melakukan Nepotisme. Ia mengangkat sanak saudaranya dalam jabatan-jabatan strategis yang paling besar dan paling banyak menyebabkan suku-suku dan kabilah-kabilah lainnya merasakan pahitnya tindakan Utsman tersebut.[19]
Dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Muhammad Abd. Karim menyebutkan beberapa fakta tindakan yang dilakukan oleh Utsman pada akhir masa pemerintahannya yang selanjutnya menjadi protes bala api yang nyalanya sangat tinggi. Antara lain pemecatan para pejabat negara dan para panglima era Umar dan hampir semuanya dipecat oleh Utsman, kemudian mengangkat dari keluarga sendiri yang tidak mampu dan tidak cakap sebagai pengganti mereka. Adapun para pejabat negara semasa Utsman yang berasal dari familinya dan keluarga dekat, di antaranya adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam, satu suku dan keluarga dekat Utsman. Oleh karena itu, Utsman  diklaim bahwa ia telah ber-KKN.[20]
Selanjutnya di Basrah yang semula dikepalai oleh Abu Musa al Asy’ari, diganti dengan sepupu Utsman, Abdullah bin Amir. Sementara di Kufah Sa’ad bin Waqqas diganti dengan Walid bin Uqbah, saudara tiri Utsman. Kemudian Sa’id bin ‘Ash, diangkat pada  posisi tersebut juga saudara sepupu Utsman yang kasar dan memihak kepada kepentingan keluarga dan Arab (Umayyah), di mana rakyat protes karena ia menciptakan jurang antara Arab dan non Arab menghasilkan banyak rakyat pribumi menjadi kehilangan tanah dan mata pencarian. Di Mesir Amar bin ‘Ash diganti dengan saudara susuan Utsman yaitu Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah. Tidak hanya itu, kasus lain pada masalah pembagian ghanimah (harta rampasan perang), Abdullah diberikan al khumus (1/5) secara cuma-cuma dan menjual sisa al mal al ghanimah dengan harga murah kepada saudara sepupu dan ipar Utsman yaitu Marwan bin Hakam. Ia juga diangkat sebagai sekretaris negara yang dituduh memalsukan surat khalifah yang menyebabkan akhirnya khalifah terbunuh di tangan para pembangkang.[21]
Muhammad Abd. Karim menambahkan, perlu diketahui, bahwa terbunuhnya Utsman merupakan akibat dari tuduhan yang menyebutnya berlaku nepotis. Para sejarawan mengemukakan sebab-sebabnya sebagai berikut; Pertama, menyalahgunakan uang negara yang diberikan kepada keluarga. Kedua, pengangkatan para kepala daerah dari keluarga Utsman.[22] Kebijakan Utsman yang diterapkan pada masa akhir kepemimpinannya ini, sejarah menyebutnya dengan Periode Kemunduran, di mana sejarah masa akhir pemerintahannya tercatat dengan tinta hitam yang memberikan kesan dan persepsi negatif kepada hampir seluruh umat Islam kepada salah seorang sahabat Nabi yang dicintainya.[23]
Akibat dari tindakan Utsman itu, para sahabat banyak yang melakukan kritik terhadapnya, bahkan mereka meminta untuk mundur. Di antara sahabat senior yang melakukan protes terhadapnya antara lain Ali bin Abi Thalib, Zubair, Thalhah dan lain-lain. Mereka mengkhawatirkan akan berakibat timbulnya hal-hal yang dapat memecah belah kaum Muslimin sehingga dimanfaatkan oleh orang atau sekelompok orang yang menginginkan persatuan umat Islam melemah. Namun, apa yang dikhawatirkan itu terjadi juga dengan ditandai meletusnya “Tragedi Sab’iyyin” yang berkedok agama. Padahal sebenarnya gerakan tersebut adalah gerakan pembangkangan politik yang bertujuan mengkudeta, merusak citra khalifah, menimbulkan chaos (kekacauan) dalam tubuh Islam, memecah belah suara serta menggoyang persatuan kaum Muslimin.[24]
Karena desakan serta permintaan yang dilakukan oleh para sahabat senior lain tidak digubris, sebaliknya malah khalifah melakukan pemecatan terhadap beberapa sahabat senior yang diangkat pada masa pemerintahan Umar sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka pada akhir pemerintahannya banyak terjadi huru-hara baik yang bermotif agama maupun yang bermotif politik. Sehingga sulit untuk membedakan antara motif agama dan motif politik. Maka di sini penulis mencoba untuk mengelompokkan sebab-sebab konflik politik untuk mendapatkan analisa yang akurat. Adapun huru-hara tersebut terjadi disebabkan karena;
a.      Pemecatan Amr ibn al-Ash dari jabatannya sebagai gubernur yang mengambil hati rakyat dengan memungut pajak sesedikit mungkin membuat situasi menjadi kacau antara Mesir Selatan dimana Abdullah sebagai amil yang memungut pajak dua kali lipat daripada Mesir Utara, kebijakan ini telah menimbulkan keresahan di kalangan rakyat Nubia. Karena adanya persoalan kebijakan pertanahan yang memancing rakyat tidak suka terhadap kepala daerah yang akhirnya mereka yang berada di Kufah, Basrah dan Mesir datang ke Madinah untuk protes terhadap kelakuan para kepala daerah yang tidak memihak kepada pribumi, contohnya Sa'id yang menomorsatukan orang Arab Quraisy dari pada pribumi.[25]
b.     Propaganda Yahudi Abdullah bin Saba’ untuk memusuhi Utsman dan mendukung Ali seperti dicatat dalam Syarah Ibnu Abi al-Hadid jilid I hal.425 sebagai berikut: Dia (Ibn Saba’) berdiri dihadapan Ali saat sedang berkhutbah, dan mengatakan kepada Ali, ”Kamu adalah Kamu”, lalu Ali menjawab, ”Siapakah Kamu ! Siapakah aku?” Ibnu Saba’ lalu mengatakan, ”Kamu adalah Allah”. Amirulmu’minin telah memerintahkan, setelah mendengarkan ungkapan tersebut, untuk membunuhnya. Namun setelah dimaafkannya…Ali ibn Abi Talib cukup hanya dengan membuangnya ke Madain[26]. Saat rakyat kehilangan mata pencaharian akibat dikuasainya tanah-tanah produktif diluar Arab oleh orang Arab, mereka datang ke Madinah pada musim Haji untuk menuntut keadilan, khalifah memerintahkan mereka pulang kedaerahnya dan akan diterima oleh gubernur dengan baik, disinilah Ibn Saba mengacaukan situasi. Ditemukannya surat yang intinya “perintah khalifah kepada para amir setibanya mereka ke daerah masing-masing (terutama Basrah, Kufah dan Mesir), bunuhlah mereka[27]. Khalifah membantah bahwa surat ini berasal dari Marwan sekretaris Negara, bahkan khalifah tidak mau memenuhi tuntutan untuk menyerahkan Marwan sekaligus meletakkan jabatan khalifah, akibatnya khalifah dibunuh.
c.      Propaganda kotor yang dilancarkan oleh Walid setelah dipecat oleh Khalifah
d.     Khalifah kurang memanfaatkan tentara yang kala itu cukup handal, justru dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba.
e.      Dibuangnya Abu Dzar al-Ghifari oleh Bakhs ke Madinah yang kemudian dibuang ke Rabaza daerah gurun pasir, karena ia menyarankan agar orang kaya mengeluarkan zakat dan ini dinilai berbau politik, beliau meninggal dalam keadaan lapar. Perlakuan pembela kaum miskin inilah menimbulkan kemarahan rakyat
f.      Usia Khalifah yang sudah lanjut (wafat usia 82 tahun) menyebabkan beliau tidak mampu mengatasi situasi pada saat timbulnya kekacauan. Khalifah terbunuh oleh pembangkang yang sudah kehilangan mata pencarian (tanah produktif), mereka inilah orang Arab pada masa Khalifah Umar dilarang menguasainya, dan mengadakan transaksi jual beli antara Arab dan Pribumi. Menurut M. Abdul Karim penyebab khalifah dibunuh adalah disamping usia beliau yang sudah lanjut juga karena persoalan ekonomi yang menjadi sumber pembunuhan khalifah. Kebijakan ekonomi Khalifah Utsman tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang diterapkan Khalifah Umar setelah penaklukan ibu kota Persia, Madain dimana tentara Islam memperoleh kemenangan yang gemilang dan memperoleh ghanimah yang melimpah menyebabkan orang Arab ingin menguasai tanah-tanah subur disana juga tanah-tanah produktif di Kufah, Basrah, Mesir dll. Atas persetujuan Majlis Syura dimana para anggotanya pernah walk out dari sidang yang sangat penting sebanyak dua kali dan tidak sependapat dengan pendapat Umar (karena kebijakan Nabi, tentara akan mendapat 4/5 al-Ghanimah menjadi hak mereka dan sisa al-Khumus menjadi hak Nabi, menjadi milik Negara. Dan adanya larangan transaksi jual beli tanah oleh orang Arab di luar Arab, dekrit ini ditetapkan dengan beberapa pertimbangan, jika tentara menguasai tanah di luar Arab. Beberapa pertimbangan tersebut adalah :
§   Mutu tentara akan menurun karena mereka tidak bersemangat untuk latihan perang melainkan sibuk untuk mengurusi sawah.
§   Produksi akan menurun, akibat tanah dikelola tidak professional.
§   Kas negara akan kehilangan pendapatan sebanyak 80%
§   Karena dikuasainya tanah produktif oleh orang Arab, rakyat kehilangan mata pencarian dan menjadi penganggur, mengakibatkan akan mudah berontak terhadap pemerintah,[28] akhirnya pada sidang ketiga anggota majlis menyetujuinya, kemudian dikenal dengan Kebijaksanaan Pertanahan Umar dan inilah faktor utama mengapa   Khalifah Usman terbunuh.
 Dari uraian singkat di atas dapat diambil sebuah kesimpulan akan hal-hal yang menjadi akar konflik atau latar belakang historis kemunculan gerakan politik yang mana Al-Wakil dalam bukunya menyebutkan dengan istilah “Tragedi Sab’iyyin” yang kemudian menjadi cikal bakal kemunculan Ilmu Kalam. Dalam hal ini penulis merinci beberapa hal sebagai berikut;
2)      Kebutuhan generasi lanjut muslim (yang tidak menyaksikan pewahyuan seperti generasi sahabat) akan penataan dan kategorisasi ajaran, dan argumentasi teologis yang lebih rasional.
3)      Pertemuan dengan pemeluk-pemeluk Yahudi, Nasrani, Sabean dan Zoroaster yang mempertanyakan klaim-klaim teologi Islam dan ini membutuhkan jawaban yang memuaskan sebelum mereka kemudian masuk Islam.
D. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
            Pada hari keenam pasca terbunuhnya Utsman, Ali bin Abi Thalib ra terpilih menjadi Khalifah, walaupun sebelumnya menolak dan mereferensikan agar kaum muslimin memilih Thalhah dan Zubair.
            Persoalan pertama yang dihadapi adalah Thalhah dan Zubair yang mewakili Mekah yang memiliki pengikut di Hijaz dan Iraq yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali. Ummul Mukminin ‘Aisyah ra tidak mencegah, namun justru membantu para pemberontak/ pembunuh Utsman dan bergabung dengan mereka menentang Ali ra di Basrah. Di luar Basrah 9 Desember 656 Ali berperang dan mengalahkan pasukan gabungan dalam pertempuran yang dikenal sebagai Perang Jamal/Unta. Sahabat Thalhah dan Zubair terbunuh, dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, sementara Aisyah ra kalah perang dan tertangkap Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ra ke Madinah[29]
            Khalifah Ali memecat para Gubernur yang sewenang-wenang yang diangkat oleh Utsman, termasuk Mu’awiyah di Syam, karena dianggap sebagai provokator yang menuntut Ali agar turun dari jabatan politik yang baru di dudukinya. Ali menarik tanah yang dihadiahkan Utsman kepada pendukungnya dan hasil tanah tersebut diserahkan ke kas Negara. Di samping itu Ali berusaha mengembalikan pemerintahan Islam seperti masa Umar[30] Selain itu ‘Aisyah, bersama Thalhah dan Zubair meminta Ali segera mencari dan menghukum para pembunuh Utsman. Kondisi kacau tersebut mengakibatkan perang saudara yaitu perang Jamal, Siffin dan Nahrawan, akhirnya Ali memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah (Januari 657M), dikarenakan para pengikut Ali yang terbanyak di Kufah.
            Pada saat drama perang Shiffin (26 juli 657 M) yang mempertemukan kekuatan Mu’awiyah dan Ali tejadi perang urat saraf atau adu taktik dan kelicikan. Atas usulan Amr ibn al-Ash, Mu’awiyah menawarkan perdamaian dengan mengangkat al-Qur’an, akhirnya perang berhenti. Peristiwa ini disebut peristiwa tahkim (arbitrase). Kelompok Ali yang menentang kebijakannya untuk berhenti perang disebut Khawarij di bawah pimpinan Abdullah ibn Wahab al-Rasybi sebanyak 12.000 orang dan mereka berkumpul di Harura. Selanjutnya, mereka membuat anggaran dasar dan menyatakan diri sebagai kekuatan politik di luar Ali dan Mu’awiyah. Dua tahun  kemudian, di Dumatul Jandal bertemu antara pihak Ali dan Mu’awiyah masing-masing berjumlah 400 orang dan diketuai Abu Musa al-Asy’ari dan Amr ibn al-Ash.akhirnya tahkim gagal, mulai saat itu pula kelompok Ali banyak yang keluar dan bergabung dengan Khawarij yang sudah lahir sebelumnya,[31] bagi Khawarij ada dua hal penting yang menjadi pandangannya, politik dan keagamaan.
Di bidang politik Khawarij memiliki pemahamaan seorang khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat, baik dari bangsa Arab atau ‘Ajam (non Arab). Mereka berusaha mengeliminir keutamaan Arab atas non Arab, bahkan sebagian mereka berpendapat bahwa orang ‘ajam lebih baik dari bangsa Arab, menurut Khawarij seorang perempuan boleh memegang kekuasaan, jika memang mampu menyelenggarakan roda pemerintahan dan memenuhi kriteria sebagai seorang kepala Negara. Dengan demikian apa yang terjadi antara Ali dan Muawiyah merupakan sebuah kesalahan karena keduanya tidak berangkat dari pemilihan oleh rakyat, selain itu, Khawarij juga meyakini bahwa khalifah tidak diperlukan, namun cukup dengan badan khusus sebagai penyelenggara pemerintahan[32]
Dalam pandangan keagamaannya jika seorang muslim tidak menjalankan shalat, maka ia wajib dibunuh dan jika seseorang yang meninggal dunia tanpa taubat terlebih dahulu, maka ia akan masuk neraka selamanya, dengan demikian, tanpa amal sholeh, maka seseorang sama halnya dengan kafir. Seseorang yang tidak bersih hati nuraninya, maka ia termasuk murtad dan masuk neraka selamanya. Sikap mereka terhadap umat Islam selain golongan Khawarij keras dan tegas tetapi terhadap non muslim (Yahudi dan Nasrani) mereka bersikap lunak. Mereka beranggapan bahwa Ali, Amr dan Muawiyah adalah kafir, karena atas ulah mereka banyak menewaskan kaum muslimin, mereka juga menolak surah Yusuf menjadi bagian dari al-Qur’an, karena surah ini terlalu menjelaskan hal-hal keduniaan, cinta[33]
Perkembangan selanjutnya, kelompok Khawarij banyak melakukan huru-hara pada masa pemerintahan Ali. Kelompok ini berhadapan dengan pasukan Ali di nahrwan sebanyak 65.000 orang,  peristiwa ini menewaskan 30.000 orang khawarij, mereka beranggapan bahwa peristiwa tersebut sepadan dengan peristiwa yang terjadi di Karbala semasa Yazid ibn Mu’awiyah. Sebagian yang tewas adalah Bani Tamim dari Kufah. Pada akhirnya kemarahan kelompok Khawarij dan Abdurrahman ibn Muljam menyebabkan Khalifah Ali terbunuh saat sedang memasuki masjid untuk shalat pada tanggal 24 Januari 661 M[34]
Pengikut Ali disebut Syi’ah Ali (Pengikut Ali) yang kita kenal dengan kelompok Syi’ah, mereka tidak mengakui kekhalifahan sebelum Ali ra. Bagi Syiah Imam adalah seseorang yang ma’shum, yang diucapkannya adalah ucapan Tuhan. Kalimat syahadat ditambah dengan kalimat Ali Kalifatullah. Kelompok syi’ah al-Ghurabiah percaya bahwa wahyu sebenarnya diturunkan Allah kepada Ali ra, namun Jibril keliru. Dalam al-Qur’an ayat-ayat yang memihak Syiah disembunyikan kaum Sunni. Ijma’ dan Qiyas tidak diperlukan karena al-Qur’an dan Hadits yang diriwayatkan kaum Syi’ah berkedudukan di atas semua ilmu.
Salah satu tuduhan terhadap kaum Sunni bahwa kaum Sunni menyembunyikan hadits-hadits yang menyatakan bahwa Ali ra adalah Khalifah sesudah Nabi. Syi’ah menjadi kekuatan politik semenjak peristiwa Karbala tanggal 10 Oktober 680 M. setelah wafatnya Ali, orang-orang Kufah mengakui Hasan ibn Ali sebagai khalifah. Namun ia tidak pandai berperang, di bawah pimpinan Qaisy 12.000 orang dikirim untuk melawan Mu’awiyah. Karena Qaisy meninggal dalam peperangan, maka sisa pasukan tersebut justru berbalik menyerang Hasan. Pada akhirnya Hasan menyerah dan mengakui supermasi Mu’awiyah sebagai khalifah dengan syarat yaitu; dari kas provinsi Kufah dan satu distrik di Persia menjadi hak Hasan. Mu’awiyah tidak diperkenankan mencaci maki Ali dalam shalat. Dengan demikian Mu’awiyah memasuki Kufah sebagai pemenang, mulailah ia membentuk emperium baru, dinasti Umayyah.[35]
E. Kesimpulan
            Uraian singkat di atas sedikit memberikan gambaran bahwa akar konflik kemunculan gerakan kalam tidak terlepas dari masalah internal kaum Muslimin yang berawal dari persoalan politik (pemerintahan) atau pengangkatan khalifah pasca wafatnya Rasulullah Saw. Selain itu, terbentangnya wilayah kaum Muslimin sebagai sebuah empirium yang kuat dan tangguh menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, peradaban dan pemikiran, sehingga dari sini kaum Muslimin dituntut untuk senantiasa tetap menjaga dan melestarikan keyakinannya  yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw agar dapat survive dalam menghadapi  berbagai benturan kebudayaan bahkan peradaban.
            Berawal dari al Fitnah al Kubra yang melanda kaum Muslimin melahirkan sebuah solusi-solusi baik berupa pemikiran politik, maupun pemikiran keagamaan semisal Ilmu Kalam untuk merespon berbagai kemungkinan yang akan dihadapi kaum Muslimin pada masa selanjutnya. Meskipun kelahiran Kalam berawal dari sebuah peristiwa yang kurang sedap di dalam lembaran sejarah Islam, akan tetapi Ilmu Kalam pada masa-masa berikutnya dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk menghadapi serangan-serangan logika Yunani dan sebagainya untuk mempertahankan serta menjelaskan konsep ketuhanan dalam ajaran Islam kepada agama-agama di luar Islam atau orang-orang yang telah beragama.
            Tidak hanya pada masa lalu, pada masa saat ini beberapa konsep pemikiran kalam dapat memberikan kontribusi kepada khazanah intelektual Muslim kontemporer sebagai sebuah alat atau metode yang bisa digunakan untuk menepis pemikiran-pemikiran yang dapat menimbulkan sikap keragu-raguan, bahkan kemurtadan yang dikenal dengan ghazwul fikr (perang pemikiran). Karena Ilmu Kalam mengkaji persoalan-persoalan fundamental dalam agama serta bagaimana memahamkannya secara rasional kepada generasi berikutnya, walaupun dengan sebuah proses dialektika yang amat sangat akut sebelum kemudian menjadi sebuah ilmu yang definitif atau final menuju sebuah titik kesempurnaan. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan bagi penulis di sini, apakah rumusan atau konsep-konsep dalam ilmu kalam itu sudah final atau definitif ? sehingga tidak diperlukan lagi sebuah penggalian sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan lain-lain. Inilah yang harus kita rumuskan saat ini untuk mengantarkan Islam kembali sebagai sebuah peradaban agung. Wallahu A’lamu bi ash Shawab.






DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pemikiran dan Peradaban,  Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003
al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah, Jakarta : Rabbani Press, 2007
K. Hitti, Philip, History of The Arabs, Jakarta : Serambi,cet.II,2005
Abd. Karim, Muhammad, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka,2007
Al Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta : Media Eka Sarana, 2007
Amin, Ahmad, Islam Dari Masa Ke Masa, Bandung : Rosda Karya, 1991
Sayyid Al-Wakil, Muhammad, Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern, Jakarta : Pustaka Kautsar, Cet.V,2005


           



[2]Ibid,-
[3]Ibid,-
[4]Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pemikiran dan Peradaban, ( Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003),hal.117
[6]Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, (Jakarta : Rabbani Press, 2007),hal.505
[7]Ibid.hal.505. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan lainnya, sebagaimana Bukhari juga meriwayatkannya dengan sedikit perbedaan lafal.
[8]Ibid.hal.534
[9]Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : Serambi,cet.II,2005),hal.223
[10]Muhammad Abd. Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka,2007),hal.88
[11] Ibid,hal.-
[12]Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta : Media Eka Sarana, 2007),hal.165
[13]Ibid,hal.166
[14]Muhammad Abd.Karim, Op Cit.hal.90
[15]Ibid,hal.-
[16]Philip Hitti, Op Cit.hal, 223
[17]Muhammad Abd. Karim, Op Cit.hal 9. sebagaimana yang telah dinukil dari Maududi dan Philip Hitti.
[18]Ahmad Amin, Islam Dari Masa Ke Masa, (Bandung : Rosda Karya, 1991),hal.87
[19]Muhammad Abd.Karim, Op Cit.hal.90
[20]Ibid,91
[21]Ibid,96
[22]Ibid,97
[23]Ibid,98 
[24]Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern, (Jakarta : Pustaka Kautsar, Cet.V,2005),hal.27  
[25]M. Abdul Karim  hal 97-98 mengutip dari William Muir.1892.The Caliphate: Its Rice, Decline and Fall hal 116-117 & M. Reza Karim.I.1972.Arab Jatir Itihas hal139-141
[26]M.Abdul Karim hal 103 mengutip dari M. Dhiauddin Rais. 2001.Teori Politik Islam, hal 29
[27]M. Abdul Karim hal 103 mengutip dari Rahman.1977 hal 63
[28]M.Abdul Karim hal.101 mengutip dari Husaini.1949. hal 41-42
[29]M.Abdul Karim hal 106-107 mengutip dari Hitti.2005. hal 223-224
[30]M. Abdul Karim hal 107 mengutip dari Hasan.1989.62
[31]M. Abdul Karim hal 107 mengutip dari Karim,1972,2:148-151
[32]M. Abdul Karim hal 108 mengutip dari Rahman, 1977:67-68
[33]M. Abdul Karim hal 108 mengutip dari Alam,1969:250-253  
[34]M. Abdul Karim hal.108-109
[35] M. Abdul Karim hal.109-110

0 komentar:

Posting Komentar